Purakasastra edisi 6

56
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 1

description

 

Transcript of Purakasastra edisi 6

Page 1: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 1

Page 2: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 2

DARI REDAKSI

Sahabat Purakasastra,

Tata kemapanan hidup, kerap kali membawa manusia pada zona

aman. Jika kenyamanan, sudah digenggam sampai pada puncaknya,

maka kesempatan berubah sangat minimalis. Orang tidak lagi kritik

atas realitas yang kritis. Sebab, mengeritik dan atau terlibat menjadi

aktor perubahan sosial dapat saja menciderai kenyamanan yang

telah diraih. Logika, sastra tidaklah demikian. Ia selalu tanggap dan

peka terhadap realitas sosial.

Barangkali sastra dan sastrawan, tak pernah tinggal diam. Ia terus

bergerak untuk menemukan hal~hal baru. Proses pergerakan itulah,

yang diulas dalam tema majalah purakasastra edisi ini. Pembaca

dihadapkan pada tulisan berisi gugatan kritis dan provokatif, dalam

jalur mencapai kebaikan bersama. Ada berbagai ulasan, analisis

yang menukik dan menohok dalam edisi majalah kali ini. Tema yang

diusung adalah SASTRA DAN PERUBAHAN SOSIAL.

Realitas sosial yang penuh dengan guncangan maut, tragedi amoral,

pencideraan religius, membawa sastra ikut berceloteh lantang. Ia

berceloteh teruntuk kebahagiaan dan kesejahtraan bersama.

Selamat membaca!

Kami menerima naskah berupa esai, proses kreatif, kritik sastra, cerpen, puisi,

cerita mini, tips menulis, info komunitas, biografi dan opini sastra cyber.

Silakan kirim naskah anda dengan menyertakan biodata dan foto penulis

melalui email [email protected].

Page 3: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 3

EDISI 6 TAHUN II – FEBRUARI 2016

PEMIMPIN REDAKSI : Ricky Richard Sehajun

REDAKTUR PELAKSANA: Ade Junita

DEWAN RUBRIK : Dian Rusdi

Muhammad Ridwan Kholis Nurul Latifah

Riska Hermawati Ellyas Rawamaju

Nilam Ikhwani Adi Septa Suganda

Zahara Putri Elfridus Silman

Yessy Oktaviani Rizal

EDITOR : Nurul Latifah

Riska Hermawati Zahara Putri

DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK :

Ade Junita Fina Wardatul Ummah

DESAIN SAMPUL :

Karna Mustaqim Ade Junita

Purakasastra adalah majalah sastra

independen yang turut serta dalam usaha

membangun dan mengembangkan dunia

kesusastraan nasional.

Untuk informasi pemasangan iklan, kritik dan

saran silakan layangkan melalui email

[email protected].

Temukan kami di:

Purakasastra @purakasastra Majalah Purakasastra

Majalahpurakasastra purakasastra.blogspot.com

Kontak person: 0852 3346 7893

#Beberapa foto ilustrasi dalam majalah ini diambil dari Google.

Keterangan sampul edisi 6: Judul: Sastra dan Perubahan Sosial Oleh: Ade Junita Media: Photoshop CS5 Ukuran: 78,3 x 110,68 Resolusi: 97,324 pixels/inch

Page 4: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 3

CATATAN ANOMALI

Ketika Sastra Menggugat 4

KAJIAN SASTRA

Ketika Karya Sastra Menjadi Doktrin Bagi Pembaca

(Pada Masa Pemasungan Karya Sastra) 7

Sastra Dan Perubahan Sosial 11

Sastra Dan Simbiosis Mutualisme 15

LENTERA SASTRA

Menulis Karya Sastra 18

Menulis Kritik Sastra 21

PARASASTRA

Penyair Dalam Pengaruh Kehidupan Sosial (Emha

Ainun Nadjib) 24

PURAKARYA

Puisi:

Endy Langobelen:

Tapak di Suatu Simpang 28

Puisi Saat Berbuka Puasa 29

Cerpen:

Raden Panji Dan Roro Proboretno 30

M.F. Hazim: Cahaya bening 34

Kinanthi Anggraini, M.Pd:

Di Ujung Piloritas Daun, Kulamar Lelaki Merah

Hati 35

Tombak Teheran: Mahmoud Ahmadijenad 37

Cerpen:

Tingeling 38

Dia Yang Pergi dan Tak Ingin Kembali 42

Kado Tahun Baru 46

SASTRA CYBER

Peran Sastra Cyber Dalam Perubahan Sosial Dan

Budaya 51

Peran Sastra Cyber Dalam Mendorong Perubahan

Sosial 53

Parasastra:

Emha

Ainun

Nadjib

Hal. 24

Kajian

Sastra:

Sastra dan

Perubahan

Sosial

Hal. 11

Purakarya:

Dia Yang

Pergi dan

Tak Ingin

Kembali

Hal. 42

Page 5: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 4

Oleh : Ricky Richard Sehajun

Dunia kerap menampilkan teater ambigu. Di sini tawa. Di sana air mata. Di sana-sini tersembur teriakan emosional. Pada tahta kursi mewah pejabat berpangku tangan. Pada timbunan sampah sang pemulung mengais rejeki. Ulah pejabat kerap dimarahi.

Ulah pemulung kerap dikasihani.

Masalah merebak, manusia jatuh tertimpa

dilema. Penuh penderitan. Kebahagiaan

secepat kilat berlalu. Ceria sekelebat saja

menggelar. Hidup dibayangi ratapan. Ada

kemiskinan. Kemelaratan. Sakit hati.

Dukacita. Tak punya harapan. Inilah

panggung Indonesia. Sebuah panggung

pertunjukan dengan drama wajah carut-

marut bangsa. Segenggam kisah piluan,

tentang tata hukum yang dibumbui

muslihat. Sajian menu penyelesaain masalah

kerap dipatokkan dengan nilai uang.

Kebenaran takluk di hadapan uang. Inilah

dimensi pelecehan manusia terhadap

kebenaran. Jika kebenaran dilecehkan, maka

ruang kejujuran menjadi sempit bahkan

tertutup. Jika ruang kejujuran tertutup

niscaya etika saling mengasihi dan

transparansi tidak mendapat aplikasinya

dalam hidup keseharian. Mungkinkah

Indonesia menjelma menjadi ruang tanpa

etika saling mengasihi, sampai-sampai harga

diri dan hak asasi tidak diperhitungkan

lagi?Lantas, muncul pertanyaan gugatan

dalam nada provokatif, “Bagaimanakah

manusia Indonesia mendefinisikan dirinya?

Bagaimana manusia Indonesia

mendefenisikan sesamanya?

Thomas Hobbes mendefinisikan

manusia sebagai serigala bagi yang lainnya.

Kalaupun definisi Hobbesian terkesan

mengerikan, tetapi banyak orang

menghayatinya. Orang menolak namun

pada kesempatan lain ia bermain-main

dengan penghayatan definisi Hobbesian.

Definisi Hobbesian, mau tidak mau, logika

sosial manusia Indonesia terarah pada jalan

hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang

menang. Kuat dalam pengertian materi, fisik

dan psikologis. Dalam bingkai pergulatan

hukum rimba, siapa yang meraih

kebahagiaan dan kepuasan? Adakah

manusia yang menjadi sutradara untuk

kebahagiaan manusia?Ataukah sepenuhnya

bergantung pada takdir Allah? Ketika realitas

sosial manusia dibantai oleh logika

semrawut, sastra angkat bicara. Sastra

menggugat. Namun, bisakah sastra menjadi

pahlawan atas realitas sosial yang penuh

dengan kisruh KKN, amoral, ketidakjujuran?

Sastra memulai permainannya

dengan mendasarkan diri pada retorika

tanda. Tanda dimengerti dalam ranah

bahasa. Itu berarti bahasa menjadi aktor Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: https://danangprobotanoyo.wordpress.com/2012/03/12/siapa-suruh-datang-ke-jakarta-keberpihakan-pada-kaum-urban-dimuat-koran-tempo/

CATATAN ANOMALI

Page 6: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 5

CATATAN ANOMALI

perubahan bagi realitas sosial. Sejatinya,

bahasa menjadikan manusia bersahabat dan

bermusuhan. Oleh karena bahasa adalah

bagian dari sastra, maka sastra bisa

menghadirkan sahabat, juga bisa

menghadirkan musuh. Musuh menjadi

sahabat, ketika dipadukan dengan cinta.

Adalah cinta mengubah segalanya. Ia

berkibar laksana bendera kemenangan yang

berkibar dengan langkah darah. Dalam

langkah darah tersebut, sastra ikut

menasehati. Ia seolah-olah menjadi pelaku

psikologi yang menerjang langkah diluar

ketentuan langkah darah. Atau ia menerjang

perilaku amoral dengan kata-kata garang. Ia

memberi kritik terhadap perilaku yang diluar

ketentuan normatif-legal. Atau ia menjadi

pelaku istimewa di tengah kerumunan pasar

yang punya logika salah tapi dilegalkan

demi tumpukan uang. Uang

mempermainkan hukum. Para penegak

hukum turut dipermainkan oleh uang.

Mereka seolah-olah bekerjasama untuk

melancarkan serangan terhadap kebenaran

yang dituturkan bahasa.

Sastra Punya harga jual yang tinggi.

Ia bisa meraup pasar pengetahuan.Pasar

pengetahuan yang memiliki alat tukar, yakni

KATA. Kata yang terbentuk dari huruf-huruf,

lalu beranjang menjadi kalimat. Kata

menjadi emblem kolaboratif lahirnya

perubahan sosial. Perubahan sosialitas yang

tanpa dibeli dengan uang dan tanpa

mencekik leher kebenaran. Semua

perubahan harus menuju pada manusia

beradab. Telusuran ini, menggugat skenario

perpecahan negeri ini yang banyak

dirangsang logika dan tindakan kebiadaban.

Kemasan biadab muncul dalam banyak rupa.

Ia bertajuk politik curang, korupsi, sogokan,

dan sejenisnya. Struktur kebiadaban lahir

dari pergulatan rencana yang terstruktur,

logis dan kerap bermotif materialistik.

Adalah kata, juga menjadi jerat dalam

rencana. Artinya kebiadaban bisa dipicu

tutur kata. Lebih tepatnya, tuturan rencana

busuk yang mendapat aplikasinya dalam

realitas. Kata menjadi senjata tajam yang

menghancurkan jiwa. Ia bisa menjadi

pembunuh di mulut orang fasik. Namun bisa

juga menjadi penyelamat dimulut orang

baik. Peta perubahan menuju “yang baik”

sejatinya berada dalam genggaman mulut

“penyelamat”. Lantas, dalam ranah sastra

perubahan itu terpaut pada dua ambang

yakni mulut penyelamat dan mulut orang

fasik. Orang fasik merupakan sebutan

lancang untuk orang-orang yang berhaluan

buruk. Mereka adalah penghantar nasib

sosial menuju neraka. Mereka adalah

pengingkar kebenaran sekaligus pendobrak

ketulusan.

Dalam nada provokatif, kita bersoal,

kemanakah sastra membawa manusia

Indonesia? Tentu ke arah yang baik! Baik

untuk orang lain. Kebaikan yang dihadirkan

harus terarah pada kebaikan bersama.

Lantas, sastra menggugat dalam konteks

menuju kebaikan bersama (Bonum Comune).

¤ (Ricky/Puraka)

Setelah berusia tua, Socrates, belajar musik. Lalu ada orang berkata padanya,” apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua”.

Page 7: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 6

Dermaga di Pantai Morosari, Demak Karya: Latifa

Page 8: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 7

Ketika Karya Sastra Menjadi Doktrin Untuk Pembaca

(Pada Masa Pemasungan Karya Sastra)

ecara umum banyak yang mengartikan

karya sastra adalah ungkapan pikiran

dan perasaan pengarang, di mana

hampir seluruhnya merupakan karangan fiksi

atau imajinatif belaka. Karya sastra dianggap

sebagai bualan yang cerita di dalamnya

hanya untuk hiburan semata. Ini jika kita

lihat dari sudut pandang awam, yang pada

kenyataannya secara tidak langsung

pemahaman ini merambat hingga ke ranah

masyarakat luas. Lain halnya dengan

pemahaman para pegi sastra, bahkan di

kalangan profesional.

Minimnya pengetahuan masyarakat dan

sedikitnya minat baca terhadap karya sastra

menjadi faktor yang memengaruhi

pandangan bahwa karya sastra hanya

berkutat pada dimensi khayalan, mengada-

ada dalam merangkai peristiwa dan kata.

Padahal, jika ditelusuri lebih jauh karya

sastra seringkali diangkat berdasarkan

realitas kehidupan sosial, budaya, agama,

hingga kejiwaan manusia.

Karya sastra adalah wadah untuk

menuangkan inspirasi, ide-ide, serta ekspresi

dari gambaran-gambaran berbagai

pengalaman pengarang. Sastra bukan hanya

refleksi sosial, melainkan merepresentasi

sebuah gagasan tentang dunia atau gagasan

atas realitas sosiologis yang melampaui

waktunya. Karya sastra yang baik adalah

sebuah karya yang dapat memberikan

kontribusi bagi masyarakat. Hubungan

sastra dengan masyarakat pendukung nilai-

nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan,

karena sastra menyajikan kehidupan dan

sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial

(masyarakat), walaupun karya sastra meniru

alam dan dunia subjektif manusia (Wellek

dan Warren).

Dengan demikian, sastra tidaklah semata-

mata soal hasil imajinasi atau khayalan,

karya sastra seringkali memiliki relevansi

bagi kehidupan nyata, karena karya sastra

hadir dari gambaran realitas kehidupan.

Datang dari berbagai aspek, yang kemudian

dituangkan dalam sebuah karya. Bahkan

S

KAJIAN SASTRA

Rumput Batu

Karya: Ade Junita

Page 9: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 8

Karya sastra menjadi hal yang begitu “ditakuti” oleh kaum penindas alias

penjajah, hingga kalangan pemerintah atau pemimpin. Banyak terjadi pembredelan karya sastra hingga membuat kreativitas mengalami

keterpasungan.

ketika karya sastra disajikan dalam bentuk

fabel sekali pun, tetap ada hubungan antara

cerita dengan nilai-nilai kehidupan

masyarakat, dalam pesan moral misalnya. Di

mana pesan moral yang terkandung dapat

dijadikan acuan juga pembelajaran bagi

masyarakat. Bahkan, tak ayal suatu karya

sastra dapat mendoktrin pola pikir pembaca

terlebih lagi jika karya sastra yang dibuat

bersifat pro terhadap pihak yang dirugikan.

Menengok kembali pada masa lalu,

zaman penjajahan, komunis hingga orde

baru. Karya sastra menjadi hal yang begitu

“ditakuti” oleh kaum penindas alias penjajah,

hingga kalangan pemerintah atau

pemimpin. Banyak terjadi pembredelan

karya sastra hingga membuat kreativitas

mengalami keterpasungan, contohnya pada

masa Orde Baru, menurut Satoto hal itu

disebabkan oleh sistem birokrasi,

paradigma, serta sikap dan perilaku elite

politik dan penguasa. Pihak penguasa

beranggapan bahwa perilaku seniman telah

menjurus ke hal-hal yang destruktif yang

bisa mengganggu ketertiban dan keamanan

masyarakat yang pada gilirannya bisa

mengancam eksistensi dan integritas bangsa

dan negara.

