PSIKOLOGI GURU PROFETIK - UIN Ar Raniry
Transcript of PSIKOLOGI GURU PROFETIK - UIN Ar Raniry
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 1
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
PSIKOLOGI GURU PROFETIK
Nikmah Rochmawati
Fakultas Psikologi dan Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Abstrak
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh dampak globalisasi yang hedonis yang membuat adanya
pergeseran kompetensi, karakter, dan spiritual guru dari hakikat yang sebenarnya. Hal ini berbeda
dengan guru zaman dulu yang mempunyai karakter dan kepribadian hakiki seorang guru, yakni
mempunyai nilai-nilai luhur keagamaan yang mampu memberikan kemajuan bagi anak didiknya.
Hal ini kemudian membuat sikap dan penghormatan siswa, orangtua, dan masyarakat terhadap
guru sangatlah berbeda dibandingkan dengan sekarang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini
terjadi karena guru tidak memiliki kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru. Karena
itulah, berdasarkan Permendiknas No. 16 Tahun 2007, seorang guru harus memiliki beberapa
kompetensi wajib, dan tulisan inilah yang akan mendeskripsikannya. Artikel ini berusaha
mengkorelasikan kompetensi wajib yang ada di Permendiknas No. 16 Tahun 2007 dengan hadits-
hadits dan ayat-ayat Al Qur’an terkait kompetensi guru, dan juga mengaitkannya dengan teori
psikologi. Hasil kajian menemukan bahwa guru harus dibekali kompetensi spiritual agar bisa
mendukung empat kompetensi wajib dalam permendiknas, yaitu kompetensi pedagogis, sosial,
kepribadian, dan profesional.
Kata Kunci: Psikologi Guru; Hadits; Al-Qur’an dan Profetik
PROPHETIC TEACHER PSYCHOLOGY
Abstract
This paper is motivated by the impact of hedonistic globalization that makes teacher's competence,
character, and spirituality change. It is different from teachers of the prophet era who have the
character and the essential personality of a teacher, which have the noble religious values that can
provide progress for their students. It has an impact on the reduction of attitudes and respect for
students, parents, and society towards teachers. Why did it happen? It happens because the teachers
do not have good competence. Therefore, based on Permendiknas No. 16 th of 2007, a teacher
must have some core competencies, and this writing will describe it. This article attempts to
correlate the core competencies in Permendiknas No.16th of 2007 with the hadiths and verses of
the Qur’an related to the competence of teachers, and also relate it to the theory of psychology.
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 2
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
The results of the study found that teachers should have spiritual competence in order to support
four core competencies in Permendiknas namely pedagogical, social, personality and professional
competence.
Keywords: Psychology of teachers; Hadith; the Qur’an and Prophetic
Pendahuluan
Globalisasi berdampak luar biasa bagi kehidupan manusia, baik positif maupun negatif.
Teknologi dan peradaban manusia berkembang, namun di sisi lain manusia juga mengalami
degaradasi nilai kehidupan, seperti terkikisnya nilai-nilai keagungan terhadap guru. Hal ini terjadi
karena kompetensi dan karakter guru sudah jauh dari hakikatnya. Hal ini berbeda dengan guru
zaman dulu yang punya karakter dan kepribadian hakiki sehingga mampu memberikan kemajuan
terhadap anak didik. Nilai-nilai luhur keagamaan guru dapat dilihat dari perspektif kezuhudan,
wira’i, keikhlasan, ketawadhuan, spiritualitas, dan etos kerja. Pada zaman dahulu, guru selalu
berwudhu dan menjalankan shalat sunnah dan memakai wangi-wangian. Mereka selalu
mendoakan murid-muridnya di setiap shalat, dan tidak jarang berpuasa sebelum menulis buku. Hal
ini tentu merupakan cerminan dari nilai-nilai spiritualitas guru sehingga melahirkan kepribadian
guru yang hakiki. Dengan kepribadian tersebut, guru tidak lagi mementingkan materi. Mereka
santun dalam mengajar dan menjadi teladan bagi murid-muridnya. Mereka mengajarkan akhlakul
karimah dan menerapkannya dalam perilaku. Kepribadian ini tentu menunjukkan keshalihan lahir
dan batin, yang berimplikasi pada karya dan nama besar mereka. Berbeda halnya guru zaman
sekarang, yang terkooptasi oleh sikap hedonis dan materialistik. Sudah lumrah ungkapan,
“Bayarannya berapa?” “SKnya mana?” “Uangnya tidak sebanding dengan pekerjaan.” Dari sini
saja, jangan berharap ada guru yang mau mendoakan murid-muridnya. Jangan pula berharap
melihat keikhlasan, akhlakul karimah, dan ketawadhuan dalam perilaku mengajar mereka. Hal ini
pula yang kemudian membentuk perilaku dan karakter murid, wali murid, dan masyarakat
terhadap guru. Selvi, K. (2010) menjelaskan bahwa kompetensi guru mempengaruhi nilai,
perilaku, komunikasi, tujuan, dan praktik mengajar mereka di sekolah dan juga mendukung
pengembangan profesional dan studi kurikuler. Jadi, pembahasan tentang kompetensi guru dalam
rangkan untuk meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah sangatlah penting. Ketika kondisi
ideal menguap, hal yang paling rasional adalah memaksa para guru mengikuti aturan-aturan, dan
salah satunya adalah mengikuti aturan dalam Permendiknas No.16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Di dalamnya, guru wajib memiliki kompetensi
wajib, dan inilah yang dibahas dalam artikel ini. Selain itu, artikel ini juga memberikan sentuhan
hadis dan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk memperkuat bahasan dan juga menganalisisnya dengan
menggunakan perspektif psikologis.
