Purakasastra edisi 6
-
Upload
purakasastra -
Category
Documents
-
view
259 -
download
0
description
Transcript of Purakasastra edisi 6
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 1
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 2
DARI REDAKSI
Sahabat Purakasastra,
Tata kemapanan hidup, kerap kali membawa manusia pada zona
aman. Jika kenyamanan, sudah digenggam sampai pada puncaknya,
maka kesempatan berubah sangat minimalis. Orang tidak lagi kritik
atas realitas yang kritis. Sebab, mengeritik dan atau terlibat menjadi
aktor perubahan sosial dapat saja menciderai kenyamanan yang
telah diraih. Logika, sastra tidaklah demikian. Ia selalu tanggap dan
peka terhadap realitas sosial.
Barangkali sastra dan sastrawan, tak pernah tinggal diam. Ia terus
bergerak untuk menemukan hal~hal baru. Proses pergerakan itulah,
yang diulas dalam tema majalah purakasastra edisi ini. Pembaca
dihadapkan pada tulisan berisi gugatan kritis dan provokatif, dalam
jalur mencapai kebaikan bersama. Ada berbagai ulasan, analisis
yang menukik dan menohok dalam edisi majalah kali ini. Tema yang
diusung adalah SASTRA DAN PERUBAHAN SOSIAL.
Realitas sosial yang penuh dengan guncangan maut, tragedi amoral,
pencideraan religius, membawa sastra ikut berceloteh lantang. Ia
berceloteh teruntuk kebahagiaan dan kesejahtraan bersama.
Selamat membaca!
Kami menerima naskah berupa esai, proses kreatif, kritik sastra, cerpen, puisi,
cerita mini, tips menulis, info komunitas, biografi dan opini sastra cyber.
Silakan kirim naskah anda dengan menyertakan biodata dan foto penulis
melalui email [email protected].
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 3
EDISI 6 TAHUN II – FEBRUARI 2016
PEMIMPIN REDAKSI : Ricky Richard Sehajun
REDAKTUR PELAKSANA: Ade Junita
DEWAN RUBRIK : Dian Rusdi
Muhammad Ridwan Kholis Nurul Latifah
Riska Hermawati Ellyas Rawamaju
Nilam Ikhwani Adi Septa Suganda
Zahara Putri Elfridus Silman
Yessy Oktaviani Rizal
EDITOR : Nurul Latifah
Riska Hermawati Zahara Putri
DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK :
Ade Junita Fina Wardatul Ummah
DESAIN SAMPUL :
Karna Mustaqim Ade Junita
Purakasastra adalah majalah sastra
independen yang turut serta dalam usaha
membangun dan mengembangkan dunia
kesusastraan nasional.
Untuk informasi pemasangan iklan, kritik dan
saran silakan layangkan melalui email
Temukan kami di:
Purakasastra @purakasastra Majalah Purakasastra
Majalahpurakasastra purakasastra.blogspot.com
Kontak person: 0852 3346 7893
#Beberapa foto ilustrasi dalam majalah ini diambil dari Google.
Keterangan sampul edisi 6: Judul: Sastra dan Perubahan Sosial Oleh: Ade Junita Media: Photoshop CS5 Ukuran: 78,3 x 110,68 Resolusi: 97,324 pixels/inch
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 3
CATATAN ANOMALI
Ketika Sastra Menggugat 4
KAJIAN SASTRA
Ketika Karya Sastra Menjadi Doktrin Bagi Pembaca
(Pada Masa Pemasungan Karya Sastra) 7
Sastra Dan Perubahan Sosial 11
Sastra Dan Simbiosis Mutualisme 15
LENTERA SASTRA
Menulis Karya Sastra 18
Menulis Kritik Sastra 21
PARASASTRA
Penyair Dalam Pengaruh Kehidupan Sosial (Emha
Ainun Nadjib) 24
PURAKARYA
Puisi:
Endy Langobelen:
Tapak di Suatu Simpang 28
Puisi Saat Berbuka Puasa 29
Cerpen:
Raden Panji Dan Roro Proboretno 30
M.F. Hazim: Cahaya bening 34
Kinanthi Anggraini, M.Pd:
Di Ujung Piloritas Daun, Kulamar Lelaki Merah
Hati 35
Tombak Teheran: Mahmoud Ahmadijenad 37
Cerpen:
Tingeling 38
Dia Yang Pergi dan Tak Ingin Kembali 42
Kado Tahun Baru 46
SASTRA CYBER
Peran Sastra Cyber Dalam Perubahan Sosial Dan
Budaya 51
Peran Sastra Cyber Dalam Mendorong Perubahan
Sosial 53
Parasastra:
Emha
Ainun
Nadjib
Hal. 24
Kajian
Sastra:
Sastra dan
Perubahan
Sosial
Hal. 11
Purakarya:
Dia Yang
Pergi dan
Tak Ingin
Kembali
Hal. 42
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 4
Oleh : Ricky Richard Sehajun
Dunia kerap menampilkan teater ambigu. Di sini tawa. Di sana air mata. Di sana-sini tersembur teriakan emosional. Pada tahta kursi mewah pejabat berpangku tangan. Pada timbunan sampah sang pemulung mengais rejeki. Ulah pejabat kerap dimarahi.
Ulah pemulung kerap dikasihani.
Masalah merebak, manusia jatuh tertimpa
dilema. Penuh penderitan. Kebahagiaan
secepat kilat berlalu. Ceria sekelebat saja
menggelar. Hidup dibayangi ratapan. Ada
kemiskinan. Kemelaratan. Sakit hati.
Dukacita. Tak punya harapan. Inilah
panggung Indonesia. Sebuah panggung
pertunjukan dengan drama wajah carut-
marut bangsa. Segenggam kisah piluan,
tentang tata hukum yang dibumbui
muslihat. Sajian menu penyelesaain masalah
kerap dipatokkan dengan nilai uang.
Kebenaran takluk di hadapan uang. Inilah
dimensi pelecehan manusia terhadap
kebenaran. Jika kebenaran dilecehkan, maka
ruang kejujuran menjadi sempit bahkan
tertutup. Jika ruang kejujuran tertutup
niscaya etika saling mengasihi dan
transparansi tidak mendapat aplikasinya
dalam hidup keseharian. Mungkinkah
Indonesia menjelma menjadi ruang tanpa
etika saling mengasihi, sampai-sampai harga
diri dan hak asasi tidak diperhitungkan
lagi?Lantas, muncul pertanyaan gugatan
dalam nada provokatif, “Bagaimanakah
manusia Indonesia mendefinisikan dirinya?
Bagaimana manusia Indonesia
mendefenisikan sesamanya?
Thomas Hobbes mendefinisikan
manusia sebagai serigala bagi yang lainnya.
Kalaupun definisi Hobbesian terkesan
mengerikan, tetapi banyak orang
menghayatinya. Orang menolak namun
pada kesempatan lain ia bermain-main
dengan penghayatan definisi Hobbesian.
Definisi Hobbesian, mau tidak mau, logika
sosial manusia Indonesia terarah pada jalan
hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang
menang. Kuat dalam pengertian materi, fisik
dan psikologis. Dalam bingkai pergulatan
hukum rimba, siapa yang meraih
kebahagiaan dan kepuasan? Adakah
manusia yang menjadi sutradara untuk
kebahagiaan manusia?Ataukah sepenuhnya
bergantung pada takdir Allah? Ketika realitas
sosial manusia dibantai oleh logika
semrawut, sastra angkat bicara. Sastra
menggugat. Namun, bisakah sastra menjadi
pahlawan atas realitas sosial yang penuh
dengan kisruh KKN, amoral, ketidakjujuran?
Sastra memulai permainannya
dengan mendasarkan diri pada retorika
tanda. Tanda dimengerti dalam ranah
bahasa. Itu berarti bahasa menjadi aktor Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: https://danangprobotanoyo.wordpress.com/2012/03/12/siapa-suruh-datang-ke-jakarta-keberpihakan-pada-kaum-urban-dimuat-koran-tempo/
CATATAN ANOMALI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 5
CATATAN ANOMALI
perubahan bagi realitas sosial. Sejatinya,
bahasa menjadikan manusia bersahabat dan
bermusuhan. Oleh karena bahasa adalah
bagian dari sastra, maka sastra bisa
menghadirkan sahabat, juga bisa
menghadirkan musuh. Musuh menjadi
sahabat, ketika dipadukan dengan cinta.
Adalah cinta mengubah segalanya. Ia
berkibar laksana bendera kemenangan yang
berkibar dengan langkah darah. Dalam
langkah darah tersebut, sastra ikut
menasehati. Ia seolah-olah menjadi pelaku
psikologi yang menerjang langkah diluar
ketentuan langkah darah. Atau ia menerjang
perilaku amoral dengan kata-kata garang. Ia
memberi kritik terhadap perilaku yang diluar
ketentuan normatif-legal. Atau ia menjadi
pelaku istimewa di tengah kerumunan pasar
yang punya logika salah tapi dilegalkan
demi tumpukan uang. Uang
mempermainkan hukum. Para penegak
hukum turut dipermainkan oleh uang.
Mereka seolah-olah bekerjasama untuk
melancarkan serangan terhadap kebenaran
yang dituturkan bahasa.
Sastra Punya harga jual yang tinggi.
Ia bisa meraup pasar pengetahuan.Pasar
pengetahuan yang memiliki alat tukar, yakni
KATA. Kata yang terbentuk dari huruf-huruf,
lalu beranjang menjadi kalimat. Kata
menjadi emblem kolaboratif lahirnya
perubahan sosial. Perubahan sosialitas yang
tanpa dibeli dengan uang dan tanpa
mencekik leher kebenaran. Semua
perubahan harus menuju pada manusia
beradab. Telusuran ini, menggugat skenario
perpecahan negeri ini yang banyak
dirangsang logika dan tindakan kebiadaban.
Kemasan biadab muncul dalam banyak rupa.
Ia bertajuk politik curang, korupsi, sogokan,
dan sejenisnya. Struktur kebiadaban lahir
dari pergulatan rencana yang terstruktur,
logis dan kerap bermotif materialistik.
Adalah kata, juga menjadi jerat dalam
rencana. Artinya kebiadaban bisa dipicu
tutur kata. Lebih tepatnya, tuturan rencana
busuk yang mendapat aplikasinya dalam
realitas. Kata menjadi senjata tajam yang
menghancurkan jiwa. Ia bisa menjadi
pembunuh di mulut orang fasik. Namun bisa
juga menjadi penyelamat dimulut orang
baik. Peta perubahan menuju “yang baik”
sejatinya berada dalam genggaman mulut
“penyelamat”. Lantas, dalam ranah sastra
perubahan itu terpaut pada dua ambang
yakni mulut penyelamat dan mulut orang
fasik. Orang fasik merupakan sebutan
lancang untuk orang-orang yang berhaluan
buruk. Mereka adalah penghantar nasib
sosial menuju neraka. Mereka adalah
pengingkar kebenaran sekaligus pendobrak
ketulusan.
Dalam nada provokatif, kita bersoal,
kemanakah sastra membawa manusia
Indonesia? Tentu ke arah yang baik! Baik
untuk orang lain. Kebaikan yang dihadirkan
harus terarah pada kebaikan bersama.
Lantas, sastra menggugat dalam konteks
menuju kebaikan bersama (Bonum Comune).
¤ (Ricky/Puraka)
Setelah berusia tua, Socrates, belajar musik. Lalu ada orang berkata padanya,” apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua”.
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 6
Dermaga di Pantai Morosari, Demak Karya: Latifa
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 7
Ketika Karya Sastra Menjadi Doktrin Untuk Pembaca
(Pada Masa Pemasungan Karya Sastra)
ecara umum banyak yang mengartikan
karya sastra adalah ungkapan pikiran
dan perasaan pengarang, di mana
hampir seluruhnya merupakan karangan fiksi
atau imajinatif belaka. Karya sastra dianggap
sebagai bualan yang cerita di dalamnya
hanya untuk hiburan semata. Ini jika kita
lihat dari sudut pandang awam, yang pada
kenyataannya secara tidak langsung
pemahaman ini merambat hingga ke ranah
masyarakat luas. Lain halnya dengan
pemahaman para pegi sastra, bahkan di
kalangan profesional.