Alasan tidak diberi izin oleh aparat

keamanan sangatlah klise, misalnya karya

tersebut bertentangan dengan ideologi

negara Indonesia, yakni pancasila, prosedur

perizinan yang salah, meresahkan

masyarakat karena tingkat apresiasi

masyarakat terhadap karya seni,

khususnya seni sastra dan drama

kontemporer masih rendah,

mengganggu ketertiban dan

keamanan karena para seniman,

katanya sukar diatur. (Ekarini

Saraswati: Sosiologi Sastra).

Hal ini menunjukkan bahwa

“ketakutan” yang dirasakan oleh

rezim Orde Baru sangatlah jelas,

bahwa karya sastra dapat menjadi

“doktrin” atau mempengaruhi pikiran rakyat.

Sehingga rakyat dapat dengan peka

mengetahui pembodohan-pembodohan

yang digelontorkan oleh rezim Orde Baru.

Pada masa itu pula banyak karya sastra yang

dibredel, dilarang beredar dengan alasan-

alasan berkedok prosedur izin terbit. Selain

itu, disebabkan banyaknya karya sastra yang

terlalu berani vokal mengkritisi

pemerintahan dalam karyanya. Guna

menjaga wibawa dengan mengatasnamakan

kekuasaan, maka alasan mereka adalah

bahwa karya sastra yang hadir pada masa itu

bersifat pencemaran nama baik, hingga

pemberontakan. Pada saat itulah, kemudian

terbit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang mengatur pelarangan buku

bertebaran tanpa kontrol pemerintah. Pasal

154 KUHP misalnya, berbunyi: “Barangsiapa

di muka umum menyatakan perasaan

permusuhan, kebenciaan, atau penghinaan

terhadap pemerintah Indonesia, maka

diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun atau denda paling banyak tiga

ratus juta”.

Bersamaan dengan terbitnya KUHP, maka

gerak-gerik para sastrawan, seniman,

budayawan, penyair, dan mahasiswa selalu

dibayang-bayangi oleh ketatnya

pengawasan intelijen negara. Akibatnya,

karya-karya fenomenal dan menakjubkan

dari mereka tidak bisa dinikmati oleh

pembaca setia. Namun demikian, para

KAJIAN SASTRA

Page 10: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 9

“Barangsiapa di muka umum menyatakan

perasaan permusuhan, kebenciaan, atau

penghinaan terhadap pemerintah

Indonesia, maka diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun atau

denda paling banyak tiga ratus juta”.

sastrawan tidaklah tinggal diam ketika

terjadi pembekuan terhadap karya-karyanya

yang dianggap oposisi. Melalui seminar-

seminar dan berbagai forum diskusilah

semua dapat diungkap dengan rapi.

Sekilas tentang karya-karya sastra serta

pengarang yang pernah menjadi korban

pembredelan antara lain:

• Penyair W.S. Rendra. Sejak dulu, karya-

karya puisi dan drama Rendra memang

selalu berbau protes. Karena karya-karyanya

pula, ia masuk penjara di zaman Orde Baru

(1978), pementasan karya-karyanya pun

dilarang. Ketika itu, karya drama

Rendra yang terkenal berjudul

“SEKDA” dan “Mastodon dan

Burung Kondor” dilarang untuk

dipentaskan di Taman Ismail

Marzuki.

• Pramoedya Ananta Toer, pernah

mengalami pembuangan selama

14 tahun di Pulau Buru tanpa

pengadilan. Dia dituding pro

komunis karena

masuk Lembaga

Kebudajaan Rakyat

atau dikenal

dengan Lekra.

Lembaga ini

merupakan

organisasi

kebudayaan sayap

kiri di Indonesia

yang didirikan atas

inisiatif D.N. Aidit,

Nyoto, M.S. Ashar,

dan A.S. Dharta

pada tanggal 17

Agustus 1950.

Selama masa

pembuangan itu,

Pramoedya banyak

menghasilkan

karya tulis. Tema-

tema yang

dipilihnya pun merupakan tema sensitif,

sarat dengan kritik sosial dan politik, yang

membuat kuping pemerintah Orde Baru

panas dan dituding sebagai penyebar ajaran

komunis. Karya-karya tulis Pram pun

dijadikan bacaan terlarang, dilarang beredar,

dan diberangus. Tetralogi Bumi Manusia

atau disebut juga Tetralogi Buru atau

Tetralogi Pulau Buru merupakan karya Pram

yang diselesaikannya di Pulau Buru. Jauh

sebelum itu, pada masa "Demokrasi

Terpimpin" tahun 1959, Pram pernah

mengkritik kebijakan Presiden Soekarno.

Rumput Negatif Karya: Ade Junita

KAJIAN SASTRA

Page 11: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 10

Karya Pram “Rumah Kaca” juga pernah

dibredel pada masa Orde Baru karena

dituding telah menyebarkan paham

Marxisme.

Masih banyak karya yang pernah

mengalami pembredelan dari masa ke masa.

Dengan alasan yang klasik, yang pada

kenyataannya karya sastra justru menjadi

momok yang “menakutkan” karena dapat

memengaruhi bahkan mendoktrin

seseorang, terlebih lagi jika karya sastra

tersebut membongkar rezim ketidak-adilan,

bentuk protes dan kritik pada birokrasi,

suara untuk rakyat tertindas, dan ideologi

lain yang bertolak belakang dengan

pemerintah. Oleh karena karya sastra

sesungguhnya hadir dari realitas kehidupan

manusia, maka akan sangat berpengaruh

bagi manusia sebagai pembaca.

Bagaimana dengan masa kini? Benarkah

sekarang keadaannya berbeda, karena

sekarang adalah era kebebasan berekpresi

(katanya)? Dengan landasan bahwa

semuanya telah diatur dalam Undang-

Undang Pers dan diberikan kebebasaan

untuk melahirkan karya yang bersifat apa

pun. Kalau pun bebas, kenapa masih banyak

media bungkam, bahkan sampai ciut untuk

mengekspos aksi dan aspirasi rakyat yang

berpeluh keringat memadati jalan hingga

mengerubung istana? Bahkan tidak sedikit

karya yang katanya berkualitas, tapi tak ayal

hanya disibukkan oleh dilema, kegalauan,

dan cerita-cerita lainnya yang pada akhirnya

membuat mental pembaca menjadi

cengeng? Ini sisi lain dari yang katanya

bebas.

Semoga bukan bebas “terkendali”.

Meskipun memang masih banyak karya-

karya yang tidak mati dan masih berani

vokal pada aspek kehidupan yang lebih

penting. Teruslah berkarya, teruslah

berekspresi, dan menjadi sebuah jembatan

aspirasi.¤ (Yessy/Puraka)

Pasar Rongsok Plered

Karya : Ade Junita

KAJIAN SASTRA

Page 12: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 11

Dan Perubahan Sosial Oleh : Eugen Sardono, SMM

Di abad mutakhir, para peminat sastra sangat sedikit. Kebanyakan

orang lebih suka mengungkapkan sesuatu secara langsung daripada

melalui puisi, pantun atau pun karya sastra lainnya. Menurut data yang

dikemukan oleh UNESCO, minat membaca orang Indonesia hanya

mencapai 0,001 %. Artinya, diantara seribu orang, hanya ada satu orang

yang memiliki minat membaca yang tinggi. Kurangnya minat membaca

mengakibatkan rendahnya keinginan seseorang menikmati karya sastra.

Sebagai konsekuensi logisnya, karya

sastra justru tidak sampai kepada

masyarakat. Kiranya ini menjadi tantangan

perkembangan karya sastra di Indonesia,

yang masih tak mampu menggerakkan

perubahan sosial. Lebih jauh, ada yang

mengatakan karya sastra seperti puisi,

pantun, drama adalah sebuah penipuan

tehadap perasaan. Orang tidak

mengungkapkan apa yang benar, namun

orang memolesnya untuk menyembunyikan

kenyataan yang sebenarnya. Ada sebuah

ketersembunyian realitas dalam hal ini.

Pendapat seperti ini sesunggunya tidak bisa

diterima. Keindahan karya sastra terletak

pada maknanya. Bukan kekuatan kata-kata

Pasar Rongsok Plered

Karya : Ade Junita

KAJIAN SASTRA

Page 13: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 12

Kerendahan seseorang di ketahui

melalui dua hal : banyak berbicara

tentang hal-hal yang tidak

berguna,dan bercerita padahal tidak

di tanya. (Plato)

yang indah, tetapi lebih pada ungkapan

makna yang disampaikan.

Sastra menghidupkan dan

membangkitkan jiwa untuk berimajinasi.

Sastra memiliki jiwa yang bisa menghidupi

orang. Ketika orang membaca karya sastra,

ada sebuah gerakan-keluar yaitu gerakan

menuju apa yang ada di atas tulisan

tersebut. Sastra adalah salinan realitas yang

sangat original. Banyak pemimpin-

pemimpin besar sangat takut akan karya

sastra. Karena karya sastra menulis

kepedihan yang tiada tara dengan sesuatu

yang secara implisit dan eksplisit bisa

diketahui. Selain itu, ruang gerak (ruang

jangkau) sastra selalu menerobos tembok-

tembok besar. Karena itu sastra sangat

berpengaruh terhadap perubahan sosial.

Banyak revolusi dan perjuangan besar

diawali dari sentuhan dunia sastra.

Dalam sejarah kehidupan bangsa

Indonesia, sastra menjadi emblematis

perubahan. Pada masa pemerintahan

Soeharto, karya sastra yang mengkritisi

kehidupan pemerintahan dilarang untuk

dipublikasikan. Kehadiran karya sastra tidak

dapat dilepaskan dengan fenomena sosial

budaya yang lain, seperti politik, ekonomi,

dan agama. Fenomena ini dapat ditandai

dengan sebuah ungkapan, sastra adalah

bahasa. Karena sastra adalah bahasa, maka

sastra adalah rumah dari ada, yang

menjadikan adanya bahasa in se.

Saya mencoba menggiring pembaca

untuk melihat cetak-biru dari

pengaruh sastra bagi realitas sosial.

Pertama, sastra adalah roh.

Kekuatan sastra itu kata. Kata,

dalam bahasa Yunani diartikan

sebagai Logos. Logos, sesuatu yang

bisa meniup perubahan. Maka,

pilihan untuk diam bukanlah pilihan

yang jitu. Diam meman emas, tetapi

ketika emas itu didiami terus maka

emas itu akan berkarat. Dalam

Filsafat India, perkataan adalah seorang

dewa atau juga dinamakan Vic. Kata-kaya

diakui memiliki identitas kemurnian, Vic,

Logos. Perkataan merupakan sebuah

cetusan keluar dan apa yang dimiliki oleh

dunia (manusia). Namun, logos dalam

dirinya memuat sebuah berkat atau kutukan.

Ketika logos bisa memberikan sebuah

proses pertumbuhan, maka logos bisa

berfungsi untuk menumbuhkan persatuan.

Sebaliknya, ketika logos hadir sebagai

sebuah bom nuklir yang bisa

membombardir tatanan kehidupan, maka

akan menjadi sebuah keresahan tersendiri.

Tidak bermaksud menjelaskan apa

kedalaman logos, saya mencoba menggiring

kepada pemahaman tentang sastra. Dari

logos tadi melahirkan karya sastra. Jadi,

ketika orang ber-logos tidak sertamerta

berhenti di perkataan, tetapi lebih dari itu

harus mengandung makna. Ketika, kata-kata

itu kehilangan makna, maka kata-kata itu

pun tidak bedanya dengan angin lalu. Maka,

puisi itu bukan soal indahnya kata-kata, pun

cerpen. Puisi itu bukan soal kata-kata yang

romantis-love. Puisi harus bisa mendulang

makna. Kekuatan sebuah puisi terletak di

isinya. Kedalaman isinya bisa membawa

sebuah perubahan yang mendalam. Maka,

sangat keliru ketika orang mengatakan, puisi

itu adalah peniupan terhadap realitas. Puisi

justru memiliki khasanah tersendiri dalam

menginformasikan pesan kepada responder

atau pembaca. Persoalan

KAJIAN SASTRA

Page 14: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 13

Berpikir lurus adalah kebiasaan dan lazim terjadi di dalam kolam kehidupan. Tetapi, mencari isi dan makna dibalik apa yang ditulis adalah lebih sulit dan lebih bernilai ketika orang masuk dalam ‘teks’ sastra.

di sini, apakah semua orang membacanya?

Kembali pada fenomena budaya membaca

di tanah air kita.

Kedua, sastra mampu mendongkrak

keburukan. Dalam karya sastra, orang mau

berbicara. Dalam filsafat Heiddegger

mengatakan bahwa keterlalun kalau orang

menjadi penonton dalam diri subjek yang

dilemparkan. Maka, dibutuhkan negara yang

bias membangkitkan rasa satra di tanah air.

Tidak bias tidak, juga kadang pesan dari

karya sastra itu sendiri menukik dan

menendang hati nurani yang bebal. Maka,

ketika ada persoalan, perlu ada orang yang

bisa mengangkatnya kepermukaan, dengan

demikian memantikkan kesadaran orang

untuk bisa membaca dan menilai secara

kritis sebuah persoalan. Saat itulah, peran

sastra menjadi penting.

Ketiga, sastra mendongkrak tatanan

politik. Sejauh ini begitu banyak tokoh atau

penyair yang mencoba meluapkan

pergulatan hati mereka dalam karya sastra.

Politik adalah soal kehidupan. Politik soal

tata Negara dan kepemerintahan. Politik

adalah the art of managing the country.

Maka, sastra adalah seni untuk bisa

mendobrak kebobrokan politik. Karena

manusia pada hakikatnya adalah berpolitik.

Sebagai warga negara, orang hidup dalam

lingkaran tata kelola negara. segala macam

ketidaknyamanan dan ketidaksetabilan

urusan politik, orang bisa meletupkan dalam

sebuah gugahan saastra. Dunia

kepemimpinan Indonesia tahu, bahwa

roman-roman sastra Indonesia pada tahun

1920-an selain merupakan cermin sosial

juga memantik proses perubahan sosial

yang terjadi di dalam kehidupan

negara Indonesia.

Keempat, Sastra dan

kemajuan pendidikan. Sastra lahir di

dalam tubuh pendidikan. Dan sastra

pula bermuara ke rahim pendidikan

yang malahirkan dia, sastra. Tanpa

sastra mungkin kehidupan

pendidikan adalah sebuah

kesalahan atau bisa dikatakan

skandal yang besar. Sastra yang

baik adalah sastra yang setia kepada

pendidikan. Pendidikan apa saja, moral,

keagamaan, dan lain sebagainya. Melihat

sastra sebagai lawan atau musuh adalah

sebuah pilihan yang keliru untuk bisa

memajukan pendidikan di Indonesia. Ingat

saja, data yang sudah dibeberkan di atas.