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 3
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
Kompetensi Guru dalam Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007
Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan
bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih dan menilai serta mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini melalui
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menegah. Pada Ayat 10: “Kompetensi
adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Dalam Undang-
Undang Guru dan Dosen serta dalam Permendiknas No. 16 Tahun 2007, ada empat (4) kompetensi
wajib yang harus dimiliki guru, yaitu: profesional, pedagogis, kepribadian, dan sosial, dan
keempatnya merupakan satu-kesatuan yang integral. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika sebagian
besar guru saat ini mengalami tekanan pekerjaan yang berdampak signifikan terhadap hubungan
personal dan kesehatan fisik mereka (Shernoff, 2011). Karena itu, menurut Wentzel (2010),
hubungan murid dan guru memainkan peran sangat penting dalam proses belajar mengajar.
Menurut Andrea Solimeno dan koleganya (2008), karakteristik kepribadian siswa, strategi
pembelajaran, dan karakteristik guru juga memainkan peran penting bagi peningkatan kompetensi
profesional dan pengetahuan akademis. Hal ini juga didukung oleh pandangan Whitty, yang
dikutip Cubukcu (2010), yang mengidentifikasi dua sifat guru profesional, yaitu: karakteristik
profesional dan kompetensi profesional. Terkait hal ini, ada tiga dimensi kualitas guru, yaitu
keefektifan guru, kompetensi guru, dan kinerja guru. Selain itu, kompetensi guru merupakan hal
yang sangat vital dalam proses pembelajaran. Hal ini bisa dianalisis dengan standar kompetensi
guru yang memiliki empat komponen, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional. Berikut penjelasan keempat kompetensi itu.
Tabel 1.
Standar Kompetensi Guru berdasarkan Permendiknas No. 16 Tahun 2007
1 Kompetensi
Pedagogik
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
3. Mengembangkan kurikulum dengan baik
4. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi saat
mengembangkan pendidikan
Kompetensi Inti Kompetensi
Utama
No.
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 4
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
2 Kompetensi
kepribadian
3 Kompetensi
Sosial
4 Kompetensi
Profesional
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
7. Berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun dengan murid
8. Melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi
10. Melakukan evaluasi dan tindak lanjut
1. Berperilaku berdasarkan norma yang ada dalam agama, sosial,
hukum dan budaya bangsa Indonesia.
2. Bertindak jujur, berakhlak terpuji dan mampu menjadi teladan
untuk siswa dan masyarakat.
3. Berperilaku sebagai insan yang berwibawa, arif, mantap, dewasa
dan stabil.
4. Memiliki tanggung jawab dan etos kerja yang tinggi, percaya diri
dan bangga sebagai seorang guru.
5. Berpegang teguh terhadap kode etik keprofesian 1. Bersikap inklusif, objektif, dan tidak diskriminatif terhadap
perbedaan jenis kelamin, kondisi fisik, agama, latar belakang
keluarga, ras dan status sosial ekonomi
2. Mampu berkomunikasi secara efektif, santun dan empatik
kepada pendidik, orang tua, tenaga kependidikan dan masyarakat
3. Mampu menyesuaikan diri ketika bertugas di seluruh kawasan
Republik Indonesia yang beragam sosial budayanya.
4. Menjalin komunikasi dengan sesama profesi dan profesi lain baik
secara lisan, tulisan maupun dalam bentuk lain
1. Menguasai struktur, materi, konsep keilmuan yang dapat
mendukung bidang studi yang diampu
2. Memahami standar kompetensi, kompetensi dasar bidang studi pengembangan
3. Secara kreatif mampu mengembangkan materi pembelajaran
4. Mengelaborasi keprofesionalan secara berkesinambungan
melalui tindakan reflektif.
5. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk
melakukan komunikasi dan meningkatkan diri.
Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 16 Tahun 2007
Kompetensi Guru dan Ilmu dalam Perspektif Islam
Empat kompetensi di atas pada dasarnya sudah dijelaskan dalam konsep pendidikan Islam.
Bahkan, empat kompetensi tersebut wajib diberikan ruh kompetensi spiritual, yakni spiritualitas
Islam yang tergambarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, kompetensi guru memang
sangat dihargai dan bahkan dimuliakan. Allah Swt. berfirman yang artinya: ”(Apakah kamu hai
orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS.