Minimnya pengetahuan masyarakat dan
sedikitnya minat baca terhadap karya sastra
menjadi faktor yang memengaruhi
pandangan bahwa karya sastra hanya
berkutat pada dimensi khayalan, mengada-
ada dalam merangkai peristiwa dan kata.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh karya
sastra seringkali diangkat berdasarkan
realitas kehidupan sosial, budaya, agama,
hingga kejiwaan manusia.
Karya sastra adalah wadah untuk
menuangkan inspirasi, ide-ide, serta ekspresi
dari gambaran-gambaran berbagai
pengalaman pengarang. Sastra bukan hanya
refleksi sosial, melainkan merepresentasi
sebuah gagasan tentang dunia atau gagasan
atas realitas sosiologis yang melampaui
waktunya. Karya sastra yang baik adalah
sebuah karya yang dapat memberikan
kontribusi bagi masyarakat. Hubungan
sastra dengan masyarakat pendukung nilai-
nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan,
karena sastra menyajikan kehidupan dan
sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial
(masyarakat), walaupun karya sastra meniru
alam dan dunia subjektif manusia (Wellek
dan Warren).
Dengan demikian, sastra tidaklah semata-
mata soal hasil imajinasi atau khayalan,
karya sastra seringkali memiliki relevansi
bagi kehidupan nyata, karena karya sastra
hadir dari gambaran realitas kehidupan.
Datang dari berbagai aspek, yang kemudian
dituangkan dalam sebuah karya. Bahkan
S
KAJIAN SASTRA
Rumput Batu
Karya: Ade Junita
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 8
Karya sastra menjadi hal yang begitu “ditakuti” oleh kaum penindas alias
penjajah, hingga kalangan pemerintah atau pemimpin. Banyak terjadi pembredelan karya sastra hingga membuat kreativitas mengalami
keterpasungan.
ketika karya sastra disajikan dalam bentuk
fabel sekali pun, tetap ada hubungan antara
cerita dengan nilai-nilai kehidupan
masyarakat, dalam pesan moral misalnya. Di
mana pesan moral yang terkandung dapat
dijadikan acuan juga pembelajaran bagi
masyarakat. Bahkan, tak ayal suatu karya
sastra dapat mendoktrin pola pikir pembaca
terlebih lagi jika karya sastra yang dibuat
bersifat pro terhadap pihak yang dirugikan.
Menengok kembali pada masa lalu,
zaman penjajahan, komunis hingga orde
baru. Karya sastra menjadi hal yang begitu
“ditakuti” oleh kaum penindas alias penjajah,
hingga kalangan pemerintah atau
pemimpin. Banyak terjadi pembredelan
karya sastra hingga membuat kreativitas
mengalami keterpasungan, contohnya pada
masa Orde Baru, menurut Satoto hal itu
disebabkan oleh sistem birokrasi,
paradigma, serta sikap dan perilaku elite
politik dan penguasa. Pihak penguasa
beranggapan bahwa perilaku seniman telah
menjurus ke hal-hal yang destruktif yang
bisa mengganggu ketertiban dan keamanan
masyarakat yang pada gilirannya bisa
mengancam eksistensi dan integritas bangsa
dan negara.
Alasan tidak diberi izin oleh aparat
keamanan sangatlah klise, misalnya karya
tersebut bertentangan dengan ideologi
negara Indonesia, yakni pancasila, prosedur
perizinan yang salah, meresahkan
masyarakat karena tingkat apresiasi
masyarakat terhadap karya seni,
khususnya seni sastra dan drama
kontemporer masih rendah,
mengganggu ketertiban dan
keamanan karena para seniman,
katanya sukar diatur. (Ekarini
Saraswati: Sosiologi Sastra).
Hal ini menunjukkan bahwa
“ketakutan” yang dirasakan oleh
rezim Orde Baru sangatlah jelas,
bahwa karya sastra dapat menjadi
“doktrin” atau mempengaruhi pikiran rakyat.
Sehingga rakyat dapat dengan peka
mengetahui pembodohan-pembodohan
yang digelontorkan oleh rezim Orde Baru.
Pada masa itu pula banyak karya sastra yang
dibredel, dilarang beredar dengan alasan-
alasan berkedok prosedur izin terbit. Selain
itu, disebabkan banyaknya karya sastra yang
terlalu berani vokal mengkritisi
pemerintahan dalam karyanya. Guna
menjaga wibawa dengan mengatasnamakan
kekuasaan, maka alasan mereka adalah
bahwa karya sastra yang hadir pada masa itu
bersifat pencemaran nama baik, hingga
pemberontakan. Pada saat itulah, kemudian
terbit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang mengatur pelarangan buku
bertebaran tanpa kontrol pemerintah. Pasal
154 KUHP misalnya, berbunyi: “Barangsiapa
di muka umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebenciaan, atau penghinaan
terhadap pemerintah Indonesia, maka
diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun atau denda paling banyak tiga
ratus juta”.
Bersamaan dengan terbitnya KUHP, maka
gerak-gerik para sastrawan, seniman,
budayawan, penyair, dan mahasiswa selalu
dibayang-bayangi oleh ketatnya
pengawasan intelijen negara. Akibatnya,
karya-karya fenomenal dan menakjubkan
dari mereka tidak bisa dinikmati oleh
pembaca setia. Namun demikian, para
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 9
“Barangsiapa di muka umum menyatakan
perasaan permusuhan, kebenciaan, atau
penghinaan terhadap pemerintah
Indonesia, maka diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun atau
denda paling banyak tiga ratus juta”.
sastrawan tidaklah tinggal diam ketika
terjadi pembekuan terhadap karya-karyanya
yang dianggap oposisi. Melalui seminar-
seminar dan berbagai forum diskusilah
semua dapat diungkap dengan rapi.
Sekilas tentang karya-karya sastra serta
pengarang yang pernah menjadi korban
pembredelan antara lain:
• Penyair W.S. Rendra. Sejak dulu, karya-
karya puisi dan drama Rendra memang
selalu berbau protes. Karena karya-karyanya
pula, ia masuk penjara di zaman Orde Baru
(1978), pementasan karya-karyanya pun
dilarang. Ketika itu, karya drama
Rendra yang terkenal berjudul
“SEKDA” dan “Mastodon dan
Burung Kondor” dilarang untuk
dipentaskan di Taman Ismail
Marzuki.
• Pramoedya Ananta Toer, pernah
mengalami pembuangan selama
14 tahun di Pulau Buru tanpa
pengadilan. Dia dituding pro
komunis karena
masuk Lembaga
Kebudajaan Rakyat
atau dikenal
dengan Lekra.
Lembaga ini
merupakan
organisasi
kebudayaan sayap
kiri di Indonesia
yang didirikan atas
inisiatif D.N. Aidit,
Nyoto, M.S. Ashar,
dan A.S. Dharta
pada tanggal 17
Agustus 1950.
Selama masa
pembuangan itu,
Pramoedya banyak
menghasilkan
karya tulis. Tema-
tema yang
dipilihnya pun merupakan tema sensitif,
sarat dengan kritik sosial dan politik, yang
membuat kuping pemerintah Orde Baru
panas dan dituding sebagai penyebar ajaran
komunis. Karya-karya tulis Pram pun
dijadikan bacaan terlarang, dilarang beredar,
dan diberangus. Tetralogi Bumi Manusia
atau disebut juga Tetralogi Buru atau
Tetralogi Pulau Buru merupakan karya Pram
yang diselesaikannya di Pulau Buru. Jauh
sebelum itu, pada masa "Demokrasi
Terpimpin" tahun 1959, Pram pernah
mengkritik kebijakan Presiden Soekarno.
Rumput Negatif Karya: Ade Junita
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 10
Karya Pram “Rumah Kaca” juga pernah
dibredel pada masa Orde Baru karena
dituding telah menyebarkan paham
Marxisme.
Masih banyak karya yang pernah
mengalami pembredelan dari masa ke masa.
Dengan alasan yang klasik, yang pada
kenyataannya karya sastra justru menjadi
momok yang “menakutkan” karena dapat
memengaruhi bahkan mendoktrin
seseorang, terlebih lagi jika karya sastra
tersebut membongkar rezim ketidak-adilan,
bentuk protes dan kritik pada birokrasi,
suara untuk rakyat tertindas, dan ideologi
lain yang bertolak belakang dengan
pemerintah. Oleh karena karya sastra
sesungguhnya hadir dari realitas kehidupan
manusia, maka akan sangat berpengaruh
bagi manusia sebagai pembaca.
Bagaimana dengan masa kini? Benarkah
sekarang keadaannya berbeda, karena
sekarang adalah era kebebasan berekpresi
(katanya)? Dengan landasan bahwa
semuanya telah diatur dalam Undang-
Undang Pers dan diberikan kebebasaan
untuk melahirkan karya yang bersifat apa
pun. Kalau pun bebas, kenapa masih banyak
media bungkam, bahkan sampai ciut untuk
mengekspos aksi dan aspirasi rakyat yang
berpeluh keringat memadati jalan hingga
mengerubung istana? Bahkan tidak sedikit
karya yang katanya berkualitas, tapi tak ayal
hanya disibukkan oleh dilema, kegalauan,
dan cerita-cerita lainnya yang pada akhirnya
membuat mental pembaca menjadi
cengeng? Ini sisi lain dari yang katanya
bebas.
Semoga bukan bebas “terkendali”.
Meskipun memang masih banyak karya-
karya yang tidak mati dan masih berani
vokal pada aspek kehidupan yang lebih
penting. Teruslah berkarya, teruslah
berekspresi, dan menjadi sebuah jembatan
aspirasi.¤ (Yessy/Puraka)
Pasar Rongsok Plered
Karya : Ade Junita
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 11
Dan Perubahan Sosial Oleh : Eugen Sardono, SMM
Di abad mutakhir, para peminat sastra sangat sedikit. Kebanyakan
orang lebih suka mengungkapkan sesuatu secara langsung daripada
melalui puisi, pantun atau pun karya sastra lainnya. Menurut data yang
dikemukan oleh UNESCO, minat membaca orang Indonesia hanya
mencapai 0,001 %. Artinya, diantara seribu orang, hanya ada satu orang
yang memiliki minat membaca yang tinggi. Kurangnya minat membaca
mengakibatkan rendahnya keinginan seseorang menikmati karya sastra.
Sebagai konsekuensi logisnya, karya
sastra justru tidak sampai kepada
masyarakat. Kiranya ini menjadi tantangan
perkembangan karya sastra di Indonesia,
yang masih tak mampu menggerakkan
perubahan sosial. Lebih jauh, ada yang
mengatakan karya sastra seperti puisi,
pantun, drama adalah sebuah penipuan
tehadap perasaan. Orang tidak
mengungkapkan apa yang benar, namun
orang memolesnya untuk menyembunyikan
kenyataan yang sebenarnya. Ada sebuah
ketersembunyian realitas dalam hal ini.
Pendapat seperti ini sesunggunya tidak bisa
diterima. Keindahan karya sastra terletak
pada maknanya. Bukan kekuatan kata-kata
Pasar Rongsok Plered
Karya : Ade Junita
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 12
Kerendahan seseorang di ketahui
melalui dua hal : banyak berbicara
tentang hal-hal yang tidak
berguna,dan bercerita padahal tidak
di tanya. (Plato)
yang indah, tetapi lebih pada ungkapan
makna yang disampaikan.
Sastra menghidupkan dan
membangkitkan jiwa untuk berimajinasi.
Sastra memiliki jiwa yang bisa menghidupi
orang. Ketika orang membaca karya sastra,
ada sebuah gerakan-keluar yaitu gerakan
menuju apa yang ada di atas tulisan
tersebut. Sastra adalah salinan realitas yang
sangat original. Banyak pemimpin-
pemimpin besar sangat takut akan karya
sastra. Karena karya sastra menulis
kepedihan yang tiada tara dengan sesuatu
yang secara implisit dan eksplisit bisa
diketahui. Selain itu, ruang gerak (ruang
jangkau) sastra selalu menerobos tembok-
tembok besar. Karena itu sastra sangat
berpengaruh terhadap perubahan sosial.