Tingkat minat membaca Indonesia masih

jauh dari standar dibandingkan dengan

negara lain. Maka, sejatinya pendidikan di

Indonesia harus melihat kembali peranan

sastra dan sastra juga harus bisa melihat

kembali peranan pendidikan. Keduanya

adalah satu mata uang logam yang tidak

bisa dipisahkan. "Bukanlah kesadaran

manusia yang menentukan keberadaan

mereka, melainkan keberadaan sosial yang

menentukan kesadaran mereka”1.

Dari semuanya itu, saya bisa melihat

bahwa sastra adalah unik di dalam dirinya.

Sastra kadang penuh dengan simbol dan

kata-kata yang ‘pelik’, ‘rumit’, dan ‘ruwet’.

Justru kedalamannya bisa dilihat dari simbol

dan kata-kata kiasan itu. Itu adalah salinan

realitas yang menghantar orang untuk seni

berpikir. Berpikir lurus adalah kebiasaan dan

1 Karl Marx dan Friedrich Engels (1859).

KAJIAN SASTRA

Page 15: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 14

lazim terjadi di dalam kolam kehidupan.

Tetapi, mencari isi dan makna dibalik apa

yang ditulis adalah lebih sulit dan lebih

bernilai ketika orang masuk dalam ‘teks’

sastra.

Maka, sastra itu adalah soal rasa.

Karena berbicara soal rasa, maka pertama-

pertama yang dimiliki adalah jatuh cinta.

Selayaknya orang jatuh cinta, maka sastra

pun harus sampai pada taraf jatuh cinta.

Ketika semua warga Indonesia jatuh cinta

pada sastra, maka orang Indonesia dengan

sendirinya akan berubah. Kita mencoba

melihat kebudayaan Yunani Kuno yang

berdevosi dengan keunggulan akal budi

mereka. Maka gagasan-gagasan mereka

melebar dan mengembangkan sayapnya di

dunia sekarang. Hampir semua pemikiran

barat memakai catatan kaki Filsafat Yunani,

terutama sastra yang dibuka oleh para filsuf

sebelumnya.

Ada seorang yang mengatakan, “Untuk

membangun rumah yang luas dan besar

sangat mudah. Namun untuk membangun

kerangka berpikir sangat sulit”. Maka,

dengan kesadaran itu, orang harus bisa

membangun paradigma berpikir agar bisa

membawa sebuah perubahan. Dan akhirnya

saya bisa mengatakan bahwa, mungkin

perubahan sosial tanpa sastra adalah suatu

kesalahan. ¤

[Penulis adalah Penyair Kocak-Montfortan.

Saat ini sedang menempuh Pendidikan

Filsafat di STF Widya Sasana Malang].

”Orang yang berilmu mengetahui orang bodoh karena dia

pernah bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui

orang berilmu karena dia tidak pernah berilmu.” Plato.

Batang Jagung dan Fajar Ungu

Karya: Ade Junita

KAJIAN SASTRA

Page 16: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 15

astra bukan sekedar aksara-aksara

yang berjalan di ujung pena merupa

puisi, syair, cerpen, cerbung, cermis,

cermin, pantun,

gurindam, atau bentuk

lainnya. Sastra sudah

memulai kinerjanya

pada titik awal

keberadaan nenek

moyang dan leluhur.

Pada pendapat umum,

komponen sastra

kebanyakan

dititikberatkan pada

puisi dan puisi

kembali, padahal bila

cermat dan jeli

sesungguhnya sastra

telah menjadi bagian

dari keseharian dan

khazanah kehidupan.

Lingkup ruang

sastra pun tidak selalu

mendayu-dayu,

namun bisa dan sangat mungkin

untuk mempresentasi pada segala

keadaan. Sebagai contoh

pengungkapan rasa syukur dan

kekaguman pada hasil karya Sang

Maha Pencipta, membahas moral,

sopan santun, etika, tata krama dalam

laku dan bahasa serta logat. Sastra

juga digunakan dalam bersosialisasi

atau bergaul dengan masyarakat di

segala jenjang dan kalangan, juga

untuk mengemukakan opini dalam

suatu musyawarah untuk mufakat.

Sastra menjadi acuan tak terduga

untuk menyentil secara gamblang maupun

halus pada kisah suatu negeri atas

pemerintah dan para perangkatnya.

Sastra menjadi penyokong utama,

mengeluarkan aspirasi yang tersembunyi

melalui berbagai bentuk karya ataupun S

Oleh : Erna Winarsih Wiyono

Batu Pekarangan Karya: Adi Septa Suganda

KAJIAN SASTRA

Page 17: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 16

media.

Sastra berdiri pada garis-garis

terdepan yang menetralkan anarkis tanpa

aturan.

Sastra mengumpulkan dukungan

moril dan juga materiil (bila dalam

komitmen ketentuan yang bertautan), untuk

berteriak lantang, membuka kisah-kisah

sejarah (fakta) tentang yang terjadi di

lapangan. Kejadian sesungguhnya bahkan

per detik dapat diabadikan dalam sastra di

mana para pelaku sastra mengeluarkan ide-

idenya berdasarkan apa yang mereka lihat,

dengar, dan turut mereka rasakan.

Sastra membuka pandora, kasus-

kasus yang berdebu dan sudah lama

dilupakan orang.

Kisruh Korupsi. Sindiran-sindiran

halus namun tepat langsung mengenai

sasaran. Diramu dengan aksen budaya

humor dalam kesan santai. Berikut Kolusi,

Nepotisme, dan Amoral, sastra turut

berperan di dalamnya.

Tak banyak orang menyadari bahwa

sastra dapat menjadi pahlawan atas realitas

sosial yang sedang berlangsung di bumi

pertiwi ini. Para penyair, pujangga,

punggawa, budayawan, seniman, penari,

penyanyi, semua termasuk lingkup sastra

menjadi pelaku dan pegiat sastra untuk

lebih membuka mata hati dunia khususnya

mereka-mereka yang bertaut dengan urusan

carut marut negeri ini. Mengetuk nurani

pelaku yang terkait melalui solidaritas suara-

suara bangsa yang masih peduli dengan

nasib masa depan negerinya.

Sastra tak bisa dianggap remeh.

Sastra hadir untuk membela hak yang

tertindas, dan sastra bukan “pahlawan

kesiangan”. Sastra dan simbiosis mutualisme

diartikan saling sokong menyokong,

mensupport sebagai sarana untuk merenung

dalam tatanan yang berbeda dengan para

demonstran. Sastra tidak meletup-letup

penuh amarah. Lewat pesan santun dan

damai ia bersuara lantang untuk

kebangkitan negeri ini menjadi lebih baik

dari waktu-waktu sebelumnya.

Salam Literasi dan Budaya,

Kota Bogor, Jawa Barat - Indonesia. ¤

Rumput Batu Cadas Karya: Ade Junita

KAJIAN SASTRA

Page 18: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 17

Foto: Senja Karya: Latifa

Page 19: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 18

Menulis sastra itu gampang-gampang susah. Bagi mereka yang berjiwa seni akan terasa lebih gampang. Mereka cukup mencolek sedikit ide dari memori benaknya, dan selanjutnya tinggal mengembangkan ide tersebut hingga menjadi sebuah tulisan.

Hal ini tidak berlaku bagi kita yang

dalam kadar tertentu, boleh dibilang berotak

“bebal”, terutama dalam hal tulis menulis.

Ide boleh ramai bermunculan di benak,

lewat berbagai kegiatan, aktifitas dan

perjalanan, namun sangat sulit untuk

menggoreskannya dalam kata-kata aduhai,

sarat makna, dan melambai-lambai

mengaduk emosi, dalam tinta sastra (puisi,

cerpen dan lain sebagainya). Barangkali

ketika anda hendak mulai menulis, pikiran

anda telah membawa anda jauh pada

bayangan bahwa tulisan anda sudah

menjadi sebuah karya yang indah, muncul di

harian terkemuka, dan telah dibaca serta

diulas beberapa tokoh ternama, dan

hebatnya lagi telah menjadi trending topik

di dunia maya. Namun apa daya, ketika anda

sejenak menutup mata, anda kembali pada

diri anda, dan anda menemukan bahwa

anda belum menulis satu aksara pun. Sedih

bukan…?

Sebenarnya yang perlu anda lakukan

adalah mulai menulis. Selalu ada getaran

seni yang bergejolak di dalam jiwa setiap

pribadi. Anda hanya membutuhkan

sejumput ide, kemauan untuk

menuangkannya, dan yang terakhir,

pengetahuan akan dunia sastra. Ide

merupakan suatu kekayaan intelektual,

merupakan “nyawa” bagi setiap karya sastra.

Kemudian kemauan. Kita semua tahu bahwa

tidak ada sesuatu pun akan terjadi bila tidak

didukung oleh kemauan, keinginan untuk

segera melakukan. Sedangkan pengetahuan

sastra adalah pengetahuan akan penulis,

buku-buku sastra, karya sastra, dan produk

sastra. Pengetahuan yang mengajarkan cara

menulis yang baik.

Ada banyak metode menulis sastra

yang telah diterbitkan oleh beberapa

penerbit ternama. Yang penting dari metode

menulis sastra adalah adanya bahan sastra

yang dicoba untuk diunduh dalam

kepemilikan sastra. Setelah anda

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://www.plimbi.com/article/159688/menulis-bakat-atau-keterampilan

LENTERA SASTRA

Page 20: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 19

memperoleh bahan-bahan yang telah anda

pikirkan, cobalah untuk

mengembangkannya dalam bentuk, tema,

judul, dan uraian yang anda susun. Yang

terpenting adalah anda memulainya dengan

segera.

Carilah Referensi Lebih Banyak

Dunia sastra adalah dunia imajiner

manusia yang mencoba untuk menyajikan

karya sastra dan karya seni dalam dunia

tulis-menulis. Walau begitu, tidak lantas

menulis sastra tidak butuh referensi.

Memang dalam karya sastra tidak ditemui

adanya catatan kaki dari kutipan seperti

yang ditemui dalam karya ilmiah. Yang

ditemui hanyalah catatan tangan. Namun,

dengan banyak membaca buku selain

menambah wawasan akan dunia sastra itu

sendiri, juga akan menambah

perbendaharaan kosakata, sehingga sewaktu

menulis anda tidak terhenti lantaran tidak

menemukan kata yang cocok untuk

membahasakan imajinasi yang ada. Selain

itu, untuk mempertajam dan memperluas

wawasan maka harus rajin membaca tulisan-

tulisan sastra hasil karya orang lain. So,

bacalah buku sebanyak mungkin, terutama

yang berkaitan dengan dunia sastra. Bagi

anda yang menggunakan internet, tentu

lebih mudah. Banyak bahan-bahan cerita,

naskah, dan metode menulis yang bisa anda

pelajari. Anda cukup meng-klik search, maka

semuanya akan muncul di layar anda.

Temukan Ide dan Mulailah Menulis

"Pada tahap awal, menulislah dengan

hati. Setelah itu perbaiki tulisanmu dengan

pikiran. Kunci pertama dalam menulis bukan

berpikir, melainkan mengungkapkan apa

saja yang kalian rasakan", demikian kata

William Forester dalam Film Finding Forester

yang dikutip Carmel Brid dalam buku

Menulis Dengan Emosi.

Tuliskan saja ide-ide yang anda

miliki. Setelah naskah selesai, anda dapat

memperbaikinya dengan mengganti kata-

kata yang kurang tepat dalam pemakaiannya

dengan kata-kata yang anda anggap lebih

baik. Dalam penulisan puisi dikenal istilah

diksi. Diksi dalam puisi fungsinya adalah:

1. Memberi kesan lebih kuat

2. Memberi kesan indah

3. Menjadikan puisi lebih menarik

Meskipun tidak selalu, tapi penggunaan diksi

yang baik dapat mempengaruhi nilai dari

karya sastra.

Jejak Pasir Karya: Ade Junit

LENTERA SASTRA

Page 21: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 20

Yang terpenting adalah anda telah

mencoba menulis sastra. Pengetahuan

akan estetika, metode menulis, dan

bahan-bahan cerita mendukung

pekerjaan anda.

Berimajinasilah

Kembangkan imajinasi

anda menjadi tulisan kreatif

yang mudah diikuti. Kemukakan

persoalan yang sedang anda

garap. Tulislah judulnya,

kemudian mulailah dengan

paragraf yang sedang anda

kerjakan. Tulisan kreatif

berdasarkan imajinasi akan memberikan

nuansa personalitas. Kembangkan paragraf

demi paragraf sehingga tercipta lembar-

lembar sastra yang anda kehendaki.

Setidaknya ada langkah maju yang telah

anda kerjakan. Jika anda tidak yakin dengan

judul, tema konflik, permasalahan, dan tata

cara penyelesaian masalah, cobalah baca

buku tentang sastra. Yang terpenting adalah

kemampuan anda dalam berolah kalimat.

Berikan aksen tersendiri dalam karya yang

sedang anda kerjakan itu.

Sederhanakan judul anda.

Sederhanakan kalimat-kalimat yang anda

susun. Sederhanakan persoalan. Kemudian

anda kembangkan dalam karangan yang

semakin bervariasi. Menulis itu mudah.

Menulis itu cerdas. Menulis itu kreatif. Ada

sejumlah pengertian yang bisa diasah dan

dikembangkan menjadi kalimat-kalimat

cerdas yang bisa anda kerjakan.

Pengetahuan mengajarkan kita untuk

belajar. Belajar apa saja, termasuk dunia

sastra. Yang terpenting adalah anda telah

mencoba menulis sastra. Pengetahuan akan

estetika, metode menulis, dan bahan-bahan

cerita mendukung pekerjaan anda. Persoalan

hidup sehari-hari menjadi mengendap,

menjadi sesuatu yang bisa anda renungkan,

dan kemudian bawalah menjadi karya sastra

yang bermutu. Semakin banyak persoalan

semakin baik. Semakin cerdas anda memilah

dan memilih informasi yang mampu anda

raih, akan menampilkan beragam persoalan

yang bisa dikerjakan melalui sastra.

Sastra adalah sastra, dan metodenya

juga metode sastra. Cerdas, kreatif,

imajinatif, dan berkesenian. Tanamkan sikap

sederhana dalam mengemukakan persoalan.

Sederhanakan akhir cerita yang anda susun.

Selamat bekerja! ¤

(Ellyas/Puraka)

Langit Senja. Karya: Uki

LENTERA SASTRA

Page 22: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 21

ritik sastra adalah salah satu cabang

ilmu sastra untuk menghakimi suatu

karya sastra. Kritik sastra mencakup

penilaian guna memberi keputusan

bermutu-tidaknya suatu karya sastra. Kritik

sastra biasanya dihasilkan oleh kritikus

sastra. Penting bagi seorang kritikus sastra

untuk memiliki wawasan mengenai ilmu-

ilmu lain yang berkaitan dengan karya

sastra, sejarah, biografi, penciptaan karya

sastra, latar belakang karya sastra, dan ilmu

lain yang terkait. Kritik sastra memungkinkan

suatu karya dapat dianalisis, diklasifikasi dan

akhirnya dinilai. Seorang kritikus sastra

mengurai pemikiran, paham-paham, filsafat,

pandangan hidup yang terdapat dalam

suatu karya sastra. Sebuah kritik sastra yang

baik harus menyertakan alasan-alasan dan

bukti-bukti baik langsung maupun tidak

langsung dalam penilaiannya.