Az-Zumar [39]: 9).” Bahkan Nabi Saw. menegaskan: “Kelebihan seorang alim (ilmuwan)
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 5
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
terhadap seorang 'abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang” (HR. Abu
Dawud ).” Dari hal ini, sangatlah jelas bahwa Islam begitu mengagungkan kompetensi guru. Hal
ini dapat dibuktikan dengan menganalisis empat kompetensi dalam Permendiknas di atas dengan
menggunakan hadis-hadis Nabi Saw dan juga ayat ayat Al Qur’an.
Kompetensi Pedagogis
Dalam kaitan dengan kompetensi pedagogis, ada beberapa karakteristik yang harus
dimiliki: pertama, pemahaman wawasan atau landasan kependidikan. Wawasan atau landasan
kependidikan adalah ruang lingkup atau jangkauan pandangan kependidikan dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan (Suhartono, 2008). Dalam Islam, wawasan pendidikan itu terletak
pada bagaimana suatu proses pendidikan bisa ditemukan dengan orang dan institusi yang tepat,
sehingga ilmu yang diperoleh bisa bermanfaat (Zakariya, 2003). Hal ini sesuai dengan hadis Nabi
Saw. dari Anas ra.: “Mencari ilmu itu wajib hukumnya kepada seluruh Muslim. Dan mendapatkan
ilmu bukan pada ahlinya seperti mengalungi babi dengan permata, mutiara dan emas” (HR. Ibnu
Majah).
Kedua, pemahaman terhadap pesarta didik. Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya demi
ayahku dan ibuku, tidak pernah aku melihat seorang pengajar pun sebelumnya (Rasulullah)
ataupun sesudahnya yang lebih baik mengajar darinya. Dan demi Allah, ia tak pernah
membenciku, tidak pula pernah memukulku atau mencaciku. Ia berkata,“Sesunguhnya shalat ini
tidak layak padanya sedikit pun omongan manusia. Hanya dia itu tasbih, takbir dan qiratul
qur’an” (HR. Muslim). Ketiga, pengembangan kurikulum atau silabus. Kurikulum adalah rencana
belajar yang terdiri dari tujuan, materi/isi, strategi pembelajaran, dan evaluasi dalam suatu sekolah
yang mencakup sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan dan harus ditempuh anak didik
(Zakaria, 2003). Kurikulum tidak hanya mengarahkan peserta didik pada penguasaan materi
pembelajaran, tapi juga harus berorientasi pada pengembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Rasulullah SAW bersabda: “Ajarkanlah anak-anak kalian, sesungguhnya mereka
diciptakan untuk suatu zaman yang bukan zaman kalian.”
Keempat, rancangan pembelajaran. Suatu pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa
agar mampu diserap dan diterima anak didik dengan baik (Hikmat, 2011). Allah Swt. berfirman
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok...” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).
Kelima, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis (Mutohar, 2013). Allah Swt.
berfirman yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. ” (QS. An-Nahl
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 77
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
[16]: 125). Hal ini sesuai dengan diskusi dalam hadis Nabi Saw. Dari Abu Hurairah ra, beliau
berkata: ”Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasulullah siapa orang
yang paling berhak aku hormati? Beliau menjawab: Ibumu, ia berkata, kemudian siapa? Beliau
menjawab: Ibumu, ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: kemudian bapakmu, kemudian
saudara terdekatmu” (HR. Muslim).
Keenam, pendayagunaan teknologi pembelajaran. Menggunakan teknologi ketika proses
belajar mengajar sangatlah penting agar pembelajaran menjadi lebih mudah (Munir, 2010). Dalam
Al-Qur’an disebutkan: “Yang mengajar (manusia) dengan mengunakan pena” (QS Al-‘Alaq [96]:
4). Pena di sini adalah bentuk teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Begitu juga dengan
hadis Nabi Saw.: Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa: “Rasulullah Saw. telah bersabda, orang
yang menanggung hidup anak yatim atau yang lainnya, maka saya (Nabi) dan dia seperti dua
orang yang tidak dapat dipisahkan dalam surga,” sambil memberikan isyarah Malik dengan jari
tengah dan telunjuk” (HR. Muslim). Ketujuh, evaluasi hasil belajar, yaitu menilai semua kegiatan
pembelajaran untuk menemukan indikator yang menyebabkan sukses tidaknya pencapaian tujuan
pembelajaran, sehingga dapat dijadikan bahan kajian berikutnya (hikmat, 2011). Dalam kaitan ini,
ada hadis yang menerangkan tentang Jibril yang mengevaluasi Nabi Saw. “Sesungguhnya
Rasulullah adalah orang yang paling dermawan di antara manusia apalagi ketika bulan
Ramadhan. Jibril bertemu dengan Rasulullah dalam setiap malam dalam bulan Ramadhan. Maka
Rasulullah membaca Al-Qur’an ketika Jibril bertemu dengannya. Rasulullah adalah orang yang
paling dermawan dengan kebaikan seperti angin yang berhembus” (Mutafaqun ‘Alaihi).
Kedelapan, pengembangan potensi peserta didik. Umar bin Khattab pernah berkata, “Ajarilah
anak-anakmu berenang, memanah dan perintahlah mereka agar mereka dapat meloncat ke
punggung kuda dengan baik.”