Banyak revolusi dan perjuangan besar
diawali dari sentuhan dunia sastra.
Dalam sejarah kehidupan bangsa
Indonesia, sastra menjadi emblematis
perubahan. Pada masa pemerintahan
Soeharto, karya sastra yang mengkritisi
kehidupan pemerintahan dilarang untuk
dipublikasikan. Kehadiran karya sastra tidak
dapat dilepaskan dengan fenomena sosial
budaya yang lain, seperti politik, ekonomi,
dan agama. Fenomena ini dapat ditandai
dengan sebuah ungkapan, sastra adalah
bahasa. Karena sastra adalah bahasa, maka
sastra adalah rumah dari ada, yang
menjadikan adanya bahasa in se.
Saya mencoba menggiring pembaca
untuk melihat cetak-biru dari
pengaruh sastra bagi realitas sosial.
Pertama, sastra adalah roh.
Kekuatan sastra itu kata. Kata,
dalam bahasa Yunani diartikan
sebagai Logos. Logos, sesuatu yang
bisa meniup perubahan. Maka,
pilihan untuk diam bukanlah pilihan
yang jitu. Diam meman emas, tetapi
ketika emas itu didiami terus maka
emas itu akan berkarat. Dalam
Filsafat India, perkataan adalah seorang
dewa atau juga dinamakan Vic. Kata-kaya
diakui memiliki identitas kemurnian, Vic,
Logos. Perkataan merupakan sebuah
cetusan keluar dan apa yang dimiliki oleh
dunia (manusia). Namun, logos dalam
dirinya memuat sebuah berkat atau kutukan.
Ketika logos bisa memberikan sebuah
proses pertumbuhan, maka logos bisa
berfungsi untuk menumbuhkan persatuan.
Sebaliknya, ketika logos hadir sebagai
sebuah bom nuklir yang bisa
membombardir tatanan kehidupan, maka
akan menjadi sebuah keresahan tersendiri.
Tidak bermaksud menjelaskan apa
kedalaman logos, saya mencoba menggiring
kepada pemahaman tentang sastra. Dari
logos tadi melahirkan karya sastra. Jadi,
ketika orang ber-logos tidak sertamerta
berhenti di perkataan, tetapi lebih dari itu
harus mengandung makna. Ketika, kata-kata
itu kehilangan makna, maka kata-kata itu
pun tidak bedanya dengan angin lalu. Maka,
puisi itu bukan soal indahnya kata-kata, pun
cerpen. Puisi itu bukan soal kata-kata yang
romantis-love. Puisi harus bisa mendulang
makna. Kekuatan sebuah puisi terletak di
isinya. Kedalaman isinya bisa membawa
sebuah perubahan yang mendalam. Maka,
sangat keliru ketika orang mengatakan, puisi
itu adalah peniupan terhadap realitas. Puisi
justru memiliki khasanah tersendiri dalam
menginformasikan pesan kepada responder
atau pembaca. Persoalan
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 13
Berpikir lurus adalah kebiasaan dan lazim terjadi di dalam kolam kehidupan. Tetapi, mencari isi dan makna dibalik apa yang ditulis adalah lebih sulit dan lebih bernilai ketika orang masuk dalam ‘teks’ sastra.
di sini, apakah semua orang membacanya?
Kembali pada fenomena budaya membaca
di tanah air kita.
Kedua, sastra mampu mendongkrak
keburukan. Dalam karya sastra, orang mau
berbicara. Dalam filsafat Heiddegger
mengatakan bahwa keterlalun kalau orang
menjadi penonton dalam diri subjek yang
dilemparkan. Maka, dibutuhkan negara yang
bias membangkitkan rasa satra di tanah air.
Tidak bias tidak, juga kadang pesan dari
karya sastra itu sendiri menukik dan
menendang hati nurani yang bebal. Maka,
ketika ada persoalan, perlu ada orang yang
bisa mengangkatnya kepermukaan, dengan
demikian memantikkan kesadaran orang
untuk bisa membaca dan menilai secara
kritis sebuah persoalan. Saat itulah, peran
sastra menjadi penting.
Ketiga, sastra mendongkrak tatanan
politik. Sejauh ini begitu banyak tokoh atau
penyair yang mencoba meluapkan
pergulatan hati mereka dalam karya sastra.
Politik adalah soal kehidupan. Politik soal
tata Negara dan kepemerintahan. Politik
adalah the art of managing the country.
Maka, sastra adalah seni untuk bisa
mendobrak kebobrokan politik. Karena
manusia pada hakikatnya adalah berpolitik.
Sebagai warga negara, orang hidup dalam
lingkaran tata kelola negara. segala macam
ketidaknyamanan dan ketidaksetabilan
urusan politik, orang bisa meletupkan dalam
sebuah gugahan saastra. Dunia
kepemimpinan Indonesia tahu, bahwa
roman-roman sastra Indonesia pada tahun
1920-an selain merupakan cermin sosial
juga memantik proses perubahan sosial
yang terjadi di dalam kehidupan
negara Indonesia.
Keempat, Sastra dan
kemajuan pendidikan. Sastra lahir di
dalam tubuh pendidikan. Dan sastra
pula bermuara ke rahim pendidikan
yang malahirkan dia, sastra. Tanpa
sastra mungkin kehidupan
pendidikan adalah sebuah
kesalahan atau bisa dikatakan
skandal yang besar. Sastra yang
baik adalah sastra yang setia kepada
pendidikan. Pendidikan apa saja, moral,
keagamaan, dan lain sebagainya. Melihat
sastra sebagai lawan atau musuh adalah
sebuah pilihan yang keliru untuk bisa
memajukan pendidikan di Indonesia. Ingat
saja, data yang sudah dibeberkan di atas.
Tingkat minat membaca Indonesia masih
jauh dari standar dibandingkan dengan
negara lain. Maka, sejatinya pendidikan di
Indonesia harus melihat kembali peranan
sastra dan sastra juga harus bisa melihat
kembali peranan pendidikan. Keduanya
adalah satu mata uang logam yang tidak
bisa dipisahkan. "Bukanlah kesadaran
manusia yang menentukan keberadaan
mereka, melainkan keberadaan sosial yang
menentukan kesadaran mereka”1.
Dari semuanya itu, saya bisa melihat
bahwa sastra adalah unik di dalam dirinya.
Sastra kadang penuh dengan simbol dan
kata-kata yang ‘pelik’, ‘rumit’, dan ‘ruwet’.
Justru kedalamannya bisa dilihat dari simbol
dan kata-kata kiasan itu. Itu adalah salinan
realitas yang menghantar orang untuk seni
berpikir. Berpikir lurus adalah kebiasaan dan
1 Karl Marx dan Friedrich Engels (1859).
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 14
lazim terjadi di dalam kolam kehidupan.
Tetapi, mencari isi dan makna dibalik apa
yang ditulis adalah lebih sulit dan lebih
bernilai ketika orang masuk dalam ‘teks’
sastra.
Maka, sastra itu adalah soal rasa.
Karena berbicara soal rasa, maka pertama-
pertama yang dimiliki adalah jatuh cinta.
Selayaknya orang jatuh cinta, maka sastra
pun harus sampai pada taraf jatuh cinta.
Ketika semua warga Indonesia jatuh cinta
pada sastra, maka orang Indonesia dengan
sendirinya akan berubah. Kita mencoba
melihat kebudayaan Yunani Kuno yang
berdevosi dengan keunggulan akal budi
mereka. Maka gagasan-gagasan mereka
melebar dan mengembangkan sayapnya di
dunia sekarang. Hampir semua pemikiran
barat memakai catatan kaki Filsafat Yunani,
terutama sastra yang dibuka oleh para filsuf
sebelumnya.
Ada seorang yang mengatakan, “Untuk
membangun rumah yang luas dan besar
sangat mudah. Namun untuk membangun
kerangka berpikir sangat sulit”. Maka,
dengan kesadaran itu, orang harus bisa
membangun paradigma berpikir agar bisa
membawa sebuah perubahan. Dan akhirnya
saya bisa mengatakan bahwa, mungkin
perubahan sosial tanpa sastra adalah suatu
kesalahan. ¤
[Penulis adalah Penyair Kocak-Montfortan.
Saat ini sedang menempuh Pendidikan
Filsafat di STF Widya Sasana Malang].
”Orang yang berilmu mengetahui orang bodoh karena dia
pernah bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui
orang berilmu karena dia tidak pernah berilmu.” Plato.
Batang Jagung dan Fajar Ungu
Karya: Ade Junita
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 15
astra bukan sekedar aksara-aksara
yang berjalan di ujung pena merupa
puisi, syair, cerpen, cerbung, cermis,
cermin, pantun,
gurindam, atau bentuk
lainnya. Sastra sudah
memulai kinerjanya
pada titik awal
keberadaan nenek
moyang dan leluhur.
Pada pendapat umum,
komponen sastra
kebanyakan
dititikberatkan pada
puisi dan puisi
kembali, padahal bila
cermat dan jeli
sesungguhnya sastra
telah menjadi bagian
dari keseharian dan
khazanah kehidupan.
Lingkup ruang
sastra pun tidak selalu
mendayu-dayu,
namun bisa dan sangat mungkin
untuk mempresentasi pada segala
keadaan. Sebagai contoh
pengungkapan rasa syukur dan
kekaguman pada hasil karya Sang
Maha Pencipta, membahas moral,
sopan santun, etika, tata krama dalam
laku dan bahasa serta logat. Sastra
juga digunakan dalam bersosialisasi
atau bergaul dengan masyarakat di
segala jenjang dan kalangan, juga
untuk mengemukakan opini dalam
suatu musyawarah untuk mufakat.
Sastra menjadi acuan tak terduga
untuk menyentil secara gamblang maupun
halus pada kisah suatu negeri atas
pemerintah dan para perangkatnya.
Sastra menjadi penyokong utama,
mengeluarkan aspirasi yang tersembunyi
melalui berbagai bentuk karya ataupun S
Oleh : Erna Winarsih Wiyono
Batu Pekarangan Karya: Adi Septa Suganda
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 16
media.
Sastra berdiri pada garis-garis
terdepan yang menetralkan anarkis tanpa
aturan.
Sastra mengumpulkan dukungan
moril dan juga materiil (bila dalam
komitmen ketentuan yang bertautan), untuk
berteriak lantang, membuka kisah-kisah
sejarah (fakta) tentang yang terjadi di
lapangan. Kejadian sesungguhnya bahkan
per detik dapat diabadikan dalam sastra di
mana para pelaku sastra mengeluarkan ide-
idenya berdasarkan apa yang mereka lihat,
dengar, dan turut mereka rasakan.
Sastra membuka pandora, kasus-
kasus yang berdebu dan sudah lama
dilupakan orang.
Kisruh Korupsi. Sindiran-sindiran
halus namun tepat langsung mengenai
sasaran. Diramu dengan aksen budaya
humor dalam kesan santai. Berikut Kolusi,
Nepotisme, dan Amoral, sastra turut
berperan di dalamnya.
Tak banyak orang menyadari bahwa
sastra dapat menjadi pahlawan atas realitas
sosial yang sedang berlangsung di bumi
pertiwi ini. Para penyair, pujangga,
punggawa, budayawan, seniman, penari,
penyanyi, semua termasuk lingkup sastra
menjadi pelaku dan pegiat sastra untuk
lebih membuka mata hati dunia khususnya
mereka-mereka yang bertaut dengan urusan
carut marut negeri ini. Mengetuk nurani
pelaku yang terkait melalui solidaritas suara-
suara bangsa yang masih peduli dengan
nasib masa depan negerinya.
Sastra tak bisa dianggap remeh.
Sastra hadir untuk membela hak yang
tertindas, dan sastra bukan “pahlawan
kesiangan”. Sastra dan simbiosis mutualisme
diartikan saling sokong menyokong,
mensupport sebagai sarana untuk merenung
dalam tatanan yang berbeda dengan para
demonstran. Sastra tidak meletup-letup
penuh amarah. Lewat pesan santun dan
damai ia bersuara lantang untuk
kebangkitan negeri ini menjadi lebih baik
dari waktu-waktu sebelumnya.
