OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

92
OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg (Hepatitis B core Antigen) OLEH Escherichia coli SEBAGAI BAHAN VAKSIN HEPATITIS B TERAPEUTIK SKRIPSI SUMI SUMIATI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M / 1438 H

Transcript of OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

Page 1: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

(Hepatitis B core Antigen) OLEH Escherichia coli SEBAGAI

BAHAN VAKSIN HEPATITIS B TERAPEUTIK

SKRIPSI

SUMI SUMIATI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017 M / 1438 H

Page 2: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

(Hepatitis B core Antigen) OLEH Escherichia coli SEBAGAI

BAHAN VAKSIN HEPATITIS B TERAPEUTIK

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

SUMI SUMIATI

1113096000006

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017 M / 1438 H

Page 3: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg
Page 4: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg
Page 5: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL

KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 20 September 2017

Sumi Sumiati

1113096000006

Page 6: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

ABSTRAK

SUMI SUMIATI. Optimasi Produksi Protein Rekombinan HBcAg (Hepatitis B

core Antigen) oleh Escherichia coli sebagai Bahan Vaksin Hepatitis B Terapeutik.

Dibimbing oleh SANDRA HERMANTO dan DICKY MAHARDHIKA

TARYONO.

Infeksi virus Hepatitis B merupakan ancaman kesehatan yang dapat menyebabkan

hepatitis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler. Protein Hepatitis B core Antigen

(HBcAg) mampu mengeliminasi virus Hepatitis B sehingga dapat dikembangkan

sebagai vaksin terapeutik. Penelitian ini bertujuan memperoleh media optimum

yang dapat menghasilkan pertumbuhan Escherichia coli yang tinggi sehingga dapat

meningkatkan produksi protein rekombinan HBcAg. Media pertumbuhan E.coli

yang digunakan yaitu media Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), dan Defined

Non-Inducing Broth (DNB). Analisis pertumbuhan E.coli dilakukan dengan

pengukuran Optical Density (OD) pada panjang gelombang 600 nm, pengukuran

pH, kadar glukosa, dan pengamatan morfologi sel. Kultur sel diinduksi dengan

Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside untuk ekspresi protein. Sel hasil panen

dilisis secara enzimatik dan dilakukan pemurnian dengan fraksinasi amonium sulfat

pada variasi konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, dan 80%. Protein rekombinan

dianalisis dengan metode Bicinchoninic Acid dan Sodium Dodecyl Sulfate-

Polyacrylamide Gel Electrophoresis untuk karakterisasi protein. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pertumbuhan E.coli tertinggi dihasilkan pada media TB

dengan nilai OD 20,857 dan laju pertumbuhan spesifik 0,788/jam. Konsentrasi

protein total sebelum induksi sebesar 3,936 µg/µL dan setelah induksi 5,279 µg/µL.

Pada analisis SDS-PAGE, terdapat pita protein tebal HBcAg di bawah 15 kDa.

Hasil fraksinasi amonium sulfat 20% menunjukkan pita protein HBcAg yang relatif

lebih murni dibandingkan hasil fraksinasi lainnya.

Kata kunci : Escherichia coli, Hepatitis B, Hepatitis B core Antigen, protein

rekombinan, vaksin terapeutik.

Page 7: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

ABSTRACT

SUMI SUMIATI. Optimization of Recombinant HBcAg (Hepatitis B core

Antigen) Protein Production by Escherichia coli as Hepatitis B Therapeutic Vaccine

Component. Advisor by SANDRA HERMANTO and DICKY MAHARDHIKA

TARYONO.

Hepatitis B virus infection becomes a health threat that cause hepatitis, cirrhosis,

and hepatocellular carcinoma. Hepatitis B core Antigen (HBcAg) protein is able to

eliminate Hepatitis B virus, thus it is potential to be developed as therapeutic

vaccine. The aim of this research is to obtain optimum media that produce the

highest growth of Escherichia coli which correlate with the increasing production

of recombinant HBcAg protein. The growth media that used to culture E.coli were

Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), and Defined Non-Inducing Broth (DNB)

media. The growth of E.coli was analyzed based on several measurements: cell

density at 600 nm wavelength, pH, glucose level, and cell morphology observation.

Cell culture was induced by Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside for protein

expression. The harvested cells were enzymatically lysed and purified by

fractionation of ammonium sulfate in various concentration (0%, 20%, 40%, 60%,

and 80%). The recombinant protein was analyzed by Bicinchoninic Acid and

Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis for protein

characterization. The results showed that highest growth of E.coli was produced

on TB media with cell density 20,857 and spesific growth rate at 0,788/hour. The

total protein concentrations were after induced 3,936 µg/µL and before induced

5,279 µg/µL. Based on SDS-PAGE analysis, the thick protein band of HBcAg was

found below 15 kDa. Fractination of 20% ammonium sulfate were shown on

HBcAg protein which relatively purer than other fractination.

Keywords : Escherichia coli, Hepatitis B, Hepatitis B core Antigen, recombinant

proteins, therapeutic vaccine.

Page 8: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Optimasi Produksi Protein Rekombinan HBcAg (Hepatitis

B core Antigen) oleh Escherichia coli sebagai Bahan Vaksin Hepatitis B

Terapeutik”. Skripsi ini disusun penulis untuk memenuhi syarat dalam memperoleh

gelar Sarjana Sains.

Dalam penulisan skripsi ini mungkin tidak sedikit hambatan yang penulis

hadapi. Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penulisan ini tidak lain

berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga kendala-

kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Untuk itu, pada kesempatan kali ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku Pembimbing I yang selalu memberikan

pengarahan, ilmu, masukan, dan bimbingannya yang begitu berharga selama

penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dicky Mahardhika Taryono, M.Biomed selaku Pembimbing II yang telah

berkenan menerima penulis dengan sangat baik, memberikan pengarahan dan

bimbingannya serta memiliki andil besar dalam penelitian.

3. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku

Penguji I dan Penguji II yang telah memberikan saran dan masukan yang

sangat bermanfaat dalam penelitian dan penulisan skripsi.

4. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 9: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

ix

5. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Anna Muawanah, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu

membimbing, memberikan arahan, memotivasi, dan membantu penulis

dalam banyak hal.

7. Dr. Neny Nurainy, Apt selaku Project Integration Manager Research and

Development PT. Bio Farma yang telah bersedia menerima penulis untuk

melaksanakan penelitian dan menggunakan semua fasilititas selama

penelitian di Divisi Penelitian dan Pengembangan PT. Bio Farma (Persero).

8. Dr. Anna Sanawati, M.Si yang telah berkenan menerima penulis dengan

sangat baik, membimbing, memotivasi, dan membantu penulis dalam banyak

hal selama di PT. Bio Farma.

9. Ekaputra Ramadhani, S.Si yang selalu membimbing penulis selama

penelitian dan memberikan ilmu, masukan, serta pengalaman yang begitu

berharga.

10. Papa, mama, kakek, dan nenek tercinta yang tak henti-hentinya selalu

memberikan dukungan, motivasi, doa, serta kasih sayang yang tak ternilai

harganya.

11. Seluruh Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingan

kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

12. Teman-teman Mahasiswa Program Studi Kimia angkatan 2013 Fakultas

Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu

memberikan dukungan dan motivasinya kepada penulis.

Page 10: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

x

13. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa

disebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga Allah swt. senantiasa membalas kebaikan semua pihak

yang telah membantu penulis hingga saat ini. Penulis menyadari bahwa dalam

penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

Jakarta, September 2017

Sumi Sumiati

Page 11: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

xi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4

1.3. Hipotesis .................................................................................................... 4

1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5

1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6

2.1. Hepatitis B ................................................................................................ 6

2.1.1. Penyakit Hepatitis B ........................................................................ 6

2.1.2. Virus Hepatitis B ............................................................................. 6

2.1.3. Hepatitis B core Antigen (HBcAg) ................................................... 8

2.1.4. Patogenesis Hepatitis B ................................................................... 9

2.1.5. Diagnostik Hepatitis B ..................................................................... 11

2.2. Vaksin Hepatitis B .................................................................................... 11

2.3. Protein Rekombinan ................................................................................. 13

2.4. Escherichia coli ........................................................................................ 14

2.4.1. Lac Operon ...................................................................................... 15

2.4.2. Media Kultivasi E. coli .................................................................... 18

2.5. Produksi dan Pemurnian Protein .............................................................. 20

Page 12: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

xii

2.5.1. Kultivasi dengan Sistem Fermentor ................................................ 20

2.5.2. Fraksinasi Amonium Sulfat ............................................................. 23

2.6. Karakterisasi Protein ................................................................................. 24

2.6.1. Bicinchoninic Acid ........................................................................... 24

2.6.2. Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis ....... 26

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 28

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 28

3.2. Peralatan dan Bahan ................................................................................. 28

3.2.1. Peralatan .......................................................................................... 28

3.2.2. Bahan ............................................................................................... 29

3.3. Prosedur Kerja .......................................................................................... 29

3.3.1. Pre-culture E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg ............................ 29

3.3.2. Kultivasi E. coli untuk Optimasi Media .......................................... 29

3.3.3. Analisis Parameter ........................................................................... 30

3.3.4. Kultivasi E. coli untuk Ekspresi Protein HBcAg ............................ 31

3.3.5. Lisis sel ............................................................................................ 31

3.3.6. Fraksinasi dengan Amonium Sulfat ................................................ 31

3.3.7. Karakterisasi Protein ....................................................................... 32

3.3.8. Analisis Data ................................................................................... 35

3.4. Diagram Alir Penelitian ................................................................................... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 37

4.1. Pertumbuhan Escherichia coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg .................. 37

4.1.1. Pengukuran Optical Density (OD) .................................................... 37

4.1.2. Pengukuran pH .................................................................................. 42

4.1.3. Pengukuran Kadar Glukosa .............................................................. 43

4.1.4. Pengamatan Morfologi Sel ................................................................ 45

4.2. Ekspresi Protein HBcAg ........................................................................... 46

Page 13: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

xiii

4.3. Karakterisasi Protein ................................................................................. 49

4.3.1. Pengukuran Konsentrasi Protein dengan BCA .................................. 49

4.3.2. Karakterisasi Protein dengan SDS-PAGE ......................................... 50

4.3.3. Pemurnian Protein dengan Fraksinasi Amonium Sulfat .................... 51

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 57

5.1. Simpulan ................................................................................................... 57

5.2. Saran ......................................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 58

LAMPIRAN ...................................................................................................... 65

Page 14: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Virus Hepatitis B ........................................................................... 7

Gambar 2. Morfologi virus Hepatitis B di bawah mikroskop elektron ........... 8

Gambar 3. Respon imun terhadap virus Hepatitis B ....................................... 10

Gambar 4. Gambaran mikroskopis E. coli ..................................................... 14

Gambar 5. Struktur kimia IPTG ...................................................................... 17

Gambar 6. Mekanisme ekspresi protein .......................................................... 18

Gambar 7. Sistem Fermentor DASGIP® Parallel ............................................ 20

Gambar 8. Kurva pertumbuhan mikroba ........................................................ 22

Gambar 9. Reaksi dalam BCA ........................................................................ 25

Gambar 10. Denaturasi protein ....................................................................... 26

Gambar 11. Skema kerja penelitian ................................................................ 36

Gambar 12. Kurva pertumbuhan E. coli BL21(DE3) .................................... 38

Gambar 13. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) ......................... 38

Gambar 14. pH kultur pada media LB, TB, dan DNB .................................... 42

Gambar 15. Kadar glukosa pada media LB, TB, dan DNB ............................ 44

Gambar 16. Kurva pertumbuhan sel hingga induksi IPTG ............................. 47

Gambar 17. Hasil SDS-PAGE protein HBcAg ................................................ 50

Gambar 18. Fraksinasi amonium sulfat .......................................................... 53

Gambar 19. SDS-PAGE hasil fraksinasi amonium sulfat ............................... 54

Gambar 20. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) ......................... 68

Gambar 21. Morfologi sel E. coli BL21(DE3) ................................................ 70

Page 15: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Penanda Hepatitis B .......................................................................... 11

Tabel 2. Bagian-bagian sistem fermentor ....................................................... 21

Tabel 3. Larutan standar BSA ......................................................................... 32

Tabel 4. Reagen BCA ..................................................................................... 33

Tabel 5. Konsentrasi protein total ................................................................... 49

Page 16: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposisi media kultivasi E. coli BL21(DE3) ......................... 65

Lampiran 2. Komposisi buffer lisis ................................................................. 66

Lampiran 3. Komposisi gel SDS-PAGE ......................................................... 66

Lampiran 4. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada optimasi media ..... 67

Lampiran 5. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada ekspresi HBcAg ... 70

Lampiran 6. Konsentrasi protein total hasil BCA ........................................... 71

Lampiran 7. Kurva standar pengukuran konsentrasi protein total .................. 72

Lampiran 8. Jumlah protein total hasil SDS-PAGE ........................................ 74

Page 17: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hepatitis B merupakan penyakit yang tersebar luas, diperkirakan bahwa

sekitar 2 miliar orang dari populasi dunia memiliki bukti serologis infeksi virus

Hepatitis B (Franco et al., 2012). Hepatitis B merupakan masalah kesehatan yang

serius. Di Indonesia dengan endemisitas Hepatitis B yang tinggi, diperkirakan

terdapat 28 juta orang terinfeksi virus Hepatitis B (Kementerian Kesehatan, 2014).

Virus Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi akut hingga kronis dan dianggap

sebagai salah satu patogen utama yang menyebabkan hepatitis, sirosis, dan

karsinoma hepatoseluler (Dandri et al., 2013). Cara terbaik untuk pencegahan

Hepatitis B dapat dilakukan dengan mendapatkan vaksinasi (Centers for Disease

Control and Prevention, 2015).

Vaksin Hepatitis B merupakan vaksin rekombinan yang dibuat melalui

teknik rekayasa genetika untuk memperoleh fragmen antigenik dari

mikroorganisme. Teknik ini memungkinkan dilakukannya berbagai rekayasa epitop

untuk meningkatkan kualitas vaksin yang dihasilkan. Manipulasi tingkat gen

dilakukan untuk mengekspresikan protein tertentu (Radji, 2009). Vaksin Hepatitis

B terapeutik dikembangkan untuk pengobatan Hepatitis B kronis. Vaksin terapeutik

bekerja dengan cara yang berbeda dari obat kemoterapi, yaitu dengan menginduksi

dan memperkuat respons imun (Djauzi dan Rambe, 2013). Hepatitis B core Antigen

(HBcAg) merupakan protein struktural virus yang berpotensi sebagai vaksin

terapeutik dengan memunculkan respon imun humoral dan seluler sehingga

Page 18: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

2

menunjukkan imunogenisitas yang kuat dan mampu membersihkan infeksi virus

Hepatitis B serta memediasi imun pada kerusakan hati (Chen et al., 2017).

Karakterisasi protein rekombinan HBcAg native menunjukkan pita protein dengan

bobot molekul 20-22 kDa (Letourneur dan Watelet, 2012) dan HBcAg hasil

modifikasi pada bobot molekul sekitar 14 kDa (Hashemikhah dan Heydari, 2016).

Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama yang

digunakan sebagai inang dalam produksi protein rekombinan, baik di bidang riset

maupun industri (Riyadhi et al., 2010). Keuntungan utama penggunaan E. coli

adalah laju pertumbuhan yang cepat dan tingkat ekspresinya tinggi (Joseph et al.,

2015). Pemanfaatan bakteri dalam produksi protein rekombinan ini sebagaimana

dengan firman Allah swt. dalam Q.S. Al Baqarah ayat 164 :

وما الن اس نفعي بما البحر في تجري ال تي والفلك والن هار الل يل واختلاف والأرض الس ماوات خلق في إن

اء من الس ماء من الل أنزل ياح وتصريف دآب ة كل من فيها وبث موتها بعد الأرض به فأحيا م والس حاب الر

ر يعقلون لقوم لآيات والأرض الس ماء بين المسخ

Artinya : Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan

siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia,

apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya

bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam

hewan, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi,

(semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang

memikirkan (Q.S. Al Baqarah/2:164).

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt. telah menciptakan segala

sesuatu yang dikehendaki-Nya, makhluk hidup beraneka ragam, termasuk

diantaranya bakteri E. coli yang dimanfaatkan untuk produksi protein rekombinan

Page 19: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

3

HBcAg melalui teknologi DNA rekombinan. Hal ini menunjukkan kekuasaan Allah

yang begitu besar. Semua yang telah diciptakan-Nya tiada yang sia-sia, karena

semua ada manfaatnya bergantung pada bagaimana manusia menerapkan ilmu

pengetahuan untuk memanfaatkan apa yang telah Allah berikan.

Pada penelitian sebelumnya dilakukan pengembangan vaksin Hepatitis B

berbasis protein rekombinan subunit indonesia (Nurainy et al., 2012). Rini et al.,

(2016) telah melakukan konstruksi dan optimasi overekspresi protein HBcAg

dengan vektor pET16b pada E. coli BL21(DE3). Analisis SDS-PAGE dari koloni

tunggal E. coli BL21(DE3) yang mengandung gen HBcAg menunjukkan pita

protein pada bobot molekul 21 kDa. Sa’adah (2016) juga telah melakukan

konstruksi vektor ekspresi pET28a dan optimasi overekspresi gen pengkode

HBcAg pada E. coli BL21(DE3) dalam skala laboratorium. E. coli

BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dapat memproduksi protein HBcAg yang selanjutnya

digunakan sebagai komponen vaksin terapi.

Pada penelitian ini dilakukan optimasi media kultivasi E. coli BL21(DE3)

yang mengandung gen HBcAg dengan vektor ekspresi pET28a untuk produksi

protein rekombinan HBcAg dan dilakukan pemurnian protein dengan fraksinasi

amonium sulfat. Media pertumbuhan E. coli yang digunakan yaitu media kompleks

diantaranya media Luria Bertani (LB) dan Terrific Broth (TB), serta defined media

yaitu media Defined Non-Inducing Broth (DNB). Pada produksi protein

rekombinan skala besar, defined media memungkinkan implementasi kultur fed-

batch berbasis high cell density. Proteome sel yang tumbuh secara eksponensial

dalam defined media didominasi oleh enzim jalur sintesis asam amino yang

mengandung kelimpahan enzim jalur metabolik utama yang lebih seimbang.