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang harus dimiliki guru atau pendidik
berkenaan dengan pribadi yang arif, berakhlak mulia, dan menjadi teladan bagi anak didiknya
(Hadis, dkk, 2012). Kepribadian guru menentukan perkembangan kepribadian anak didik,
mengingat guru adalah teladan yang akan digugu dan ditiru. Dalam hal ini, Rasulullah Saw.
bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, dan beritakanlah tentang Bani Isra’il dan
janganlah berbuat kesalahan. Dan barang siapa yang berdusta atas namaku (Muhammad)
dengan sengaja, maka disediakan tempat baginya di neraka” (HR. Tirmidzi). Untuk
mengimplementasikan kompetensi kepribadian, guru harus memiliki sikap-sikap: pertama,
tawadhu. Tawadhu berarti takut kepada Allah, tidak sombong, selalu berdzikir dan memohon
ampun kepada Allah. Dalam hal ini, ada sebuah riwayat: “Cukup bagi seseorang yang berilmu
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 78
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
untuk takut kepada Allah. Dan cukup bagi seorang yang bodoh untuk membanggakan ilmunya”
(HR. Ad-Darimi).
Kedua, mampu mengendalikan diri. Seorang guru harus mampu mengendalikan diri.
Kedewasaan dan kematangan kepribadian akan diuji pada saat menghadapi anak didik yang tidak
sesuai dengan harapan. Nabi Saw. bersabda: “Keistimewaan (takjub) dari urusan seorang mukmin.
Sesungguhnya segala urusan mukmin itu baik, dan tidak ada seorang pun yang memilikinya
melainkan orang mukmin (orang yang memiliki ilmu) atau (orang yang hidupnya berkendali
ilmu): apabila ia dapat keburukan, ia akan bersyukur dan akhirnya dapat kebaikan dan apabila
mendapat madharat, ia selalu sabar, maka kebaikan pulalah yang ia dapatkan” (HR. Imam
Ahmad). Ketiga, sifat lemah lembut dan kasih sayang. Guru harus mengembangkan kasih sayang
dan lemah lembut dalam berperilaku dan berproses belajar mengajar, namun tetap tegas dan
konsisten. Kisah dalam hadis Nabi Saw. “Abu Sulaiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami,
beberapa orang pemuda sebaya datang kepada Nabi Saw., lalu kami menginap bersama beliau
selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa
yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah
seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu!
Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya
mengerjakan shalat. Apabila waktu shalat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu
mengumandangkan adzan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam” (HR. Bukhari).
Keempat, jujur. Seorang pendidik harus jujur kepada anak didiknya. Terkait hal ini, “Umar
bin Khattab meriwayatkan: …Jibril berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang hari kiamat!”,
Rasulullah Saw. menjawab: “tentang masalah ini, saya tidak lebih tahu dari engkau” (HR.
Bukhari dan Muslim). Dalam hadis tersebut, Nabi Saw. berkata jujur akan ketidaktahuannya
tentang hari kiamat. Nabi tidak memanfaatkan posisinya sebagai Rasul Allah dengan menjawab
semua pertanyaan. Kelima, menjawab lebih daripada yang ditanyakan. Nabi Saw. bersabda:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
Saw.: “Pakaian apa yang dikenakan oleh orang yang berihram?” Rasulullah Saw. menjawab:
“Orang yang berihram tidak boleh mengenakan baju, serban, celana panjang, penutup kepala,
pakaian yang dicelup wars (jenis tumbuhan) atau za’faran (jenis wewangian). Jika dia tidak
mendapat sepasang sandal, dia boleh memakai sepasang khuff (kaos kaki dari kulit) tetapi harus
dipotong bagian atasnya sehingga tampak mata kakinya” (HR. Bukhari).
Keenam, mengembalikan ilmu kepada Allah Swt. Jika ada hal-hal yang tidak diketahui
dengan jelas, sebaiknya dikembalikan kepada Allah dan tidak merasa paling tahu atau serba tahu.
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 79
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
Ada sebuah hadis: “Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. ditanya tentang anak-
anak orang musyrik. Lalu beliau menjawab: “Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka
kerjakan pada saat ia diciptakan” (HR. Bukhari Muslim). Dari hadis ini, dapat disimpulkan bahwa
Rasulullah tidak selalu menjawab pertanyaan yang diajukan, dan apabila ada hal yang diragukan
atau belum diketahui sama sekali, Nabi Saw. tidak segan mengatakan Allah yang Maha Tahu.
Ketujuh, mengatakan dengan jelas dan terang. Dalam menerangkan suatu pembelajaran, seorang
guru harus menerangkan dengan jelas dan terang. Hal ini sesuai dengan hadis: “Dari Aisyah r.ha.
beliau berkata: “Perkataan Rasulullah adalah ucapan yang sangat jelas, dan dapat memahamkan
orang yang mendengarnya” (HR. Abu Dawud).
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial
dengan semua pihak, termasuk peserta didik yang paling lemah sekalipun (Hadis dkk, 2012).