Salam Literasi dan Budaya,
Kota Bogor, Jawa Barat - Indonesia. ¤
Rumput Batu Cadas Karya: Ade Junita
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 17
Foto: Senja Karya: Latifa
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 18
Menulis sastra itu gampang-gampang susah. Bagi mereka yang berjiwa seni akan terasa lebih gampang. Mereka cukup mencolek sedikit ide dari memori benaknya, dan selanjutnya tinggal mengembangkan ide tersebut hingga menjadi sebuah tulisan.
Hal ini tidak berlaku bagi kita yang
dalam kadar tertentu, boleh dibilang berotak
“bebal”, terutama dalam hal tulis menulis.
Ide boleh ramai bermunculan di benak,
lewat berbagai kegiatan, aktifitas dan
perjalanan, namun sangat sulit untuk
menggoreskannya dalam kata-kata aduhai,
sarat makna, dan melambai-lambai
mengaduk emosi, dalam tinta sastra (puisi,
cerpen dan lain sebagainya). Barangkali
ketika anda hendak mulai menulis, pikiran
anda telah membawa anda jauh pada
bayangan bahwa tulisan anda sudah
menjadi sebuah karya yang indah, muncul di
harian terkemuka, dan telah dibaca serta
diulas beberapa tokoh ternama, dan
hebatnya lagi telah menjadi trending topik
di dunia maya. Namun apa daya, ketika anda
sejenak menutup mata, anda kembali pada
diri anda, dan anda menemukan bahwa
anda belum menulis satu aksara pun. Sedih
bukan…?
Sebenarnya yang perlu anda lakukan
adalah mulai menulis. Selalu ada getaran
seni yang bergejolak di dalam jiwa setiap
pribadi. Anda hanya membutuhkan
sejumput ide, kemauan untuk
menuangkannya, dan yang terakhir,
pengetahuan akan dunia sastra. Ide
merupakan suatu kekayaan intelektual,
merupakan “nyawa” bagi setiap karya sastra.
Kemudian kemauan. Kita semua tahu bahwa
tidak ada sesuatu pun akan terjadi bila tidak
didukung oleh kemauan, keinginan untuk
segera melakukan. Sedangkan pengetahuan
sastra adalah pengetahuan akan penulis,
buku-buku sastra, karya sastra, dan produk
sastra. Pengetahuan yang mengajarkan cara
menulis yang baik.
Ada banyak metode menulis sastra
yang telah diterbitkan oleh beberapa
penerbit ternama. Yang penting dari metode
menulis sastra adalah adanya bahan sastra
yang dicoba untuk diunduh dalam
kepemilikan sastra. Setelah anda
Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://www.plimbi.com/article/159688/menulis-bakat-atau-keterampilan
LENTERA SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 19
memperoleh bahan-bahan yang telah anda
pikirkan, cobalah untuk
mengembangkannya dalam bentuk, tema,
judul, dan uraian yang anda susun. Yang
terpenting adalah anda memulainya dengan
segera.
Carilah Referensi Lebih Banyak
Dunia sastra adalah dunia imajiner
manusia yang mencoba untuk menyajikan
karya sastra dan karya seni dalam dunia
tulis-menulis. Walau begitu, tidak lantas
menulis sastra tidak butuh referensi.
Memang dalam karya sastra tidak ditemui
adanya catatan kaki dari kutipan seperti
yang ditemui dalam karya ilmiah. Yang
ditemui hanyalah catatan tangan. Namun,
dengan banyak membaca buku selain
menambah wawasan akan dunia sastra itu
sendiri, juga akan menambah
perbendaharaan kosakata, sehingga sewaktu
menulis anda tidak terhenti lantaran tidak
menemukan kata yang cocok untuk
membahasakan imajinasi yang ada. Selain
itu, untuk mempertajam dan memperluas
wawasan maka harus rajin membaca tulisan-
tulisan sastra hasil karya orang lain. So,
bacalah buku sebanyak mungkin, terutama
yang berkaitan dengan dunia sastra. Bagi
anda yang menggunakan internet, tentu
lebih mudah. Banyak bahan-bahan cerita,
naskah, dan metode menulis yang bisa anda
pelajari. Anda cukup meng-klik search, maka
semuanya akan muncul di layar anda.
Temukan Ide dan Mulailah Menulis
"Pada tahap awal, menulislah dengan
hati. Setelah itu perbaiki tulisanmu dengan
pikiran. Kunci pertama dalam menulis bukan
berpikir, melainkan mengungkapkan apa
saja yang kalian rasakan", demikian kata
William Forester dalam Film Finding Forester
yang dikutip Carmel Brid dalam buku
Menulis Dengan Emosi.
Tuliskan saja ide-ide yang anda
miliki. Setelah naskah selesai, anda dapat
memperbaikinya dengan mengganti kata-
kata yang kurang tepat dalam pemakaiannya
dengan kata-kata yang anda anggap lebih
baik. Dalam penulisan puisi dikenal istilah
diksi. Diksi dalam puisi fungsinya adalah:
1. Memberi kesan lebih kuat
2. Memberi kesan indah
3. Menjadikan puisi lebih menarik
Meskipun tidak selalu, tapi penggunaan diksi
yang baik dapat mempengaruhi nilai dari
karya sastra.
Jejak Pasir Karya: Ade Junit
LENTERA SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 20
Yang terpenting adalah anda telah
mencoba menulis sastra. Pengetahuan
akan estetika, metode menulis, dan
bahan-bahan cerita mendukung
pekerjaan anda.
Berimajinasilah
Kembangkan imajinasi
anda menjadi tulisan kreatif
yang mudah diikuti. Kemukakan
persoalan yang sedang anda
garap. Tulislah judulnya,
kemudian mulailah dengan
paragraf yang sedang anda
kerjakan. Tulisan kreatif
berdasarkan imajinasi akan memberikan
nuansa personalitas. Kembangkan paragraf
demi paragraf sehingga tercipta lembar-
lembar sastra yang anda kehendaki.
Setidaknya ada langkah maju yang telah
anda kerjakan. Jika anda tidak yakin dengan
judul, tema konflik, permasalahan, dan tata
cara penyelesaian masalah, cobalah baca
buku tentang sastra. Yang terpenting adalah
kemampuan anda dalam berolah kalimat.
Berikan aksen tersendiri dalam karya yang
sedang anda kerjakan itu.
Sederhanakan judul anda.
Sederhanakan kalimat-kalimat yang anda
susun. Sederhanakan persoalan. Kemudian
anda kembangkan dalam karangan yang
semakin bervariasi. Menulis itu mudah.
Menulis itu cerdas. Menulis itu kreatif. Ada
sejumlah pengertian yang bisa diasah dan
dikembangkan menjadi kalimat-kalimat
cerdas yang bisa anda kerjakan.
Pengetahuan mengajarkan kita untuk
belajar. Belajar apa saja, termasuk dunia
sastra. Yang terpenting adalah anda telah
mencoba menulis sastra. Pengetahuan akan
estetika, metode menulis, dan bahan-bahan
cerita mendukung pekerjaan anda. Persoalan
hidup sehari-hari menjadi mengendap,
menjadi sesuatu yang bisa anda renungkan,
dan kemudian bawalah menjadi karya sastra
yang bermutu. Semakin banyak persoalan
semakin baik. Semakin cerdas anda memilah
dan memilih informasi yang mampu anda
raih, akan menampilkan beragam persoalan
yang bisa dikerjakan melalui sastra.
Sastra adalah sastra, dan metodenya
juga metode sastra. Cerdas, kreatif,
imajinatif, dan berkesenian. Tanamkan sikap
sederhana dalam mengemukakan persoalan.
Sederhanakan akhir cerita yang anda susun.
Selamat bekerja! ¤
(Ellyas/Puraka)
Langit Senja. Karya: Uki
LENTERA SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 21
ritik sastra adalah salah satu cabang
ilmu sastra untuk menghakimi suatu
karya sastra. Kritik sastra mencakup
penilaian guna memberi keputusan
bermutu-tidaknya suatu karya sastra. Kritik
sastra biasanya dihasilkan oleh kritikus
sastra. Penting bagi seorang kritikus sastra
untuk memiliki wawasan mengenai ilmu-
ilmu lain yang berkaitan dengan karya
sastra, sejarah, biografi, penciptaan karya
sastra, latar belakang karya sastra, dan ilmu
lain yang terkait. Kritik sastra memungkinkan
suatu karya dapat dianalisis, diklasifikasi dan
akhirnya dinilai. Seorang kritikus sastra
mengurai pemikiran, paham-paham, filsafat,
pandangan hidup yang terdapat dalam
suatu karya sastra. Sebuah kritik sastra yang
baik harus menyertakan alasan-alasan dan
bukti-bukti baik langsung maupun tidak
langsung dalam penilaiannya.
Pengertian Kritik Sastra
Istilah “kritik” (sastra) berasal dari
bahasa Yunani yaitu “Krites” yang berarti
hakim. Krites sendiri berasal dari “Krinein”
yang berarti menghakimi. Kriterion yang
berarti “dasar penghakiman” dan kritikos
yang berarti hakim kesusastraan (Wallek,
1978: 21). Kritik sastra merupakan studi
sastra yang langsung berhadapan dengan
karya sastra, secara langsung membicarakan
karya sastra dengan penekanan pada
penilaian (Wallek, 1978: 35). Hal ini sesuai
dengan pengertian kritik sastra modern
juga. Seperti dikemukakan oleh H. B. Jassin
(1959: 44-45), yaitu kritik sastra merupakan
pertimbangan baik buruk karya sastra,
penerangan dan penghakiman karya sastra.
Aspek-Aspek Kritik Sastra
Aspek-aspek pokok kritik sastra menurut Hill
(1966: 6) yaitu analisis, interpretasi dan
evaluasi.
1) Analisis
Analisis merupakan penguraian
terhadap unsur-unsur yang
membangun karya sastra.
2) Interpretatif
Interpretasi adalah penafsiran karya
sastra, dalam arti luas adalah
penafsiran kepada semua aspek
karya saatra.
3) Evaluasi
K Pohon Malam Negatif Karya: Ade Junita
LENTERA SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 22
Fungsi Kritik Sastra
Kritik sastra merupakan studi sastra yang
secara langsung berhadapan dengan karya
sastra dengan fokus utama penilaian.
Sementara fungsi kritik sastra adalah:
1. Mengembangkan ilmu sastra
sendiri. Kritik sastra dapat
mengembangkan teori sastra dan
sejarah sastra.
2. Mengembangkan kesusastraan.
Kritik sastra mengembangkan
kesusastraan suatu bangsa dengan
penilaiannya.
3.
4. Memberikan masukan terhadap
masyarakat umum. Hasil analisis
kritik sastra dapat membantu
masyarakat dalam memahami dan
mengapresiasi suatu karya sastra.
Teori Pendekatan dalam Kritik Sastra
Beberapa pendekatan yang ada dalam
kritik sastra adalah : Pendekatan Stukturalis,
tokoh-tokohnya : Ferdinand de Saussure,
Levi Strauss, Jonathan Culler.
Pendekatan Poststrukturalis, tokoh-
tokohnya : Roland Barthes, Jaques
Lacan, Jaques Derrida
Pendekatan Feminis, tokoh-
tokohnya :Simeone de Beauvoir,
Michele Barrett, Kate Milett.
Jenis-Jenis Kritik Sastra
Jenis kritik sastra dapat dikelompokan
berdasarkan beberapa sudut pandang.
1) Berdasarkan Metode
a. Kritik Induktif
Kritik sastra yang
menguraikan unsur-unsur karya
sastra berdasarkan fenomena-
fenomena yang ada secara
objektif.
b. Kritik Impresionistik
Kritik sastra yang berusaha
dengan kata-kata
menggambarkan sifat-sifat yang
terasa dalam bagian –bagian
khusus.
c. Kritik Judisial
Kritik sastra yang berusaha
menganalisis dan menerangkan
efek-efek karya sastra berdasarkan
pokok, organisasi tekhnik dan
gaya.