Page 20: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

4

Hampir 20% massa protein relatif dari pertumbuhan sel diidentifikasi dalam defined

media, sedangkan dalam media kompleks akumulasi proteome sel yang tumbuh

secara eksponensial hanya 6% (Li et al., 2014). Penelitian ini bertujuan

memperoleh media optimum yang dapat diaplikasikan dalam skala industri dan

menghasilkan E. coli dengan pertumbuhan yang tinggi berdasarkan nilai optical

density dari hasil pengukuran, sehingga biomassa yang dihasilkan tinggi dan

diharapkan produksi protein rekombinan HBcAg juga menghasilkan yield tinggi.

1.2. Rumusan Masalah

1. Media manakah dari Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), dan Defined

Non-inducing Broth (DNB) yang dapat menghasilkan pertumbuhan E. coli

yang paling optimum untuk produksi protein rekombinan HBcAg?

2. Bagaimana karakteristik protein rekombinan HBcAg yang dihasilkan?

3. Bagaimana hasil pemurnian protein HBcAg dengan fraksinasi amonium

sulfat?

1.3. Hipotesis

1. Media Defined Non-Inducing Broth merupakan media yang dapat

menghasilkan pertumbuhan E. coli yang tinggi untuk produksi protein

rekombinan HBcAg.

2. Karakteristik protein rekombinan HBcAg yang dihasilkan memiliki bobot

molekul sekitar 14 kDa.

3. Konsentrasi amonium sulfat berpengaruh terhadap tingkat kemurnian

protein HBcAg yang dihasilkan.

Page 21: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

5

1.4. Tujuan Penelitian

1. Menentukan media kultivasi terbaik dalam menghasilkan pertumbuhan E.

coli yang tinggi untuk produksi protein rekombinan HBcAg.

2. Mengetahui karakteristik protein rekombinan HBcAg yang dihasilkan

berdasarkan bobot molekul.

3. Memperoleh dan memurnikan protein HBcAg dengan fraksinasi amonium

sulfat.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi media

pertumbuhan E. coli yang tepat untuk produksi protein rekombinan HBcAg dalam

skala industri sebagai bahan vaksin Hepatitis B terapeutik.

Page 22: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepatitis B

2.1.1. Penyakit Hepatitis B

Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B

yang menyerang dan merusak hati serta menjadi penyebab utama karsinoma

hepatoseluler. Infeksi virus Hepatitis B dapat mengakibatkan infeksi akut atau

bahkan infeksi kronis. Ketika seseorang pertama terinfeksi virus Hepatitis B,

hal itu disebut "infeksi akut". Orang yang terinfeksi dan tidak memiliki gejala

apapun serta tidak dapat menyingkirkan virus setelah 6 bulan didiagnosis

memiliki "infeksi kronis". Pada orang yang terinfeksi kronis dapat

menyebabkan peningkatan risiko penyakit hati yang serius (Blumberg, 2017).

Hepatitis B ditularkan melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi,

selanjutnya ditransmisikan pada orang lain melalui kontak langsung dengan

darah, jarum yang tidak steril, dan dari ibu yang terinfeksi pada bayinya selama

kehamilan atau persalinan (Blumberg, 2017). Hepatitis B bukan merupakan

penyakit genetik melainkan penyakit menular yang dapat ditularkan melalui

darah dan prevalensinya sangat tinggi (World Health Organization, 2015).

2.1.2. Virus Hepatitis B

Virus Hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam famili

Hepadnaviridae. Diameternya yaitu sekitar 42 nm dengan nukleokapsid

ikosahedral (Liang, 2009). Virus Hepatitis B terdiri atas selubung luar dan

Page 23: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

7

nukleokapsid. Selubung terluar tersusun oleh protein HBsAg (Hepatitis B

surface antigen), sedangkan nukleokapsid tersusun oleh protein HBcAg

(Hepatitis B core Antigen) yang di dalamnya terdapat DNA polimerase

(Gambar 1) yang berfungsi untuk replikasi virus (Cahyono, 2010).

Gambar 1. Virus Hepatitis B (hepatitisaustralia.com)

Genom virus Hepatitis B mengandung 3,2 kb yang berupa sepasang

rantai DNA sirkular dengan panjang rantai yang tidak sama. Genom tersebut

mempunyai 4 Open Reading Frame (Liang, 2009) yaitu gen S dan pre-S yang

mengkodekan surface antigen (HBsAg) yaitu large HBs (L-HBs), medium

HBs (M-HBs), dan small HBs (S-HBs), gen pre-C yang mengkodekan e

antigen (HBeAg), gen C yang mengkodekan core antigen (HBcAg), gen P

yang mengkodekan DNA polimerase, dan gen X yang mengkodekan HBxAg

yang berfungsi memacu ekspresi seluruh genom virus dengan berinteraksi di

daerah gen tertentu pada inang sehingga mempunyai sifat transaktivator yang

dapat meningkatkan replikasi virus Hepatitis B (Estianti, 2007).

Bentuk morfologi dari virus Hepatitis B dilihat di bawah mikroskop

elektron terdiri atas 3 komponen (Gambar 2) yaitu partikel lengkap (dane

Page 24: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

8

particles) berdiameter 42 nm, partikel batang (filaments) dengan lebar 22 nm

dan panjang bervariasi sampai 200 nm, dan partikel bulat (spheres)

berdiameter 22 nm (Arief, 2009).

Gambar 2. Morfologi virus Hepatitis B di bawah mikroskop elektron (Gerlich, 2013)

2.1.3. Hepatitis B core Antigen (HBcAg)

Hepatitis B core Antigen (HBcAg) merupakan protein dengan 183 asam

amino yang dapat dibagi menjadi domain perakitan (1-149) dan domain mirip

protamin (150-183). Domain ini bertanggung jawab untuk polimerisasi RNA

(Bruce, 2010; Hashemikhah dan Heydari, 2016). HBcAg utuh memiliki bobot

molekul sekitar 21 kDa dengan 183 residu asam amino yang kaya akan arginin

di daerah C terminal. Hasil ekspresi HBcAg hasil modifikasi dalam E. coli jauh

lebih tinggi daripada HBcAg utuh yang diekspresikan dengan konstruksi

plasmid yang sama (Tan et al., 2003; Ho et al., 2009).

HBcAg merupakan antigen yang berasal dari nukleokapsid yang

mengelilingi inti virus (Cahyono, 2010). HBcAg terletak di dalam inti dan

sitoplasma sel. Ekspresi sitoplasma yang didominasi HBcAg sering disertai

dengan kerusakan hati yang signifikan, sehingga sering dianggap sebagai

antigen virus yang berpotensi untuk memediasi sistem kekebalan pada

kerusakan hati dalam Hepatitis B kronis (Chen et al., 2017). HBcAg merupakan

Page 25: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

9

antigen yang dapat menginduksi imunitas sel, kemudian membersihkan infeksi

virus Hepatitis B (Tan et al., 2017). Induksi HBcAg dengan leukosit

intrahepatik menghasilkan TNF-α (Tumor Necrosis Factor alpha) yang

membantu membersihkan virus (Tzeng et al., 2014). Protein HBcAg memiliki

tingkat imunitas yang tinggi dan potensial menghasilkan sel B, sel T sitotoksik,

dan sel T helper (Watts et al., 2010; Hashemikhah dan Heydari, 2016). Protein

HBcAg yang dikode oleh gen HBcAg ini mampu menginduksi pembentukan

sel T sitotoksik yang secara efektif akan mengaktifkan limfosit T sitotoksik

(Akbar et al., 2013) yang berperan dalam eliminasi virus (Sa’adah, 2016).

2.1.4. Patogenesis Hepatitis B

Patogenesis Hepatitis B terjadi karena interaksi antara virus dan sistem

imun sel inang. Sel hati manusia merupakan organ target bagi virus Hepatitis

B. Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel

hati kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma. Virus melepaskan

nukleokapsid di sitoplasma, selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding

sel hati. Asam nukleat virus akan keluar dari nukleokapsid dan menempel pada

DNA inang lalu berintegrasi. Proses selanjutnya adalah DNA virus

memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru sehingga

memunculkan respon imunologis (Mustofa dan Kurniawaty, 2013).

Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg terjadi di hepatosit. Sel T CD8+ akan

mengenali fragmen peptida tersebut setelah mengalami proses pencacahan

intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel oleh molekul MHC (Major

Histocompability Compex) kelas I yang menyebabkan pengaktifan limfosit T

Page 26: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

10

sitotoksik CD8+. Respon imun dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop

protein virus Hepatitis B. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara

langsung oleh limfosit T sitotoksik CD8+ (Gambar 3) (Hardjoeno, 2007).

Gambar 3. Respon imun terhadap virus Hepatitis B (Ganem dan Prince, 2004)

Infeksi virus Hepatitis B berlangsung dalam dua fase. Selama fase

proliferatif, DNA virus terdapat dalam bentuk episomal dengan pembentukan

virion lengkap dan semua antigen terkait. Pada saat awal infeksi Hepatitis B

terjadi toleransi imunologi. Virus masuk ke dalam hepatosit melalui aliran darah

dan melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati (Arief, 2009).

Pada tahap selanjutnya terjadi kerusakan hepatosit yang terinfeksi.

Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel

T sitotoksik CD8+. Selama fase integratif, DNA virus meyatu ke dalam genom

inang. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi,

infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda (Kumar et al., 2012). Reaksi

imun yang terganggu atau status imun yang relatif toleran dapat mengakibatkan

terjadinya Hepatitis kronis (Fan et al., 2012).

Page 27: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

11

2.1.5. Diagnostik Hepatitis B

Infeksi virus Hepatitis merupakan infeksi sistemik dan hati merupakan

organ target utama. Virus secara diam-diam dan terus menerus dapat menyerang

hati selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Tes darah sederhana dapat

mendiagnosis infeksi Hepatitis B akut atau kronis (Blumberg, 2017).

Protein penyusun virus Hepatitis B menjadi penanda penting untuk

mengetahui masalah yang ditimbulkan di dalam tubuh oleh virus Hepatitis B

Cahyono, 2010). Tabel 1. menunjukkan penanda penting dalam Hepatitis B.

Tabel 1. Penanda Hepatitis B (Cahyono, 2010).

Penanda Interpretasi

HBsAg - HBsAg positif menandakan seseorang menderita Hepatitis B (bisa

akut/kronis)

- Bila HBsAg masih positif selama lebih dari 6 bulan berarti

menderita Hepatitis B kronis

Anti-HBs - Antibodi terhadap HBsAg

- Hasil positif dapat menunjukkan seseorang pernah kontak

(mempunyai perlindungan) atau pernah mendapatkan vaksinasi

HBeAg - Hasil positif menunjukkan virus aktif melakukan replikasi dalam

tubuh seseorang

- Resiko terjadi sirosis atau kanker hati lebih besar

Anti-HBe - Antibodi terhadap HBeAg

- Meningkatnya kadar anti HBe menunjukkan terjadinya perbaikan

keadaan tubuh dan proses perkembangan virus terhambat

Anti-HBc - Antibodi terhadap HBcAg

- Meningkatnya kadar anti HBc, terutama jenis IgM anti HBc

menunjukkan keadaan Hepatitis B akut

DNA HBV - Pemeriksaan untuk menentukan jumlah virus dalam darah

- Jumlah lebih dari 106 copies/mL menunjukkan virus aktif

melakukan replikasi dalam tubuh seseorang

2.2. Vaksin Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B yang digunakan saat ini mengandung protein HBsAg

yang dibuat melalui teknik DNA rekombinan yang mampu menginduksi respon

imun sehingga terbentuk anti-HBs sebagai komponen antibodi khusus yang

Page 28: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

12

mampu menghambat penempelan dan masuknya virus Hepatitis B ke dalam sel

inang (Rosalina, 2012). Vaksin Hepatitis B sangat efektif dan aman untuk

pencegahan. Namun, hal ini tidak menunjukkan efek dalam pengaturan infeksi

kronis, sehingga diperlukan pengembangan vaksin Hepatitis B terapeutik

(Kutscher et al., 2012).

Vaksin Hepatitis B terapeutik dikembangkan untuk infeksi virus pada

Hepatitis B kronis dalam meningkatkan efektivitas dan mengaktifkan sistem

kekebalan tubuh untuk melawan virus, mengontrol atau idealnya bahkan

menghilangkan virus. Infeksi kronis merupakan suatu keadaan dengan infeksi yang

terus menerus berlangsung sehingga menyebabkan kerusakan jangka panjang pada

organ hati yang terinfeksi sehingga ini merupakan target utama untuk vaksin

terapeutik (Kutscher et al., 2012).

Terapi Hepatitis B kronis bertujuan untuk penekanan replikasi virus dan

remisi penyakit hati. Tanpa respon imun yang efisien, pengobatan membutuhkan

waktu yang lama. Perhatian utama untuk pengobatan jangka panjang adalah efikasi

dan keamanan, serta biaya pengobatan yang tinggi (Hoofnagle et al., 2007).

Strategi yang berpotensi menjanjikan untuk menangani infeksi kronis Hepatitis B

adalah dengan vaksin terapeutik yang bertujuan menghilangkan virus yang

bertahan secara khusus dengan merangsang respon imun (Thomson dan Knolle,

2010). Induksi respon sel T multi-spesifik dan aktivasi dari respon imun humoral

untuk membersihkan virus merupakan paradigma dalam vaksinasi terapeutik

(Kutscher et al., 2012).

Pada infeksi Hepatitis B kronis, sistem kekebalan tubuh bawaan terlibat

dalam pengendalian dan penghapusan infeksi virus Hepatitis B. Respon imun

Page 29: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

13

bawaan sangat penting untuk pertahanan awal dari infeksi virus serta mendukung

waktu yang tepat dan efisien untuk menginduksi respon imun adaptif (Rouse dan

Sehrawat, 2010). Respon spesifik virus Hepatitis B termasuk diantaranya yaitu sel

T sitotoksik CD4+ dan CD8+ bertanggung jawab untuk membersihkan hepatosit

yang terinfeksi virus Hepatitis B, sedangkan respon imun humoral menetralkan

virus sehingga mencegah penyebaran virus (Rehermann dan Nascimbeni, 2005).

2.3. Protein Rekombinan

Protein rekombinan diperoleh melalui teknologi DNA rekombinan

dengan pemindahan gen asing pengkode protein ke dalam suatu mikroorganisme

inang yang cocok. Kemajuan teknologi DNA rekombinan telah mendorong

berkembangnya berbagai metode produksi protein menggunakan inang yang aman,

relatif mudah dikultur, dan tingkat ekspresinya yang tinggi sehingga protein dapat

diproduksi pada skala industri. Teknologi DNA rekombinan telah menyediakan

berbagai strategi untuk meningkatkan produksi protein (Gaffar, 2010).

Sistem ekspresi protein yang digunakan umumnya terdiri atas vektor

ekspresi, DNA yang dikloning, dan inang sehingga protein dapat diekspresikan

oleh inang. Sistem ekspresi protein dirancang agar menghasilkan tingkat ekspresi

yang tinggi sehingga diistilahkan overekspresi. Inang yang umum digunakan

adalah bakteri seperti E. coli, yeast seperti Saccharomyches cerevisiae, dan sel

mamalia seperti sel CHO (Chinese Hamster Ovary), sedangkan vektor ekspresi

yang umum digunakan adalah virus, plasmid, kromosom artifisial, dan

bakteriofage. Sistem ekspresi bakteri memiliki keunggulan karena dapat

Page 30: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

14

memproduksi protein dalam jumlah besar. Konstruksi sistem ekspresi protein

menggunakan strategi biologi molekuler penting dilakukan (Gaffar, 2010).

2.4. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang

pendek yang memiliki panjang sekitar 2-4 μm dan lebar 0,4-0,7 μm (Yuge et al.,

2014). Gambar 4. menunjukkan gambaran mikroskopis dari E. coli.

Gambar 4. Gambaran mikroskopis E. coli (National Institutes of Health, 2013)

Klasifikasi E. coli tercatat dalam National Center of Biotechnology Information

(NCBI) (2017) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gammaproteobacteria

Ordo : Enterobacterales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

E. coli adalah bakteri anaerob fakultatif dengan suhu pertumbuhan

optimum 37°C dan kisaran pH optimum antara 6,5 dan 7,5. Bakteri ini umumnya

tumbuh dalam kondisi aerobik, hal ini karena pertumbuhan anaerob menghasilkan

lebih sedikit energi untuk proses metabolisme seperti pada sintesis protein.

Pertumbuhan yang tinggi, biomassa yang optimal dan produksi protein dicapai

Page 31: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

15

pada pH mendekati netral. Penurunan tingkat produksi dapat diamati di luar kisaran

ini dengan penurunan mencapai sekitar 60% dari jumlah maksimum yang diamati

pada pH kultur awal 5,5 dan 8,0 (Collins et al., 2013).

E. coli merupakan bakteri yang sering dimanfaatkan untuk produksi

protein rekombinan (Li et al., 2014). Penggunaan E. coli sebagai inang dalam

sistem ekspresi dipilih karena laju pertumbuhannya yang cepat dan mempunyai

tingkat ekspresi yang tinggi sehingga mudah dilakukan peningkatan skala produksi

untuk industri. Protein yang diekspresikan dalam E. coli pada umumnya diperoleh

sebagai protein intraseluler yang sering menghasilkan badan inklusi yang tidak

larut (dalam kasus ekspresi tinggi) dan tidak mengalami pelipatan dengan benar,

sehingga harus dilarutkan dan dilakukan pelipatan ulang (Gaffar, 2010).