Pengertian Kritik Sastra

Istilah “kritik” (sastra) berasal dari

bahasa Yunani yaitu “Krites” yang berarti

hakim. Krites sendiri berasal dari “Krinein”

yang berarti menghakimi. Kriterion yang

berarti “dasar penghakiman” dan kritikos

yang berarti hakim kesusastraan (Wallek,

1978: 21). Kritik sastra merupakan studi

sastra yang langsung berhadapan dengan

karya sastra, secara langsung membicarakan

karya sastra dengan penekanan pada

penilaian (Wallek, 1978: 35). Hal ini sesuai

dengan pengertian kritik sastra modern

juga. Seperti dikemukakan oleh H. B. Jassin

(1959: 44-45), yaitu kritik sastra merupakan

pertimbangan baik buruk karya sastra,

penerangan dan penghakiman karya sastra.

Aspek-Aspek Kritik Sastra

Aspek-aspek pokok kritik sastra menurut Hill

(1966: 6) yaitu analisis, interpretasi dan

evaluasi.

1) Analisis

Analisis merupakan penguraian

terhadap unsur-unsur yang

membangun karya sastra.

2) Interpretatif

Interpretasi adalah penafsiran karya

sastra, dalam arti luas adalah

penafsiran kepada semua aspek

karya saatra.

3) Evaluasi

K Pohon Malam Negatif Karya: Ade Junita

LENTERA SASTRA

Page 23: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 22

Fungsi Kritik Sastra

Kritik sastra merupakan studi sastra yang

secara langsung berhadapan dengan karya

sastra dengan fokus utama penilaian.

Sementara fungsi kritik sastra adalah:

1. Mengembangkan ilmu sastra

sendiri. Kritik sastra dapat

mengembangkan teori sastra dan

sejarah sastra.

2. Mengembangkan kesusastraan.

Kritik sastra mengembangkan

kesusastraan suatu bangsa dengan

penilaiannya.

3.

4. Memberikan masukan terhadap

masyarakat umum. Hasil analisis

kritik sastra dapat membantu

masyarakat dalam memahami dan

mengapresiasi suatu karya sastra.

Teori Pendekatan dalam Kritik Sastra

Beberapa pendekatan yang ada dalam

kritik sastra adalah : Pendekatan Stukturalis,

tokoh-tokohnya : Ferdinand de Saussure,

Levi Strauss, Jonathan Culler.

Pendekatan Poststrukturalis, tokoh-

tokohnya : Roland Barthes, Jaques

Lacan, Jaques Derrida

Pendekatan Feminis, tokoh-

tokohnya :Simeone de Beauvoir,

Michele Barrett, Kate Milett.

Jenis-Jenis Kritik Sastra

Jenis kritik sastra dapat dikelompokan

berdasarkan beberapa sudut pandang.

1) Berdasarkan Metode

a. Kritik Induktif

Kritik sastra yang

menguraikan unsur-unsur karya

sastra berdasarkan fenomena-

fenomena yang ada secara

objektif.

b. Kritik Impresionistik

Kritik sastra yang berusaha

dengan kata-kata

menggambarkan sifat-sifat yang

terasa dalam bagian –bagian

khusus.

c. Kritik Judisial

Kritik sastra yang berusaha

menganalisis dan menerangkan

efek-efek karya sastra berdasarkan

pokok, organisasi tekhnik dan

gaya.

2) Berdasarkan Bentuk

a. Kritik sastra teoritis, prinsip-

prinsip kritik sastra sebagai dasar

pengkritikan karya sastra.

b. Kritik sastra praktis, penerapan

kritik sastra pada karya sastra.

3) Berdasarkan Orientasinya

a. Kritik Mimetik

b. Kritik Pragmatik

c. Kritik Ekspresif

d. Kritik objektif

4) Berdasarkan Penulis dan Corak

Kritiknya

a. Kritik sastrawan, kritik sastra yang

ditulis oleh sastrawan, biasanya

bercorak ekspresif dan

impresionistik.

b. Kritik akademik, kritik sastra yang

ditulis oleh umum, bercorak

ekspresif dan impresionistik.

LENTERA SASTRA

Page 24: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 23

Cara Menulis Kritik Sastra

Kritik sastra adalah tanggapan objektif

dari seseorang terhadap suatu karya orang

lain dengan menguraikan secara rinci baik

buruknya sebuah karya.

1. Pilihlah pengarang yang anda sukai

Agar kritik sastra mudah

dilakukan, pilihlah pengarang yang

anda sukai. Karena dengan

mengandalkan hal itu anda bisa

leluasa menulis dengan

pengetahuan yang memadai

terhadap biodata, karakter tulisan

dan karya-karyanya. Sehingga

persepsi yang anda kemukakan tidak

akan menjadi abstrak.

2. Pilihlah materi yang paling anda

kuasai

Penguasaan materi perlu juga

dipertimbangkan dalam pembuatan

kritik sastra. Sebab, dengan itu anda

dapat mengeksplorasi pendapat

anda dengan landasan yang tepat

sehingga dapat

dipertanggungjawabkan dan

diterima oleh semua pihak.

3. Masukkanlah beberapa pandangan

orang terhadap karya tersebut

Memasukan pendapat orang

atau ahli dalam kritik sastra yang

anda buat akan membantu

mempertajam kritik sastra tersebut.

Hal itu juga dapat memberikan

gambaran hal-hal apa saja yang

harus anda kritik sehingga kritik

sastra anda tepat sasaran.

4. Mulailah menulis kritik

Jika telah menetapkan tujuan

dan motivasi, segeralah menulis.

Jangan ditunda, karena dengan terus

berusaha menulis ide-ide akan

muncul dan mengalir sedikit demi

sedikit.

Kesimpulan

Kritik sastra merupakan salah satu

studi sastra yang meliputi tiga bidang: teori

sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Kritik

sastra merupakan studi sastra yang langsung

berhadapan dengan karya sastra, secara

langsung membicarakan karya sastra

dengan penekanan pada penilaiannya.

SALAM SASTRA-SEMOGA SUKSES. (seperti

dikutip dari Wikipedia dan berbagai sumber)

¤(Ellyas/Puraka)

Pembangunan Tol Cipali. Karya: Uki

KAJIAN SASTRA

Page 25: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 24

DALAM PENGARUH KEHIDUPAN SOSIAL

ungkin anda pernah membaca sebuah

syair dengan isi pesan kehidupan di dunia,

atau sebuah jalan hidup yang tertuang dari

sebuah prosa bertajuk hidup sebagai insan dan

kemasyarakatan.

Adalah budayawan, agamawan,

penyair Emha Ainun Nadjib atau yang sering

disapa Cak Nun. Beliau merupakan salah

satu penyair yang banyak menelurkan

sebuah pandangan hidup lewat sebuah

puisi, maupun esai. Dari pemikirannya Cak

Nun memberikan pelajaran dan pengalaman

tentang keagamaan, nafas islami juga

politik.

Lahir 27 Mei 1953 di Jombang

dengan nama Muhamad Ainun Nadjib, anak

ke 4 dari 15 bersaudara ini hidup dalam

lingkungan islami. Mengenyam pendidikan

di pondok modern Darussalam Gontor dan

juga fakultas ekonomi Universitas Gajah

Mada (UGM). Dalam dunia sastra suami dari

Novia Kolopaking dan bapak dari Sabrang

Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), Emha

Ainun Nadjib kerap menulis pandangannya

tentang estetika hidup yang ia kemas dalam

puisi dan buku-buku, bahkan beliau adalah

penyair yang aktif menulis. Hb Jassin pernah

berkata "Cak Nun adalah penulis yang

genius". Karena saking aktifnya dia menulis

hingga sampai saat ini terbukti ada 40-an

judul buku yang ia karang dan juga puluhan

puisi.

Puisi Cak Nun diantaranya:

Antara Tiga Kota

Begitu Engkau Bersujud

Dari Bentangan Langit

Ditanyakan KepadanNya

Doa Sehelai Daun Kering

Ikrar

Ketika Engkau Bersembahyang

Kita Masuki Pasar Riba

Kudekap Kusayang-Sayang

Memecah Mengutuhkan

Sepenggal Puisi Cak Nun

Seribu Masjid Satu Jumlahnya

Tahajjud Cintaku

Dan judul buku-bukunya diantaranya:

Dari Pojok Sejarah (1985),

Sastra yang Membebaskan (1985)

Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),

Markesot Bertutur (1993),

Markesot Bertutur Lagi (1994),

Opini Plesetan (1996),

Gerakan Punakawan (1994),

Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),

M

Sumber foto: http://www.ciputranews.com/tokoh-nusantara/emha-ainun-najib-seorang-budayawan-dan-intelektual-muslim

PARASASTRA

Page 26: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 25

Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya

(1994)

Berikut 2 puisi Emha Ainun Nadjib yang

menggambarkan kehidupan:

Antara Tiga Kota

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Di yogya aku lelap tertidur

Angin di sisiku mendengkur

Seluruh kota pun bagai dalam kubu

Pohon-pohon semua mengantuk

Di sini kamu harus belajar berlatih

Tetap hidup sambil mengantuk

Ke manakah harus kuhadapkan muka

Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Jakarta menghardik nasibku

Melecut menghantam pundakku

Tiada ruang bagi diamku

Matahari memelototiku

Bising suaranya mencampakkanku

Jatuh bergelut debu

Ke manakah harus kuhadapkan muka

Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Surabaya seperti di tengahnya

Tak tidur seperti kerbau tua

Tak juga membelalakkan mata

Tetapi di sana ada kasihku

Yang hilang kembangnya

Jika aku mendekatinya

Ke manakah harus kuhadapkan muka

Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Antologi Puisi XIV Penyair Yogya,

MALIOBORO,1997

Dari Bentangan Langit

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Dari bentangan langit yang semu

Ia, kemarau itu, datang kepadamu

Tumbuh perlahan.

Berhembus amat

panjang

Menyapu lautan. Mengekal tanah

berbongkahan

menyapu hutan !

Mengekal tanah berbongkahan !

datang kepadamu, Ia, kemarau itu

dari Tuhan, yang senantia diam

dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin

dan tak menyapa

yang senyap. Yang tak menoleh barang

sekejap.

Antologi Puisi XIV Penyair Yogya,

MALIOBORO,1997

Cak Nun kerap diundang dalam

acara-acara keagamaan membacakan puisi

di depan khalayak penonton, seperti biasa

syairnya bersentuhan dengan masalah sosial,

pendidikan keagamaan, politik dan budaya.

Namun bisa dikatakan lewat pandangan-

pandangan itu orang akan terkesima lewat

kesadaran diri, bersosial. Cak Nun

memandang hidup itu adalah hak hakiki,

asal dijalankan dengan benar dan mengikuti

Al Quran, sunnah dan hadist dengan

mengkaji dari perspektif yang berbeda.

Sebagai agamawan dan budayawan Cak

Nun banyak menyinggung soal ini,

membicarakan istilah-istilah dalam agama,

sering materi yang ia lontarkan ketika

nimbrung bareng, di undangan suatu acara

materi menyoal keseharian, masalah-

masalah hidup manusia, yang bersyukur

Cak Nun memandang hidup itu

adalah hak hakiki, asal dijalankan

dengan benar dan mengikuti Al

Quran, sunnah dan hadist dengan

mengkaji dari perspektif yang

berbeda.

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: https://fotoisme.wordpress.com/2010/08/11/emha-ainun-najib/

PARASASTRA

Page 27: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 26

karena dapat rizki, berbagi kesesama dan

beramal, juga tentang masalah-masalah

ketika manusia mendapat cobaan, bukan

hanya sekitar hidup seseorang. Cak Nun

juga menyinggung masalah nasional dari

bencana alam, korupsi di Indonesia dan

sebagainya. Cak Nun seperti masuk dalam

semua aspek , agama, sosial, politik, hukum,

seni dan budaya. Dalam semua itu Cak Nun

berpandangan hal-hal yang menurutnya

lebih diutamakan dan logika dari sekedar

totem dalam masyarakat.

Dalam dunia teater multi-kesenian

Yogya bersama Halim HD jaringan kesenian

melalui Sanggar Bambu aktif di Teater

Dinasti Cak Nun menghasilkan repertoar

serta pementasan drama:

Geger Wong Ngoyak Macan (1989,

tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto)

Patung Kekasih (1989, tentang

pengkultusan)

Keajaiban Lik Par (1980, tentang

eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi

modern)

Mas Dukun (1982, tentang gagalnya

lembaga kepemimpinan modern)

Kemudian bersama Teater Salahudin

mementaskan Santri-Santri Khidhir

(1990, di lapangan Gontor dengan

seluruh santri menjadi pemain, serta

35.000 penonton di alun-alun madiun)

Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara

massal di Yogya, Surabaya dan

Makassar)

Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)

Juga mementaskan Perahu Retak (1992,

tentang Indonesia Orba yang

digambarkan melalui situasi konflik pra-

kerajaan Mataram, sebagai buku

diterbitkan oleh Garda Pustaka) di

samping Sidang Para Setan, Pak

Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.

Dan yang terbaru adalah pementasan

teater Tikungan Iblis yang diadakan di

Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater

Dinasti

Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc

bersama Teater Perdikan dan Letto yang

menggambarkan betapa rusaknya

manusia Indonesia sehingga hanya

manusia sekelas Nabi yang bisa

membenahinya (2012). ¤ (Rizal/Puraka) Sumber: Wikipedia

Sumber foto: google

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://www.caknun.com/author/emha-ainun-nadjib/

PARASASTRA

Ujung batang jerami Jaba Lor Karya: Priescha

Page 28: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 27

Page 29: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 28

Tapak di Suatu Simpang

Oleh: Endy Langobelen

Debu berbaring di ujung aspal

Memahat tapak memandang waktu

Yang terhenti seketika biduk ‘kan berlayar

Mengarungi bebatuan tak bertuan

Saban hari,

Mata ini seakan sesat menimang siasat

Langkah ini seakan menutup sebuah skenario

Menutup lembaran suatu petualangan

Suatu peperangan melawan kemerdekaan

Telunjuk tinggal pasrah kepada arah

Kepada jalan yang tak pasti ‘tuk ditempuh

Kepada sungai saat beriak keras

Mencari surau tuk berteduh saat hujan

Beringin saat angin menerpa

Tak kunjung pula telinga mendengar

Mata pun tak lagi terpandang

Pikiran tak lagi berangan

Tapak pun risau memilih jalan di suatu simpang

Hokeng, 16 Mei ‘15

PURAKARYA PUISI

Page 30: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 29

Puisi Saat Berbuka Puasa

Oleh: Endy Langobelen

Bu, bulan puasa menyabit

Bintangnya menerang tak berkedip

Dinginnya sudah kusimpan baik, dalam sarung

Hangatnya kubiarkan di ujung pintu

Barangkali dosa mengetuk mata

Bu, Ibu! Kok diam?

Mata Ibu kenapa?

Tampak bernoda, Bu.

Ada luka meninta

Ibu puasa, kan?

Duk… Duk… Duk…

Sudah buka, Bu.

Ini, yang kuhidangkan buat Ibu

Sepiring puisi ‘tuk berbuka puasa

Silakan disantap, Bu!

Jogja, Juni ‘15

Biodata Penulis:

Endy Langobelen, Lahir di Sorong, 20 april 1996.