Diantara kompetensi sosial guru adalah, Pertama, sikap rendah hati. Riwayat dari Iyadh bin Himar
ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar
kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada
yang berbuat aniaya terhadap yang lain” (HR Muslim). Kedua, tidak bersikap sombong. Nabi
Saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka
memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan
menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR.
Muslim). Ketiga, memerhatikan keadaan peserta didik, seperti minat, perhatian, kemampuan dan
jasmani mereka. Sehubungan dengan ini, ada hadis: “Dari Ibnu Mas'ud, Nabi Saw. selalu
menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami” (HR. Bukhari).
Keempat, berkomunikasi dengan santun. Dalam hal ini, Nabi Saw. pernah bersabda: Dari
Mu’awiyyah bin Hakam Sulamy ra. ia berkata: “Ketika aku shalat bersama Rasulullah Saw. pada
saat itu ada seseorang yang bersin-bersin, kemudian aku ucapkan “yarhamukalloh” (semoga
Allah menyayangimu), maka mereka (kaum) pada menoleh kepadaku. Kemudian aku berkata:
“Celakalah ibu-ibu orang itu, apa yang membuat kalian melihat aku?” Maka mereka serentak
memukuli pahanya dengan tangannya. Lalu ketika aku melihat pada mereka, mereka minta aku
untuk diam/jangan bicara. Tetapi akhirnya aku diam, ketika Rasulullah Saw melaksanakan shalat,
“Semoga jadi penebus dosa bapak dan ibuku.” Aku tak pernah melihat seorang pendidik (guru)
sebelumnya dan juga sesudahnya yang lebih baik cara mendidiknya dari Nabi Saw. Demi Allah,
aku tidak dibentuk, tidak dipukul, tidak pula dimaki, akan tetapi beliau berkata: Sesungguhnya
shalat itu tidak dibenarkan ada suatu hal dari ucapan manusia, sesungguhnya shalat itu ialah:
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 80
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
tasbih, takbir dan baca Al-Quran,” atau seperti Rasulullah Saw bersabda: Aku berkata: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku orang baru di zaman jahiliyyah, dan Allah mendatangkan Islam,
dan di antara kami ada orang yang mendatangi dukun, Nabi berkata: “Jangan datangi mereka,
aku berkata: dan diantara kami ada yang bertaruh pada burung, Nabi berkata: itu semua bisa
ditemukan pada hati-hati mereka, maka ia tak akan menolaknya” (HR. Muslim).
Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi yang dipertunjukkan guru sesuai keahliannya
sebagai guru profesional (Hadis dkk, 2012). Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa dimintai fatwa
sedang dia tidak mengerti maka dosanya adalah atas orang yang memberi fatwa” (HR. Ahmad).
Kompetensi Spiritual
Kernochan, R. A., McCormick, D. W., & White, J. A. (2007) menemukan bahwa
mengintegrasikan nilai-nilai spiritual ke dalam pembelajaran memiliki manfaat yang sangat luar
biasa, juga dapat mereduksi masalah-masalah yang muncul yang tidak diharapkan. Ada beberapa
sifat yang harus dimiliki guru terkait kompetensi spiritual, yaitu zuhud, wira’i, ikhlas, dan
tawadhu. Namun, hal yang paling penting dikemukakan adalah sikap zuhud dan wira’i (wara’).
Pertama, zuhud, yaitu kosongnya tangan dari memegang harta dan putusnya hati dari
mengingatnya. Berkaitan dengan zuhud, seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw., “Ya
Rasulullah, tunjukkan kepadaku amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah
dan manusia.” Rasulullah Saw. menjawab, “Hiduplah di dunia dengan berzuhud (bersahaja),
kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya
kamu akan disenangi manusia” (HR. Ibnu Majah). Dalam kaitan ini, zuhud dalam mengajar berarti
mengajar tanpa mengharapkan hal lain selain ridha Allah Swt. Itu berarti seorang guru harus ikhlas
dalam mengajar. Hal ini sesuai hadis Nabi: “Dari ‘Umar bin Khatab r.a: Saya mendengar
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung apa yang diniatkannya,
barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, hijrahnya itu akan mencapai (ridha)
Allah dan Rasulnya. Namun barangsiapa hijrahnya karena kehidupan dunia dan wanita yang
ingin dinikahinya, dia hanya akan mendapat apa yang diniatkannya” (HR. Bukhari, Turmudzi, al-
Nasai, dan Ibnu Majah). Kedua, wara’. Wara’ berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri
supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibn Qayyim Al-Jawziyah memaknai Surah Al-Muddatstsir
ayat 4 sebagai perintah untuk wara’ yang artinya: “Dan pakaian kamu bersihkanlah.” Ayat ini
oleh Qatadah dan Mujahid dimaknai, “Hendaknya kamu membersihkan dirimu dari dosa.”