E. coli adalah bakteri yang tumbuh cepat dengan kerapatan sel yang tinggi

(Overton, 2014). Sistem ekspresi E. coli yang paling umum digunakan bergantung

pada T7 RNA polimerase yang dapat diinduksi karena sistem ini menghasilkan

protein rekombinan yang tinggi. E. coli strain BL21(DE3) merupakan salah satu

strain yang banyak digunakan sebagai sel inang untuk ekspresi protein. Kromosom

DE3 pada fase profase mengekspresikan T7 RNA polimerase di bawah kendali

promoter lac UV5 (Joseph et al., 2015). T7 RNA polimerase yang dihasilkan

setelah induksi secara khusus mentransformasikan urutan pengkodean protein yang

telah dimasukkan ke dalam plasmid (Briand et al., 2016).

2.3.1. Lac Operon

Sistem lac operon adalah sistem pengendalian ekspresi gen-gen yang

bertanggung jawab dalam metabolisme laktosa (Yuwono, 2005). Operon

Page 32: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

16

laktosa terdiri atas 3 gen struktural utama (lacZ, lacY, dan lacA) yang berfungsi

menyandikan protein untuk melakukan fungsinya dalam sel. Gen lacZ

mengkode enzim β-galaktosidase yang menghasilkan dua monosakarida yaitu

glukosa dan galaktosa, gen lacY mengkode permease galaktosida yaitu enzim

yang berperan dalam pengangkutan laktosa dari luar ke dalam sel, dan gen lacA

mengkode enzim transasetilase thiogalaktosida yang perannya belum diketahui

secara jelas. Ketiga gen struktural tersebut dikendalikan ekspresinya oleh satu

promoter yang sama dan menghasilkan satu mRNA yang bersifat polisistronik

(Windelspecht, 2007).

Gen regulator lacI yang mengkode suatu protein repressor juga

merupakan bagian sistem pengendalian operon lac. Gen regulator lacI terletak

di luar operon dengan mengkode protein repressor alosterik yang dapat

mengubah operon lac menjadi keadaan off dengan cara mengikatkan diri pada

operator dan menginaktifkan repressor (Campbell dan Reece, 2010).

Promoter lac merupakan komponen utama dari operon lac. Induser

menyebabkan induksi sistem sehingga digunakan untuk produksi protein.

Namun, induksi sulit dilakukan dengan adanya glukosa. Ekspresi dari promoter

lac tidak sepenuhnya diinduksi sampai semua glukosa telah habis digunakan.

Untuk mencapai ekspresi dengan adanya glukosa, promoter lacUV5

mengurangi kepekaan terhadap regulasi katabolit. Pada saat glukosa rendah,

adenosin monofosfat siklik (cAMP) diproduksi dan diperlukan untuk aktivasi

operon lac (Rosano dan Ceccarelli, 2014).

Sistem promoter T7 terdapat dalam vektor pET untuk ekspresi protein

rekombinan. Dalam kasus yang berhasil, protein target dapat mewakili 50%

Page 33: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

17

protein total sel (Graumann dan Premstaller, 2006). Gen yang diinginkan diklon

pada promoter yang dikenali oleh T7 RNA polimerase di bawah kendali

promoter lacUV5. Dengan demikian, sistem dapat diinduksi oleh laktosa atau

Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside (IPTG) (Rosano dan Ceccarelli, 2014).

IPTG merupakan senyawa yang memiliki struktur mirip laktosa dan berfungsi

sebagai induser dalam ekspresi gen di bawah kendali promoter lac. IPTG bukan

merupakan bagian dari jalur metabolisme dan tidak akan dipecah atau

digunakan oleh sel sehingga konsentrasi IPTG yang ditambahkan tetap konstan

dan membuatnya menjadi induser yang lebih baik dari laktosa (Siegel, 2016).

Struktur kimia IPTG dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur kimia IPTG (Sambrook dan Russell, 2006)

Mekanisme ekspresi gen asing dalam E. coli dapat dilakukan melalui

induksi IPTG. Apabila tidak terdapat IPTG, maka protein repressor akan

berikatan dengan operator dan mencegah RNA polimerase untuk dapat

mentranskripsi gen asing sehingga tidak dapat ditranslasi menjadi suatu protein

rekombinan (Gambar 6a). Pada proses induksi IPTG terjadinya ikatan antara

IPTG dan protein repressor. Ikatan tersebut mengakibatkan repressor

terinaktivasi dan tidak dapat berikatan dengan operator sehingga RNA

polimerase sel inang dapat memulai proses transkripsi gen struktural yang

selanjutnya akan ditranslasi menjadi protein yang diinginkan (Gambar 6b)

(Siegel, 2016).

Page 34: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

18

Gambar 6. Mekanisme ekspresi protein (Steinmetz et al., 2014)

2.3.2. Media Kultivasi Escherichia coli

Komposisi dari media kultivasi disesuaikan dengan pertumbuhan yang

optimal dan produksi produk yang diinginkan. Media kultivasi harus

menggabungkan semua makronutrien (sumber karbon dan nitrogen) dan

mikronutrien (mineral dan vitamin) yang dibutuhkan oleh mikroorganisme

(Backlund, 2011). Pada produksi protein rekombinan dalam skala laboratorium,

sel-sel biasanya ditumbuhkan dalam media kompleks seperti Luria Bertani atau

Terrific broth. Namun, untuk produksi protein rekombinan skala besar, defined

(a)

(b)

Page 35: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

19

media lebih disukai karena media ini memungkinkan implementasi kultur fed-

batch berbasis high cell density (Li et al., 2014)

1. Media kompleks (rich media), umumnya mengandung beberapa

komponen tertentu, namun secara kuantitatif mayoritas konstituen yang

ditambahkan bersifat kompleks, seperti yeast extract dan tryptone.

2. Defined media, terdiri atas nutrisi individual dan ditentukan secara kimia

seperti glukosa, (NH4)2HPO4, MgSO4, dan KH2PO4, Na2MoO4.2H2O.

E. coli adalah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam media

kompleks dan media kimiawi berbasis garam yang mengandung sumber karbon.

Selain sumber karbon, E. coli membutuhkan nutrisi untuk biosintesis zat seluler,

pertumbuhan, dan pembentukan produk sehingga kandungan media harus

mensuplai nutrisi yang dibutuhkan seperti hidrogen, karbon, nitrogen, oksigen,

natrium, magnesium, fosfor, kalium dan kalsium yang memiliki fungsi spesifik

selama bioaktivitas pertumbuhan sel (Danquah dan Forde, 2007).

Dalam hal ini, media standar seperti LB digunakan untuk menetapkan

parameter ekspresi umum, namun ekspresi optimum biasanya dicapai setelah

modifikasi kondisi pertumbuhan dengan penggunaan defined media seperti

media DNB. Media yang mengandung yeast extract dan tryptone yang

merupakan protein terhidrolisis pada media kompleks sering digunakan karena

relatif mudah disiapkan dan umumnya menyebabkan kerapatan sel yang tinggi

(Danquah dan Forde, 2007).

Selama pertumbuhan sel dalam media kompleks tidak perlu untuk

mensintesis sebagian besar molekul prekursor (misalnya asam amino) karena

semuanya terdapat dalam media sehingga sel-sel dapat menghabiskan lebih

Page 36: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

20

banyak nutrisi untuk menghasilkan makromolekul yang diperlukan untuk

proliferasi dan dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sel-sel yang

tumbuh dalam defined media (Li et al., 2014).

Berdasarkan studi proteomik dijelaskan mengenai potensi metabolik E.

coli selama pertumbuhan dalam media kompleks dan defined media. Analisis

proteomik kuantitatif juga dilakukan pada sel dalam fase stasioner untuk

menganalisis kemampuan metabolisme serta potensi adaptasi terhadap

perubahan kondisi lingkungan. Perubahan proteomik saat memasuki fase

stasioner dalam media kompleks menunjukkan penurunan yang kuat karena sel-

sel memiliki akses ke reservoir protein yang lebih besar, selain itu enzim yang

dibutuhkan untuk biosintesis asam amino yang hampir tidak ada selama

pertumbuhan dalam media kompleks (Li et al., 2014).

2.5. Produksi dan Pemurnian Protein

2.5.1. Kultivasi dengan Sistem Fermentor

Sistem fermentor menyediakan lingkungan pertumbuhan yang optimal

untuk berbagai jenis kultur. Prinsip dari sistem ini adalah kemampuannya untuk

mengendalikan suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut dan faktor-faktor penting

lainnya untuk pertumbuhan dan ekspresi protein yang efisien (Obom et al.,

2013). Gambar 7. merupakan sistem fermentor dalam proses kultivasi mikroba.

Gambar 7. Sistem Fermentor DASGIP® Parallel (Maurer et al., 2015)

Page 37: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

21

Tabel 2. Bagian-bagian Sistem Fermentor (Obom et al., 2013)

Bagian alat Fungsi

Probe pH untuk pengukuran pH dalam kultur.

Probe pO2 untuk pengukuran kandungan oksigen terlarut di

dalam vessel selama kultivasi.

Pipa harvest untuk pengambilan sampel kultur.

Gas sparger untuk menyediakan infus gas ke dalam kultur.

Poros impeller dan impeller untuk pengadukan kultur dan menjaga keseragaman

kultur di dalam vessel.

Kondensor gas buang untuk menahan kehilangan evaporatif di dalam

vessel dengan cara mendinginkan jalur gas buang.

Pompa reagen untuk kontrol pH dan penambahan nutrisi

Kontrol suhu dicapai dalam vessel dengan menggunakan agitasi impeller

dan jaket pemanas. Sensor yang dimasukkan ke dalam vessel dan umpan balik

dari jaket pemanasan dan pendinginan ini biasanya menghasilkan kontrol suhu

± 0,1°C. Fermentor umumnya memberikan kontrol pH dengan penambahan

asam/basa melalui pompa reagen. Nilai pH terus dipantau dengan upaya

menjaga lingkungan agar optimal untuk pertumbuhan sel (Obom et al., 2013).

Aerasi dipertahankan oleh impeller dengan infus oksigen yang langsung

ke dalam kultur. Pengukuran oksigen dalam larutan biasanya dicapai dengan

probe polarografi yang tidak tersedia untuk kultivasi dalam erlenmeyer.

Kondensor gas buang, memberikan permukaan dingin pada uap dalam aliran

gas untuk mengembun sehingga menjaga volume dan kerapatan kultur. Selain

itu, penambahan antifoam digerakkan oleh probe konduktivitas dalam kultur

untuk mengurangi busa di permukaan sehingga memungkinkan pertukaran gas.

Adanya busa pada permukaan di atas kultur akan membatasi pertukaran gas dan

memperlambat pertumbuhan (Obom et al., 2013).

Pada proses skala besar dengan pertumbuhan populasi dan hasil produk

yang optimal, diperlukan pemahaman tentang kinetika pertumbuhan mikroba.

Page 38: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

22

Setelah media nutrisi yang telah steril diinokulasi dengan mikroorganisme,

empat fase pertumbuhan mikroba terjadi (Gambar 8) (Case et al., 2012).

Gambar 8. Kurva pertumbuhan mikroba (Maier, 2008)

1. Fase Lag

Fase ini merupakan periode sebelum pertumbuhan ketika mikroorganisme

beradaptasi dengan lingkungan baru dan enzim yang dibutuhkan disintesis.

Perpindahan pada media baru dapat menyebabkan perubahan pH,

peningkatan nutrisi dan pengurangan inhibitor pertumbuhan yang tersedia.

2. Fase log (Eksponensial)

Pada fase ini, sel yang telah menyesuaikan diri kemudian melipatgandakan

jumlahnya setiap satuan waktu dan memberikan tingkat pertumbuhan

eksponensial. Tingkat pertumbuhan maksimum ini penting dalam proses

industri yang bergantung pada jenis mikroorganisme dan kondisi fermentasi.

3. Fase Stasioner

Pada fase ini, pertumbuhan melambat karena substrat telah dimetabolisme

dan biomassa tetap konstan karena jumlah sel yang dihasilkan sama dengan

jumlah sel yang mati. Panjang fase stasioner bergantung pada

mikroorganisme dan proses yang digunakan untuk kultur.

Page 39: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

23

4. Fase Kematian

Pada fase ini, jumlah kematian relatif cepat dan jumlah sel menurun secara

geometrik. Sel mati ketika telah menghabiskan semua cadangan energinya.

Dalam proses komersial dan industri fermentasi, biasanya sel terganggu

sebelum fase kematian dimulai.

2.5.2. Fraksinasi Amonium Sulfat

Amonium sulfat, (NH4)2SO4 digunakan untuk pengendapan protein

karena kelarutannya yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk

mengendapkan protein. Prinsip fraksinasi amonium sulfat berdasarkan salting

out yaitu pada konsentrasi garam yang tinggi, garam akan lebih cenderung

mengikat air dan menyebabkan permukaan protein akan menjadi sangat

bermuatan sehingga molekul protein akan saling bergabung dan membentuk

endapan (Duong-Ly dan Gabelli, 2014).

Protein sukar larut dalam air dan sebagian besar membutuhkan sedikit

konsentrasi garam agar tetap stabil. Adanya penambahan garam, dapat

meningkatkan kelarutan protein. Hal ini disebabkan oleh ion anorganik yang

terhidrasi sempurna akan mengikat permukaan protein dan mencegah

penggabungan (agregasi) molekul protein sehingga menjadikannya sebagai

tahap awal pemurnian yang baik untuk protein yang larut dalam jumlah kecil

(Duong-Ly dan Gabelli, 2014).

Kelemahan utama penggunaan salting out untuk memurnikan protein,

yaitu kontaminan sering ikut mengendap dengan protein yang ingin diendapkan.

Untuk mendapatkan sampel protein murni, langkah pemurnian lebih lanjut

Page 40: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

24

seperti kromatografi pertukaran ion dan kromatografi filtrasi gel diperlukan.

Selain itu, protein dalam konsentrasi garam yang tinggi pada akhir percobaan,

sehingga dialisis umumnya merupakan metode terbaik untuk menghilangkan

(NH4)2SO4 dari sampel protein (Duong-Ly dan Gabelli, 2014).

2.6. Karakterisasi Protein

2.6.1. Bicinchoninic Acid

Bicinchoninic Acid (BCA) merupakan analisis kuantitatif untuk

mengetahui konsentrasi protein total dalam sampel. Prinsip dari metode ini

adalah adanya ikatan peptida pada protein yang dapat mereduksi ion Cu2+

menjadi Cu+ dalam larutan alkali (reaksi biuret), ion Cu+ kemudian membentuk

kelat dengan dua molekul asam bicinchoninic membentuk reaksi ungu

kompleks dengan absorbansi kuat pada panjang gelombang 562 nm. Jumlah ion

yang tereduksi sebanding dengan banyaknya protein dalam sampel (He, 2011).

Konsentrasi protein dihitung berdasarkan kurva standar dari sampel

protein yang telah diketahui konsentrasinya (He, 2011). Pada kit BCA terdapat

larutan standar BSA untuk pembuatan kurva standar konsentrasi protein. Kit ini

dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi protein dalam kisaran 20-2000

µg/mL pada pengukuran larutan standar (Khalid, 2012).

Pengujian BCA didasarkan pada dua reaksi kimia, yang pertama adalah

reduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dengan ikatan peptida dalam larutan alkali

(Gambar 9a). Langkah kedua adalah pembentukan kelat antara satu ion Cu+ dan

dua molekul BCA (Gambar 9b) membentuk kompleks ungu. Reduksi Cu

Page 41: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

25

disebabkan oleh empat residu asam amino termasuk sistein atau sistin, tirosin,

dan triptofan yang hadir dalam molekul protein (Huang et al., 2010).

Gambar 9b. Pembentukan kelat Cu+ dengan molekul BCA

Gambar 9. Reaksi dalam BCA (Huang et al., 2010)

Uji BCA lebih objektif dibandingkan dengan uji Bradford, karena ikatan

peptida juga berperan untuk pembentukan warna dan meminimalkan

variabilitas yang disebabkan oleh perbedaan komposisi protein. BCA telah

banyak digunakan untuk menentukan konsentrasi protein karena kemudahan

penggunaan dan sensitivitasnya tinggi. Salah satu kelemahan dari uji BCA

dibandingkan dengan uji Bradford adalah rentan terhadap gangguan oleh

beberapa bahan kimia yang hadir dalam sampel protein, termasuk agen

pereduksi, agen pengkelat dan buffer dengan konsentrasi tinggi yang dapat

dihindari dengan mengencerkan sampel karena dapat mengganggu reaksi

reduksi dan pembentukan kelat (He, 2011).

2

Gambar 9a. Reduksi Cu2+ menjadi Cu+

Cu+

Page 42: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

26

2.6.2. Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis

Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-

PAGE) adalah teknik untuk memisahkan protein berdasarkan kemampuannya

bergerak dalam arus listrik. Prinsip dari SDS-PAGE adalah pemisahan protein

berdasarkan ukuran bobot molekulnya (Sambrook dan Russell, 2006).

Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) adalah senyawa organik dengan rumus

CH3(CH2)11OSO3Na yang merupakan surfaktan anionik yang dapat melarutkan

molekul hidrofobik dan memiliki muatan negatif (sulfat) yang melekat. Protein

akan dilapisi dengan molekul SDS setelah didenaturasi sehingga diperoleh

muatan negatif yang sebanding dengan panjang rantai polipeptida. Penambahan

detergen SDS dapat menghilangkan struktur protein sekunder dan tersier serta

mempertahankan protein sebagai rantai polipeptida (Roy dan Kumar, 2012).

Gambar 10. Denaturasi protein (Roy dan Kumar, 2012)

Pada Gambar 10. menggambarkan yang terjadi pada protein ketika

diinkubasi dan didenaturasi dengan deterjen SDS, bagian atas menunjukkan

protein dengan muatan negatif dan positif dengan gugus R yang bermuatan

dalam protein. H menunjukkan domain hidrofobik dengan gugus R nonpolar

menjauh dari gugus polar yang mengelilingi protein. SDS dapat mengganggu

daerah hidrofobik dan menutupi protein dengan banyak muatan negatif yang

meliputi setiap muatan positif protein karena gugus R bermuatan positif. Protein

Page 43: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

27

yang dihasilkan telah didenaturasi dengan SDS dan sebagai hasilnya telah

mengalami linierisasi (Roy dan Kumar, 2012).