Tamat dari SMA Seminari San Dominggo Hokeng

tahun 2015. Berdomisili di Desa Lamawara - Kec.

Ile Ape – Kab. Lembata – Prov. NTT

PURAKARYA PUISI

Page 31: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 30

Dikisahkan kembali oleh: Abdul Mukhid

Konon pada zaman dahulu, di

Kadipaten Malang ada seorang putri Adipati

yang cantik jelita dan sakti mandraguna.

Putri itu bernama Roro Ayu Proboretno.

Untuk melatih ilmu beladirinya, Proboretno

kerap berlatih dan bertapa di Gua Amprong.

Kecantikan dan kelihaian ilmu beladirinya

termasyhur di berbagai tempat di seluruh

pulau Jawa yang saat itu telah berdiri

Kerajaan Mataran Islam. Maka tidak

mengherankan jika banyak laki-laki yang

ingin memperistri Proboretno. Suatu hari,

ayah Proboretno yang tak lain adalah

Adipati Malang, mengumumkan sebuah

sayembara, yaitu siapa pun yang bisa

mengalahkan kesaktian putrinya, akan

diangkat sebagai menantu atau menjadi

suami Proboretno.

Berita sayembara itu pun segera

menyebar ke berbagai daerah. Di daerah

Japanan, ada seorang pemuda yang amat

antusias ingin memenangkan sayembara

Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://impalaub.or.id/identitas-vertikal/

PURAKARYA CERPEN

Page 32: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 31

Raja Mataram memandang hal ini sebagai

pemberontakan dan mengirim pasukan ke

Malang. Pasukan dari Mataram dipimpin

oleh Joko Bodho. Sementara pasukan dari

Malang dipimpin pasangan suami istri

Raden Panji Pulang Jiwa dan Roro Ayu

Proboretno.

dan memperistri Proboretno. Nama pemuda

itu adalah Sumolewo. Ketangkasan ilmu

beladirinya juga terkenal di berbagai daerah.

Sumolewo mempunyai seorang guru

bernama Ki Jakpar Sodiq. Sumolewo

menyampaikan keinginannya untuk

mengikuti sayembara tersebut kepada

gurunya.

“Guru, saya ingin ikut sayembara.

Sudah lama saya memendam keinginan

untuk memperistri Proboretno,” kata

Sumolewo ketika menghadap di sebuah

ruangan khusus di padepokan.

Ki Jakpar Sodiq mengernyitkan dahi,

kemudian terdiam. Sejurus kemudian beliau

memejamkan mata untuk beberapa lama.

Sementara itu, Sumolewo masih tertunduk,

menanti dengan harap-harap cemas

jawaban dari gurunya.

Beberapa saat kemudian, sang guru

membuka mata dan menarik napas dalam-

dalam.

“Aku tidak menyarankan kamu untuk

ikut. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin

melarangmu. Aku lihat tekadmu begitu kuat.

Hanya saja, aku ingatkan padamu. Kau tidak

akan bisa memenangkan sayembara itu.

Akan ada seseorang berkumis, tinggi besar

dan amat sakti yang mengalahkanmu.”

Sumolewo segera berpamitan

setelah mendengar wejangan gurunya.

Perasaannya campur aduk antara kecewa

dan gusar. Kecewa karena sang guru tidak

mendukungnya, dan gusar atas ramalan

gurunya. Namun begitu, keinginannya untuk

memperistri Proboretno jauh lebih besar

dari rasa kecewa dan gusar itu. Dia tetap

bertekad ingin mengikuti dan

memenangkan sayembara.

Akhirnya, Sumolewo mengumpulkan

beberapa orang kepercayaannya. Bersama

mereka, Sumolewo menghadang siapa pun

yang sesuai dengan ciri-ciri yang

digambarkan gurunya dan hendak masuk ke

Kadipaten Malang melalui gerbang utara

untuk mengikuti sayembara. Penghadangan

dilakukan di Kali Mati, sebuah daerah di

sekitar kota Lawang sekarang. Disebut Kali

Getih (dari bahasa Jawa yang artinya Sungai

Darah) karena orang-orang yang dihadang

itu dibunuh dan dibuang di sungai dengan

darah berceceran. Siapa pun yang lewat

daerah itu akan ditanyai. Kalau dia orang

Madura, maka dia langsung diserang dan

dibunuh.

Sementara itu, di Pulau Madura,

Adipati Sumenep Raden Panji Pulang Jiwa

juga mendengar tentang sayembara itu.

Raden Panji terkenal amat sakti dan gagah

berani. Tubuhnya tinggi besar tetapi

gerakannya amat cekatan. Raden Panji

mempunyai tunggangan kesayangan berupa

seekor kuda yang diberi nama Sosro Bahu.

Agaknya Adipati Sumenep itu juga tertarik

untuk mengikuti sayembara dan memperistri

Proboretno.

Berkat kesaktiannya,

Raden Panji Pulang Jiwa

mengetahui kalau ada

Penghadangan terhadap para

calon peserta sayembara dari

Madura yang lewat daerah

Malang Utara. Maka dari itu, dia

pun memutuskan untuk lewat

jalur sebelah timur, tepatnya di

daerah Kedung Kandang.

Daerah tersebut merupakan

pusat hewan pemeliharaan

PURAKARYA CERPEN

Page 33: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 32

Kadipaten Malang saat itu. Berkat strategi

ini, Raden Panji selamat dari hadangan

Sumolewo dan kawan-kawan.

***

Syahdan, pada hari yang ditentukan

para pendekar dari berbagai penjuru daerah

berkumpul untuk mengikuti sayembara.

Peraturan sayembara itu adalah para

pendekar itu bertarung saling mengalahkan

sampai ada satu pemenang. Yang terbaik di

antara para pendekar itu akan

bertarung

menghadapi

Proboretno, dan

jika dia bisa

mengalahkan

Proboretno,

maka dia

berhak

menjadi

suami sang

Putri Adipati.

Setelah

pertandingan

berlangsung beberapa

lama, tinggal dua orang

pendekar yang

berhadapan. Mereka

adalah Sumolewo dan Raden

Panji. Kedua orang itu pun beradu kesaktian.

Mereka bertarung dengan amat sengit,

mulai pertarungan tangan kosong,

menggunakan senjata sampai mengeluarkan

ajian. Setelah jurus demi jurus berlalu,

Sumolewo berhasil dikalahkan, dan Raden

Panji Pulang Jiwa keluar sebagai pemenang.

Maka, sebagai pemenang Raden

Panji berhak menantang Proboretno.

Sekalipun seorang wanita, ternyata

Proboretno sangat tangguh. Pertarungan

keduanya berlangsung seimbang dan lama.

Pada suatu kesempatan, Proboretno

terdesak dan melarikan diri untuk

berlindung agar terhindar dari kekalahan.

Dia berlindung di gerbang bekas benteng

Kerajaan Singasari. Proboretno mengira

dirinya sudah aman, tetapi Raden Panji

benar-benar sakti sehingga bisa menembus

gerbang itu dan mengalahkan sang Putri.

Maka sesuai ketentuan sayembara,

dan berhak mempersunting

Roro Ayu

Proboretno.

***

Pesta

perkawinan

pun

dilangsungkan

dengan amat meriah.

Bukan hanya para

pejabat Kadipaten

yang hadir,

tetapi juga

dari

kalangan rakyat

jelata. Pesta rakyat

digelar tujuh hari tujuh malam dengan

berbagai hidangan dan hiburan gratis untuk

rakyat.

Singkat cerita, perkawinan antara

melahirkan sebuah keluarga bahagia.

Keduanya juga dikenal santun dan murah

hati kepada rakyat jelata. Dari perkawinan

keduanya membuahkan seorang putra yang

bernama Raden Panji Wulung atau dikenal

juga dengan sebutan Raden Panji Saputra.

Pada masa itu sebenarnya Malang

dan daerah-daerah di Jawa Timur lainnya

berada di bawah kekuasaan Kerajaan

Mataram. Akan tetapi, daerah-daerah yang

dikenal dengan sebutan Brang Wetan

(Kawasan Timur) ini menolak tunduk pada

Mataram. Raja Mataram memandang hal ini

sebagai pemberontakan dan mengirim

pasukan ke Malang. Pasukan dari Mataram

dipimpin oleh Joko Bodho. Sementara

pasukan dari Malang dipimpin pasangan

PURAKARYA CERPEN

Page 34: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 33

suami istri Raden Panji Pulang Jiwa dan Roro

Ayu Proboretno.

Akhirnya, pada suatu kesempatan

Joko Bodho berhadapan dengan

Proboretno. Karena ingin memenangkan

pertarungan, Joko Bodho memutuskan

untuk menggunakan keris sakti dari

gurunya. Sebenarnya dia sudah diingatkan

gurunya bahwa tuah sakti keris itu akan

hilang kalau digunakan untuk membunuh

wanita. Karena terpaksa, akhirnya Joko

Bodho menghunus kerisnya dan mengakhiri

hidup Proboretno.

Mendengar kematian istrinya, Raden

Panji marah. Dengan menunggang kuda

Sosro Bahu, dia mengejar dan membunuh

banyak pasukan Mataram. Joko Bodho yang

sudah tidak memiliki senjata ampuh,

akhirnya dengan mudah dikalahkan dan

dibunuh oleh Raden Panji.

Pasukan Mataram gusar karena

banyak korban berjatuhan dari pihak

mereka. Akhirnya mereka merancang sebuah

siasat untuk menjebak dan mengalahkan

Raden Panji. Siasat yang mereka lakukan

adalah dengan membawa seorang putri

Mataram yang mirip dengan Proboretno dan

dibuatkan sebuah panggung untuk

menyanyi. Di jalanan menuju panggung itu

diberi sebuah jebakan berupa sumur.

Begitu mendengar dan melihat

seorang putri yang amat mirip dengan

istrinya, Raden Panji mendekat melalui jalan

menuju panggung. Tanpa disadarinya, dia

terjebak di sumur maut dan dikeroyok

puluhan prajurit Mataram. Raden Panji

akhirnya dimakamkan di sebuah tempat di

kota yang sekarang menjadi ibukota

Kabupaten Malang, yaitu Kepanjen. Kata

Kepanjen sendiri berasal dari kata Kepanjian,

yang berarti tempat Raden Panji. Makamnya

sekarang berada di belakang Kantor Diknas

Kabupaten Malang di Kepanjen.¤

Biodata Penulis:

Abdul Mukhid, lahir di Malang 22 Februari 1974.

Karya-karyanya tersebar di media maupun

antologi puisi dan cerpen seperti Dian Sastro for

President #2 Reloaded, Ponari for President,

Grafiti Imaji, Ketawang Puspawarna, Pelangi

Sastra Malang dan buku puisi tunggal Tulislah

Namaku Dengan Abu. Kini bekerja penerjemah

dan penulis

lepas.

Bukit Majalengka. Karya: Uki

PURAKARYA CERPEN

Page 35: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 34

Cahaya Bening

Oleh: M.F. Hazim

Mataku memancarkan cahaya bening

Saat kau melihatnya

Itu membuat diriku menjadi transparan

Jiwaku yang rumit dan gusar

Tak pernah bisa kusembunyikan

Aku takkan bisa berbohong

Karena mataku selalu memancarkan cahaya bening

Kita memiliki jembatan harapan

Yang selamanya kan membentang

Mengantar sewadah kristal yang manis

Sebanyak itu yang aku berikan

Coba bayangkan

Dalam gerak angin yang berlalu

Bersama waktu

Mimpi nyata ini takkan terlupakan

2015

Biodata Penulis: Nama lengkap penulis Mukhammad Faris Hazim. Saat ini tinggal di Sidoarjo. Blog: hazimwriter.blogspot.com. Penulis telah menerbitkan beberapa karya puisi dan cerpen dalam buku antologi.

PURAKARYA PUISI

Page 36: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 35

Di Ujung Piloritas Daun,

Kulamar Lelaki Merah Hati

Oleh: Kinanthi Anggraini, M.Pd

1

Seringkali Tuhan Alam

tertutup embun

Menyamar roh haus di pancuran bulu

Dan bangkit dalam doa

Maka, aku menyalakan mata

Saat batang tuli

Pada suara tangis malam afotik

di lembah Swan

Misteri suci mencarimu

Menuruni tiap lekuk bibir

Pipi dan kening yang bingung

Mencari tetes keringat jatuh

di dada merekah

milikku

Selimutmu tertinggal

Dihangati nyala api hutan

Serangan liar turun dari bintang

kejora mata gemintang

Sedang menukar warna darahku

Dengan padang rumput

tanpa api

Membuai ingatan di kebun kita

sampai liang lahat

Sampai tumbuh bunga bakung

Sampai hilang perasaan aneh

Sampai mutlak mencintai

2

Musim gugur mendengar

Kisah-kisah gelombang akar

disembunyikan pohon

Dari temaram harum bunga

Jendelaku dirasuki cinta napas

bagai lautan mengering

di ingatan senyuman bumi

Aku memetik keterasingan

tanpa sentuhan jarimu

kidung-kidung di atas mawar

dan desahan panjang

dari pembebasan

Merintih manis

Dalam prosa hidup

Milik sajak yang kuubah sedikit

mencoba meredam gelora

kecupan kekasih

Berwarna kekhawatiran wajar

Di jari-jari mata angin

3

Adakah sekecup ciuman, penyair?

Panorama kenangan itu

Mengitari seringan awan

Warna berbeda di sisi tanah

Di puncak senja rumah kita kelak

Apakah gaib itu menyiapkan cinta?

Saat cadar dadaku melahirkan anak

Buah melagukan dendang hampa

Pada angin sepoi yang rumit

Mandilah bersamaku

Di kolam pelangi

Saat kau datang

4

Kerinduan ini adalah

sarang dari pohon almond

Menggubah kabut menjadi matahari

Kelemahan ramah keagungan batin

Cabang-cabang yang mati

Tanpa partikel puisimu

Meskipun getar nada memecah sunyi

Menghabiskan air mata di dasar jurang

Terbelenggu gelap impian

Kau masih berkedip

Bagai ruh yang hidup di cermin jernih

kugantungkan bunga untukmu

PURAKARYA PUISI

Page 37: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 36

Di langit tiang pualam

5

Seringkali Tuhan Alam

tertutup embun

Menyamar roh haus di pancuran bulu

Dan bangkit dalam doa daunku

Maka, aku berlayar harapan

Di depan pintu denyar

Saat gerimis luruh pada pias

Menabuh genting

Seperti bunga tidur yang mekar

siang hari

Rindu meminangmu

Di deretan potret berjejer

Menyampaikan pinangan

pada tali temali

Perapian pohon pangkal duri

Di depan muntahan serangga

Aku mencoba mengikuti embun

Berbekal botol mengkerut

kertas lusuh

catatan usang

bekas air mata

Merambat pada rumput liar

Yang bosan jadi kupu-kupu

6

Aku membawakan

Rose dalam gelas arum manis

Untuk melamarmu.

Garut, Maret 2015

PURAKARYA PUISI

Page 38: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 37

Tombak Teheran : Mahmoud Ahmadijenad Melihatnya berkaca di depan cermin pagi itu. Kudengar ia berbicara dengan bayangannya saat: "Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan. Hari depanmu dipenuhi dengan tanggungjawab besar yaitu melayani Iran". Setelahnya tas merah yang disiapkan istrinya tak lupa terbawa. Berisi roti isi keju yang ia makan dengan gembira. Karena telah lama, ia meniadakan sajian istimewa. Yang berlaku untuk orang nomer satu di negaranya.