Sedangkan Ibnu Abbas memaknai ayat itu, “Janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan
dan pengkhianatan.” Menurut Quraisy Shihab, wara’ adalah nilai kesucian jiwa (hati) maupun
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 81
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
PERILAKU
pakaian. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Asy-Syams: 9-10)
Kompetensi Guru dalam Perspektif Psikologi
Sekolah dapat menjadi sumber penyimpangan perilaku siswa karena ketidakpekaan guru
atau sekolah terhadap kebutuhan siswa, ketidaksesuaian kegiatan sekolah dengan harapan siswa,
dan ketidaktepatan guru dalam mengelola pembelajaran dan pemberian tugas. Pada dasarnya,
berkompeten berarti menjadi ahli dalam apa yang dikerjakannya, mengenal betul pekerjaan yang
digeluti, dan selalu menampilkan kinerja terbaik. Untuk dapat berkompeten, perilaku harus
diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan (habituation) dan menghasilkan refleks. Kompetensi
adalah hasil dari pembiasaan atau habituation, reinforcement (penguatan), dan pengkondisian
lingkungan, dan ketiga hal itu sangat penting dalam membentuk perilaku atau kompetensi guru.
Teori behavioristik menjelaskan bahwa untuk membentuk perilaku diperlukan pembiasaan atau
pengulangan, penguatan, dan pengondisian lingkungan (Rochmawati, 2016). Demikian juga social
cognitif theory sangat menekankan urgensi hubungan reciprocal antara lingkungan, perilaku, dan
person.
Gambar 1.
Terbentuknya Perilaku Menurut Social Cognitif Theory
Guru terbaik menunjukkan kepedulian dan bertanggung jawab atas pembelajaran
siswanya. Tujuan akhirnya adalah membantu siswa agar menjadi pelajar mandiri dan self-
regulated (Arends, 2008). Guru yang efektif adalah guru yang mampu menjalin hubungan yang
baik dengan siswa, orang tua, dan koleganya, serta mengembangkan kelas yang berkeadilan sosial
dan demokratis. Guru yang efektif juga mempunyai pengetahuan yang cukup terkait dengan
keilmuannya dan berusaha untuk selalu meningkatkan pengetahuannya dengan menguasai
minimal 3 hal, yaitu: (1) mahir dalam bidang keilmuannya, (2) tumbuh kembang anak didik dan
metode pembelajaran, dan (3) pedagogik. Ketiga hal tersebut mereka pergunakan sebagai landasan
dalam mengajar. Guru yang efektif juga menguasai metode dan strategi pembelajaran yang dapat
meningkatkan motivasi dan ketrampilan siswa, mengembangkan kompetensi berpikir dan problem
solving siswa sehingga dapat mewujudkan siswa yang self regulated. Selain itu, guru yang efektif
LINGKUNGAN PERSON
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 82
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
selalu melakukan refleksi dan berusaha mencari solusi dari setiap persoalan yang dihadapi. Mereka
beranggapan bahwa belajar mengajar adalah sebuah proses berkelanjutan seumur hidup, dan
mereka dapat menggunakan pengetahuannya untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapinya
dengan tepat. Secara umum, guru yang penyayang dianggap lebih efektif dibanding mereka yang
dingin dan menjaga jarak (Arends, 2008).
Sifat dan ranah pengetahuan dikategorikan dalam 7 ranah: pertama, content knowledge
(pengetahuan materi pembelajaran, seperti matematika, bahasa Inggris, sejarah.); kedua,
pedagogical content knowledge (pengetahuan isi pedagogis), yaitu integrasi antara isi dan
pedagogi sebagai bentuk dari kompetensi profesional guru ; ketiga, knowledge of learners
(pengetahuan tentang karakteristik anak didik); keempat, general pedagogical knowledge
(pengetahuan standar pedagogi); kelima, knowledge of educational context yaitu tentang pek
erjaan kelompok, pengaturan sekolah, pembiayaan, keunikan masyarakat dan kultur budaya atau
konteks pendidikan; keenam, curriculum knowledge yaitu pengetahuan tentang program dan
materi sekolah atau kurikulum; ketujuh, knowledge of educational ends purpose and values
pengetahuan tentang nilai-nilai pendidikan, maksud, sasaran, dan dasar filosofis dan historisnya
(Arends, 2008).
Untuk menjadi guru yang kompeten memang membutuhkan proses. Proses ini harus
diiringi dengan proses pembelajaran dan pengembangan diri, sehingga mampu mengikuti
perkembangan zaman dan pengetahuan. Ada beberapa tahapan untuk menjadi guru ahli, yaitu:
pertama, survival stage (tahap bertahan). Kedua, teaching situation stage (tahap situasi mengajar).