Jika protein didenaturasi kemudian dimasukkan ke dalam matriks gel

dan ditempatkan dalam medan listrik, muatan negatif molekul protein

bermigrasi ke arah elektroda muatan positif dan dipisahkan oleh efek pemisahan

molekul pada tingkat yang sama dengan tidak ada pemisahan berdasarkan

ukuran. Pemisahan protein berdasarkan ukurannya disebabkan oleh adanya gel

akrilamida. Gel akrilamida ini terbentuk oleh polimerisasi akrilamida melalui

ikatan silang (bis-acrylamide) dengan adanya katalis (TEMED) dan inisiator

(APS) serta buffer gel (Tris-HCl). Tingkat polimerisasi gel dapat dikontrol

dengan memvariasikan konsentrasi dari TEMED dan APS. Ukuran relatif dari

monomer akrilamida dan ikatan silang (bis-acrylamide) dapat mengontrol

penyerapan gel, sehingga molekul dapat dipisahkan dengan elektroforesis

berdasarkan muatan, ukuran, dan bentuk (Roy dan Kumar, 2012).

Gel terdiri atas 3/4 resolving gel dan 1/4 stacking gel dengan dua sistem

buffer, sampel dimuat langsung di atas gel. Dalam hal ini ketajaman protein

yang dihasilkan dalam gel akan selebar mungkin. Masalah ini dapat diatasi

dengan polimerisasi stacking gel yang lebih pendek di atas resolving gel.

Stacking yang digunakan untuk membantu memfokuskan protein menjadi pita

yang tajam pada saat memulai running elektroforesis dan resolving gel dengan

berbagai persentase gel akrilamida yang digunakan untuk memisahkan protein

berdasarkan bobotnya. Setelah visualisasi dengan teknik pewarnaan spesifik

protein, ukuran protein dapat diperkirakan melalui perbandingan jarak migrasi,

dengan standar bobot molekul yang diketahui (Roy dan Kumar, 2012).

Page 44: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret hingga Juni 2017 di

Laboratorium Research and Development PT. Bio Farma Bandung.

3.2. Peralatan dan Bahan

3.2.1. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminar Air

Flow (ESCO), Fermentor 1 L (Eppendorf Dasgip), Autoklaf (Tomy SX-700),

Inkubator shaker (Innova® 42), Neraca analitik (Metler Toledo), Magnetic

stirrer (WiseStir®), pH meter (Mettler Toledo SevenMulti), Micropipette

(Thermo Scientific), Finntip (Thermo Scientific), Syringe (Terumo®), Filter,

Centrifugal filter (Millipore Amicon® Ultra-2), Falcon tube (nuc), Glass vial 10

mL, Botol schott (Duran), Accu-jet seed (Bio Rad), Accu-chek active (Roche),

Steriking sealer (Rotosealer RS-120), Microtube, Centrifuge (Minispin Plus

Eppendorf), Multi speed vortex (MSV-3500), Table balance, Centrifuge

(Hettich Zentrifugen Universal 320 R), Preparat, Mikroskop, Waterbath (Julabo

F12), Roller (Rotanta 460R Hetich Zentrifugen), Freezer (Thermo Scientific),

Inkubator (Thermolyne), Spektrofotometer UV-Vis (Biochrom WPA Biowave

DNA), Microplate-96 well, Microplate reader (Biotek Synergy 2),

Elektroforator SDS-PAGE (Bio Rad), Scanner gel documentation (biostep®

ViewPix 700), dan Peralatan gelas (Pyrex).

Page 45: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

29

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Escherichia coli

strain BL21(DE3)/pET28a-HBcAg yang diperoleh dari hasil penelitian PT. Bio

Farma, media Luria Bertani (LB), media Terrific Broth (TB), media Defined

Non-Inducing Broth (DNB) (Lampiran 1), WFI (Milli-Q), Alkohol 96%,

Isopropanol, Kanamisin 80 mg/L, Isopropyl β-D-1-thiogalactopyranoside

(IPTG) 0,5 mM, Antifoam, Crystal violet, Iodin, Safranin, CelLytic™ B, NaCl

0,85%, NaOH 5 M, HCl, (NH4)2SO4, Tris-HCl 50 mM, BCA protein assay kit

(Pierce® 23252), Stacking buffer (Tris HCl 0,5 M pH 6,8), Resolving buffer

(Tris-HCl 1,5 M pH 8,8), Bis-acrylamide 30%, Sodium Dodecyl Sulfate (SDS),

Amonium persulfat (APS) 10%, Tetraetilmetilendiamin (TEMED), Protein

ladder (BenchmarkTM Protein), Kontrol positif HBcAg yang diperoleh dari hasil

penelitian PT. Bio Farma, dan Colloidal coomassie blue.

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Pre-culture E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg (Baltz et al., 2010)

E. coli BL21(DE3) yang mengandung pET28a-HBcAg dalam gliserol

stok diinokulasikan sebanyak 1 ose pada 200 mL variasi media cair (LB, TB,

DNB) yang telah ditambahkan 160 µL kanamisin (80 mg/L). Kultur kemudian

diinkubasi pada suhu 37oC dengan pengocokan 225 rpm selama 16 jam.

3.3.2. Kultivasi E. coli untuk Optimasi Media (Baltz et al., 2010)

Pre-culture diinokulasikan pada 800 mL media cair berbeda (LB, TB,

DNB) di dalam fermentor, kemudian diatur pada suhu 37oC dan %DO (Dissolve

Page 46: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

30

Oxygen) 20%. Kultivasi dilakukan selama 8 jam. Kultur sampel diambil setiap

1 jam untuk dilakukan analisis parameter.

3.3.3. Analisis Parameter

3.3.4.1. Optical Density (OD)

Pengukuran Optical Density (OD) bertujuan untuk mengetahui

terjadinya peningkatan jumlah sel mikroba dalam kultur. Pengukuran OD

dilakukan pada jam ke-0 hingga jam ke-8 dengan interval waktu 1 jam dan

diukur pada panjang gelombang 600 nm dengan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis. Data hasil pengukuran OD600 kemudian diolah

dalam bentuk grafik.

3.3.4.2. Kadar Glukosa

Pengukuran kadar glukosa bertujuan untuk mengukur kadar

glukosa dalam kultur sehingga waktu induksi dapat ketahui ketika tidak

tidak adanya glukosa. Untuk mengukur kadar glukosa, kultur diteteskan

pada strip uji glukosa, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat accu-chek

active. Data hasil pengukuran kemudian dicatat.

3.3.4.3. Pewarnaan Gram Escherichia coli

Pewarnaan gram bertujuan untuk mengamati morfologi sel E. coli

yang tumbuh dalam media kultur dan mengetahui ada tidaknya

kontaminasi. Kultur E. coli sebanyak 1 ose diletakkan pada kaca preparat

dan dibiarkan mengering. Dilakukan pewarnaan gram, setelah itu preparat

dikeringkan. Selanjutnya kultur dilihat di bawah mikroskop dengan

pembesaran secara bertahap yaitu 100x, 400x, dan 1000x.

Page 47: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

31

3.3.4. Kultivasi E. coli untuk Ekspresi HBcAg (Baltz et al., 2010)

E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dalam gliserol stok diinokulasikan

sebanyak 1 ose pada 200 mL media terpilih yang telah ditambahkan 160 µL

kanamisin (80 mg/L). Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC

dengan pengocokan 225 rpm selama 16 jam. Selanjutnya, pre-culture

diinokulasikan pada 800 mL media terpilih di dalam fermentor, diatur pada suhu

37oC dan % DO (Dissolve Oxygen) 20%.

Kultur cair diinduksi menggunakan IPTG dengan konsentrasi 0,5 mM

untuk ekspresi protein. Proses induksi dengan IPTG dilakukan selama 16 jam

pada suhu 15oC. Kultur kemudian dipanen dan disentrifugasi dengan kecepatan

4000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan dibuang, kemudian pelet

disimpan pada suhu -20oC.

3.3.5. Lisis sel (Anai et al., 1970)

Lisis sel bertujuan untuk memecah membran sel dan mengeluarkan

protein intraseluler. Pelet sel hasil panen ditambahkan buffer lisis (Lampiran 2)

dengan perbandingan 5 mL per gram sel. Suspensi digoyangkan di atas roller

pada suhu 25oC hingga gumpalan sel larut. Setelah itu, lisat sel disentrifuge pada

4000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan diambil dan pelet dibuang.

3.3.6. Fraksinasi dengan Amonium Sulfat (Janson dan Ryden, 1989)

Fraksinasi amonium sulfat bertujuan untuk pemurnian protein dengan

optimasi pada beberapa variasi konsentrasi. Amonium sulfat dimasukkan ke

dalam lisat sel dengan variasi konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, 80%. Campuran

Page 48: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

32

tersebut digoyangkan di atas shaker pada suhu 4oC selama 16 jam. Selanjutnya

disentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC.

Endapan dipisahkan dan diresuspensikan dengan bufer tris-HCl 50 mM

pH 8. Supernatan dimasukkan ke dalam Amicon® ultra centrifugal filter

kemudian disentrifugasi sehingga protein akan tertahan dalam membran. Buffer

tris-HCl 50 mM pH 8 ditambahkan ke dalam protein untuk menggantikan

keberadaan amonium sulfat dalam sampel.

3.3.7. Karakterisasi Produk Target

3.3.7.1. BCA (Bicinchoninic Acid) (Smith et al., 1985)

Metode BCA bertujuan untuk mengukur konsentrasi protein total

dalam sampel.

3.3.7.1.1. Preparasi larutan standar BSA

Larutan standar BSA diencerkan ke dalam beberapa tabung

mikrosentrifuge dengan kisaran 25-2000 µg/mL.

Tabel 3. Larutan standar BSA

Vial Volume diluent

(µL)

Volume BSA

(µL)

Konsentrasi BSA

(µg/mL)

A 0 300 dari stok 2000

B 125 375 dari stok 1500

C 325 325 dari stok 1000

D 175 175 dari vial B 750

E 325 325 dari vial C 500

F

G

H

I

325

325

400

400

325 dari vial E

325 dari vial F

100 dari vial G

0

250

125

25

0 = blank

3.3.7.1.2. Preparasi BCA working reagent

BCA reagen A dan reagen B dicampurkan dengan

perbandingan (50:1, Reagent A:B)

Page 49: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

33

Tabel 4. Reagen BCA

BCA Reagen A BCA Reagen B

Natrium karbonat, natrium bikarbonat,

asam bicinchoninic, dan natrium tartarat

dalam natrium hidroksida 0,1 M

tembaga sulfat 4%

3.3.7.1.3. BCA assay

Standar BSA dan sampel dipipet ke dalam microplate 96-well

masing-masing sebanyak 25 µL dan dilakukan secara triplo. Kemudian

working reagent ditambahkan ke dalam sampel perbandingan

sampel:reagen (1:8). Microplate diinkubasi pada suhu 37°C selama 30

menit, kemudian hasil reaksi dibaca pada panjang gelombang 562 nm

dengan microplate reader.

3.3.7.2. SDS-PAGE (Laemmli, 1970)

Metode SDS-PAGE bertujuan untuk mengetahui keberadaan

protein target HBcAg dalam sampel.

3.3.7.2.1. Preparasi gel

Gel yang digunakan terdiri atas dua bagian yaitu stacking gel

dan resolving gel. Proses pembuatan stacking gel dilakukan dengan cara

mencampurkan ddH2O, bis-acrylamide 30%, stacking buffer (Tris HCl 0,5

M pH 6,8), SDS, kemudian ditambahkan APS dan TEMED. Untuk

pembuatan resolving gel dilakukan dengan cara mencampurkan ddH2O,

bis-acrylamide 30%, resolving buffer (Tris-HCl 1,5 M pH 8,8), SDS,

kemudian ditambahkan APS dan TEMED. Larutan untuk pembuatan gel

dipastikan harus homogen sehingga gel terbentuk dengan sempurna.

Resolving gel dimasukan ke dalam kaca cetakan setinggi batas atas, lalu

Page 50: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

34

dibiarkan sampai membeku. Isopropanol secukupnya dapat digunakan

untuk meratakan resolving gel. Setelah resolving gel membeku, bagian

atas kaca cetakan yang kosong diisi dengan stacking gel.

3.3.7.2.2. Preparasi sampel

Buffer sampel dan sampel dimasukkan ke dalam microtube

dengan perbandingan 1:2 (buffer sampel:sampel). Selanjutnya divortex,

lalu dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit untuk mendenaturasi

protein. Sampel, ladder, dan kontrol positif HBcAg, masing-masing

dimasukkan ke dalam sumur gel menggunakan mikropipet. Sisiran

pembuat sumur dimasukan ke dalam cetakan. Gel dibiarkan sampai

membeku. Gel selanjutnya ditempatkan dalam wadah (chamber),

kemudian running buffer dimasukkan ke dalam ruang antar gel pada

wadah elektroforesis hingga garis batas.

3.3.7.2.3. Elektroforesis SDS-PAGE

Casting gel dipasang dan alat elektroforesis dirangkai. Wadah

elektroforesis ditutup, lalu disambungkan kabelnya ke sumber arus listrik.

Sumber arus listrik dinyalakan dan alat diatur pada tegangan 120 volt

selama 80 menit hingga migrasi sampel telah mendekati batas bawah gel.

Perlu diperhatikan agar migrasi sampel tidak melewati kaca. Gel

dikeluarkan dari dalam cetakan dengan hati-hati agar tidak robek, lalu

ditempatkan dalam wadah berisi air. Selanjutnya air dibuang.

3.3.7.2.4. Pewarnaan (staining) dan pencucian (destaining)

Larutan staining (colloidal coomassie blue) ditambahkan ke

dalam wadah berisi gel hingga menutupi seluruh permukaan gel. Wadah

Page 51: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

35

gel ditempatkan di atas shaker pada suhu 25oC selama semalaman dengan

rotasi 60 rpm. Larutan staining kemudian dikembalikan ke dalam

wadahnya. Setelah itu, ditambahkan larutan destaining (WFI) hingga

menutupi seluruh permukaan gel. Wadah gel ditempatkan di atas roller

pada suhu 25oC selam 30 menit lalu dibuang. Tahap ini diulangi sebanyak

3 kali. Setelah itu, WFI kembali ditambahkan untuk penyimpanan.

Selanjutnya dilakukan scanning dengan scanner gel documentation.

3.3.8. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan

menampilkan hasil analisis pertumbuhan E. coli dan pemurnian protein dengan

amonium sulfat dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar. Analisis ini

menggambarkan pengaruh variasi media yang digunakan terhadap pertumbuhan

E. coli. Analisis parameter pertumbuhan E. coli ditampilkan secara deskriptif

meliputi kerapatan sel, pH, kadar glukosa, dan morfologi sel. Pemurnian protein

dengan amonium sulfat menggambarkan pengaruh perlakuan yang diberikan,

yaitu konsentrasi amonium sulfat terhadap hasil pemurnian protein HBcAg.

Page 52: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

36

3.4. Diagram Alir Penelitian

Gambar 11. Skema kerja penelitian

Escherichia coliBL21(DE3)/pET28a-

HBcAg

Pre-culture

Media I

Luria Bertani (LB)

Media II

Terrific Broth (TB)

Lisis Sel

Supernatan

0% 20% 40% 60%

SDS-PAGE

Analisis Data

80%

BCA

Endapan

Media III

Defined Non-inducing Broth (DNB)

Kultivasi

37oC

Analisis Parameter:

- OD (Optical Density)

- pH

- Kadar glukosa

- Morfologi sel

Induksi IPTG 15oC

Sentrifugasi

Fraksinasi dengan

Amonium sulfat

Page 53: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pertumbuhan Escherichia coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg

Penelitian ini menggunakan seed Escherichia coli BL21(DE3)/pET28a-

HBcAg yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya PT. Bio Farma. Pada

penelitian ini, dilakukan optimasi media kultivasi untuk mengamati pertumbuhan

E. coli pada media Luria Bertani (LB), Terrific Broth (TB), dan Defined Non-

Inducing Broth (DNB) (Lampiran 1) menggunakan sistem fermentor dengan mode

operasi batch untuk seleksi media berdasarkan fase eksponensial yang tercapai.

Variasi media kultivasi memudahkan manipulasi komposisi media yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba (Chambers dan Swalley, 2009). Menurut

Binder et al., (2016) terlepas dari sistem ekspresi yang digunakan, perbedaan

tingkat ekspresi juga sering terlihat dalam media yang berbeda. Produksi protein

rekombinan Hepatitis B core Antigen (HBcAg) dilakukan pada media terpilih dari

hasil seleksi media.

4.1.1. Pengukuran Optical Density (OD)

Pengukuran Optical Density (OD) pada pertumbuhan E. coli BL21(DE3)

dalam media LB, TB, dan DNB bertujuan untuk seleksi media sehingga dapat

diperoleh media optimum yang dapat menghasilkan pertumbuhan E. coli yang

tinggi untuk produksi protein rekombinan HBcAg. Hasil pengukuran nilai OD

pada panjang gelombang 600 nm (Gambar 12) menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan fase pertumbuhan E. coli BL21(DE3) dari hasil pengukuran kultur

Page 54: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

38

yang dikultivasi pada media LB, TB, dan DNB yang disebabkan oleh perbedaan

komposisi dari masing-masing media kultur tersebut. Komposisi media dapat

berpengaruh terhadap laju pertumbuhan sel (Xu et al., 2005). Menurut Kram dan

Finkel (2015), komposisi media mempengaruhi tekanan yang dialami sel selama

fase eksponensial, bahkan perubahan kecil dalam komposisi media dapat

menyebabkan perubahan drastis pada fisiologi sel. Pada pengukuran OD600 dapat

diamati fase pertumbuhan E. coli antara fase lag, eksponensial, dan stasioner dari

media LB, TB, dan DNB yang dikultivasi dari hasil pre-culture E. coli.