2) Berdasarkan Bentuk
a. Kritik sastra teoritis, prinsip-
prinsip kritik sastra sebagai dasar
pengkritikan karya sastra.
b. Kritik sastra praktis, penerapan
kritik sastra pada karya sastra.
3) Berdasarkan Orientasinya
a. Kritik Mimetik
b. Kritik Pragmatik
c. Kritik Ekspresif
d. Kritik objektif
4) Berdasarkan Penulis dan Corak
Kritiknya
a. Kritik sastrawan, kritik sastra yang
ditulis oleh sastrawan, biasanya
bercorak ekspresif dan
impresionistik.
b. Kritik akademik, kritik sastra yang
ditulis oleh umum, bercorak
ekspresif dan impresionistik.
LENTERA SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 23
Cara Menulis Kritik Sastra
Kritik sastra adalah tanggapan objektif
dari seseorang terhadap suatu karya orang
lain dengan menguraikan secara rinci baik
buruknya sebuah karya.
1. Pilihlah pengarang yang anda sukai
Agar kritik sastra mudah
dilakukan, pilihlah pengarang yang
anda sukai. Karena dengan
mengandalkan hal itu anda bisa
leluasa menulis dengan
pengetahuan yang memadai
terhadap biodata, karakter tulisan
dan karya-karyanya. Sehingga
persepsi yang anda kemukakan tidak
akan menjadi abstrak.
2. Pilihlah materi yang paling anda
kuasai
Penguasaan materi perlu juga
dipertimbangkan dalam pembuatan
kritik sastra. Sebab, dengan itu anda
dapat mengeksplorasi pendapat
anda dengan landasan yang tepat
sehingga dapat
dipertanggungjawabkan dan
diterima oleh semua pihak.
3. Masukkanlah beberapa pandangan
orang terhadap karya tersebut
Memasukan pendapat orang
atau ahli dalam kritik sastra yang
anda buat akan membantu
mempertajam kritik sastra tersebut.
Hal itu juga dapat memberikan
gambaran hal-hal apa saja yang
harus anda kritik sehingga kritik
sastra anda tepat sasaran.
4. Mulailah menulis kritik
Jika telah menetapkan tujuan
dan motivasi, segeralah menulis.
Jangan ditunda, karena dengan terus
berusaha menulis ide-ide akan
muncul dan mengalir sedikit demi
sedikit.
Kesimpulan
Kritik sastra merupakan salah satu
studi sastra yang meliputi tiga bidang: teori
sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Kritik
sastra merupakan studi sastra yang langsung
berhadapan dengan karya sastra, secara
langsung membicarakan karya sastra
dengan penekanan pada penilaiannya.
SALAM SASTRA-SEMOGA SUKSES. (seperti
dikutip dari Wikipedia dan berbagai sumber)
¤(Ellyas/Puraka)
Pembangunan Tol Cipali. Karya: Uki
KAJIAN SASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 24
DALAM PENGARUH KEHIDUPAN SOSIAL
ungkin anda pernah membaca sebuah
syair dengan isi pesan kehidupan di dunia,
atau sebuah jalan hidup yang tertuang dari
sebuah prosa bertajuk hidup sebagai insan dan
kemasyarakatan.
Adalah budayawan, agamawan,
penyair Emha Ainun Nadjib atau yang sering
disapa Cak Nun. Beliau merupakan salah
satu penyair yang banyak menelurkan
sebuah pandangan hidup lewat sebuah
puisi, maupun esai. Dari pemikirannya Cak
Nun memberikan pelajaran dan pengalaman
tentang keagamaan, nafas islami juga
politik.
Lahir 27 Mei 1953 di Jombang
dengan nama Muhamad Ainun Nadjib, anak
ke 4 dari 15 bersaudara ini hidup dalam
lingkungan islami. Mengenyam pendidikan
di pondok modern Darussalam Gontor dan
juga fakultas ekonomi Universitas Gajah
Mada (UGM). Dalam dunia sastra suami dari
Novia Kolopaking dan bapak dari Sabrang
Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), Emha
Ainun Nadjib kerap menulis pandangannya
tentang estetika hidup yang ia kemas dalam
puisi dan buku-buku, bahkan beliau adalah
penyair yang aktif menulis. Hb Jassin pernah
berkata "Cak Nun adalah penulis yang
genius". Karena saking aktifnya dia menulis
hingga sampai saat ini terbukti ada 40-an
judul buku yang ia karang dan juga puluhan
puisi.
Puisi Cak Nun diantaranya:
Antara Tiga Kota
Begitu Engkau Bersujud
Dari Bentangan Langit
Ditanyakan KepadanNya
Doa Sehelai Daun Kering
Ikrar
Ketika Engkau Bersembahyang
Kita Masuki Pasar Riba
Kudekap Kusayang-Sayang
Memecah Mengutuhkan
Sepenggal Puisi Cak Nun
Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Tahajjud Cintaku
Dan judul buku-bukunya diantaranya:
Dari Pojok Sejarah (1985),
Sastra yang Membebaskan (1985)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
Markesot Bertutur (1993),
Markesot Bertutur Lagi (1994),
Opini Plesetan (1996),
Gerakan Punakawan (1994),
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
M
Sumber foto: http://www.ciputranews.com/tokoh-nusantara/emha-ainun-najib-seorang-budayawan-dan-intelektual-muslim
PARASASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 25
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya
(1994)
Berikut 2 puisi Emha Ainun Nadjib yang
menggambarkan kehidupan:
Antara Tiga Kota
Oleh : Emha Ainun Nadjib
Di yogya aku lelap tertidur
Angin di sisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubu
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih
Tetap hidup sambil mengantuk
Ke manakah harus kuhadapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?
Jakarta menghardik nasibku
Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku
Matahari memelototiku
Bising suaranya mencampakkanku
Jatuh bergelut debu
Ke manakah harus kuhadapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?
Surabaya seperti di tengahnya
Tak tidur seperti kerbau tua
Tak juga membelalakkan mata
Tetapi di sana ada kasihku
Yang hilang kembangnya
Jika aku mendekatinya
Ke manakah harus kuhadapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya,
MALIOBORO,1997
Dari Bentangan Langit
Oleh : Emha Ainun Nadjib
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan.
Berhembus amat
panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah
berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin
dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang
sekejap.
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya,
MALIOBORO,1997
Cak Nun kerap diundang dalam
acara-acara keagamaan membacakan puisi
di depan khalayak penonton, seperti biasa
syairnya bersentuhan dengan masalah sosial,
pendidikan keagamaan, politik dan budaya.
Namun bisa dikatakan lewat pandangan-
pandangan itu orang akan terkesima lewat
kesadaran diri, bersosial. Cak Nun
memandang hidup itu adalah hak hakiki,
asal dijalankan dengan benar dan mengikuti
Al Quran, sunnah dan hadist dengan
mengkaji dari perspektif yang berbeda.
Sebagai agamawan dan budayawan Cak
Nun banyak menyinggung soal ini,
membicarakan istilah-istilah dalam agama,
sering materi yang ia lontarkan ketika
nimbrung bareng, di undangan suatu acara
materi menyoal keseharian, masalah-
masalah hidup manusia, yang bersyukur
Cak Nun memandang hidup itu
adalah hak hakiki, asal dijalankan
dengan benar dan mengikuti Al
Quran, sunnah dan hadist dengan
mengkaji dari perspektif yang
berbeda.
Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: https://fotoisme.wordpress.com/2010/08/11/emha-ainun-najib/
PARASASTRA
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 26
karena dapat rizki, berbagi kesesama dan
beramal, juga tentang masalah-masalah
ketika manusia mendapat cobaan, bukan
hanya sekitar hidup seseorang. Cak Nun
juga menyinggung masalah nasional dari
bencana alam, korupsi di Indonesia dan
sebagainya. Cak Nun seperti masuk dalam
semua aspek , agama, sosial, politik, hukum,
seni dan budaya. Dalam semua itu Cak Nun
berpandangan hal-hal yang menurutnya
lebih diutamakan dan logika dari sekedar
totem dalam masyarakat.
Dalam dunia teater multi-kesenian
Yogya bersama Halim HD jaringan kesenian
melalui Sanggar Bambu aktif di Teater
Dinasti Cak Nun menghasilkan repertoar
serta pementasan drama:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989,
tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto)
Patung Kekasih (1989, tentang
pengkultusan)
Keajaiban Lik Par (1980, tentang
eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi
modern)
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya
lembaga kepemimpinan modern)
Kemudian bersama Teater Salahudin
mementaskan Santri-Santri Khidhir
(1990, di lapangan Gontor dengan
seluruh santri menjadi pemain, serta
35.000 penonton di alun-alun madiun)
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara
massal di Yogya, Surabaya dan
Makassar)
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)
Juga mementaskan Perahu Retak (1992,
tentang Indonesia Orba yang
digambarkan melalui situasi konflik pra-
kerajaan Mataram, sebagai buku
diterbitkan oleh Garda Pustaka) di
samping Sidang Para Setan, Pak
Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
Dan yang terbaru adalah pementasan
teater Tikungan Iblis yang diadakan di
Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater
Dinasti
Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc
bersama Teater Perdikan dan Letto yang
menggambarkan betapa rusaknya
manusia Indonesia sehingga hanya
manusia sekelas Nabi yang bisa
membenahinya (2012). ¤ (Rizal/Puraka) Sumber: Wikipedia
Sumber foto: google
Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://www.caknun.com/author/emha-ainun-nadjib/
PARASASTRA
Ujung batang jerami Jaba Lor Karya: Priescha
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 27
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 28
Tapak di Suatu Simpang
Oleh: Endy Langobelen
Debu berbaring di ujung aspal
Memahat tapak memandang waktu
Yang terhenti seketika biduk ‘kan berlayar
Mengarungi bebatuan tak bertuan
Saban hari,
Mata ini seakan sesat menimang siasat
Langkah ini seakan menutup sebuah skenario
Menutup lembaran suatu petualangan
Suatu peperangan melawan kemerdekaan
Telunjuk tinggal pasrah kepada arah
Kepada jalan yang tak pasti ‘tuk ditempuh
Kepada sungai saat beriak keras
Mencari surau tuk berteduh saat hujan
Beringin saat angin menerpa
Tak kunjung pula telinga mendengar
Mata pun tak lagi terpandang
Pikiran tak lagi berangan
Tapak pun risau memilih jalan di suatu simpang
Hokeng, 16 Mei ‘15
PURAKARYA PUISI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 29
Puisi Saat Berbuka Puasa
Oleh: Endy Langobelen
Bu, bulan puasa menyabit
Bintangnya menerang tak berkedip
Dinginnya sudah kusimpan baik, dalam sarung
Hangatnya kubiarkan di ujung pintu
Barangkali dosa mengetuk mata
Bu, Ibu! Kok diam?
Mata Ibu kenapa?
Tampak bernoda, Bu.
Ada luka meninta
Ibu puasa, kan?
Duk… Duk… Duk…
Sudah buka, Bu.
Ini, yang kuhidangkan buat Ibu
Sepiring puisi ‘tuk berbuka puasa
Silakan disantap, Bu!
Jogja, Juni ‘15
Biodata Penulis:
Endy Langobelen, Lahir di Sorong, 20 april 1996.
Tamat dari SMA Seminari San Dominggo Hokeng
tahun 2015. Berdomisili di Desa Lamawara - Kec.
Ile Ape – Kab. Lembata – Prov. NTT
PURAKARYA PUISI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 30
Dikisahkan kembali oleh: Abdul Mukhid
Konon pada zaman dahulu, di
Kadipaten Malang ada seorang putri Adipati
yang cantik jelita dan sakti mandraguna.
Putri itu bernama Roro Ayu Proboretno.
Untuk melatih ilmu beladirinya, Proboretno
kerap berlatih dan bertapa di Gua Amprong.
Kecantikan dan kelihaian ilmu beladirinya
termasyhur di berbagai tempat di seluruh
pulau Jawa yang saat itu telah berdiri
Kerajaan Mataran Islam. Maka tidak
mengherankan jika banyak laki-laki yang
ingin memperistri Proboretno. Suatu hari,
ayah Proboretno yang tak lain adalah
Adipati Malang, mengumumkan sebuah
sayembara, yaitu siapa pun yang bisa
mengalahkan kesaktian putrinya, akan
diangkat sebagai menantu atau menjadi
suami Proboretno.