Semenjak hari pertama presiden ini menjabat. Seluruh karpet istana disumbangkan ke masjid-masjid kurang terawat. Tak lupa menyebutkan kekayaan yang ia punya. Mobil Peugeut tahun1977, rekening bank saldo minimum, sejumlah gaji dan rumah renta peninggalan 40 tahun lalu dari ayahnya. Tempat lingkungan kumuh, kota Teheran bernama. Sementara, aku mengagumi cara memperlakukan jajaran kabinetnya. Kerap memanggil untuk berkumpul di istana diberikan selembar dokumen untuk selalu mereka ingat. Berisi arahan hidup sederhana sesuai keringat. Dan juga rekening pribadi dan saudara, yang selalu diawasi dengan ketat oleh negara. Tak berhenti sampai di situ bijakkannya. Fasilitas pesawat kepresidenan telah ia ganti pesawat kargo. Untuk menepis kepentingan pribadi dan ego. Berimbas pada hematnya pajak masyarakat. Dan kelas ekonomi tak lupa ia pilih untuk berangkat. Inilah pria yang menggelar karpet di pinggir jalan. Saat mendengar panggilan ibadah berupa adzan. Dan bermuara suatu kebiasaan. Untuk senantiasa berbaur warga, tanpa harus beribadah di baris paling depan. Sesekali tak sengaja melihatnya bercengkrama. Bukan dengan menteri atau duta besar negara. Melainkan dengan pelayan kebersihan atau tukang kebun di depan istana. Jakarta, Maret 2015

Biodata Penulis : Kinanthi Anggraini, M.Pd lahir di Magetan, 17 Januari 1990. Karya puisinya pernah dimuat di beberapa media massa. Prestasi lain yang diraihnya yaitu menjadi Juara 1 Puisi Terbaik pilihan Gerbang Sastra, Bali (2014) Buku puisi tunggalnya berjudul Mata Elang Biru (Pustaka Puitika, 2014) Alumni Pascasarjana Pendidikan Sains UNS ini sekarang tinggal di Garut, Jawa Barat.

PURAKARYA PUISI

Page 39: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 38

Baru saja ia rebahkan tubuhnya di

atas ranjang namun tiba-tiba saja ia

merasakan sakit di kepala yang begitu

menusuk. Seakan beribu-ribu paku tajam

dan panas ditancapkan. Pandangannya

menjadi tak jelas. Ia sibuk dengan rasa sakit

yang menggila di kepalanya. Menyusul

kemudian ia merasakan panas di seluruh

tubuhnya. Panas yang juga menggila dan

membuat keringat bermunculan di seluruh

tubuhnya. Lelaki itu mencoba berdiri namun

semakin sakit. Ia rebahkan lagi tubuhnya

dengan kasar. Serasa tertusuk-tusuk seluruh

badannya dengan benda tajam.

Tembok, jam dinding, poster, cermin,

lemari, semuanya terlihat menertawakannya.

Di kedua matanya, semua benda itu benar-

benar menjadi makhluk hidup dengan kedua

mata bulat besar dan merah, dengan alis

tebal dan panjang, hidung besar dan berair,

dan yang lebih membuatnya ngeri semua

benda itu mempunyai mulut dengan taring-

taring panjang yang terbahak-bahak

menertawakannya. Hingga suara-suara tawa

benda-benda itu memekakkan telinganya.

Ia tidak tahan dengan sakit yang ia

rasakan. Ia menarik-narik rambut

panjangnya sendiri. Ia juga terus berusaha

menutup telinganya dari suara-suara tawa

yang semakin memusingkan itu. Sedangkan

panas tubuhnya pun semakin membakar

kulitnya. Dengan kasar ia tarik kaos yang ia

kenakan. Sembari mengerang, kaos itu

sobek di kedua tangannya. Kemudian

dilemparnya kaos itu ke sembarang arah.

“Aaaarrrggghh….!”

Hari sudah malam, Ratni yang

sedang tidur dan mendengar teriakan

adiknya, Sardi, seketika itu juga berlari

mendekat. Diraihnya gagang pintu kamar

Sardi. Ia ikut was-was, dadanya bergemuruh.

Ratni panik karena pintu kamar Sardi

terkunci dari dalam.

“Sardi…!”

“Buka Sardi…! Sira nang apa?i”1

Berulang kali Ratni mencoba

membuka pintu kamar Sardi namun tak bisa.

“Sardi…!”

Tak ada sahutan sama sekali dari

dalam kamar Sardi. Hanya erangan yang

kembali terdengar. Suara gaduh jelas

terdengar dari dalam kamar.

Tak ambil pusing, Ratni keluar rumah

dan berteriak-teriak minta tolong.

“TOLONG…! TOLONG…!”

1 Kamu kenapa?

PURAKARYA CERPEN

Oleh: Ade J. Asnira

Page 40: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 39

Hening malam itu pecah oleh

teriakan lantang Ratni ke segala arah.

Beberapa tetangga yang mendengar

seketika keluar rumah dan menghampiri

Ratni. Ratni menuntun ke dalam rumah. Tak

perlu dijelaskan, tetangga yang saat itu

masuk ke dalam rumah bisa mengerti sendiri

apa yang sedang terjadi. Erangan dan suara

gaduh dari dalam kamar Sardi masih jelas

terdengar. Ratni hanya perlu mengatakan

pintu terkunci maka tetangga yang masuk

pun tahu pintu kamar Sardi terkunci

sedangkan Sardi sendiri sedang mengerang

dan kesakitan entah terkena apa.

Dalam hitungan ke tiga, dua orang

lelaki mendobrak pintu tersebut. Pintu

terbuka.

***

Ini jelas bukan sakit biasa. Sardi kalap

melihat apapun yang menghampirinya. Dua

orang yang pertama kali masuk dan

mencoba menelikung kedua tangan Sardi

tak pernah berhasil. Kedua orang itu

kewalahan. Sampai-sampai salah satu dari

kedua orang itu sempat terkena pukulan

tangan Sardi yang menyerang sembarangan.

Tak lama kemudian Mang Komsin

yang berbadan besar dan dikenal bertenaga

besar pula datang dengan lelaki lainnya.

Mang Komsin pun mencoba ikut

menenangkan.

“Edan…! Tenaganya bukan seperti

tenaga Sardi!” kata Mang Komsin sambil

geleng-geleng di tengah kesibukannya

mencoba membantu menenangkan Sardi.

Ratni yang kini terduduk lemas

melihat dengan nanar peristiwa itu.

Pikirannya ikut tak menentu. Di matanya,

lelaki yang kini mengamuk tak jelas itu

bukanlah Sardi. Teriakan dan sorot matanya

bukan seperti yang ia tahu. Meskipun ia

sudah biasa melihat Sardi ngamuk setiap

kali pulang nonton organ atau main

perempuan dan main judi, tapi Sardi yang

malam itu tidak seperti yang ia kenal. Ratni

benar-benar merasa melihat sisi lain dari

adik lelakinya itu.

“Panggil Wa Pelet2…!” kata salah

seorang yang ikut mengerubung di rumah

Ratni dini hari itu.

“Hari masih gelap gini manggil Wa

Pelet?” seorang lain menimpali.

“Nanti ngganggu…”

“Daripada tambah parah

ngamuknya,” jawab lelaki yang

mengusulkan.

“Iya, benar. Ini pasti bukan sakit

biasa.”

“Kalau begitu biar saya saja yang

panggil,” kata seorang bapak sembari

beranjak keluar dari rumah Ratni dan

menuju rumahnya kembali. Disusul

kemudian terdengar derum suara motor di

kejauhan.

“Panas, Mbok…!”

“Aduh lara…!!!” erang Sardi.

Di tengah kegaduhan Sardi yang

terus saja mengerang, jika diingat-ingat lagi

sebenarnya tak ada yang aneh dari diri Sardi.

Ratni tahu benar seharian itu Sardi ke mana

dan melakukan apa. Maka ia katakan yang

sebenar-benarnya saat Bik Yum menanyakan

apa yang dilakukan Sardi sore tadi. Yang ia

tahu Sardi nglayab dengan Rato, Dul dan

Simin ke Gunung Gundul. Semua warga

sudah tahu bahwa Gunung Gundul

sebenarnya hanyalah kelokan jalan dengan

warung remang-remang berjejer dan jalan

itu menuju gunung yang sudah gundul

karena diambil isi perutnya untuk produksi

semen. Dan baru jam 2 dini hari Sardi

pulang. Setelah itu yang Ratni tahu hanyalah

Sardi yang mengerang keras dari dalam

kamarnya.

Benar-benar tak ada yang aneh dari

gelagat Sardi sebelumnya. Bik Yum yang

2 Pelad.

PURAKARYA CERPEN

Page 41: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 40

Dan tepat ketika sayup-sayup terdengar adzan, Wa Pelet berdiri seraya mengambil segelas air putih di depannya. Detik berikutnya segala apa yang dilakukan Wa Pelet menjadi perhatian oleh semua orang yang menyaksikan.

mendengar penuturan Ratni pun tak bisa

memperkirakan apa sebenarnya yang terjadi

pada Sardi. Sampai sepuluh menit kemudian

dari kejauhan terdengar kembali suara

motor yang semakin lama semakin

terdengar mendekat.

“Wa Pelet sudah datang,” suara

seseorang setengah berbisik.

Lelaki beruban dan kurus yang

dikenal sebagai Wa Pelet itu bergegas turun

dari motor dan membelah kerumuman

warga yang sedari tadi berjejal di depan

rumah Ratni. Sesampainya di dalam Wa

Pelet menanyakan hal yang sama persis

dengan apa yang ditanyakan Bik Yum

sebelumnya pada Ratni. Wa Pelet pun

menggelengkan kepalanya setelah

mendengar penuturan ulang dari mulut

Ratni.

Sejenak kemudian Wa Pelet duduk

bersila di depan pintu kamar Sardi. Matanya

tepat tertuju pada Sardi yang masih

kelojotan. Ketiga lelaki termasuk Mang

Komsin yang masih terus berusaha

menenangkan Sardi tampak lebih kepayahan

dari sebelumnya. Namun erangan Sardi

mulai melemah. Wa Pelet merasakan hawa

panas memenuhi ruangan kamar. Keributan

di luar seketika surut. Hanya bunyi bebisik

yang kini terdengar.

Kurang lebih 20 menit lamanya Wa

Pelet hanya duduk di pintu kamar sambil

memandangi Sardi. Erangan Sardi masih

terdengar. Sesekali keras dan sesekali

melemah. Hingga terdengar dari kejauhan

bunyi sholawat yang memang

selalu dipujikan sebelum

waktu shubuh tiba, kedua bibir

Wa Pelet bergerak-gerak.

Lelaki tua itu sedang

melafalkan sesuatu.

Dengan isyarat Wa

Pelet minta disediakan air

putih di hadapannya. Setelah

air putih tersebut

disandingkan, kembali ia

membacakan sesuatu seperti…

do’a. Tapi semua orang yang

menyaksikan kejadian itu tak mengerti apa

yang dilafalkan Wa Pelet. Mereka hanya

yakin bahwa apa yang dilafalkan Wa Pelet

adalah sebuah mantra untuk menghilangkan

penyakit atau semacamnya.

Dan tepat ketika sayup-sayup

terdengar adzan, Wa Pelet berdiri seraya

mengambil segelas air putih di depannya.

Detik berikutnya segala apa yang dilakukan

Wa Pelet menjadi perhatian oleh semua

orang yang menyaksikan.

Dibasuhnya muka Sardi dengan air

putih yang Wa Pelet bawa. Basuhan pertama

membuat Sardi mengerang. Basuhan ke dua

erangan Sardi melemah. Dan pada basuhan

ke tiga mulut Sardi tertutup hanya kedua

matanya kini melotot pada Wa Pelet.

“Tingeling…! Tingeling…!

Tingeling…!” kata Wa Pelet sambil

memegangi kepala Sardi dan sedikit

menghentakkannya.

Ajaib. Sorot mata Sardi langsung

melemah dan seluruh tubuhnya yang tadi

kuat memberontak pun melemah.

Ratni menghembuskan nafas lega.

Usai sudah.

“Tingeling cila uh ulip nging

ndungnya. Tingeling nging engelan. Wis

wayas…!”

PURAKARYA CERPEN

Page 42: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 41

Baru setelah Wa Pelet sudah kembali

di antar pulang, seseorang berkata, “Kata

istrinya, yang dilakukan Wa Pelet sebenarnya

hanya berdo’a. Tapi sangat manjur.”

“Do’a orang seperti Wa Pelet kan ana

sing ngrewangi…. Ada yang membantu.”

Tegalkarang, 14-09-15

22:54

Catatan:

- Tingeling berasal dari kata sing eling

yang mempunyai arti sadarlah; yang

sadar. Bermaksud untuk menegaskan

pada seseorang supaya sadar

dengan apa yang telah dilakukan.

Kata Tingeling biasa digunakan oleh

orang Cirebon saat memberi

pelajaran sambil memukul dan

mengingatkan bahwa kesalahan

harus diakhiri dengan bertobat. ¤

Biodata penulis:

Ade J. Asnira saat ini berdomisili di Taoyuan

Taiwan. Beberapa cerpennya pernah

diterbitkan dalam antologi sebagai berikut:

Melukis Ka’bah (Lovrinz Publishing-Mayor),

Empati Demi Surgawi (Kaifa Publishing-

Mayor), Kisah Dari Rumah Kambira (Smart

Writing Publishing-Indie), Secawan Harapan

(AG Litera-Indie). Beberapa puisinya pernah

juga dimuat dalam antologi Suara Yang

Terbungkam (Nida Dwi Karya Publishing-

Indie), NOL (Deka Publishing). Penulis bisa

dihubungi melalui [email protected].

Belalang dan Sawah. Karya: Uki

Belalang dan Sawah. Karya: Uki

PURAKARYA CERPEN

Page 43: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 42

Oleh : Eva Riyanty Lubis

alam-malamnya

mendadak

menyeramkan.

Embusan angin yang

biasanya dia cintai tak mampu lagi

membuatnya tenang. Apalagi

kerlap-kerlip bintang di langit.

Baginya, mereka seolah tersenyum

sinis. Dia tak ada teman. Manusia

pun satu-persatu menjauhinya.

Entahlah. Dia yang menjauh, atau

dia yang dijauhi.

Dinda telah berubah. Tidak

lagi riang. Tidak ada tawa bahagia. Senyum

simpulnya padam seketika. Tubuh

mungilnya pun mendadak semakin

mengecil. Seolah bumilah yang membuat

dia seperti ini. Matanya menebar ketakutan.

Harapannya pupus satu persatu.

***

“Kau beneran suka pada lelaki itu?”

tanya Siti dengan kening berkerut. Malam itu

mereka tengah duduk berdua di balai taman

kota

Dinda menyipitkan mata seraya

berujar, “Ada yang salah?”

“Nda, aku nggak habis pikir deh.