Gambar 12. Kurva pertumbuhan E. coli BL21(DE3)

Gambar 13. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3)

6,104

20,857

15,878

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

OD

600

Waktu (Jam)

LB

TB

DNB

-2

-1

0

1

2

3

4

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

ln O

D600

Waktu (Jam)

LB

TB

DNB

Media µ (/jam)

LB 0,467

TB 0,788

DNB 0,643

Page 55: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

39

Berdasarkan kurva pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada Gambar 12.

fase lag kultur pada media LB terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-1 dengan

nilai OD600 berada pada 0,059-0,216 dan fase lag untuk kultur pada media TB

terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-2 dengan nilai OD600 pada 0,008-0,078,

sementara kultur pada media DNB mengalami fase lag lebih lama yaitu dari jam

ke-0 sampai jam ke-3 dengan nilai OD600 0,039-0,581. Pertumbuhan yang cepat

pada media LB dan TB disebabkan oleh komposisi yang kompleks dalam media,

dalam hal ini kandungan yang kompleks dari yeast extract dan tryptone sebagai

sumber karbon, nitrogen, vitamin, mineral, dan asam amino yang penting dan

dibutuhkan untuk pertumbuhan E. coli (Sambrook dan Russell, 2006).

Dalam penelitian Li et al., (2014) mengenai potensi metabolik E. coli

dalam defined dan rich media, hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa

pertumbuhan lebih lambat diamati pada defined media, dalam hal ini media yang

digunakan yaitu media DNB. Pada media DNB waktu adaptasi yang terjadi lebih

lama dikarenakan media ini harus mensintesis bahan-bahan untuk pembentukan

asam amino dan enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan, sedangkan pada

media LB dan TB yang merupakan media kompleks dengan prekursor

biosintesis (asam amino) sudah terdapat dalam media, maka dapat disalurkan

langsung ke jalur anabolik sehingga mengurangi kebutuhan untuk memproduksi

prekursor biosintesis dan menghemat energi metabolik, dan hal ini berpengaruh

signifikan terhadap karakteristik pertumbuhan dan produksi protein (Hahn-

Hagerdal et al., 2005).

Fase eksponensial pada kultur dalam media LB dicapai pada jam ke-2

sampai jam ke-6 dengan nilai OD600 0,944-6,104, sedangkan kultur dalam media

Page 56: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

40

TB memasuki fase eksponensial pada jam ke-3 sampai jam ke-8 dengan nilai

OD600 0,406-20,857, dan untuk kultur pada media DNB memasuki fase

eksponensial pada jam ke-4 sampai jam ke-8 dengan nilai OD600 1,215-15,878

(Gambar 12). Nilai OD600 yang tertinggi pada fase eksponensial yang tercapai

diperoleh untuk kultur pada media TB dengan nilai OD600 mencapai 20,857

dengan konsentrasi sel 1,67 x 1010 sel/mL (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan

bahwa media TB memiliki kerapatan sel paling tinggi dari dua media lainnya

yang menghasilkan nilai OD600 lebih rendah yaitu DNB mencapai 15,878

dengan konsentrasi sel 1,27 x 1010 sel/mL dan LB hanya dapat mencapai 6,104

dengan konsentrasi sel 4,88 x 109 sel/mL (Lampiran 4). Nilai konsentrasi sel

diperoleh berdasarkan hasil konversi nilai OD600 dengan skala OD600 untuk E.

coli 1,0 adalah 8 x 108 sel/mL (Malwade et al., 2017) . Selain itu, kultur yang

dikultivasi pada media TB juga memiliki nilai laju pertumbuhan spesifik yang

tertinggi yaitu mencapai 0,788/jam dibandingkan dengan kultur pada media

DNB 0,653/jam, dan LB yang hanya mencapai 0,467/jam (Gambar 13). Hal ini

menunjukkan bahwa pada media TB pertumbuhan sel lebih cepat, selain itu

tingginya nilai OD600 dari hasil pengukuran mengindikasikan bahwa jumlah sel

dalam media TB lebih banyak, sehingga diharapkan semakin banyak sel maka

protein yang dihasilkan pada saat ekspresi semakin banyak.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, media DNB tidak mendukung

pertumbuhan kultur yang memuaskan dengan kondisi yang digunakan

dibandingkan dengan media TB dengan rendahnya kerapatan sel yang diperoleh

pada media DNB. Media DNB disiapkan dari komponen yang dimurnikan,

membutuhkan lebih banyak komponen, dan lebih sulit untuk dipersiapkan.

Page 57: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

41

Menurut Danquah dan Forde (2007), media DNB seringkali menyebabkan

kerapatan sel lebih rendah daripada yang dapat dicapai pada media kompleks.

Pada umumnya mikroorganisme dapat tumbuh lebih kuat dalam media

kompleks daripada dalam media garam mineral. Dalam Hahn-Hagerdal et al.,

(2005) dijelaskan bahwa strain E. coli dengan aliran kerangka karbon ke dalam

lengan 2-ketoglutarat dari jalur tricarboxylic acid dan biosintesis dibatasi

sehingga secara langsung mengurangi hasil pertumbuhan dalam defined media

dibandingkan dengan media kompleks. Pengamatan menunjukkan bahwa

keterbatasan inheren seperti stabilitas genetik strain dalam metabolisme strain

hasil rekayasa genetik dapat ditutupi oleh adanya nutrisi kompleks dan seringkali

tidak diamati dalam kultivasi pada defined media (Hahn-Hagerdal et al., 2005).

Pada media TB, nutrisi kaya yang dilengkapi gliserol sebagai sumber

karbon tambahan dan sistem buffer memberikan keuntungan dibandingkan

dengan media kompleks lain yang diuji dari pertumbuhan kultur E. coli

BL21(DE3) dalam penelitian ini. Penggunaan gliserol sebagai sumber karbon

pada media TB dapat mengurangi akumulasi dari produk samping yang dapat

menghambat pertumbuhan dan adanya sistem buffer dalam media dapat menjaga

pH kultur. Danquah dan Forde (2007) juga menjelaskan bahwa kandungan yeast

extract yang tinggi, tryptone, dan buffer fosfat memungkinkan pertumbuhan sel

yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan biomassa dan produktivitas

spesifik, dalam hal ini kandungan yeast extract pada media TB hampir 5x lebih

besar dari media LB dan kandungan tryptone dalam media TB juga lebih besar.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa media TB diduga paling

sesuai untuk produksi protein HBcAg berdasarkan kondisi yang digunakan

Page 58: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

42

dengan nilai kerapatan sel dan laju pertumbuhan spesifik tertinggi. Kultivasi E.

coli dalam media TB selanjutnya dilakukan untuk ekspresi protein HBcAg.

4.1.2. Pengukuran pH

Pengukuran pH pada pertumbuhan E. coli BL21(DE3) dalam media LB,

TB, dan DNB bertujuan untuk memonitoring nilai pH dalam kultur dan

diharapkan penurunan atau kenaikan pH yang diamati tidak terlalu signifikan

yang dapat menyebabkan pertumbuhan E. coli dalam media dapat terhambat.

Menurut Collins et al., (2013) pertumbuhan yang tinggi, biomassa yang optimal,

dan produksi protein dicapai pada pH mendekati netral.

Gambar 14. pH kultur pada media LB, TB, dan DNB

Hasil pengukuran pH pada Gambar 14. menunjukkan bahwa pada media

LB, kenaikan pH sudah mulai diamati pada awal kultur. Dalam kasus ini, diduga

tidak adanya tingkat sumber karbon tambahan yang cukup pada media LB,

sehingga sumber karbon dari peptida dan degradasi protein mungkin terjadi yang

selanjutnya menyebabkan pelepasan amonium sehingga kenaikan pH dapat

diamati (Collins et al., 2013). Menurut Hahn-Hagerdal (2005), sel bakteri dalam

5

5,5

6

6,5

7

7,5

8

8,5

9

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

pH

Waktu (Jam)

LB

TB

DNB

Page 59: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

43

media kompleks biasanya mengkatalisis asam amino sebagai sumber karbon dan

energi yang menyebabkan pelepasan senyawa nitrogen berlebih dan alkalisasi

kultur. Oleh karena itu, pH kultur dalam media LB meningkat dengan cepat.

Pada media TB dengan menggunakan gliserol sebagai sumber karbon

dapat mengurangi perubahan pH dan juga menunda kenaikan pH (Collins et al.,

2013). Ketika sel menggunakan gliserol sebagai sumber karbon, sel-sel tersebut

dapat menghasilkan asam yang dilepaskan ke dalam media sehingga

mengakibatkan penundaan alkalisasi. Selain itu, buffer dalam media TB juga

cenderung berperan menunda alkalisasi. Buffer fosfat berperan penting untuk

mempertahankan pH fisiologis selama pertumbuhan eksponensial sehingga

perubahan pH yang diamati juga tidak terlalu signifikan (Hahn-Hagerdal, 2005).

Pada media DNB dengan konsentrasi glukosa yang digunakan cukup

tinggi, penurunan pH selama pertumbuhan sel dalam kultur dapat diamati. Hal

ini diduga karena tingginya pertumbuhan sel seiring berkurangnya kadar glukosa

dalam kultur yang digunakan selama pertumbuhan dapat menyebabkan

kepadatan sel yang tinggi sehingga pH kultur dapat turun jauh mendekati 6.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa media TB dianggap mampu

mempertahankan pH selama pertumbuhan E. coli yang ditandai dengan

perubahan pH yang tidak terlalu signifikan dari hasil pengukuran. Kisaran pH

optimum pertumbuhan E. coli yaitu antara 6,5 dan 7,5 (Collins et al., 2013).

4.1.3. Pengukuran Kadar Glukosa

Pengukuran kadar glukosa pada kultur E. coli BL21(DE3) dalam media

LB, TB, dan DNB bertujuan untuk memperkirakan waktu induksi ketika tidak

Page 60: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

44

adanya glukosa dalam kultur. Hal ini karena glukosa merupakan sumber karbon

dan energi utama yang sangat efektif untuk mencegah induksi operon sehingga

induksi sulit dilakukan dengan adanya glukosa (Studier, 2014).

Gambar 17. Kadar glukosa pada media LB, TB, dan DNB

Pada media LB, walaupun tidak adanya kandungan glukosa dalam

media, namun pada jam ke-8 ternyata diidentifikasi bahwa adanya glukosa yang

hadir dalam kultur (Gambar 17). Hal ini diduga bahwa glukosa yang

teridentifikasi ini berasal dari asetat yang merupakan akumulasi produk samping

pada pertumbuhan E. coli dalam media. Asetat merupakan prekursor untuk

glukoneogenesis yaitu sintesis glukosa dari senyawa-senyawa bukan

karbohidrat. Menurut Studier (2014), bakteri dapat mensintesis asetat langsung

dari CO2 yang dihasilkan oleh bakteri tersebut ketika sumber karbon utama

(yeast extract dan tryptone) dalam media habis, maka asetat dapat diproduksi

dan terakumulasi dalam media.

Pada media TB hasil pengukuran kadar glukosa tidak terdeteksi dalam

kultur. Dalam hal ini, adanya gliserol sebagai sumber karbon tambahan dalam

media TB, memiliki keuntungan yaitu gliserol tidak dimetabolisme menjadi

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 2 4 6 8 10

Kad

ar G

luko

sa (

g/L

)

Waktu (Jam)

LB

TB

DNB

Page 61: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

45

asetat sehingga kemungkinan adanya glukosa dalam kultur berkurang

(Sambrook dan Russel, 2006).

Analisis kultur dalam media yang dilengkapi glukosa pada media DNB

menunjukkan terjadinya penipisan glukosa dalam kultur. Hal ini

mengindikasikan pertumbuhan sel semakin meningkat sehingga sumber karbon

dalam hal ini glukosa dalam media DNB akan menipis, akan tetapi akumulasi

asetat dapat terjadi lebih cepat. Ketika kadar asetat yang terakumulasi tinggi

maka hal ini dapat menghambat pertumbuhan dari E. coli, yang membatasi

pertumbuhan sel lebih lanjut dan oleh karenanya juga dapat menghambat

produksi protein (Collins et al., 2013).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada media TB dengan tidak

adanya kandungan glukosa yang teridentifikasi dalam kultur, maka induksi dapat

dilakukan tanpa memperhatikan kadar glukosa yang mungkin hadir selama

pertumbuhan dalam media TB. Selain kadar glukosa, faktor lain yang dapat

mempengaruhi induksi yaitu suhu, waktu induksi, dan konsentrasi IPTG

(Sivashanmugam et al., 2009).

4.1.4. Pengamatan Morfologi Sel

Pengamatan morfologi sel secara mikroskopis dilakukan dengan

pewarnaan gram untuk mengkonfirmasi bahwa selama kultur hanya E. coli yang

tumbuh dalam media. Pembesaran mikroskop yang digunakan pada pengamatan

morfologi sel dalam penelitian ini adalah 1000x (100x pembesaran lensa objektif

dan 10x pembesaran lensa okuler).

Page 62: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

46

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kultur E. coli pada ketiga

media telah dikonfirmasi tidak terkontaminasi (Gambar 21, Lampiran 4). E. coli

yang teramati berbentuk batang dan berwarna merah. E. coli merupakan bakteri

gram negatif yang tidak dapat mempertahankan zat warna crystal violet pada

saat pewarnaan gram, sehingga akan berwarna merah ketika diamati dengan

mikroskop (Madigan et al., 2006). Hal ini karena E. coli mempunyai dinding sel

tebal berupa peptidoglikan yang terletak diantara membran dalam dan membran

luarnya (Cooper dan Hausman, 2007). Peptidoglikan merupakan komponen

utama dinding sel bakteri yang bertanggung jawab untuk menjaga integritas sel

dan menentukan bentuknya (Hogg, 2005).

4.2. Ekspresi Protein HBcAg

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada optimasi media dengan

menghasilkan pertumbuhan E. coli tertinggi dalam media TB, membuat media ini

dipilih untuk ekspresi protein rekombinan HBcAg. E. coli BL21(DE3)/pET28a

yang mengandung gen HBcAg pada media TB diinduksi dengan IPTG untuk

mengekspresikan protein HBcAg. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

produksi protein dengan induksi IPTG diantaranya yaitu kerapatan sel (OD600)

suhu, waktu induksi, dan konsentrasi IPTG (Sivashanmugam et al., 2009). Protein

rekombinan yang diproduksi oleh E. coli sebagian besar bersifat intraseluler. Oleh

karena itu produksi protein rekombinan biasanya akan sebanding dengan

konsentrasi sel (Nelofer et al., 2013). Sebelum dilakukan induksi, sampel diambil

sebagai t0 (sebelum induksi) untuk dilakukan pengukuran konsentrasi protein total

dan diperiksa protein target HBcAg pada karakterisasi protein.

Page 63: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

47

Gambar 16. Kurva pertumbuhan sel hingga induksi IPTG

Pada Gambar 16. Induksi IPTG dilakukan pada jam ke-4 dengan nilai

OD600 yang dicapai yaitu 0,801 dan konsentrasi sel 6,41 x 108 sel/mL (Lampiran

5). Menurut Chhetri et al., (2015), waktu induksi untuk pertumbuhan optimal pada

media TB dilakukan pada nilai OD600 mencapai 1,0-1,5. Waktu induksi pada OD600

1,0-1,5 dapat diperkirakan berdasarkan kurva pertumbuhan E. coli pada saat

optimasi media. Berdasarkan kurva pertumbuhan media TB pada saat optimasi

media, OD600 1,0-1,5 diperoleh antara jam ke-3 sampai jam ke-4 dengan nilai OD600

pada jam ke-3 yaitu 0,406 dan pada jam ke-4 yaitu 1,466. Induksi dilakukan pada

suhu 15oC sehingga sekitar 30 menit sebelum induksi dilakukan penurunan suhu

hingga mencapai 15oC. Akan tetapi pada kenyataannya waktu penurunan suhu yang

dilakukan ternyata terlalu cepat, sehingga menyebabkan pertumbuhan E. coli sangat

lambat yang dapat diamati dari peningkatan nilai OD600 yang dihasilkan.

Pertumbuhan yang lambat ini dikarenakan E. coli optimum tumbuh pada suhu 37oC

sehingga seiring terjadinya penurunan suhu, pertumbuhan E. coli dapat menurun,

dan OD600 yang dicapai saat induksi pada jam ke-4 hanya mencapai 0,801. Nilai

OD600 yang lebih rendah dapat berpengaruh terhadap konsentrasi total protein yang

dihasilkan. Larentis et al., (2014) dalam penelitiannya melakukan induksi IPTG

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

OD

600

Waktu (Jam)

Optical Density

t0

Induksi IPTG

Harvest cells

t16

2,69 x 109 sel/mL

6,41 x 108 sel/mL

Page 64: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

48

pada media TB untuk ekspresi protein LigB dengan pertumbuhan sel pada OD600

antara 0,75-2,0. Variabel tersebut mempengaruhi pertumbuhan sel dan ekspresi

protein. Induksi pada fase pertumbuhan eksponensial akhir dengan OD600 2,0

menghasilkan konsentrasi sel dan produktivitas LigB yang lebih tinggi.

Pada profil pertumbuhan sel E. coli BL21(DE3) yang mengandung

plasmid pET28a diketahui bahwa induksi untuk ekspresi protein rekombinan

menyebabkan gangguan tingkat pertumbuhan dan peningkatan biomassa sel yang

dimungkinkan lebih rendah. Umumnya pertumbuhan sel berbanding terbalik

dengan laju ekspresi protein rekombinan (Hoffmann dan Rinas, 2004). Ekspresi

protein asing dalam sel inang diketahui dapat mengurangi tingkat pertumbuhannya

(Jhamb dan Sahoo, 2012). Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian Jhamb dan

Sahoo (2012) yang menunjukkan pengaruh proses ekspresi protein terhadap

pertumbuhan sel. Dalam penelitian tersebut, setelah induksi gen XynB, ada

peningkatan 42,6% pada tingkat pertumbuhan spesifik sel BL21 yang

mengekspresikan XynB. Sel yang telah induksi tumbuh lebih cepat sebesar 35%

pada pengukuran OD akhir.