Berita sayembara itu pun segera
menyebar ke berbagai daerah. Di daerah
Japanan, ada seorang pemuda yang amat
antusias ingin memenangkan sayembara
Sumber foto ilustrasi pada halaman ini: http://impalaub.or.id/identitas-vertikal/
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 31
Raja Mataram memandang hal ini sebagai
pemberontakan dan mengirim pasukan ke
Malang. Pasukan dari Mataram dipimpin
oleh Joko Bodho. Sementara pasukan dari
Malang dipimpin pasangan suami istri
Raden Panji Pulang Jiwa dan Roro Ayu
Proboretno.
dan memperistri Proboretno. Nama pemuda
itu adalah Sumolewo. Ketangkasan ilmu
beladirinya juga terkenal di berbagai daerah.
Sumolewo mempunyai seorang guru
bernama Ki Jakpar Sodiq. Sumolewo
menyampaikan keinginannya untuk
mengikuti sayembara tersebut kepada
gurunya.
“Guru, saya ingin ikut sayembara.
Sudah lama saya memendam keinginan
untuk memperistri Proboretno,” kata
Sumolewo ketika menghadap di sebuah
ruangan khusus di padepokan.
Ki Jakpar Sodiq mengernyitkan dahi,
kemudian terdiam. Sejurus kemudian beliau
memejamkan mata untuk beberapa lama.
Sementara itu, Sumolewo masih tertunduk,
menanti dengan harap-harap cemas
jawaban dari gurunya.
Beberapa saat kemudian, sang guru
membuka mata dan menarik napas dalam-
dalam.
“Aku tidak menyarankan kamu untuk
ikut. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin
melarangmu. Aku lihat tekadmu begitu kuat.
Hanya saja, aku ingatkan padamu. Kau tidak
akan bisa memenangkan sayembara itu.
Akan ada seseorang berkumis, tinggi besar
dan amat sakti yang mengalahkanmu.”
Sumolewo segera berpamitan
setelah mendengar wejangan gurunya.
Perasaannya campur aduk antara kecewa
dan gusar. Kecewa karena sang guru tidak
mendukungnya, dan gusar atas ramalan
gurunya. Namun begitu, keinginannya untuk
memperistri Proboretno jauh lebih besar
dari rasa kecewa dan gusar itu. Dia tetap
bertekad ingin mengikuti dan
memenangkan sayembara.
Akhirnya, Sumolewo mengumpulkan
beberapa orang kepercayaannya. Bersama
mereka, Sumolewo menghadang siapa pun
yang sesuai dengan ciri-ciri yang
digambarkan gurunya dan hendak masuk ke
Kadipaten Malang melalui gerbang utara
untuk mengikuti sayembara. Penghadangan
dilakukan di Kali Mati, sebuah daerah di
sekitar kota Lawang sekarang. Disebut Kali
Getih (dari bahasa Jawa yang artinya Sungai
Darah) karena orang-orang yang dihadang
itu dibunuh dan dibuang di sungai dengan
darah berceceran. Siapa pun yang lewat
daerah itu akan ditanyai. Kalau dia orang
Madura, maka dia langsung diserang dan
dibunuh.
Sementara itu, di Pulau Madura,
Adipati Sumenep Raden Panji Pulang Jiwa
juga mendengar tentang sayembara itu.
Raden Panji terkenal amat sakti dan gagah
berani. Tubuhnya tinggi besar tetapi
gerakannya amat cekatan. Raden Panji
mempunyai tunggangan kesayangan berupa
seekor kuda yang diberi nama Sosro Bahu.
Agaknya Adipati Sumenep itu juga tertarik
untuk mengikuti sayembara dan memperistri
Proboretno.
Berkat kesaktiannya,
Raden Panji Pulang Jiwa
mengetahui kalau ada
Penghadangan terhadap para
calon peserta sayembara dari
Madura yang lewat daerah
Malang Utara. Maka dari itu, dia
pun memutuskan untuk lewat
jalur sebelah timur, tepatnya di
daerah Kedung Kandang.
Daerah tersebut merupakan
pusat hewan pemeliharaan
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 32
Kadipaten Malang saat itu. Berkat strategi
ini, Raden Panji selamat dari hadangan
Sumolewo dan kawan-kawan.
***
Syahdan, pada hari yang ditentukan
para pendekar dari berbagai penjuru daerah
berkumpul untuk mengikuti sayembara.
Peraturan sayembara itu adalah para
pendekar itu bertarung saling mengalahkan
sampai ada satu pemenang. Yang terbaik di
antara para pendekar itu akan
bertarung
menghadapi
Proboretno, dan
jika dia bisa
mengalahkan
Proboretno,
maka dia
berhak
menjadi
suami sang
Putri Adipati.
Setelah
pertandingan
berlangsung beberapa
lama, tinggal dua orang
pendekar yang
berhadapan. Mereka
adalah Sumolewo dan Raden
Panji. Kedua orang itu pun beradu kesaktian.
Mereka bertarung dengan amat sengit,
mulai pertarungan tangan kosong,
menggunakan senjata sampai mengeluarkan
ajian. Setelah jurus demi jurus berlalu,
Sumolewo berhasil dikalahkan, dan Raden
Panji Pulang Jiwa keluar sebagai pemenang.
Maka, sebagai pemenang Raden
Panji berhak menantang Proboretno.
Sekalipun seorang wanita, ternyata
Proboretno sangat tangguh. Pertarungan
keduanya berlangsung seimbang dan lama.
Pada suatu kesempatan, Proboretno
terdesak dan melarikan diri untuk
berlindung agar terhindar dari kekalahan.
Dia berlindung di gerbang bekas benteng
Kerajaan Singasari. Proboretno mengira
dirinya sudah aman, tetapi Raden Panji
benar-benar sakti sehingga bisa menembus
gerbang itu dan mengalahkan sang Putri.
Maka sesuai ketentuan sayembara,
dan berhak mempersunting
Roro Ayu
Proboretno.
***
Pesta
perkawinan
pun
dilangsungkan
dengan amat meriah.
Bukan hanya para
pejabat Kadipaten
yang hadir,
tetapi juga
dari
kalangan rakyat
jelata. Pesta rakyat
digelar tujuh hari tujuh malam dengan
berbagai hidangan dan hiburan gratis untuk
rakyat.
Singkat cerita, perkawinan antara
melahirkan sebuah keluarga bahagia.
Keduanya juga dikenal santun dan murah
hati kepada rakyat jelata. Dari perkawinan
keduanya membuahkan seorang putra yang
bernama Raden Panji Wulung atau dikenal
juga dengan sebutan Raden Panji Saputra.
Pada masa itu sebenarnya Malang
dan daerah-daerah di Jawa Timur lainnya
berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Mataram. Akan tetapi, daerah-daerah yang
dikenal dengan sebutan Brang Wetan
(Kawasan Timur) ini menolak tunduk pada
Mataram. Raja Mataram memandang hal ini
sebagai pemberontakan dan mengirim
pasukan ke Malang. Pasukan dari Mataram
dipimpin oleh Joko Bodho. Sementara
pasukan dari Malang dipimpin pasangan
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 33
suami istri Raden Panji Pulang Jiwa dan Roro
Ayu Proboretno.
Akhirnya, pada suatu kesempatan
Joko Bodho berhadapan dengan
Proboretno. Karena ingin memenangkan
pertarungan, Joko Bodho memutuskan
untuk menggunakan keris sakti dari
gurunya. Sebenarnya dia sudah diingatkan
gurunya bahwa tuah sakti keris itu akan
hilang kalau digunakan untuk membunuh
wanita. Karena terpaksa, akhirnya Joko
Bodho menghunus kerisnya dan mengakhiri
hidup Proboretno.
Mendengar kematian istrinya, Raden
Panji marah. Dengan menunggang kuda
Sosro Bahu, dia mengejar dan membunuh
banyak pasukan Mataram. Joko Bodho yang
sudah tidak memiliki senjata ampuh,
akhirnya dengan mudah dikalahkan dan
dibunuh oleh Raden Panji.
Pasukan Mataram gusar karena
banyak korban berjatuhan dari pihak
mereka. Akhirnya mereka merancang sebuah
siasat untuk menjebak dan mengalahkan
Raden Panji. Siasat yang mereka lakukan
adalah dengan membawa seorang putri
Mataram yang mirip dengan Proboretno dan
dibuatkan sebuah panggung untuk
menyanyi. Di jalanan menuju panggung itu
diberi sebuah jebakan berupa sumur.
Begitu mendengar dan melihat
seorang putri yang amat mirip dengan
istrinya, Raden Panji mendekat melalui jalan
menuju panggung. Tanpa disadarinya, dia
terjebak di sumur maut dan dikeroyok
puluhan prajurit Mataram. Raden Panji
akhirnya dimakamkan di sebuah tempat di
kota yang sekarang menjadi ibukota
Kabupaten Malang, yaitu Kepanjen. Kata
Kepanjen sendiri berasal dari kata Kepanjian,
yang berarti tempat Raden Panji. Makamnya
sekarang berada di belakang Kantor Diknas
Kabupaten Malang di Kepanjen.¤
Biodata Penulis:
Abdul Mukhid, lahir di Malang 22 Februari 1974.
Karya-karyanya tersebar di media maupun
antologi puisi dan cerpen seperti Dian Sastro for
President #2 Reloaded, Ponari for President,
Grafiti Imaji, Ketawang Puspawarna, Pelangi
Sastra Malang dan buku puisi tunggal Tulislah
Namaku Dengan Abu. Kini bekerja penerjemah
dan penulis
lepas.
Bukit Majalengka. Karya: Uki
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 34
Cahaya Bening
Oleh: M.F. Hazim
Mataku memancarkan cahaya bening
Saat kau melihatnya
Itu membuat diriku menjadi transparan
Jiwaku yang rumit dan gusar
Tak pernah bisa kusembunyikan
Aku takkan bisa berbohong
Karena mataku selalu memancarkan cahaya bening
Kita memiliki jembatan harapan
Yang selamanya kan membentang
Mengantar sewadah kristal yang manis
Sebanyak itu yang aku berikan
Coba bayangkan
Dalam gerak angin yang berlalu
Bersama waktu
Mimpi nyata ini takkan terlupakan
2015
Biodata Penulis: Nama lengkap penulis Mukhammad Faris Hazim. Saat ini tinggal di Sidoarjo. Blog: hazimwriter.blogspot.com. Penulis telah menerbitkan beberapa karya puisi dan cerpen dalam buku antologi.
PURAKARYA PUISI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 35
Di Ujung Piloritas Daun,
Kulamar Lelaki Merah Hati
Oleh: Kinanthi Anggraini, M.Pd
1
Seringkali Tuhan Alam
tertutup embun
Menyamar roh haus di pancuran bulu
Dan bangkit dalam doa
Maka, aku menyalakan mata
Saat batang tuli
Pada suara tangis malam afotik
di lembah Swan
Misteri suci mencarimu
Menuruni tiap lekuk bibir
Pipi dan kening yang bingung
Mencari tetes keringat jatuh
di dada merekah
milikku
Selimutmu tertinggal
Dihangati nyala api hutan
Serangan liar turun dari bintang
kejora mata gemintang
Sedang menukar warna darahku
Dengan padang rumput
tanpa api
Membuai ingatan di kebun kita
sampai liang lahat
Sampai tumbuh bunga bakung
Sampai hilang perasaan aneh
Sampai mutlak mencintai
2
Musim gugur mendengar
Kisah-kisah gelombang akar
disembunyikan pohon
Dari temaram harum bunga
Jendelaku dirasuki cinta napas
bagai lautan mengering
di ingatan senyuman bumi
Aku memetik keterasingan
tanpa sentuhan jarimu
kidung-kidung di atas mawar
dan desahan panjang
dari pembebasan
Merintih manis
Dalam prosa hidup
Milik sajak yang kuubah sedikit
mencoba meredam gelora
kecupan kekasih
Berwarna kekhawatiran wajar
Di jari-jari mata angin
3
Adakah sekecup ciuman, penyair?