Sudah empat tahun kita merantau di kota

Medan ini. Ada banyak lelaki yang suka dan

mendekatimu. Sebagian dari mereka aku

kenal dengan baik. Masalahnya, kenapa

sekarang kamu bisa suka dengan lelaki yang

baru kamu kenal? Dua hari, Dinda!”

Dinda tertawa kecil. Sudah menduga

kalimat yang akan keluar dari bibir Siti.

“Siti, cinta itu bisa datang kapan saja,

di mana saja dan pada siapa saja,” kata

Dinda diplomatis.

“Jiah! Sejak kapan kau percaya

dengan kalimat murahan itu?” Siti geleng-

geleng kepala tidak percaya. “Dari awal aku

kurang setuju dengan hobi travelling-mu itu.

Masa capek-capek kerja dari Senin sampai

Jum’at, Sabtu sama Minggunya selalu kau

habiskan dengan jalan-jalan?”

“Aduhhh Sitiiii…. Stop deh! Jangan

kaya emakku. Aku suka jalan-jalan. Dan

M

PURAKARYA CERPEN

Jalan Untuk Pergi. Karya: Rizal

Page 44: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 43

“Dan kehilangan tak pernah lebih pedih dari mencintaimu. Sementara melupakanmu, hanyalah caraku menipu rasa

sakit.”(Agus Noor).

kamu juga tahu kalau salah satu impian

terbesarku adalah keliling Indonesia. Aku

ingin menikmati keindahan alam yang

diberikan Sang Pencipta ini.”

“Oke, oke. Aku terima. Kembali ke

topik utama. Aku nggak setuju kalau kamu

suka sama lelaki itu. Siapa namanya?”

“Karno,” tegas Dinda cepat.

“Whatever-lah! Pokoknya aku nggak

setuju. Tampangnya aja tua gitu. Jangan-

jangan udah punya bini. Ihhhh seraaaam!”

Dinda memang sudah menunjukkan

foto Karno kepada Siti. Waktu itu Dinda

pergi ke Gunung Simeru. Di sanalah dia

bertemu dengan Karno. Orang Jawa yang

sedari kecil tinggal di Bali. Sesungguhnya

tidak ada yang begitu istimewa dari Karno.

Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak

terlalu pendek. Badannya tidak gemuk dan

tidak juga kurus. Kulitnya sawo matang. Pas

bertemu Dinda, cambangnya malah sedang

awut-awutnya. Wajahnya pun benar-benar

khas Asia.

Jadi, apa yang membuat Dinda jatuh

cinta pada pandangan pertama kepada

lelaki itu?

“Haduh, Siti. Seharusnya kamu

ngasih support kepadaku. Bukan malah

berpikiran negatif seperti ini.”

Hari-hari Dinda semakin berwarna.

Karena ada Karno di sisinya. Meski mereka

hanya bisa berhubungan jarak jauh, dia

memberikan harapan besar pada hubungan

itu.

***

Dinda tengah terserang dingin

teramat akut kala Karno menemukannya.

Lelaki bercambang itu menutupi tubuh

Dinda dengan jaket tebal miliknya. Dinda

telah kehilangan tenaga. Namun dia masih

sanggup untuk memandangi sang

penolong.

Tanpa banyak bicara, Karno

memapah Dinda untuk masuk ke dalam

tendanya. Sedang tenda milik Dinda

bermasalah sehingga tidak bisa didirikan.

Waktu itu, Dinda hanya seorang diri ke

gunung Simeru. Dia memang terbiasa

sendiri. Menurutnya solo traveller tidak

selamanya seorang diri. Sebab dia pasti akan

menemukan banyak orang selama

perjalanan. Namun untuk perjalanan kali ini,

seharusnya dia memang tidak seorang diri.

Karno memberikan air hangat

kepada Dinda. Dinda meneguk sebanyak

yang dia butuhkan.

“Istirahatlah. Semua bakalan baik-

baik saja,” ucap Karno setengah berbisik.

Dan setelah itu, tiba-tiba saja Dinda

terlelap dalam mimpi indahnya.

Keesokan paginya, Dinda sudah

berhasil mendapatkan kembali tenaganya.

Dia mencari sang penyelamat.

“Terima kasih,” kata Dinda tulus.

Karno pun membalas dengan

senyuman terbaiknya. “Tidak masalah. Kau

sudah baikan?”

“Ya.”

“Bersyukurlah pada-Nya.”

Dinda kembali menganggukkan

kepala.

“Kau seorang diri?” tanya Karno

kemudian.

“Tidak. Ada kau dan yang lainnya di

PURAKARYA CERPEN

Page 45: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 44

sini,” jawab Dinda sembari memandang

orang-orang disekeliling mereka.

Karno terkekeh. “Aku tahu kalau kau

itu perempuan yang tangguh.”

“Aku tidak bilang seperti itu,” jawab

Dinda dengan rona merah yang tiba-tiba

menjalari wajahnya.

“Kau selalu seorang diri?”

“Hmmm…. Lebih sering, iya.”

Karno menganggukkan kepala.

“Sudah kuduga. Oh ya, kau pasti lapar. Aku

ada kue. Silahkan dimakan dulu. Perjalanan

masih panjang.” Karno menyodorkan dua

bungkus roti kecil kepada Dinda. Dinda pun

menerimanya.

“Alam ini sangat indah,” ucap Karno

sembari tidak melepaskan pandangan pada

hamparan hijau di sekeliling mereka.

“Ya. Tidak ada yang lebih indah

selain menikmati keindahan alam hadiah

dari Sang Pencipta ini.”

“Akan lebih baik kalau menikmatinya

dengan pasangan,” sahut Karno terkekeh.

“Hmm…. Aku kurang setuju,” jawab

Dinda tegas.

“Apalagi perempuan seperti kamu.

Kejadian tadi malam sudah sangat fatal.

Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu

sedangkan kamu hanya seorang diri ke sini?”

Dinda terdiam. Memang selama ini

dia tidak begitu merasa bermasalah

bepergian seorang diri. Namun yang

dialaminya kemarin malam benar-benar di

luar perkiraannya.

“Oh ya, aku Karno.”

“Din… Dinda,” jawab Dinda

gelagapan.

Setelah itu, Dinda memutuskan

untuk jatuh cinta kepada Karno. Tanpa

pertimbangan apapun. Yang dia tahu, Karno

telah berhasil menyentuh hatinya yang

terdalam dengan waktu yang sangat singkat.

Ya, Karno berhasil membuka hati Dinda yang

telah terkunci sekian lama.

***

“Kamu pacaran dengan lelaki yang

tidak jelas!” gusar ibunya Dinda kala Dinda

pulang ke kampung halamannya, Semarang.

“Siapa bilang tidak jelas sih, Bu?”

“Kalau jelas, dia seharusnya datang

ke rumah kita. Memperkenalkan diri pada

Ibu, Bapak dan saudara-saudaramu!”

“Dia lagi sibuk, Bu!” jawab Dinda

tidak ingin Karno disalahkan.

“Pokoknya Ibu ingin kamu segera

menikah! Ingat usiamu, Dinda!”

Dinda memang anak tertua. Dia

memiliki lima orang adik yang rata-rata

kesemuanya masih bersekolah.

“Bu, Dinda belum ingin menikah.

Dinda masih harus bekerja. Ibu yang sabar

dong! Lagian zaman sekarang ini menikah

muda lebih banyak efek negative-nya. Ibu

nggak lihat di tivi banyak kasus perceraian

karena menikah muda?”

“Kamu tidak muda lagi, Nda! 27

tahun! Sebaiknya kamu berhenti merantau

dari Medan dan pulang ke sini. Nikah dan

jadi ibu yang baik. Toh selama merantau

uangmu selalu kamu hamburkan dengan

jalan-jalan nggak jelas itu.”

***

Pertemuan kedua Dinda dengan

Karno. Dinda berkunjung ke Bali sesuai

keinginan lelaki yang telah menjadi

kekasihnya itu. Seharian mereka habiskan

dengan berjalan-jalan ke sana kemari.

Melepaskan rindu yang telah menggunung.

Malamnya, tanpa pikir panjang,

Dinda menyerahkan diri seutuhnya kepada

lelaki itu.

Karno menghilang. Dinda sudah

menelusuri jejak lelaki itu. Namun dia tetap

tidak menemukannya. Perasaannya hancur

lebur seketika. Sedangkan janin di dalam

kandungannya kian hari kian membesar.

Ketika usia kehamilan Dinda

memasuki enam bulan, dia menemukan

fakta menyakitkan. Karno sudah memiliki

istri. Namun selingkuhannya bertebaran di

PURAKARYA CERPEN

Page 46: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 45

mana-mana. Dinda meminta

pertanggungjawaban, sayang

permintaannya ditolak oleh Karno. Hati

Dinda remuk. Apalagi tidak ada lagi orang

yang ada di saat dia kesusahan seperti ini.

Semua menjauh. Memandang rendah

kepadanya. Seolah dia kotoran paling

menjijikkan di atas bumi.

Dia tak lagi ingin apa-apa dari bumi.

Dia ingin ditelan. Tenggelam bersama asa.

Karena menurutnya, itulah yang terbaik

baginya saat ini.

Lalu Tuhan menjawab pinta Dinda.

Ketika proses persalinan Dinda selesai, dia

pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sedang

bayi perempuannya menangis hebat

sepanjang malam. ¤

Biodata Penulis

Eva Riyanty Lubis, lahir di Padangsidimpuan,

Sumatera Utara, pada 13 Mei 1992. Karya berupa

cerpen, puisi, artikel, tulisan perjalanan dan

resensi yang telah dimuat ada di Smile E-Magz,

Majalah Inspirasi, Batak Pos, Majalah Imut,

Annida Online, Riau Hari Ini, Radar Bojonegoro,

Waspada, Medan Bisnis, Analisa Medan, Tabloid

Gaul, Kompas Anak, Majalah Gadis dan Majalah

Reader’s Digest.

Sedangkan novel yang sudah terbit berjudul Me

And My Heart (Zettu, Desember 2012), Rasa Hati

(Hi-fest Publishing, Desember 2013), Putri Ping

(Indiva, April 2014), dan Perfect Day (Elex Media,

Desember 2014).

Jembatan Kecil. Karya: Layung Kemuning

PURAKARYA CERPEN

“Jangan pernah

berpuas diri di titik

yang sama. Teruslah

berputar.”

Dee-Supernova: Akar

Page 47: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 46

Oleh : Nur Aini Salsabila

Airmataku masih terus mengalir,

seolah-olah turut berkisah tentang

kepedihan hidup yang tak kunjung pamit

dari wajah. Merenggut manis senyumku dan

menggantinya dengan wajah sangar yang

cemberut.

Rumit, itu yang dia ucapkan minggu

lalu saat aku mengutarakan untuk

mengadopsi seorang anak. Bahkan cicak-

cicak pun enggan bersuara ketika dia mulai

menentang keinginanku.

"Bagaimana bisa kamu berfikir

seperti itu?" katanya sedikit ketus. "Kita

bahkan belum mempunya rumah, dan masih

tinggal di rumah kontrakan sudah berani

membebani diri dengan mengadopsi anak.

Nyamuk-nyamuk yang numpang hidup di

kontrakan ini saja, yang setiap harinya

kenyang dengan darah kita saja tahu hidup

kita susah, sampai-sampai membeli obat

nyamuk saja tiada mampu, masih saja gaya-

gayaan membantu keluarga oranglain. Siapa

suruh mereka melahirkan banyak anak

jikalau mereka tidak mampu mengurus dan

membiayai anak-anaknya? Pokoknya aku

sebagai imammu tidak setuju kau

mengadopsi anak!" Nada bicaranya makin

terdengar meninggi.

Kami memang tidak berasal dari

keluarga yang berada, suamiku hanya

seorang buruh pabrik, dan aku hanya

seorang buruh cuci. Gaji kami berdua

sebulan jika digabungin tidak lebih dari Rp.

2 juta. Dengan gaji pas-pasan seperti itu

memang menambah biaya jika harus

mengadopsi atau memilki seorang anak.

Kebutuhan dapur, air, listrik dan biaya sewa

rumah ini jika ditotalkan mencapai satu

setengah juta. belum lagi jika ada keperluan

mendadak yang mengharuskan keluarnya

biaya, seperti sakit, sembako naik dari harga

standar.

Disapu angin. Karya: Uki

PURAKARYA CERPEN

Page 48: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 47

“Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain

karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan

ketakutannya akan sepi.” (Dee – Rectoverso)

Namun dua tahun ini aku sangat

merasa kesepian tanpa kehadiran seorang

anak dalam rumah kontrakan ini. Terkadang

jika berjalan di emperan toko yang menjual

pakaian dan aksesoris anak, hatiku begitu

miris. Seakan-akan ingin sekali turut

membeli beberapa helai dan membawanya

pulang ke rumah. Tidak jarang aku berhenti

lama hanya untuk sekedar melihat aktivitas

dalam toko, seperti para ibu-ibu hamil yang

mengelus-elus perutnya dan asyik memilih

pakaian untuk anak yang masih dalam

kandungannya. Ataupun sekedar melihat

suami-suami yang begitu romantis

menemani istri dan anaknya belanja pakaian

anak model-model masa kini yang begitu

lucu dalam pandangan mataku.

Ah, aku hanya mampu menelan

ludah, bagaimana bisa punya anak, jikalau

waktu dan perhatian dari suami saja jarang

aku dapatkan, gumamku dalam hati.

***

‘Malam ini aku lembur sayang.’

Pesan singkat yang dikirimkan

suamiku bertandang dalam kotak pesan

hapeku.

Lagi-lagi malam tahun baru ini

kulalui sendiri. Aku tahu, setiap malam tahun

baru karyawan pabrik tempat suamiku

bekerja, selalu mendapat perintah lembur

karena tingginya pesanan dan kurangnya

tenaga kerja aktif. Ya, sebagian dari

karyawan pabrik memilih cuti dan berlibur

bersama anak-istrinya, menikmati liburan

akhir tahun dengan berkumpul bersama

orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan

kami hanya bisa melaluinya di dua tempat

yang berbeda, tanpa adanya makan malam

bersama, kata-kata romantis ataupun

pelukan kasih sayang sebagai tanda

keharmonisan hubungan.

Bahkan fikiranku yang dangkal ini

terkadang menyimpulkan bahwa dia tidak

mencintaiku. Ah, tidak! Aku tidak ingin itu

terjadi walaupun pernikahan kami terjadi

hanya karena perjodohan orangtua semata,

tanpa cinta pada pandangan pertama, tanpa

permainan lirikan mata.

Tapi tetap saja pikiran itu

mengganjal. Apalagi jika mengingat ketika

dia berada di rumah dia lebih banyak

menghabiskan waktu menonton bola dan

sibuk mengurusi peliharaannya sendiri

daripada bercakap-cakap atau bercanda

tawa denganku.

Ya, pernikahan sakral yang menjadi

kaku karena adanya keengganan saling

menerima dan belajar berbagi rasa. Dimana

kami memilih memikul rasa yang kami

hadapi pada bahu masing-masing.

Terkadang juga lebih memilih

menenggelamkannya pada bantal yang

mulai kehilangan empuknya karena

seringnya kebasahan air mataku.