Induksi untuk ekspresi protein pada suhu yang rendah antara 15-20oC

dapat meningkatkan yield protein (Womack, 2011). Menurut Sarramegna et al.,

(2002) protein paling fungsional diproduksi pada 15-20oC dengan level ekspresi 2x

lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 25oC dan 4x lebih besar dibandingkan

dengan suhu 30oC (Gaffar, 2010). Berdasarkan studi empiris, Collins et al., (2013)

telah mengidentifikasi waktu induksi yang optimal pada media TB sesuai dengan

titik deplesi gliserin. Pada saat ini, pertumbuhan E. coli diduga berada pada fase

eksponensial, karena secara umum induksi dilakukan selama fase pertumbuhan

Page 65: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

49

eksponensial ketika sel-sel paling aktif membelah dan mekanisme ekspresi protein

diyakini paling aktif (Kelley et al., 2010). Kultur dipanen pada jam ke-16 setelah

induksi (t16) pada nilai OD600 mencapai 3,636 dengan nilai konsentrasi sel 2,69 x

109 sel/mL (Lampiran 5).

Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan nilai konsentrasi

sel yang diduga bahwa adanya protein yang terekspresikan dengan dilakukannya

induksi. Untuk mengkonfirmasi hal ini maka dilakukan penentuan konsentrasi

protein total dan karakterisasi protein dengan SDS-PAGE.

4.3. Karakterisasi Protein

4.3.1. Penentuan Konsentrasi Protein dengan BCA

Nilai absorbansi yang diperoleh merupakan nilai kuantitas dan sebanding

dengan konsentrasi protein total dalam sampel. Konsentrasi protein yang tinggi

ditandai dengan warna sampel pada pengukuran yang semakin ungu (He, 2011).

Tabel 5. Konsentrasi protein total

Sampel Konsentrasi

(µg/µL)

Lisat

Sebelum induksi

(t0) 3,396

Setelah induksi

(t16) 5,279

Berdasarkan data hasil pengukuran yang ditunjukkan pada Tabel 5. hasil

konsentrasi protein total yang diperoleh setelah induksi lebih besar. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan adanya induksi dapat meningkatkan ekspresi protein

sehingga protein yang dihasilkan lebih tinggi (Briand et al., 2016) dan diduga

proses induksi berhasil dengan adanya peningkatan nilai konsentrasi protein total

yang dihasilkan.

Page 66: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

50

4.3.2. Karakterisasi Protein dengan SDS-PAGE

Hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan pita protein tebal yang diperoleh

sejajar dengan kontrol positif HBcAg pada bobot molekul di bawah 15 kDa dan

diduga pita protein tersebut merupakan protein HBcAg. Bobot molekul HBcAg

dari hasil yang diperoleh dalam penelitian tidak sesuai dengan bobot molekul

HBcAg menurut Letourneur dan Watelet (2012) yang berada pada ukuran 20-22

kDa, hal ini karena E. coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan hasil modifikasi dan bukan native untuk meningkatkan

tingkat ekspresi. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian Hashemikhah

dan Heydari (2016) yang memodifikasi urutan pengkodean HBcAg berdasarkan

kodon E. coli yang digunakan tanpa perubahan asam amino dan menunjukkan

bahwa hasil analisis SDS-PAGE HBcAg menunjukkan pita protein mendekati 14

kDa. Bobot molekul teoritis dari HBcAg yang diekspresikan dalam E. coli adalah

14 kDa (Hashemikhah dan Heydari, 2016).

Gambar 17. Hasil SDS-PAGE protein HBcAg

Pada Gambar 17. sampel lisat sebelum induksi (t0), lisat setelah induksi

pada jam ke-4 (t4) dan lisat hasil panen pada jam ke-16 (t16), menunjukkan bahwa

1 2 3 4 5

kDa

180 115

82

64

49

37

26

19

15

6

Keterangan:

1. Ladder

2. HBcAg (+)

3. Lisat t0

4. Lisat t4

5. Lisat t16

Page 67: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

51

pita protein yang yang sejajar dengan kontrol positif HBcAg pada bobot molekul

di bawah 15 kDa semakin tebal dan diduga bahwa pita protein tersebut

merupakan protein HBcAg. Akan tetapi, kemurnian protein masih rendah yang

terlihat pada kandungan protein lain yang masih tinggi pada hasil SDS-PAGE.

Hasil SDS-PAGE menunjukkan pada lisat sebelum induksi (t0) protein target

belum terekspresikan. Menurut Briand et al., (2016) sistem T7 menghasilkan

ekspresi protein rekombinan yang rendah selama pertumbuhan bakteri sebelum

induksi. Pita protein yang diperoleh semakin tebal pada lisat setelah induksi pada

jam ke-16 (t16). Hal ini menunjukkan bahwa induksi mampu meningkatkan

ekspresi protein sehingga protein yang dihasilkan semakin tinggi setelah

dilakukan induksi (Briand et al., 2016). Oleh karena itu pada jam ke-4 setelah

induksi (Gambar 17), ekspresi protein masih belum optimal. Hal ini ditunjukkan

dari ketebalan pita protein target yang dihasilkan lemah, sementara pada jam ke-

16 setelah induksi, protein terekspresikan dengan baik dan ditunjukkan dengan

ketebalan pita protein target yang kuat (Gambar 17).

Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan peningkatan ketebalan protein

target yang diduga merupakan protein HBcAg menunjukkan adanya peningkatan

ekspresi protein yang dihasilkan pada sebelum induksi dan setelah induksi. Hasil

ini menunjukkan bahwa proses induksi dapat dikonfirmasi berhasil dengan hasil

optimum pada ekspresi setelah 16 jam induksi.

4.4. Pemurnian Protein dengan Fraksinasi Amonium Sulfat

Pelet sel hasil panen dilisis secara enzimatik dengan buffer lisis untuk

memecah sel dan mengeluarkan protein intraseluler. Lisat yang diperoleh

Page 68: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

52

merupakan total protein terlarut yang selanjutnya dilakukan fraksinasi dengan

amonium sulfat. Beberapa variasi konsentrasi amonium sulfat ditambahkan ke

dalam lisat sebagai tahap pemurnian dengan mengendapkan protein. Pada tahap ini

dilakukan optimasi pada beberapa variasi konsentrasi untuk memperoleh

konsentrasi amonium sulfat yang dapat menghasilkan protein target HBcAg yang

murni. Variasi konsentrasi amonium sulfat yang digunakan untuk optimasi

pemurnian protein yaitu pada konsentrasi 0%, 20%, 40%, 60%, dan 80%. Semakin

tinggi konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan, protein yang terendapkan

semakin meningkat (Wingfield, 2016).

Hasil sentrifuge antara pelet dan supernatan dipisahkan dan masing-

masing pelet dilarutkan dalam buffer tris-HCl pH 8. Kandungan protein yang masih

terdapat dalam fraksi supernatan juga dipisahkan dari kandungan amonium sulfat.

Dalam hal ini, fraksi supernatan pada konsentrasi amonium sulfat 20%, 40%, 60%,

dan 80% difilter dengan menggunakan Amicon® ultra centrifugal. Filter ini

digunakan untuk menghilangkan keberadaan garam amonium sulfat dalam larutan

yang mengandung biomolekul dalam hal ini protein melalui ultrafiltrasi. Sampel

dimasukkan ke dalam filter dan disentrifugasi sehingga protein akan tertahan dalam

membran. Buffer tris-HCl pH 8 ditambahkan ke dalam protein untuk menggantikan

keberadaan amonium sulfat dalam sampel. Keberadaan amonium sulfat dalam

sampel dapat mengganggu reaksi BCA saat pengukuran konsentrasi protein total

dalam sampel. Selain itu, pada karakterisasi protein dengan SDS-PAGE ketika

adanya amonium sulfat yang tinggi, gel SDS-PAGE dapat mengalami anomali

karena kandungan garam yang tinggi (Duong-Ly dan Gabelli, 2014).

Page 69: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

53

Pada sampel hasil fraksinasi amonium sulfat dilakukan pengukuran

konsentrasi protein total dalam sampel. Pengukuran ini dilakukan sebagai tahap

awal sebelum dilakukannya karakterisasi dengan SDS-PAGE untuk mengetahui

bahwa adanya pemisahan protein dari masing-masing sampel berdasarkan

konsentrasi protein total yang dihasilkan setelah dilakukan tahap pemurnian.

Gambar 18. Fraksinasi amonium sulfat

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada pelet hasil fraksinasi,

semakin tinggi konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan, konsentrasi protein

total dalam fraksi pelet yang diperoleh semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa

protein yang terendapkan semakin banyak dengan peningkatan konsentrasi

amonium sulfat yang digunakan. Konsentrasi protein total yang diperoleh pada

fraksi pelet 20%, 40%, 60%, dan 80% berturut-turut yaitu 1,479 µg/µL; 1,692

µg/µL; 2,533 µg/µL; dan 2,805 µg/µL. Hasil sebaliknya ditunjukkan oleh fraksi

supernatan, semakin tinggi konsentrasi amonium sulfat yang digunakan,

konsentrasi protein total dalam supernatan semakin kecil. Hal ini sesuai, karena

protein lebih banyak terendapkan pada konsentrasi amonium sulfat yang tinggi,

0

1

2

3

4

5

6

Pel

et

Sup

ernat

an

Pel

et

Sup

ernat

an

Pel

et

Sup

ernat

an

Pel

et

Sup

ernat

an

Pel

et

Sup

ernat

an

0% 20% 40% 60% 80%

Ko

nse

ntr

asi

pro

tein

to

tal

g/µ

L)

Konsentrasi amonium sulfat

Page 70: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

54

kDa

180

115

82

64

49

37

26

19

15

6

sehingga protein dalam supernatan akan berkurang dengan meningkatnya

konsentrasi amonium sulfat. Konsentrasi protein total yang diperoleh pada fraksi

supernatan 20%, 40%, 60%, dan 80% berturut-turut yaitu 1,299 µg/µL; 1,029

µg/µL; 0,455 µg/µL; dan 0,370 µg/µL. Pada fraksi 0% dengan tanpa penambahan

amonium sulfat, hasil konsentrasi protein total yang diperoleh hampir sama dengan

lisat t16, yaitu 5,007 µg/µL konsentrasi protein total terdapat dalam supernatan dan

tersisa dalam pelet sebesar 0,051 µg/µL. Dengan membandingkan hasil fraksinasi

amonium sulfat maka dapat ditentukan bagaimana protein berperilaku selama

fraksinasi dan dapat ditemukan bahwa pada konsentrasi amonium sulfat tertentu,

protein lebih suka mengendap, sehingga efektif untuk meningkatkan protein.

Penggunaan metode ini memungkinkan pemurnian protein dalam ekstrak kasar

(Duong-Ly dan Gabelli, 2014).

Pada hasil fraksinasi dengan amonium sulfat juga dilakukan karakterisasi

protein hasil purifikasi dengan SDS-PAGE. Analisis SDS-PAGE bertujuan untuk

mengkonfirmasi efek konsentrasi amonium sulfat dengan berbagai konsentrasi (0-

80%) terhadap tingkat kemurnian protein HBcAg yang dihasilkan.

Gambar 19. SDS-PAGE hasil fraksinasi amonium sulfat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Keterangan:

1. Pelet 0%

2. Pelet 20%

3. Pelet 40%

4. Pelet 60%

5. Pelet 80%

6. Supernatan 0%

7. Supernatan 20%

8. Supernatan 40%

9. Supernatan 60%

10. Supernatan 80%

11. Ladder

12. HBcAg (+)

Page 71: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

55

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 19. pita protein dari

setiap fraksi sejajar dengan kontrol positif HBcAg dan terdeteksi pada bobot

molekul di bawah 15 kDa. Diduga protein tersebut merupakan protein target

HBcAg. Fraksinasi amonium sulfat adalah cara langsung dan juga diperkenalkan

sebagai langkah awal untuk menghilangkan protein lain dalam ekstrak kasar

(Senphan et al., 2015). Pada konsentrasi 0% yaitu tanpa penambahan amonium

sulfat, pada fraksi pelet menunjukkan tidak ada pita protein yang muncul (Gambar

19. no. 1). Hal ini karena hampir tidak adanya protein yang terendapkan, dan

protein diidentifikasi terdapat dalam supernatan dengan konsentrasi amonium sulfat

0%. Pada fraksi supernatan tersebut menunjukkan bahwa kepadatan pita protein

target paling kuat, namun kemurnian protein yang diperoleh sangat rendah (Gambar

19. no. 6). Hal ini karena semua protein dalam sempel berada dalam supernatan

tanpa adanya pemurnian dengan amonium sulfat.

Park et al., (2015) juga melakukan optimasi konsentrasi amonium sulfat

untuk pemurnian protein rekombinan GA733-FcK dan mengkonfirmasi tingkat

total protein terlarut yang diendapkan dan hasil tertinggi diamati pada konsentrasi

amonium sulfat 40-60% dengan hasil pemurnian protein GA733P-FcK

menunjukkan hasil yang lebih optimum setelah pemurnian menggunakan

konsentrasi 50% amonium sulfat.

Pada penelitian ini, konsentrasi amonium sulfat 20% pada fraksi pelet

(Gambar 19. no. 2), menunjukkan kemurnian yang tinggi pada pita protein target

yang diduga HBcAg dibandingkan dengan konsentrasi lain. Namun, pita lemah

protein target HBcAg juga masih ditunjukkan pada fraksi supernatan hasil

fraksinasi amonium sulfat 20% (Gambar 19. no. 7). Hal ini menunjukkan bahwa

Page 72: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

56

masih terdapat kandungan protein target dalam supernatan dan belum terendapkan

dengan amonium sulfat. Pada kejenuhan 20% ini hampir tidak ada protein pengotor

lain dalam fraksi pelet, semuanya masuk ke dalam supernatan, sehingga kemurnian

HBcAg optimum pada konsentrasi ini.

Pada fraksi pelet dengan konsentrasi amonium sulfat 40%, 60%, dan 80%

menunjukkan pita protein target HBcAg yang dihasilkan semakin tebal, namun

kemurnian protein masih rendah yang dapat dilihat dari kandungan protein lain

yang juga semakin tinggi pada hasil SDS-PAGE (Gambar 19. no. 3,4,5), sedangkan

pada fraksi supernatan dengan konsentrasi 40%, 60%, dan 80% kemurnian protein

semakin tinggi, namun ketebalan pita protein target HBcAg yang dihasilkan

semakin berkurang dan semakin lemah (Gambar 19. no. 8,9,10). Hal ini karena,

pada proses pengendapan dengan amonium sulfat sebagian besar protein

terendapkan. Konsentrasi amonium sulfat 60% dan 80% diduga lebih baik untuk

pengendapan protein, namun kenyataannya, kemurnian protein HBcAg pada hasil

SDS-PAGE menunjukkan hasil sebaliknya. Hal ini karena kehadiran banyak

protein yang berbeda dengan perbedaan hidrasi yang diperlukan dalam larutan

(Duong-Ly dan Gabelli, 2014).

Variasi konsentrasi amonium sulfat menghasilkan pita protein target

HBcAg yang lebih murni pada konsentrasi amonium sulfat 20%. Hal ini

menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut, fraksinasi diduga paling optimum

untuk menghasilkan protein target HBcAg yang lebih murni dengan mengeliminasi

protein lain.

Page 73: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

57

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Simpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah :

1. Pertumbuhan Escherichia coli tertinggi untuk produksi protein rekombinan

Hepatitis B core Antigen (HBcAg) diperoleh pada media Terrific Broth

dengan nilai Optical Density pada jam ke-8 yaitu 20,857 dan laju

pertumbuhan spesifik 0,788/jam.

2. Protein rekombinan HBcAg dapat dihasilkan oleh E. coli

BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dengan hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan

pita protein pada ukuran bobot molekul sekitar 14 kDa yang selanjutnya dapat

digunakan sebagai komponen vaksin terapeutik.

3. Protein HBcAg hasil fraksinasi amonium sulfat menunjukkan pita protein

yang lebih murni pada fraksi pelet dengan konsentrasi amonium sulfat 20%.

5.1. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran untuk pengembangan

penelitian ini adalah :

1. Perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut seperti kromatografi pertukaran ion

dan kromatografi filtrasi gel untuk mendapatkan sampel protein murni.

2. Perlu dilakukan uji Western Blot untuk memastikan protein target yang

diperoleh yaitu HBcAg dan uji ELISA untuk menentukan konsentrasi spesifik

dari HBcAg yang diperoleh.

Page 74: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

58

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. M., Al-Mahtab, M., Uddin, M. H., & Khan, M. S. (2013). HBsAg,

HBcAg, and combined HBsAg/HBcAg-based therapeutic vaccines in treating

chronic Hepatitis B virus infection. Hepatobiliary and Pancreatic Diseases

International, 12(4), 363-369. doi: 10.1016/S1499-3872(13)60057-0

Anai, M., Hirahashi, T., & Takagi, Y. (1970). A deoxyribonuclease which requires

nucleoside triphosphate from Micrococcus lysodeikticus: Purification and

characterization of the deoxyribonuclease activity. Journal of Biological

Chemistry, 245(4), 767-774.

Arief, S. (2009). Buku ajar gastroenterologi-hepatologi: Hepatitis virus (Edisi ke-

3). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Backlund, E. (2011). Impact of glucose uptake rate on recombinant protein

production in Escherichia coli [Master’s thesis]. School of Biotechnology,

Royal Institute of Technology (KTH), Stockholm.