Panorama kenangan itu
Mengitari seringan awan
Warna berbeda di sisi tanah
Di puncak senja rumah kita kelak
Apakah gaib itu menyiapkan cinta?
Saat cadar dadaku melahirkan anak
Buah melagukan dendang hampa
Pada angin sepoi yang rumit
Mandilah bersamaku
Di kolam pelangi
Saat kau datang
4
Kerinduan ini adalah
sarang dari pohon almond
Menggubah kabut menjadi matahari
Kelemahan ramah keagungan batin
Cabang-cabang yang mati
Tanpa partikel puisimu
Meskipun getar nada memecah sunyi
Menghabiskan air mata di dasar jurang
Terbelenggu gelap impian
Kau masih berkedip
Bagai ruh yang hidup di cermin jernih
kugantungkan bunga untukmu
PURAKARYA PUISI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 36
Di langit tiang pualam
5
Seringkali Tuhan Alam
tertutup embun
Menyamar roh haus di pancuran bulu
Dan bangkit dalam doa daunku
Maka, aku berlayar harapan
Di depan pintu denyar
Saat gerimis luruh pada pias
Menabuh genting
Seperti bunga tidur yang mekar
siang hari
Rindu meminangmu
Di deretan potret berjejer
Menyampaikan pinangan
pada tali temali
Perapian pohon pangkal duri
Di depan muntahan serangga
Aku mencoba mengikuti embun
Berbekal botol mengkerut
kertas lusuh
catatan usang
bekas air mata
Merambat pada rumput liar
Yang bosan jadi kupu-kupu
6
Aku membawakan
Rose dalam gelas arum manis
Untuk melamarmu.
Garut, Maret 2015
PURAKARYA PUISI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 37
Tombak Teheran : Mahmoud Ahmadijenad Melihatnya berkaca di depan cermin pagi itu. Kudengar ia berbicara dengan bayangannya saat: "Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan. Hari depanmu dipenuhi dengan tanggungjawab besar yaitu melayani Iran". Setelahnya tas merah yang disiapkan istrinya tak lupa terbawa. Berisi roti isi keju yang ia makan dengan gembira. Karena telah lama, ia meniadakan sajian istimewa. Yang berlaku untuk orang nomer satu di negaranya.
Semenjak hari pertama presiden ini menjabat. Seluruh karpet istana disumbangkan ke masjid-masjid kurang terawat. Tak lupa menyebutkan kekayaan yang ia punya. Mobil Peugeut tahun1977, rekening bank saldo minimum, sejumlah gaji dan rumah renta peninggalan 40 tahun lalu dari ayahnya. Tempat lingkungan kumuh, kota Teheran bernama. Sementara, aku mengagumi cara memperlakukan jajaran kabinetnya. Kerap memanggil untuk berkumpul di istana diberikan selembar dokumen untuk selalu mereka ingat. Berisi arahan hidup sederhana sesuai keringat. Dan juga rekening pribadi dan saudara, yang selalu diawasi dengan ketat oleh negara. Tak berhenti sampai di situ bijakkannya. Fasilitas pesawat kepresidenan telah ia ganti pesawat kargo. Untuk menepis kepentingan pribadi dan ego. Berimbas pada hematnya pajak masyarakat. Dan kelas ekonomi tak lupa ia pilih untuk berangkat. Inilah pria yang menggelar karpet di pinggir jalan. Saat mendengar panggilan ibadah berupa adzan. Dan bermuara suatu kebiasaan. Untuk senantiasa berbaur warga, tanpa harus beribadah di baris paling depan. Sesekali tak sengaja melihatnya bercengkrama. Bukan dengan menteri atau duta besar negara. Melainkan dengan pelayan kebersihan atau tukang kebun di depan istana. Jakarta, Maret 2015
Biodata Penulis : Kinanthi Anggraini, M.Pd lahir di Magetan, 17 Januari 1990. Karya puisinya pernah dimuat di beberapa media massa. Prestasi lain yang diraihnya yaitu menjadi Juara 1 Puisi Terbaik pilihan Gerbang Sastra, Bali (2014) Buku puisi tunggalnya berjudul Mata Elang Biru (Pustaka Puitika, 2014) Alumni Pascasarjana Pendidikan Sains UNS ini sekarang tinggal di Garut, Jawa Barat.
PURAKARYA PUISI
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 38
Baru saja ia rebahkan tubuhnya di
atas ranjang namun tiba-tiba saja ia
merasakan sakit di kepala yang begitu
menusuk. Seakan beribu-ribu paku tajam
dan panas ditancapkan. Pandangannya
menjadi tak jelas. Ia sibuk dengan rasa sakit
yang menggila di kepalanya. Menyusul
kemudian ia merasakan panas di seluruh
tubuhnya. Panas yang juga menggila dan
membuat keringat bermunculan di seluruh
tubuhnya. Lelaki itu mencoba berdiri namun
semakin sakit. Ia rebahkan lagi tubuhnya
dengan kasar. Serasa tertusuk-tusuk seluruh
badannya dengan benda tajam.
Tembok, jam dinding, poster, cermin,
lemari, semuanya terlihat menertawakannya.
Di kedua matanya, semua benda itu benar-
benar menjadi makhluk hidup dengan kedua
mata bulat besar dan merah, dengan alis
tebal dan panjang, hidung besar dan berair,
dan yang lebih membuatnya ngeri semua
benda itu mempunyai mulut dengan taring-
taring panjang yang terbahak-bahak
menertawakannya. Hingga suara-suara tawa
benda-benda itu memekakkan telinganya.
Ia tidak tahan dengan sakit yang ia
rasakan. Ia menarik-narik rambut
panjangnya sendiri. Ia juga terus berusaha
menutup telinganya dari suara-suara tawa
yang semakin memusingkan itu. Sedangkan
panas tubuhnya pun semakin membakar
kulitnya. Dengan kasar ia tarik kaos yang ia
kenakan. Sembari mengerang, kaos itu
sobek di kedua tangannya. Kemudian
dilemparnya kaos itu ke sembarang arah.
“Aaaarrrggghh….!”
Hari sudah malam, Ratni yang
sedang tidur dan mendengar teriakan
adiknya, Sardi, seketika itu juga berlari
mendekat. Diraihnya gagang pintu kamar
Sardi. Ia ikut was-was, dadanya bergemuruh.
Ratni panik karena pintu kamar Sardi
terkunci dari dalam.
“Sardi…!”
“Buka Sardi…! Sira nang apa?i”1
Berulang kali Ratni mencoba
membuka pintu kamar Sardi namun tak bisa.
“Sardi…!”
Tak ada sahutan sama sekali dari
dalam kamar Sardi. Hanya erangan yang
kembali terdengar. Suara gaduh jelas
terdengar dari dalam kamar.
Tak ambil pusing, Ratni keluar rumah
dan berteriak-teriak minta tolong.
“TOLONG…! TOLONG…!”
1 Kamu kenapa?
PURAKARYA CERPEN
Oleh: Ade J. Asnira
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 39
Hening malam itu pecah oleh
teriakan lantang Ratni ke segala arah.
Beberapa tetangga yang mendengar
seketika keluar rumah dan menghampiri
Ratni. Ratni menuntun ke dalam rumah. Tak
perlu dijelaskan, tetangga yang saat itu
masuk ke dalam rumah bisa mengerti sendiri
apa yang sedang terjadi. Erangan dan suara
gaduh dari dalam kamar Sardi masih jelas
terdengar. Ratni hanya perlu mengatakan
pintu terkunci maka tetangga yang masuk
pun tahu pintu kamar Sardi terkunci
sedangkan Sardi sendiri sedang mengerang
dan kesakitan entah terkena apa.
Dalam hitungan ke tiga, dua orang
lelaki mendobrak pintu tersebut. Pintu
terbuka.
***
Ini jelas bukan sakit biasa. Sardi kalap
melihat apapun yang menghampirinya. Dua
orang yang pertama kali masuk dan
mencoba menelikung kedua tangan Sardi
tak pernah berhasil. Kedua orang itu
kewalahan. Sampai-sampai salah satu dari
kedua orang itu sempat terkena pukulan
tangan Sardi yang menyerang sembarangan.
Tak lama kemudian Mang Komsin
yang berbadan besar dan dikenal bertenaga
besar pula datang dengan lelaki lainnya.
Mang Komsin pun mencoba ikut
menenangkan.
“Edan…! Tenaganya bukan seperti
tenaga Sardi!” kata Mang Komsin sambil
geleng-geleng di tengah kesibukannya
mencoba membantu menenangkan Sardi.
Ratni yang kini terduduk lemas
melihat dengan nanar peristiwa itu.
Pikirannya ikut tak menentu. Di matanya,
lelaki yang kini mengamuk tak jelas itu
bukanlah Sardi. Teriakan dan sorot matanya
bukan seperti yang ia tahu. Meskipun ia
sudah biasa melihat Sardi ngamuk setiap
kali pulang nonton organ atau main
perempuan dan main judi, tapi Sardi yang
malam itu tidak seperti yang ia kenal. Ratni
benar-benar merasa melihat sisi lain dari
adik lelakinya itu.
“Panggil Wa Pelet2…!” kata salah
seorang yang ikut mengerubung di rumah
Ratni dini hari itu.
“Hari masih gelap gini manggil Wa
Pelet?” seorang lain menimpali.
“Nanti ngganggu…”
“Daripada tambah parah
ngamuknya,” jawab lelaki yang
mengusulkan.
“Iya, benar. Ini pasti bukan sakit
biasa.”
“Kalau begitu biar saya saja yang
panggil,” kata seorang bapak sembari
beranjak keluar dari rumah Ratni dan
menuju rumahnya kembali. Disusul
kemudian terdengar derum suara motor di
kejauhan.
“Panas, Mbok…!”
“Aduh lara…!!!” erang Sardi.
Di tengah kegaduhan Sardi yang
terus saja mengerang, jika diingat-ingat lagi
sebenarnya tak ada yang aneh dari diri Sardi.
Ratni tahu benar seharian itu Sardi ke mana
dan melakukan apa. Maka ia katakan yang
sebenar-benarnya saat Bik Yum menanyakan
apa yang dilakukan Sardi sore tadi. Yang ia
tahu Sardi nglayab dengan Rato, Dul dan
Simin ke Gunung Gundul. Semua warga
sudah tahu bahwa Gunung Gundul
sebenarnya hanyalah kelokan jalan dengan
warung remang-remang berjejer dan jalan
itu menuju gunung yang sudah gundul
karena diambil isi perutnya untuk produksi
semen. Dan baru jam 2 dini hari Sardi
pulang. Setelah itu yang Ratni tahu hanyalah
Sardi yang mengerang keras dari dalam
kamarnya.
Benar-benar tak ada yang aneh dari
gelagat Sardi sebelumnya. Bik Yum yang
2 Pelad.
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 40
Dan tepat ketika sayup-sayup terdengar adzan, Wa Pelet berdiri seraya mengambil segelas air putih di depannya. Detik berikutnya segala apa yang dilakukan Wa Pelet menjadi perhatian oleh semua orang yang menyaksikan.
mendengar penuturan Ratni pun tak bisa
memperkirakan apa sebenarnya yang terjadi
pada Sardi. Sampai sepuluh menit kemudian
dari kejauhan terdengar kembali suara
motor yang semakin lama semakin
terdengar mendekat.
“Wa Pelet sudah datang,” suara
seseorang setengah berbisik.
Lelaki beruban dan kurus yang
dikenal sebagai Wa Pelet itu bergegas turun
dari motor dan membelah kerumuman
warga yang sedari tadi berjejal di depan
rumah Ratni. Sesampainya di dalam Wa
Pelet menanyakan hal yang sama persis
dengan apa yang ditanyakan Bik Yum
sebelumnya pada Ratni. Wa Pelet pun
menggelengkan kepalanya setelah
mendengar penuturan ulang dari mulut
Ratni.