Guru pemula akan merasa lebih adekuat dan melewati tahap bertahan tersebut. Berbagai aspek
pengontrolan dan interaksi dengan siswa menjadi suatu rutinitas. Ketiga, students result and
mastery stage (tahap hasil dan penguasaan siswa). Guru yang matang mampu menemukan cara
mengatasi segala kekhawatiran survival maupun situasionalnya. Selama tahapan ini, guru
menguasai dasar-dasar mengajar dan manajemen kelas dan akan mampu mensinkronkan antara
strategi dan materi pengajaran dengan kebutuhan siswa. Yang paling penting adalah guru punya
kepedulian dan memikul tanggung jawab penuh atas pembelajaran siswa. Pada tahap terakhir ini,
guru mengembangkan sesuatu yang disebut expertise (keahlian). Berbeda dengan guru-guru baru,
guru ahli menguasai pedagogi dan pengetahuan tentang subyek yang diajarnya, sehingga mereka
mengetahui kapan dan mengapa mereka menggunakan aspek-aspek tertentu di berbagai macam
situasi (Arends, 2008). Guru pemula dapat mengatasi norma otonomi di sekolah dengan
mengobservasi, berdiskusi, dan bertemu teman-teman sejawat (Arends, 2008). Guru-guru pemula
dapat menjalin komunikasi yang positif dengan kepala sekolah. Interaksi antara guru dan orang
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 83
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
tua dapat berupa laporan tertulis, pertemuan, dan meminta bantuan orang tua jika dibutuhkan
(Arends, 2008). Sedangkan newsletter adalah sarana memberikan informasi mutakhir tertulis
kepada orang tua tentang berbagai kegiatan di kelas (Arends, 2008).
Selain itu, merencanakan topik-topik pertemuan dapat melepaskan stres yang mungkin
dialami guru-guru pemula (Arends, 2008). Guru yang berkompeten memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) Mampu melakukan perencanaan dan memanfaatkan teknologi; (2) Memberikan
motivasi pengajaran dan pembelajaran terhadap siswa; (3) Dapat mengelola kelas; (4) Dapat
membuat tes dan proses pembelajaran yang terstandardisasi; (5) Mampu melakukan penilaian
pembelajaran serta mengetahui peringkat dan kemampuan personal siswa (Arends, 2008). Selain
itu, guru yang berkompeten itu: (1) Mampu menjalin hubungan dengan rekan sejawat, orang tua
dan masyarakat untuk mendukung pembelajaran; (2) Memiliki komitmen dan tanggung jawab
profesional; (3) Memiliki kemampuan komunikasi verbal dan non-verbal dengan media yang
efektif; (4) Memiliki kemampuan strategi pembelajaran yang berdiferensiasi; (5) Memiliki
pengetahuan tentang perkembangan dan pembelajaran dan menguasai materi pokok bidang ilmu
yang diajarkannya (Slavin, 2008).
Kompetensi Guru: Sebuah Catatan Kritis
Dalam konteks Indonesia, kompetensi guru sering kali dipertanyakan. Selain kualitas
pendidikan, juga karena masih banyaknya anomali sosial dan moral yang dilakukan insan terdidik.
Hal ini merupakan tantangan yang harus direspons secara positif oleh lembaga pendidikan di
Indonesia. Mutu dalam bidang pendidikan meliputi mutu input, proses, output, dan outcome. Input
pendidikan dinyatakan bermutu apabila siap berproses yang sesuai dengan standar minimal
nasional di bidang pendidikan. Proses pendidikan dapat dinyatakan bermutu apabila mampu
menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan, sehingga
tujuan pendidikan bisa tercapai dengan baik. Output dinyatakan bermutu apabila hasil belajar yang
dicapai peserta didik baik dalam bidang akademik maupun non-akademik itu tinggi. Outcome
dinyatakan bermutu apabila lulusan cepat terserap dalam dunia kerja maupun lembaga-lembaga
yang membutuhkan, dan stakeholder merasa puas terhadap lulusan dari lembaga pendidikan
tersebut. Jadi, mutu pendidikan itu diawali dari input, proses, output, lalu kemudian dilihat
outcome-nya. Jika hasilnya mengalami peningkatan dan mampu memberikan manfaat, berarti
kualitas pendidikan sudah baik.
Kompetensi guru sebenarnya teraplikasi pada ranah proses belajar mengajar. Kompetensi
pedagogis, sosial, kepribadian, dan profesional guru berlangsung pada proses tersebut yang akan
melahirkan output dan outcome yang diharapkan. Jika prosesnya baik, kemungkinan besar output
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 84
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
dan outcome pendidikan ini akan baik. Namun, ada hal yang harus lebih diperhatikan
dibandingkan empat kompetensi tersebut, yakni kompetensi spiritualitas. Dimensi spiritualitas
sangat penting agar proses belajar-mengajar ini mendapatkan ridha dan pertolongan Allah,
sehingga bisa memberikan hasil terbaik. Dimensi spiritualitas inilah yang harus menjadi
signifikansi dunia pendidikan, karena begitu banyaknya anomali sosial dan moral yang terjadi.
Dimensi spiritualitas ini menjadi faktor penting bagi keempat kompetensi yang sudah ada, agar
berbagai anomali yang membawa ironi ini tereduksi. Ikhtiar berproses belajar mengajar sudah
dilakukan, sedangkan keikhlasan dan keridhaan guru menjadi faktor pendukung. Hal inilah yang
membedakan keberhasilan anak didik. Selain itu, guru yang memiliki kompetensi spiritual akan
mendapatkan penghormatan dari anak didiknya, bahkan meski sang guru sudah meninggal. Karena
kharisma, keteladanan, dan doa guru terhadap anak didik akan kembali kepada guru tersebut dalam
bentuk lain yang tidak bisa diukur dengan materi. Berikut tabel yang menggambarkan kelima
kompetensi itu.