Baltz, R. H., Davies, J. E., & Demain, A. L. (2010). Manual of industrial

microbiology and biotechnology. Washington: ASM Press.

Binder, D., Probst, C., Grunberger, A., Hilgers, F., Loeschcke, A., Jaeger K. E., ...

Drepper, T. (2016). Comparative single-cell analysis of different E. coli

expression systems during microfluidic cultivation. PloS ONE, 11(8), 1-19,

doi: 10.137/journal.pone.0160711

Blumberg, B. (2017). What is Hepatitis B?. Retrieved from: https://www.hepb.org/

what-is-hepatitis-b/what-is-hepb/

Briand, L., Marcion, G., Kriznik, A., Heydel, J. M., Artur, Y., Garrido, C., ...

Neiersa, F. (2016). A self-inducible heterologous protein expression system

in Escherichia coli. Scientific Reports, 6(33037), 1-11. doi:

10.1038/srep33037

Bruce, M. (2010). Contribution of nucleic acids on the structure of recombinant

hepadenavirus core antigens. Virginia: VCU University.

Cahyono, S. B. (2010). Hepatitis B cegah kanker hati!. Yogyakarta: Kanisius.

Campbell, N. A., & Reece, J. B. (2008). Biology (8th ed.). San Franscisco: Pearson

Education.

Case, C., Funke, B., & Tortora, G. (2012). Microbiology: An introduction (11th ed.).

London: Pearson.

Centers for Disease Control and Prevention. (2015, May 31). Viral hepatitis.

Retrieved from: https://www.cdc.gov/Hepatitis/hbv/index.htm

Chambers, S. P., & Swalley, S. E. (2009). Designing experiments for high-

throughput protein expression. Method in Molecular Biology, 498, 19-29. doi:

10.1007/978-1-59745-196-3_2

Page 75: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

59

Chen, Z., Li, Y., Fu, H., Ren, Y., Zou, L., Shen, S., ... Huang, C. (2017). Hepatitis

B virus core antigen stimulates IL-6 expression via p38, ERK and NF-κB

pathways in hepatocytes. Cellular Physiology and Biochemistry, 41(1), 91-

100. doi: 10.1159/000455954

Chhetri, G., Kalita, P., & Tripathi, T. (2015). An efficient protocol to enhance

recombinant protein expression using ethanol in Escherichia coli. MethodsX,

2, 385-391. doi: 10.1016/j.mex.2015.09.005

Collins, T., Azevedo, S. J., da Costa, A., Branca, F., Machado, M., & Casal, M.

(2013). Batch production of a silk-elastin-like protein in E. coli BL21(DE3):

Key parameters for optimisation. Microbial Cell Factories, 12(21), 1-16.

doi:10.1186/1475-2859-12-21

Cooper, G. M., & Hausman, R. E. (2007). The cell: A molecular approach (4th ed.).

Sunderland: Sinauer Associates Inc.

Dandri, M., Lutgehetmann, M., & Petersen, J. (2013). Experimental models and

therapeutic approaches for HBV. Seminars in immunopathology, 35(1), 7-21.

doi: 10.1007/s00281-012-0335-7

Danquah, M. K., & Forde, G. M. (2007). Growth medium selection and its

economic impact on plasmid DNA production. Journal of Bioscience and

Bioengineering, 104(6), 490-497. doi: 10.1263/jbb.104.490

Djauzi, S., & Rambe, D. S. (2013). Imunisasi: Sejarah dan masa depan. Cermin

Dunia Kedokteran-205, 40(6), 468-471.

Duong-Ly, K. C., & Gabelli, S. B. (2014). Salting out of proteins using ammonium

sulfate precipitation. Methods in Enzymology, 541, 85-94. doi:

10.1016/B978-0-12-420119-4.00007-0

Estianti, A. (2007). Hepatitis B dan produksi vaksin pada tanaman. BioTrends, 2

(1), 24-26.

Fan, H. L., Yang, P. S., Chen, H. W., Chen, T. W., ChanD. C., Chu, C. H., ... Hsieh,

C. B. (2012). Predictors of the outcomes of acute-on-chronic Hepatitis B liver

failure. World Journal of Gastroenterology, 18(36), 5078-5083. doi:

10.3748/wjg.v18.i36.5078

Franco, E., Bagnato, B., Marino, M. G., Meleleo, C., Serino, L., & Zaratti L. (2012).

Hepatitis B: Epidemiology and prevention in developing countries. World

Journal of Hepatology, 4(3), 74-80. doi: 10.4254/wjh.v4.i3.74

Gaffar, S. (2010). Produksi protein rekombinan dalam sistem ekspresi Pichia

pastoris. Bandung: Unpad Press.

Ganem, D., & Prince, A. M. (2004). Hepatitis B virus infection: Natural history and

clinical consequences. New England Journal of Medicine, 350(11), 1118-

1129. doi: 10.1056/NEJMra031087

Gerlich, W. H. (2013). Medical virology of Hepatitis B: How it began and where

we are now. Virology Journal, 10(239), 1-25. doi: 10.1186/1743-422X-10-

239

Page 76: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

60

Graumann, K., & Premstaller, A. (2006). Manufacturing of recombinant therapeutic

proteins in microbial systems. Journal Biotechnology, 1, 164–186. doi:

10.1002/biot.200500051

Hahn-Hagerdal, B., Karhumaa, K., Larsson, C. U., Gorwa-Grauslund, M., Gorgens,

J., & van Zyl, W. H. (2005). Role of cultivation media in the development of

yeast strains for large scale industrial use. Microbial Cell Factories, 4(31), 1-

16 doi: 10.1186/1475-2859-4-31

Hardjoeno, U. L. (2007). Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil

laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra.

Hashemikhah, M. S., & Heydari, Z. H. (2016). Simple one-step purification of

Hepatitis B core Antigen in Escherichia coli. Journal of Biomedicine, 1(3),

1-5. doi: 10.17795/jmb-8537

He, F. (2011). BCA (Bicinchoninic Acid) protein assay. Bio-protocol Bio101: e44.

doi: 10.21769/BioProtoc.44

Hepatitis Australia Inc. (2015, July 23). Transmission of Hepatitis B. Retrieved

from: http://www.hepatitisaustralia.com/team/

Ho, C. W., Wen, S. T., Fui, C. C., Tau, C. L., & Beng, T. T. (2009). A preparative

purification process for recombinant Hepatitis B core antigen using online

capture by expanded bed adsorption followed by size exclusion

chromatography. Journal Microbiology and Biotechnology, 19(4), 416-423.

doi: 10.4014/jmb.0804.254

Hoofnagle, J. H., Doo, E., Liang, T. J., Fleischer, R., & Lok, A. S. (2007).

Management of Hepatitis B: summary of a clinical research workshop.

Hepatology, 45(4), 1056-1075. doi: 10.1002/hep.21627

Hogg, S. (2005). Essential microbiology. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.

Huang, T., Long, M., & Huo, B. (2010). Competitive binding to cuprous ions of

protein and BCA in the bicinchoninic acid protein assay. Open Biomedical

Engineering Journal, 4, 271-278. doi: 10.2174/1874120701004010271

Janson, J. C., & Ryden, L. (1989). Protein purification principle, high resolution

methods and applications. New York: VCH.

Jhamb, K., & Sahoo, D. K. (2012). Production of soluble recombinant proteins in

Escherichia coli: Effects of process conditions and chaperone co-expression

on cell growth and production of xylanase. Bioresource Technology, 123,

135-143. doi: 10.1016/j.biortech.2012.07.011

Joseph, B. C., Pichaimuthu, S., Srimeenakshi, S., Murthy, M., Selvakumar, K.,

Ganesan, M., & Manjunath, S. R. (2015). An overview of the parameters for

recombinant protein expression in Escherichia coli. Journal of Cell Science

and Therapy, 6(5), 1-7. doi: 10.4172/2157-7013.1000221

Kelley, K. D., Olive, L. Q., Hadziselimovic, A., & Sanders, C. R. (2010). Look and

see if it is time to induce protein expression in Escherichia coli cultures.

Biochemistry, 49(26), 5405-5407.

Page 77: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

61

Kementrian Kesehatan RI. (2014, September 4). Situasi dan analisis hepatitis.

Retrieved from: www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/

infodatin-Hepatitis.pdf.

Khalid, R. I. (2012). Pemurnian rekombinan protein apoptin dari dua sel inang

Bacillus subtilis 168 dan Escherichia coli BL21 StarTM [Skripsi S1].

Teknologi Bioproses, Universitas Indonesia.

Kram, K.E., & Finkel, S.E. (2015). Rich medium composition affects Escherichia

coli survival, glycation, and mutation frequency during long-term batch

culture. Applied and Environmental Microbiology, 81(13), 4442-4450. doi:

10.1128/AEM.00722-15

Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2012). Buku ajar patologi robbins (7th

ed.). Jakarta: EGC.

Kutscher, S., Bauer, T., Dembek, C., Sprinzl, M., & Protzer, U. (2012). Design of

therapeutic vaccines: Hepatitis B as an example. Microbial Biotechnology,

5(2), 270-282. doi:10.1111/j.1751-7915.2011.00303.x

Laemmli, U. K. (1970). Cleavage of structural proteins during the assembly of the

head of bacteriophage T4. Nature, 227(5259), 680-685.

doi:10.1038/227680a0

Larentis, A. L., Nicolau, J. F., Esteves, G. S., Vareschini, D. T., de Almeida, F. V.,

dos Reis, M. G., ... Madeiros, A. (2014). Evaluation of pre-induction

temperature, cell growth at induction and IPTG concentration on the

expression of a leptospiral protein in E. coli using shaking flasks and

microbioreactor. BMC Research Notes, 7(671), 1-13. doi: 10.1186/1756-

0500-7-671

Letourneur, O., & Watelet, B. Penemu; Bio Merieux Inc. 2012, September 26.

HBcAg expression and diagnostic and therapeutic uses. European Patent EP

1256804 B1.

Li, Z., Nimtz, M., & Rinas, U. (2014). The metabolic potential of Escherichia coli

BL21 in defined and rich media. Microbial Cell Factories, 13(45), 1-17.

doi: 10.1186/1475-2859-13-45

Liang, T. J. (2009). Hepatitis B: The virus and disease. Hepatology, 49(5), 13-21.

doi: 10.1002/hep.22881

Madigan, M. T., Martinko, J. M., & Brock, T. D. (2006). Brock biology of

microorganisms. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Maier, R. M. (2008). Environmental microbiology: Bacterial growth (2nd ed.).

London: Elsevier.

Malwade, A., Nguyen, A., Sadat-Mousavi, P., & Ingals, B. P. (2017). Predictive

Modeling of a Batch Filter Mating Process. Frontiers in Microbiology,

8(461), 1-11. doi: 10.3389/fmicb.2017.00461

Maurer, M. J., Skerker, J. M., Arkin, A. P., Miller, W., Biksacky, M., & Huether-

Franken, C. M. (2015). Automated bioreactor sampling process trigger

Page 78: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

62

sampling for enhancing microbial strain characterization. Application Note,

298, 1-5.

Mustofa, S., & Kurniawaty, E. (2013). Manajemen gangguan saluran cerna:

Panduan bagi dokter umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing.

National Institute of Health. (2013, December 18). Escherichia coli. Retrieved

from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMHT0029491/

National Center for Biotechnology Information. (2017). Taxonomy Browser,

Escherichia coli. Retrieved from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/

Browser/wwwtax.cgi?id=562

Nelofer, R., Rahman, N. Z., Basri, M., & Ariff, A. B. (2013). Optimization of fed-

batch fermentation for organic solvent tolerant and thermostable lipase

production from recombinant E. coli . Turkish Journal of Biochemistry, 38(3),

299-307. doi: 10.5505/tjb.2013.81994

Nurainy, N., Mahardika, D., Nadia, G., Muljono, D. H., Turyadi., Tarwadi., ...

Natalia, D. (2012, November 29-30). Pengembangan vaksin Hepatitis B

berbasis protein rekombinan subunit indonesia. Membangun Sinergi Riset

Nasional untuk Kemandirian Teknologi. Prosiding Seminar Insentif Riset

SINas 2012. Bandung, Indonesia.

Obom, K. M., Magno, A., & Cummings, P. J. (2013). Operation of a benchtop

bioreactor. Journal of Visualized Experiments, 79, 1-6. doi: 10.3791/50582

Overton, T. W. (2014). Recombinant protein production in bacterial hosts. Drug

Discovery Today, 19(5), 590-601. doi: 10.1016/j.drudis.2013.11.008

Park, S., Lim C., Kim, D., & Ko, K. (2015). Optimization of Ammonium Sulfate

Concentration for Purification of Colorectal Cancer Vaccine Candidate

Recombinant Protein GA733-FcK Isolated from Plants. Frontiers in Plant

Science, 6(1040), 1-7. doi: 10.3389/fpls.2015.01040

Radji, M. (2009). Vaksin DNA: Vaksin generasi keempat. Majalah Ilmu

Kefarmasian, 6(1), 28-37.

Rehermann, B., & Nascimbeni, M. (2005). Immunology of Hepatitis B virus and

Hepatitis C virus infection. Nature Reviews Immunology, 5(3), 215-229. doi:

10.1038/nri1573

Rini, I. A., Retnoningrum, D. S., Rachman, E. A., & Nurainy, N. (2016, November

2-3). Construction and overexpression optimization of HBcAg protein with

vector Pet-16b in Escherichia coli BL21(DE3) as a therapeutic vaccine

components. On the Road Towards Sustainable Development. The 6th

International Conference on Mathematics and Natural Sciences 2016.

Bandung, Indonesia.

Riyadhi, S., Maheswari, R. R., Sudarwanto, M., Fransiska., & Ali, M. (2010).

Biosintesis antigen permukaan Hepatitis B “HBsAg100” pada Escherichia

coli dalam rangka produksi protein rekombinan sebagai model imunogen

untuk menghasilkan antibodi. Jurnal Kedokteran Yarsi, 18(2), 129-136.

Page 79: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

63

Rosalina, I. (2012). Hubungan polimorfisme gen TLR 9 (RS5743836) dan TLR 2

(RS3804099 dan RS3804100) dengan pembentukan anti-HBS pada anak

pasca-vaksinasi Hepatitis B. International Journal of Agriculture System,

2(3), 123-127.

Rosano, G. L., & Ceccarelli, E. A. (2014). Recombinant protein expression in

Escherichia coli: advances and challenges. Frontier in Microbiology, 5(172),

1-17. doi: 10.3389/fmicb.2014.00172

Rouse, B. T., & Sehrawat, S. (2010). Immunity and immunopathology to viruses:

what decides the outcome?. Nature Reviews Immunology, 10(7), 514-526.

doi: 10.1038/nri2802

Roy, S., & Kumar, V. (2012). A Practical approach on SDS-PAGE for separation

of protein. International Journal of Science and Research, 3(8), 955-960.

Sa’adah, M. (2016). Konstruksi dan optimasi overekspresi gen pengkode HBcAg

pada Escherichia coli sebagai komponen vaksin terapi [Tesis Magister].

Farmasi, Institut Teknologi Bandung.

Sambrook, J., & Russell, D. W. (2006). Molecular cloning: A laboratory manual

(1st ed). New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Sarramegna, V., Demange, P., Milon, A., & Talmot, F. (2002). Optimizing

functional versus total expression of the human mu-opioid receptor in Pichia

pastoris. Protein Expression Purification, 24(2), 212-220. doi:

10.1006/prep.2001.1564

Senphan, T., Benjakul, S., & Kishimura, H. (2015). Purification and

characterization of trypsin from hepatopancreas of pacific white shrimp.

Journal of Food Biochemistry, 39(4), 388-397. doi: 10.1111/jfbc.12147

Siegel, A. (2016). Setting up a cell optimized for expression of a specific protein.

Retrieved from: https://www.quora.com/How-does-IPTG-induced-gene-

expression-work-at-a-molecular-level/answer/Alex-Siegel

Sivashanmugam, A., Murray, V., Cui, C. Zhang, Y., Wang, J., & Li, Q. (2009).

Practical protocols for production of very high yield of recombinant proteins

using Escherichia coli. Protein Science, 18, 936-948, doi: 10.1002/pro.12

Smith, P. K., Krohn, R. I., Hermanson, G. T., Mallia, A. K., Gartner, F. H.,

Provenzano, M. D., ... Klenk, D. C. (1985). Measurement of protein using

bicinchoninic acid. Analytical Biochemistry, 150(1), 76-85. doi:

10.1016/0003-2697(85)90442-7

Steinmetz, E., Godiska, R., & Mead, D. A. Penemu; Lucigen Corporation. 2014,

January 7. Host-vector system for cloning and expressing genes. US Patent

US 8623652 B2.

Studier, F. W. (2014). Stable expression clones and auto-induction for protein

production in E. coli. Methods in Molecular Biology, 1091, 17-32. doi:

10.1007/978-1-62703-691-7_2

Page 80: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

64

Tan, Q., Ma, S., Hu, J., Chen, X., Yu, Y., Tang, Z., & Zang, G. (2017).

Adenovirus vector harboring the HBcAg and tripeptidyl peptidase II

genes induces potent cellular immune responses in vivo. Cellular

Physiology and Biochemistry, 41(2), 423-438. doi: 10.1159/000456579

Tan, W. S., Dyson, M. R., & Murray, K. (2003). Hepatitis B virus core antigen:

enhancement of its production in Escherichia coli, and interaction of the core

particles with the viral surface antigen. Biological Chemistry, 384, 363-371.

Thomson, A. W., & Knolle, P. A. (2010). Antigen-presenting cell function in the

tolerogenic liver environment. Nature Reviews Immunology, 11, 753-766.

doi: 10.1038/nri2858

Tzeng, H., Tsai, H., Chyuan, I., Liao, H., Chen, C., Chen, P., & Hsu, P. (2014).