***

Aku sudah terbiasa melalui tahun

baru hanya dengan suara petasan, kembang

api dan suara musik electon dari para rumah

tetangga, serta mencium aroma sate dan

harumnya ketupat dari bilik kamar yang tak

berdaun jendela, hidungku bahkan juga

sudah mampu menebak si pembuat sate

hanya dengan mencium aromanya, ya aku

sudah hafal betul. Mereka berpesta pora,

merayakan pergantian tahun dengan

terompet sekali pakai, yang menurut

PURAKARYA CERPEN

Page 49: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 48

suamiku kelakuan mereka hanya

menghambur-hamburkan uang semata.

Sementara aku hanya bisa terbaring,

merebahkan tubuh karena lelah sambil

mengkhayalkan masa pergantian tahun baru

kemarin, ketika aku masih menjadi seorang

gadis cantik dan periang. Tidak diragukan,

kecantikan dan kemolekan tubuh

membuatku seperti kembang desa yang

pastinya membuat mabuk mata lelaki yang

memandang. Saat-saat siapapun ingin,

bahkan berlomba-lomba ingin memilikiku.

Hingga akhirnya orang tuaku memilih dia

untuk menjadi suamiku, dan karena baktiku

kepada orang tua, aku tunduk untuk

dimilikinya lahir batin, walaupun wajahnya

tidak semenarik dan setampan kumbang-

kumbang yang dulu selalu gencar

menggodaku.

***

Pemandangan tahun baru seperti ini

tidak lagi asing bagiku, maklum saja aku dan

suami mengontrak rumah di kawasan yang

penduduknya termasuk orang elit dan aku

menyandarkan penghasilanku pada upah

dari mereka sebagai buruh cuci

panggilan.Dari cerita para Ibu-Ibu majikan,

dapat kusimpulkan rata-rata pekerjaan

suami mereka adalah pengusaha sukses

dalam bidang pemerintahan maupun

swasta. Perbedaan yang cukup signifikan ini

yang membuatku susah bergaul dengan

mereka. Ya, malu miskin sendiri.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul

00.00, setengah jam lagi suamiku pulang,

aku tidak berharap dia membawa sekotak

sate, martabak manis atau sebungkus es

krim coklat kesukaanku. Aku hanya berharap

dia datang dan memeluk untuk menandakan

kalau dia menerimaku sebagai istrinya, agar

rasa kesepian ini terusir.

Aku menunggunya di sofa sambil

berbaring, kesibukan sebagai buruh cuci

sedikit membuat pinggang dan punggungku

pegal-pegal. Dan membuatku kehilangan

kesadaran, larut dalam lelap dan lelah yang

senantisa membelengguku.

Entah sudah berapa lama aku

tertidur, ketika aku terjaga belum juga ada

tanda-tanda kedatangannya. Aku

mengambil hape di atas meja dan mencoba

menghubunginya, namun suara dari balik

telpon genggam sana begitu

mengagetkanku.

"Halo, ini siapa?" Suara perempuan

terdengar nyaring di telingaku, aku mulai

panik dan membanting hapeku ke lantai.

Tepat dugaanku, dia pasti masih

berhubungan dengan mantannya. Seperti

sinetron di tv yang sekarang banyak

bercerita tentang perselingkuhan.

Emosiku memuncak, airmataku tak

terbendung. Tunggu saja, bila nanti kau

datang aku akan mencekik lehermu,

menjambak-jambak rambutmu sampai

Papan Pijak. Karya: Layung Kemuning

PURAKARYA CERPEN

Page 50: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 49

engkau mengakui semuanya, gumamku

nyaris tak terdengar. Dan pekatnya subuh

kembali membawaku kedalam buaiannya

hingga pagi menjelang.

***

Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi,

suara gedoran dari balik pintu membuatku

terkejut bukan kepalang. Seperti dentuman

petasan yang kudengar semalam ketika

kalender menggugurkan angka 31 nya dan

menyisakan angka 1. Aku yang sedari tadi

membereskan perabotan di dapur, sudah

mempersiapkan sebilah pisau di balik

sakuku.

Ya aku telah merencanakannya

sematang mungkin. Jika dia tidak bisa

kumiliki, orang lain pun tidak boleh

memilikinya. Niat untuk menghabisinya

telah bersarang dalam. Pernikahan tidak

seperti ini, aku akan bahagia selepas ini,

meskipun masa depan harus kujalani dalam

jeruji besi atau di .... Entahlah!

Aku telah gelap mata sambil sedikit

berlari kecil menyongsongnya, seluruh

tubuhku bergetar menerka-nerka kejadian

apa yang akan terjadi selanjutnya.Namun

alangkah kagetnya ketika aku membuka

pintu, sosok Ibu tua langsung memeluk

tubuhku, aaahh aku pasti bermimipi.

"Ibu, ini Ibu kan?” kataku sedikit tak

percaya. Ibu mencubitku agak keras di pipi.

"Iya Nak, ini Ibu, suamimu

menjemput Ibu di kampung semalam untuk

menemanimu, dan Ibu mengajak keponakan

kamu untuk ikut serta, kata suamimu engkau

sudah sangat ingin mempunyai anak,"

tunjuknya ke bayi yang sedang digendong

suamiku. "Dan suara yang kamu dengar

semalam itu suara sepupumu, Ibu

menyuruhnya mengangkat telpon darimu,

karena suamimu sudah tertidur pulas karena

menempuh perjalanan jauh tanpa istirahat,

Nak." Terang Ibu panjang lebar melanjutkan

pembicaraan. "Ibu berniat

memberitahukanmu namun telponnya

langsung terputus tiba-tiba." Mataku

berkaca-kaca, mungkin Ibu tidak dapat

membaca perubahan ekspresi wajahku saat

itu, namun sejuta sesal atas kebodohanku

tidak mempercayai suamiku sendiri

menampakkan wujud istri durhaka di

wajahku.

Subhanallah, walhamduliilah .... Aku

berlari memeluk suamiku dan memohon

maaf untuk kesalahpahamanku. Aku

menyadari kesalahanku, ternyata suamiku

hanya ingin aku mengadopsi anak dari

keluarga aku sendiri, bukan dari orang yang

sama sekali tidak bertalian darah denganku.

Kurasa ini kado terindah darimu Tuhan, yang

kau titipkan ke tangan suamiku yang

berwajah pangeran. Pisau yang berada di

balik sakuku pasti ikut tersenyum karena

tidak berhasil melukai dan menggores

sedikitpun kulit dari orang yang soleh

seperti suamiku. Atau mungkin menarik

napas leganya karena terhindar dari cipratan

darah dan napsu binatangku yang terbersit

beberapa jam lalu.

"Selamat tahun baru honey," kecupan

yang mendarat di keningku menutup

kekesalan dan menggantinya dengan

senyum kebahagiaan. Sekaligus

membuyarkan ingatan tentang pisau di balik

sakuku.

Aku mengangguk perlahan dalam

hangatnya pelukannya, "Terima Kasih

sayang," ucapku di tengah isak bahagia.

Serasa ingin mendekapnya erat dan tak

ingin lagi kulepaskan. Bahagia yang dia

persembahkan hari ini, akan kubayar dengan

sepenuh bakti.

"Terima kasih Tuhan, Ibu, Ayah. Telah

kau pilihkan dan izinkan dia menjadi

seorang imam, sebaik-baiknya imam, dalam

hidupku." Gumamku dalam hati. ¤

PURAKARYA CERPEN

Page 51: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 50

Page 52: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 51

“Seseorang yang melakukan kesalahan dan tidak

membetulkannya telah melakukan satu kesalahan

lagi.” Confucius.

dalam Perubahan sosial dan Budaya

Perubahan Sosial dan Budaya.

Perkembangan suatu bangsa

dari jaman ke jaman memang selalu

berubah-ubah, tergantung segala sesuatu

yang mengimprovisasinya. Adalah

pemandangan yang tak aneh di jaman yang

serba modern ini, di mana segala sesuatu

yang berseberangan tentunya akan menuai

efek negatif di kalangan tertentu.

Dulu sebelum era internet masuk ke tanah

air Indonesia mungkin keadaannya sangat

berbeda, apalagi di jaman orde baru, di

mana segala sesuatu yang mencuat ke

permukaan khususnya melecehkan

pemerintahan, saya yakin tak akan lama ia

bisa lantang-lantang bicara. Di mana nilai-

nilai adat dan budaya masih dikatakan lekat.

Sehingga sebagian orang masih berpikir dua

kali terhadap hal-hal yang berkenaan

dengan tabu. Meskipun respek yang terlihat

di jaman itu seperti demikian, namun

sebagian orang di jaman ini tak kurang dan

masih banyak yang bertahan dengan adat

dan budaya yang berlaku turun temurun di

daerahnya.

Peran Sastra Cyber Dalam

Perubahan Sosial dan Budaya.

Keberadaan internet yang hampir

menjangkau pelosok-pelosok tentunya

membawa perubahan yang sangat aktif di

dunia nyata. Peranan-peranan yang

digunakan dalam sosial media seperti

facebook, twitter, blog dan lain-lain

memunculkan generasi-generasi sastra baru.

Dengan mempunyai nama komunitas

tersendiri yaitu “sastra cyber".

Sastra Cyber pun terus berkembang

mengikuti perkembangan yang terjadi di

dunia nyata. Terlebih hampir semua jenis

ponsel di jaman ini sangat mendukung,

sehingga jaringannya bisa diakses dari mana

pun dan kapan pun.

Munculnya segala apa yang bisa merusak

moral di internet sangat begitu mudah di

temukan. Tak jarang juga terdengar berita

tentang yang tak lazim di kalangan

masyarakat kita, dan

asal muasalnya

semua menunjuk

kepada internet.

Maka dari itu

kerusakan moral

dan budaya

Sumber foto: http://www.anneahira.com/faktor-pendorong-perubahan-sosial.htm

SASTRA CYBER

Page 53: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 52

sudah jelas terlihat lambat-laun semakin

menggerogoti bangsa ini.

Baiklah kita kembali ke topik utama kita di

mana-peran-sastra cyber sangat aktif

mengikuti segala hal yang terjadi di dunia

nyata. Meskipun keberadaannya tak bisa di

pisahkan dari hal yang berbau internet

namun sastra cyber selalu terus bergerak

seperti memonitori segala hal yang terjadi.

Munculnya event-event sastra, karya-karya

sastra yang selalu bersinggungan dengan

adanya budaya yang terlunta, perubahan

sosial-penindasan kaum kapitalis-dsb.

Tentunya tak aneh bagi yang selalu

berselancar di dunia maya (cyber) karena

pastinya sangat mudah ditemukan

khususnya bagi para pengguna sosial media

facebook. Sebagai contoh karya puisi di

bawah ini.

Budaya Yang Terlunta;

Oleh: Dian Rusdi

Budayaku di ambang kematian

Mendera di setiap jiwa

Tak ada lagi seruling Gembala

Tak ada lagi tetabuhan

Gendang, Kecapi, Kolintang

Hanya sedikit saja.

Terlindas roda jaman

Lebih memunculkan seni

:Tak berpendidikan,

Budaya negeriku terlunta.

07/11/2013 22:42

Munculnya lomba dan karya sastra di

dunia cyber yang mengusung tema

pembelaan hak, kekecewaan, kebudayaan

yang hilang, rakyat yang kelaparan dan lain

sebagainya, menjadi satu tolak ukur bahwa

sastra cyber sangat aktif berperan dalam

perkembangan—perubahan—sosial

khususnya di tanah air kita tercinta ini. ¤

(D.Rusdi/Puraka)

SASTRA CYBER

Terik di Pantai Guanyin. Karya: Ade Junita

Page 54: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 53

Artikel yang akan saya bahas kali ini adalah tentang peran serta

sastra cyber dalam mendorong perubahan sosial di tanah air.

Sebenarnya peran sastra cyber di dunia nyata telah berlangsung

lama, tapi mungkin kita jarang memerhatikan hal-hal kecil seperti

ini, karena terlalu fokus pada sesuatu yang bersifat nyata dan

terlihat mata.

Setiap waktu lingkaran hidup tak

berhenti berubah, seperti roda yang terus

berputar. Perubahan sosiologi di tatanan

masyarakat pun sedikit demi sedikit terlihat,

seiring generasi dan keadaan yang

melingkupi di sekitarnya.

Sastra cyber tidak hanya berkutik

mengenai kegiatan-kegiatan semacam

diskusi dan lain sebagainya yang terjadi dan

terus berlangsung melalui dunia cyber.

Apalagi internet telah lama digunakan untuk

berbagi informasi. Adanya email atau surel

lainnya telah ikut serta dalam memberi

pergerakan sosial dalam masyarakat baik

dalam jangkauan sempit ataupun luas.

Dalam realitasnya sastra telah

berhasil memberikan pengaruh yang besar

pada tatanan masyarakat meskipun melalui

jalur cyber. Meski demikian selalu ada dua

sisi yang perlu dipertimbangkan dengan

serius mengingat pengaruh dampak dari

fakta ini adalah perubahan sosial.

Bebas Mobil Karya: Ade Junita

SASTRA CYBER

Page 55: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 54

Dorongan Sastra dari Dunia

Cyber

Peran sastra cyber dalam

mendorong perubahan sosial

semakin gencar dilakukan,

menyebar ke segala penjuru bumi.

Demi menyeimbangi dan menekan

perubahan sosial yang ada di

kalangan masyarakat. Sebagai

contoh, munculnya event-event

menulis yang menghasilkan buku-

buku sastra bernuansa religi,

perkembangan akhlaq yang baik,

runtuhnya sebuah akidah, efek

buruk sebuah pergaulan, dsb. Atau

pementasan-pementasan sastra

atau drama, sastra yang dijadikan

sebuah film, pertemuan-

pertemuan antar sesama penikmat

sastra-kopdar-, dan sebagainya.

Jelas itu adalah sebagian

dari peran sastra cyber dalam

mendorong perubahan sosial

kepada dunia nyata. Mendorong

agar kita tak melebihi batas dalam

sebuah pergaulan atau sebagainya.

Yang bisa menghancurkan jati diri

kita sebagai makhluq yang

bersosial.

Mungkin memang kita jarang sekali

memperhatikan hal tersebut, karena

kesibukan atau juga terlalu bertele-tele.

Padahal jika kita mau menengok serta

mengajarkan minat membaca kepada anak-

anak kita, pasti akan sangat bermanfaat

untuk perkembangan di masa depannya.

Peran sastra--cyber--dalam mendorong

perubahan sosial serta perkembangan

akhlaq yang baik semakin terlihat jelas jika

saja kita mau memperhatikan hal-hal kecil

seperti itu, contoh kecilnya bisa kita arahkan

anak-anak untuk tidak hanya membaca

komik saja melainkan buku pengetahuan

mengenai bahasa dan budaya terutama

sastra yang mengajarkan tingkah laku

manusia di tengah-tengah masyarakat.

Karena bukan mustahil hal yang besar itu

bisa kita mulai dari hal-hal sederhana saja. ¤

(D.Rusdi/Puraka)

SASTRA CYBER

Dalam Kios Buku

Karya: Rizal

“Salah satu penemuan terbesar umat manusia adalah bahwa

mereka bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka sangka

tidak bisa dilakukan.” Henry Ford

Page 56: Purakasastra edisi 6

PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 55