Tabel 2.
Komparasi Kompetensi Guru dalam UUD dan Perspektif Hadis
No
Bidang
Kompetensi
Perspektif
UUD Hadis
Ada/tidak Indikator Ada/tidak Indikator
1. Profesional √ Lihat Tabel 1 √ Lihat Tabel 1
2. Pedagogi √ Lihat Tabel 1 √ Lihat Tabel 1
3. Kepribadian √ Lihat Tabel 1 √ Tawadhu’, mampu
mengendalikan diri, sifat
lembut dan kasih sayang,
berlaku dan berkata jujur.
4. Sosial √ Lihat Tabel 1 √ Tawadlu’, rendah hati
5 Spiritual - Lihat Tabel 1 √ Zuhud, wira’i, ikhlas,
mendoakan muridnya, dan
mencari keberkahan
Saran kepada Pemerintah
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, peran pemerintah sangat
dibutuhkan. Segala kebijakan pendidikan harus memberikan angin segar bagi kemajuan
pendidikan. Selain itu, pemerintah hendaknya tidak mengurangi dana pendidikan atau menyunat
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 85
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
dana tersebut di tingkatan pelaksanaan, karena dana itu akan berguna bagi kemajuan pendidikan.
Pemerintah juga harus meningkatkan selektivitas penerimaan guru. Penilaian akan kompetensi
guru harus benar-benar disesuaikan dengan fakta kemampuan yang ada, sehingga seleksi
penerimaan guru akan lebih terukur dan terarah.
Dalam konsep Islam, guru yang tidak kompeten tidak boleh menjadi guru, karena hal itu
akan sangat berpengaruh terhadap intelektualitas anak didik dan kualitas pendidikan. Jadi, perlu
ada mekanisme yang tepat untuk meningkatkan kompetensi guru dengan melakukan pembinaan
berkelanjutan dalam meningkatkan kognisi, emosi, sosial dan spiritual guru.
Penutup
Kompetensi guru adalah hal yang sangat vital dalam dunia pendidikan, karena hal ini
menyangkut bagaimana berproses untuk bisa mendidik secara berkompeten dan mampu
menghadapi tantangan kehidupan. Karena itu, guru harus dibekali kompetensi spiritual agar bisa
mendukung empat kompetensi yang ada, yaitu kompetensi pedagogis, sosial, kepribadian, dan
profesional. Hal inilah yang menjadi signifikansi dari tulisan ini, di mana kompetensi spiritual
harus dipromosikan dan digalakkan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah, al-
Jami’ As-Shahih (Shahih Bukhari), Juz 4
Arends, Richard I. (2008). Learning to Teach, Belajar Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Cubukcu, Feryal. (2010). Student teachers’ perceptions of teacher competence and their attributions for success and failure in learning. The Journal of International Social
Research 3.10 : 213-217.
Hadis, Abdul dan Nurhayati. (2012). Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Hikmat. (2011). Manajemen Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia Jakarta: Kencana.
Kernochan, R. A., McCormick, D. W., & White, J. A. (2007). Spirituality and the management
teacher: Reflections of three Buddhists on compassion, mindfulness, and selflessness in the
classroom. Journal of Management Inquiry, 16(1), 61-75.
Munir. (2010). Kurikulum Berbasis Kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung:
Alfabeta.
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 86
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]
Mutohar, Prim Masrokan. (2013). Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan
Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. predictors of
engagement, emotional exhaustion, and motivation to leave
Rochmawati, Nikmah. (2016). Kenakalan Remaja dan Kedisiplinan: Perspektif Psikologi dan
Islam. SAWWA, 12 (1), 129-148.
Selvi, K. (2010). Teachers’ competencies. Cultura International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, 7(1), 167-175.
Shernoff, E. S., Mehta, T. G., Atkins, M. S., Torf, R., & Spencer, J. (2011). A qualitative study of
the sources and impact of stress among urban teachers. School mental health, 3(2), 59-69.
Slavin, Robert E. (2008). Psikologi pendidikan Teori dan Praktek, terj. Marianto Samosir. Jakarta:
Indeks
Solimeno, Andrea, et al. (2008). The influence of students and teachers characteristics on the
efficacy of face-to-face and computer supported collaborative learning. Computers &
Education 51.1: 109-128 stress among urban teachers. School mental health, 3.2 : 59-69
Suhartono, Suparlan. (2008). Wawasan Pendidikan: Sebuah Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media the teaching profession. Creative Education, 7.13: 1785-1799
Wentzel, K. (2010). Students’ relationships with teachers. Handbook of research on schools,
schooling, and human development : 75-91 Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zakaria. A. (2003). Jadul Muta’alim. Garut: Ibn Azka.
Copyright @2018 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang | 87
ISSN:2548-4044
Psikoislamedia Jurnal Psikologi
Volume 3 Nomor 1, 2018
[Type text]