Tumor necrosis factor-alpha induced by Hepatitis B virus core mediating the

immune response for Hepatitis B viral clearance in mice model. PLoS one,

9(7), 1-8. doi: 10.1371/journal.pone.0103008

Watts, N. R., Vethanayagam, J. G., Ferns, R. B., Tedder, R. S., Harris, A., & Stahl,

S. J. (2010). Molecular basis for the high degree of antigenic cross-reactivity

between Hepatitis B virus capsids (HBcAg) and dimeric capsid-related

protein (HBeAg): insights into the enigmatic nature of the e-antigen. Journal

Molecular Biology. 398(4), 530-541. doi:10.1016/j.jmb.2010.03.026

Windelspecht, M. (2007). Genetics 101. Westport: ABC-CLIO.

Wingfield, P. T. (2016). Protein precipitation using ammonium sulfate. Current

Protocols in Protein Science, 3, 1-10. doi: 10.1002/0471140864

Womack, C. (2011). By passing common obstacles in protein expression. Austin:

New England BioLabs®inc.

World Health Organization. (2015, July). Hepatitis B. Retrieved from:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204_Jul2014/en/

Xu, Z., Shen, W., Chen, H., & Cen, P. (2005). Effect of medium composition on

the production of plasmid DNA vector potentially for human gene therapy.

Journal of Zhejiang University Science B, 6(5), 396-400. doi:

10.1631/jzus.2005.B0396

Yuge, S., Akiyama, M., & Komatsu. T. (2014). An Escherichia coli trap in human

serum albumin microtubes. Chemical Communications, 50(68), 9613-9784.

doi: 10.1039/c4cc03632h

Yuwono, T. (2005). Biologi molekular. Jakarta: Erlangga.

Page 81: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

65

LAMPIRAN

Lampiran 1. Komposisi media kultivasi E. coli BL21(DE3)

a. LB

Bahan Konsentrasi

(g/L)

Tryptone

Yeast extract

NaCl

10

5

5

b. TB

Bahan Konsentrasi

(g/L)

Tryptone

Yeast extract

Glycerol

KH2PO4

K2HPO4

12

24

5

2,31

12,54

c. DNB

Bahan Konsentrasi

Glucose

(NH4)2HPO4

KH2PO4

Citric acid

MgSO4

Fe(III) citrate

Na2MoO4.2H2O

CoCl2.6H2O

MnCl2.4H2O

CuCl2.2H2O

H3BO3

Zn(CH3COO)2.2H2O

Titriplex III

10,91 g/L

4 g/L

13,3 g/L

1,55 g/L

0,59 g/L

100,8 mg/L

2,1 mg/L

2,5 mg/L

15 mg/L

1,5 mg/L

3 mg/L

33,8 mg/L

14,1 mg/L

Page 82: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

66

Lampiran 2. Komposisi buffer lisis (untuk volume kultur 1 L)

Bahan Volume

(mL)

CelLytic B

Buffer Stok B

Lysozyme

Benzonase

Protease inhibitor

72

8

0,8

0,2

0,06

Lampiran 3. Komposisi gel SDS-PAGE

a. Preparasi SDS-PAGE

Komposisi

Stacking Gel

Resolving Gel

Staining

Destaining

Stacking Buffer (Tris-HCl 0,5 M pH 6,8)

Acrylamide/bis-Acrylamide 30%

APS (Ammonium per sulfate)

TEMED (N,N,’N,’N, Tetra ethyl methylene diamyde)

Resolving Buffer (Tris-HCl 1,5 M pH 8,8)

Acrylamide/bis-Acrylamide 30%

APS (Ammonium per sulfate)

TEMED (N,N,’N,’N, Tetra ethyl methylene diamyde)

Colloidal Coomassie Blue

WFI

b. Pembuatan gel SDS-PAGE

Stacking Gel Resolving Gel

ddH2O

Bis-Acrylamide 30%

Stacking Buffer

SDS

APS 10%

TEMED

975 µL

268 µL

415 µL

50 µL

20 µL

3,5 µL

ddH2O

Bis-Acrylamide 30%

Resolving Buffer

SDS

APS 10%

TEMED

1700 µL

2000 µL

1250 µL

50 µL

70 µL

10 µL

Page 83: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

67

Lampiran 4. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada optimasi media

a. Pre-culture E. coli BL21(DE3) pada media LB

Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*)

Luria Bertani (LB) t0 0,014 1,12 x 107

t16 5,500 4,40 x 109

b. Kultur E. coli BL21(DE3) pada media LB

Waktu (Jam) Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*) pH

0 0,059 4,72 x 107 6,76

1 0,216 1,73 x 108 6,72

2 0,944 7,55 x 108 6,56

3 2,148 1,72 x 109 6,97

4 4,369 3,50 x 109 7,60

5 5,520 4,42 x 109 7,98

6 6,104 4,88 x 109 8,10

7 6,176 4,94 x 109 8,17

8 6,412 5,13 x 109 8,22

22,5 5,374 4,30 x 109 8,38

c. Pre-culture E. coli BL21(DE3) pada media TB

Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*)

Terrific Broth (TB) t0 0,004 3,20 x 106

t16 20,121 1,61 x 1010

d. Kultur E. coli BL21(DE3) pada media TB

Waktu (Jam) Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*) pH

0 0,008 6,40 x 106 7,16

1 0,018 1,44 x 107 7,16

2 0,078 6,24 x 107 7,16

3 0,406 3,25 x 108 7,13

4 1,466 1,17 x 109 7,07

5 4,509 3,61 x 109 7,06

6 10,477 8,38 x 109 6,91

7 16,350 1,31 x 1010 6,84

8 20,857 1,67 x 1010 7,43

20,5 21,200 1,70 x 1010 8,44

Page 84: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

68

e. Pre-culture E. coli BL21(DE3) pada media DNB

Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*)

Defined Non-

Inducing Broth (DNB)

t0 0,005 4,00 x 106

t16 1,720 1,38 x 109

f. Kultur E. coli BL21(DE3) pada media DNB

*) Perhitungan konsentrasi sel kultur E. coli dari nilai Optical Density (OD600) dihitung

menggunakan Agilent Genomics-Bio Calculators.

OD600 1,0 = 8 x 108 sel/mL (htttp://www.genomics.agilent.com/biocalculators/)

g. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media LB

Waktu (Jam) ln OD600 Laju pertumbuhan spesifik

(/Jam)

2 -0,0576 μ =

ln Xt − ln Xo

tt − to

=1,8089 − (−0,0576)

6 − 2

= 0,4666 /jam

3 0,7645

4 1,4745

5 1,7083

6 1,8089

Gambar 20a. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media LB

-0,5

0

0,5

1

1,5

2

0 2 4 6 8 10

ln O

D6

00

Waktu (Jam)

LB

Waktu (Jam) Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*) pH

0 0,039 3,12 x 107 6,88

1 0,117 9,36 x 107 6,88

2 0,279 2,32 x 108 6,86

3 0,581 4,65 x 108 6,84

4 1,215 9,72 x 108 6,81

5 2,440 1,95 x 109 6,76

6 5,018 4,01 x 109 6,66

7 9,556 7,65 x 109 6,38

8 15,878 1,27 x 1010 6,31

22,5 16,851 1,35 x 1010 6,27

Page 85: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

69

h. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media TB

Waktu (Jam) ln OD600 Laju pertumbuhan spesifik

(/Jam)

3 -0,9014 μ =

ln Xt − ln Xo

tt − to

=3,0377 − (−0,9014)

8 − 3

= 0,7878 /Jam

4 0,3825

5 1,5061

6 2,3492

7 2,7942

8 3,0377

Gambar 20b. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media TB

i. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media DNB

Waktu (Jam) ln OD600

Laju pertumbuhan spesifik

(/Jam)

4 0,1947 μ =

ln Xt − ln Xo

tt − to

=2,7649 − 0,1947

8 − 4

= 0,6426 /Jam

5 0,8920

6 1,6130

7 2,2572

8 2,7649

Gambar 20c. Laju pertumbuhan spesifik E. coli BL21(DE3) pada media DNB

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

0 2 4 6 8 10

ln O

D600

Waktu (Jam)

TB

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

0 2 4 6 8 10

ln O

D6

00

Waktu (Jam)

DNB

Page 86: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

70

Gambar 21. Morfologi sel E. coli BL21(DE3) (skala 20 µm)

Lampiran 5. Data pertumbuhan E. coli BL21(DE3) pada ekspresi HBcAg

a. Pre-culture E. coli BL21(DE3) untuk ekspresi protein HBcAg

Media Waktu Optical Density Konsentrasi sel

(sel/mL)*)

Terrific Broth (TB) t0 0,011 8,8 x 106

t16 18,814 1,51 x 1010

b. Kultur E. coli BL21(DE3) untuk ekspresi protein HBcAg

*) Perhitungan konsentrasi sel kultur E. coli dari nilai Optical Density (OD600) dihitung

menggunakan Agilent Genomics-Bio Calculators.

OD600 1,0 = 8 x 108 sel/mL (htttp://www.genomics.agilent.com/biocalculators/)

Waktu (Jam) Waktu

Induksi Optical Density

Konsentrasi sel

(sel/mL)*) pH

0 0,027 2,16 x 107 7,18

1 0,039 3,12 x 107 7,17

2 0,176 1,41 x 107 7,16

3 0,584 4,67 x 107 7,13

4 t0 (Induksi IPTG) 0,801 6,41 x 108 7,14

5 0,819 6,55 x 108 7,16

6 0,871 6,97 x 108 7,16

7 0,973 7,78 x 108 7,17

8 1,061 8,49 x 108 7,18

20 t16 (Harvest cells) 3,636 2,69 x 109 7,24

a. LB b. TB c. DNB

Page 87: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

71

Lampiran 6. Konsentrasi protein total hasil BCA

Sampel Konsentrasi

(µg/mL)*)

Faktor

Pengenceran

Konsentrasi

(µg/mL)

Rata-rata

(µg/mL)

Rata-rata

(µg/µL)

Lisat t0 >2098,750 1 >2098,750

3936,017 3,936 Lisat t0 2x 1776,133 2 3552,266

Lisat t0 5x 863,954 5 4319,768

Lisat t16 >2098,750 1 >2098,750

578,985 5,279 Lisat t16 2x >2098,750 2 >2098,750

Lisat t16 5x 1055,797 5 5278,985

Pelet Amsu 0% 50,924 1 50,924

50,924 0,051 Pelet Amsu 0% 2x 6,040 2 12,081

Pelet Amsu 0% 5x <0,000 5 <0,000

Pelet Amsu 0% 10x <0,000 10 <0,000

Pelet Amsu 20% 823,489 1 823,489

1479,150 1,479 Pelet Amsu 20% 2x 654,214 2 1308,428

Pelet Amsu 20% 5x 352,068 5 1760,342

Pelet Amsu 20% 10x 202,434 10 2024,340

Pelet Amsu 40% 829,770 1 829,770

1692,189 1,692 Pelet Amsu 40% 2x 711,739 2 1423,477

Pelet Amsu 40% 5x 436,049 5 2180,243

Pelet Amsu 40% 10x 233,527 10 2335,267

Pelet Amsu 60% 1119,759 1 1119,759

2532,994 2,533 Pelet Amsu 60% 2x 961,137 2 1922,275

Pelet Amsu 60% 5x 624,555 5 3122,777

Pelet Amsu 60% 10x 396,716 10 3967,163

Pelet Amsu 80% 857,474 1 857,474

2805,192 2,805 Pelet Amsu 80% 2x 933,837 2 1867,674

Pelet Amsu 80% 5x 715,784 5 3578,922

Pelet Amsu 80% 10x 491,670 10 4916,697

Supernatan Amsu 0% >2098,750 1 >2098,750

5006,859 5,007 Supernatan Amsu 0% 2x 2010,885 2 4021,770

Supernatan Amsu 0% 5x 996,848 5 4984,242

Supernatan Amsu 0% 10x 601,457 10 6014,567

Supernatan Amsu 20% 706,150 1 706,150

1299,464 1,299 Supernatan Amsu 20% 2x 528,710 2 1057,421

Supernatan Amsu 20% 5x 304,725 5 1523,625

Supernatan Amsu 20% 10x 191,066 10 1910,660

Supernatan Amsu 40% 453,558 1 453,558

1029,034 1,029 Supernatan Amsu 40% 2x 393,755 2 787,510

Supernatan Amsu 40% 5x 267,610 5 1338,050

Supernatan Amsu 40% 10x 153,702 10 1537,017

Supernatan Amsu 60% 166,055 1 166,055

454,819 0,455 Supernatan Amsu 60% 2x 155,901 2 311,802

Supernatan Amsu 60% 5x 105,474 5 527,370

Supernatan Amsu 60% 10x 81,405 10 814,047

Supernatan Amsu 80% 173,880 1 173,880

369,869 0,370 Supernatan Amsu 80% 2x 142,206 2 284,412

Supernatan Amsu 80% 5x 87,141 5 435,707

Supernatan Amsu 80% 10x 58,548 10 585,477 *) Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan kurva standar (Lampiran 7)

Page 88: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

72

Lampiran 7. Kurva standar pengukuran konsentrasi protein total

a. Lisat t0 dan fraksi pelet

Curve Name

Curve Formula A B C R2

StdCurve Y=C*X^2+B*X+A 0.0631 0.00107 -7.69E-08 0.988

Curve Name

Curve Formula Parameter Value Std. Error 95% CI min 95% CI

max

StdCurve Y=C*X^2+B*X+A A 0.0631 0.0591 -0.0888 0.215

B 0.00107 0.000161 0.000655 0.00148 C -7.69E-08 7.89E-08 -2.80E-07 1.26E-07

Page 89: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

73

b. Lisat t16 dan fraksi supernatan

Curve Name

Curve Formula A B C R2

StdCurve Y=C*X^2+B*X+A 0.063 0.00103 -8.31E-08 0.985

Curve Name

Curve Formula Parameter Value Std. Error 95% CI min 95% CI max

StdCurve Y=C*X^2+B*X+A A 0.063 0.0643 -0.102 0.228

B 0.00103 0.000175 0.000575 0.00148 C -8.31E-08 8.59E-08 -3.04E-07 1.38E-07

Page 90: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

74

Lampiran 8. Jumlah protein total hasil SDS-PAGE

*) Konsentrasi protein hasil pengenceran 10x

Sampel

Konsentrasi

(µg/µL)*)

Reaksi

Jumlah

Protein Total

(µg)

Volume

sampel

(µL)

Volume

air

( µL)

Volume buffer

sampel

( µL)

Volume load

per well

( µL)

Lisat t0 0,394 1 2,362 6 1 3 10

Lisat t16 0,528 1 3,167 6 1 3 10

Pelet Amsu 0% 0,005 1 0,031 6 1 3 10

Pelet Amsu 20% 0,148 1 0,887 6 1 3 10

Pelet Amsu 40% 0,169 1 1,015 6 1 3 10

Pelet Amsu 60% 0,253 1 1,520 6 1 3 10

Pelet Amsu 80% 0,281 1 1,683 6 1 3 10

Supernatan Amsu 0% 0,501 1 3,004 6 1 3 10

Supernatan Amsu 20% 0,130 1 0,780 6 1 3 10

Supernatan Amsu 40% 0,103 1 0,617 6 1 3 10

Supernatan Amsu 60% 0,045 1 0,273 6 1 3 10

Supernatan Amsu 80% 0,037 1 0,222 6 1 3 10

Page 91: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

BIODATA MAHASISWA

IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Sumi Sumiati

Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 06 Juli 1994

NIM : 1113096000006

Anak ke : 1 dari 2 bersaudara

Alamat Rumah : Kp. Cibuluh RT 03 RW 02 Dusun II Desa Karangmulya

Kec. Bojongmangu Kab. Bekasi 17356

Telp/HP. : 081586260706

Email : [email protected]

Hobby/ Keahlian (softskill) : Menulis

PENDIDIKAN FORMAL

Sekolah Dasar : SDN Karangmulya 02 (2001-2007)

Sekolah Menengah Pertama : SMPN 1 Bojongmangu (2007-2010)

Sekolah Menengah Atas : SMAN 1 Bojongmangu (2010-2013)

Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013-2017)

PENDIDIKAN NON FORMAL

1. Sistem Managemen Mutu Berbasis ISO

9001-2008

2. Sistem Managemen Laboratorium

Berbasis ISO 17025-2005

3. Kelas pengetahuan Perbedaan Quality

Control dan Quality Assurance

4. Pengembangan Profesi Manajemen

Pelayanan Kesehatan

5. Profesi Peminatan Kesehatan

Lingkungan

6. Keamanan dan Keselamatan Kerja di

Laboratorium Kimia

7. Kalibrasi dan Perawatan pH Meter dan

Analytical Balance

8. Training and Workshop of Perpect

Weighing Technology

9. Pangan II

:

:

:

:

:

:

:

:

:

No. Sertifikat 067/ISP-S/V/2017

No. Sertifikat 068/ISP-S/V/2017

No. Sertifikat LM/Sert-KP/036/IX/16

No. Sertifikat 031/IAKMIPUSAT/SKP-11/2013

No. Sertifikat 032/IAKMIPUSAT/SKP-11/2013

No. Sertifikat -

No. Sertifikat -

No. Sertifikat -

No. Sertifikat -

Page 92: OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBcAg

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Laboratory Management

of Chemistry (LMC) Jabatan Research and Development (RnD)

Tahun 2014 s.d 2015

PENGALAMAN KERJA

1. Praktek Kerja Lapangan

(PKL) : Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN / 2016

Judul PKL “Sintesis Glukosamin Hidroklorida (GlcN HCl) dengan

Teknik Radiasi Sinar Gamma (𝛾)”

SEMINAR/LOKAKARYA

1. Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian

2. Seminar Nasional Sciencetech Days

2013

November/2013 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)

Desember/2013 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)

3. Seminar Penelitian dan Edukasi

Kesehatan

4. Seminar Nasional Biokimia 2014

Desember/2013 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)

Mei/2014 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)

5. Seminar Profesi Promosi Kesehatan

“Waspada Zika: Temukan Strategi

Pencegahannya”

Oktober/2016 Sertifikat Pemakalah (ada/tidak)