Sejenak kemudian Wa Pelet duduk
bersila di depan pintu kamar Sardi. Matanya
tepat tertuju pada Sardi yang masih
kelojotan. Ketiga lelaki termasuk Mang
Komsin yang masih terus berusaha
menenangkan Sardi tampak lebih kepayahan
dari sebelumnya. Namun erangan Sardi
mulai melemah. Wa Pelet merasakan hawa
panas memenuhi ruangan kamar. Keributan
di luar seketika surut. Hanya bunyi bebisik
yang kini terdengar.
Kurang lebih 20 menit lamanya Wa
Pelet hanya duduk di pintu kamar sambil
memandangi Sardi. Erangan Sardi masih
terdengar. Sesekali keras dan sesekali
melemah. Hingga terdengar dari kejauhan
bunyi sholawat yang memang
selalu dipujikan sebelum
waktu shubuh tiba, kedua bibir
Wa Pelet bergerak-gerak.
Lelaki tua itu sedang
melafalkan sesuatu.
Dengan isyarat Wa
Pelet minta disediakan air
putih di hadapannya. Setelah
air putih tersebut
disandingkan, kembali ia
membacakan sesuatu seperti…
do’a. Tapi semua orang yang
menyaksikan kejadian itu tak mengerti apa
yang dilafalkan Wa Pelet. Mereka hanya
yakin bahwa apa yang dilafalkan Wa Pelet
adalah sebuah mantra untuk menghilangkan
penyakit atau semacamnya.
Dan tepat ketika sayup-sayup
terdengar adzan, Wa Pelet berdiri seraya
mengambil segelas air putih di depannya.
Detik berikutnya segala apa yang dilakukan
Wa Pelet menjadi perhatian oleh semua
orang yang menyaksikan.
Dibasuhnya muka Sardi dengan air
putih yang Wa Pelet bawa. Basuhan pertama
membuat Sardi mengerang. Basuhan ke dua
erangan Sardi melemah. Dan pada basuhan
ke tiga mulut Sardi tertutup hanya kedua
matanya kini melotot pada Wa Pelet.
“Tingeling…! Tingeling…!
Tingeling…!” kata Wa Pelet sambil
memegangi kepala Sardi dan sedikit
menghentakkannya.
Ajaib. Sorot mata Sardi langsung
melemah dan seluruh tubuhnya yang tadi
kuat memberontak pun melemah.
Ratni menghembuskan nafas lega.
Usai sudah.
“Tingeling cila uh ulip nging
ndungnya. Tingeling nging engelan. Wis
wayas…!”
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 41
Baru setelah Wa Pelet sudah kembali
di antar pulang, seseorang berkata, “Kata
istrinya, yang dilakukan Wa Pelet sebenarnya
hanya berdo’a. Tapi sangat manjur.”
“Do’a orang seperti Wa Pelet kan ana
sing ngrewangi…. Ada yang membantu.”
Tegalkarang, 14-09-15
22:54
Catatan:
- Tingeling berasal dari kata sing eling
yang mempunyai arti sadarlah; yang
sadar. Bermaksud untuk menegaskan
pada seseorang supaya sadar
dengan apa yang telah dilakukan.
Kata Tingeling biasa digunakan oleh
orang Cirebon saat memberi
pelajaran sambil memukul dan
mengingatkan bahwa kesalahan
harus diakhiri dengan bertobat. ¤
Biodata penulis:
Ade J. Asnira saat ini berdomisili di Taoyuan
Taiwan. Beberapa cerpennya pernah
diterbitkan dalam antologi sebagai berikut:
Melukis Ka’bah (Lovrinz Publishing-Mayor),
Empati Demi Surgawi (Kaifa Publishing-
Mayor), Kisah Dari Rumah Kambira (Smart
Writing Publishing-Indie), Secawan Harapan
(AG Litera-Indie). Beberapa puisinya pernah
juga dimuat dalam antologi Suara Yang
Terbungkam (Nida Dwi Karya Publishing-
Indie), NOL (Deka Publishing). Penulis bisa
dihubungi melalui [email protected].
Belalang dan Sawah. Karya: Uki
Belalang dan Sawah. Karya: Uki
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 42
Oleh : Eva Riyanty Lubis
alam-malamnya
mendadak
menyeramkan.
Embusan angin yang
biasanya dia cintai tak mampu lagi
membuatnya tenang. Apalagi
kerlap-kerlip bintang di langit.
Baginya, mereka seolah tersenyum
sinis. Dia tak ada teman. Manusia
pun satu-persatu menjauhinya.
Entahlah. Dia yang menjauh, atau
dia yang dijauhi.
Dinda telah berubah. Tidak
lagi riang. Tidak ada tawa bahagia. Senyum
simpulnya padam seketika. Tubuh
mungilnya pun mendadak semakin
mengecil. Seolah bumilah yang membuat
dia seperti ini. Matanya menebar ketakutan.
Harapannya pupus satu persatu.
***
“Kau beneran suka pada lelaki itu?”
tanya Siti dengan kening berkerut. Malam itu
mereka tengah duduk berdua di balai taman
kota
Dinda menyipitkan mata seraya
berujar, “Ada yang salah?”
“Nda, aku nggak habis pikir deh.
Sudah empat tahun kita merantau di kota
Medan ini. Ada banyak lelaki yang suka dan
mendekatimu. Sebagian dari mereka aku
kenal dengan baik. Masalahnya, kenapa
sekarang kamu bisa suka dengan lelaki yang
baru kamu kenal? Dua hari, Dinda!”
Dinda tertawa kecil. Sudah menduga
kalimat yang akan keluar dari bibir Siti.
“Siti, cinta itu bisa datang kapan saja,
di mana saja dan pada siapa saja,” kata
Dinda diplomatis.
“Jiah! Sejak kapan kau percaya
dengan kalimat murahan itu?” Siti geleng-
geleng kepala tidak percaya. “Dari awal aku
kurang setuju dengan hobi travelling-mu itu.
Masa capek-capek kerja dari Senin sampai
Jum’at, Sabtu sama Minggunya selalu kau
habiskan dengan jalan-jalan?”
“Aduhhh Sitiiii…. Stop deh! Jangan
kaya emakku. Aku suka jalan-jalan. Dan
M
PURAKARYA CERPEN
Jalan Untuk Pergi. Karya: Rizal
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 43
“Dan kehilangan tak pernah lebih pedih dari mencintaimu. Sementara melupakanmu, hanyalah caraku menipu rasa
sakit.”(Agus Noor).
kamu juga tahu kalau salah satu impian
terbesarku adalah keliling Indonesia. Aku
ingin menikmati keindahan alam yang
diberikan Sang Pencipta ini.”
“Oke, oke. Aku terima. Kembali ke
topik utama. Aku nggak setuju kalau kamu
suka sama lelaki itu. Siapa namanya?”
“Karno,” tegas Dinda cepat.
“Whatever-lah! Pokoknya aku nggak
setuju. Tampangnya aja tua gitu. Jangan-
jangan udah punya bini. Ihhhh seraaaam!”
Dinda memang sudah menunjukkan
foto Karno kepada Siti. Waktu itu Dinda
pergi ke Gunung Simeru. Di sanalah dia
bertemu dengan Karno. Orang Jawa yang
sedari kecil tinggal di Bali. Sesungguhnya
tidak ada yang begitu istimewa dari Karno.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu pendek. Badannya tidak gemuk dan
tidak juga kurus. Kulitnya sawo matang. Pas
bertemu Dinda, cambangnya malah sedang
awut-awutnya. Wajahnya pun benar-benar
khas Asia.
Jadi, apa yang membuat Dinda jatuh
cinta pada pandangan pertama kepada
lelaki itu?
“Haduh, Siti. Seharusnya kamu
ngasih support kepadaku. Bukan malah
berpikiran negatif seperti ini.”
Hari-hari Dinda semakin berwarna.
Karena ada Karno di sisinya. Meski mereka
hanya bisa berhubungan jarak jauh, dia
memberikan harapan besar pada hubungan
itu.
***
Dinda tengah terserang dingin
teramat akut kala Karno menemukannya.
Lelaki bercambang itu menutupi tubuh
Dinda dengan jaket tebal miliknya. Dinda
telah kehilangan tenaga. Namun dia masih
sanggup untuk memandangi sang
penolong.
Tanpa banyak bicara, Karno
memapah Dinda untuk masuk ke dalam
tendanya. Sedang tenda milik Dinda
bermasalah sehingga tidak bisa didirikan.
Waktu itu, Dinda hanya seorang diri ke
gunung Simeru. Dia memang terbiasa
sendiri. Menurutnya solo traveller tidak
selamanya seorang diri. Sebab dia pasti akan
menemukan banyak orang selama
perjalanan. Namun untuk perjalanan kali ini,
seharusnya dia memang tidak seorang diri.
Karno memberikan air hangat
kepada Dinda. Dinda meneguk sebanyak
yang dia butuhkan.
“Istirahatlah. Semua bakalan baik-
baik saja,” ucap Karno setengah berbisik.
Dan setelah itu, tiba-tiba saja Dinda
terlelap dalam mimpi indahnya.
Keesokan paginya, Dinda sudah
berhasil mendapatkan kembali tenaganya.
Dia mencari sang penyelamat.
“Terima kasih,” kata Dinda tulus.
Karno pun membalas dengan
senyuman terbaiknya. “Tidak masalah. Kau
sudah baikan?”
“Ya.”
“Bersyukurlah pada-Nya.”
Dinda kembali menganggukkan
kepala.
“Kau seorang diri?” tanya Karno
kemudian.
“Tidak. Ada kau dan yang lainnya di
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 44
sini,” jawab Dinda sembari memandang
orang-orang disekeliling mereka.
Karno terkekeh. “Aku tahu kalau kau
itu perempuan yang tangguh.”
“Aku tidak bilang seperti itu,” jawab
Dinda dengan rona merah yang tiba-tiba
menjalari wajahnya.
“Kau selalu seorang diri?”
“Hmmm…. Lebih sering, iya.”
Karno menganggukkan kepala.
“Sudah kuduga. Oh ya, kau pasti lapar. Aku
ada kue. Silahkan dimakan dulu. Perjalanan
masih panjang.” Karno menyodorkan dua
bungkus roti kecil kepada Dinda. Dinda pun
menerimanya.
“Alam ini sangat indah,” ucap Karno
sembari tidak melepaskan pandangan pada
hamparan hijau di sekeliling mereka.
“Ya. Tidak ada yang lebih indah
selain menikmati keindahan alam hadiah
dari Sang Pencipta ini.”
“Akan lebih baik kalau menikmatinya
dengan pasangan,” sahut Karno terkekeh.
“Hmm…. Aku kurang setuju,” jawab
Dinda tegas.
“Apalagi perempuan seperti kamu.
Kejadian tadi malam sudah sangat fatal.
Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu
sedangkan kamu hanya seorang diri ke sini?”
Dinda terdiam. Memang selama ini
dia tidak begitu merasa bermasalah
bepergian seorang diri. Namun yang
dialaminya kemarin malam benar-benar di
luar perkiraannya.
“Oh ya, aku Karno.”
“Din… Dinda,” jawab Dinda
gelagapan.
Setelah itu, Dinda memutuskan
untuk jatuh cinta kepada Karno. Tanpa
pertimbangan apapun. Yang dia tahu, Karno
telah berhasil menyentuh hatinya yang
terdalam dengan waktu yang sangat singkat.
Ya, Karno berhasil membuka hati Dinda yang
telah terkunci sekian lama.
***
“Kamu pacaran dengan lelaki yang
tidak jelas!” gusar ibunya Dinda kala Dinda
pulang ke kampung halamannya, Semarang.
“Siapa bilang tidak jelas sih, Bu?”
“Kalau jelas, dia seharusnya datang
ke rumah kita. Memperkenalkan diri pada
Ibu, Bapak dan saudara-saudaramu!”
“Dia lagi sibuk, Bu!” jawab Dinda
tidak ingin Karno disalahkan.
“Pokoknya Ibu ingin kamu segera
menikah! Ingat usiamu, Dinda!”
Dinda memang anak tertua. Dia
memiliki lima orang adik yang rata-rata
kesemuanya masih bersekolah.
“Bu, Dinda belum ingin menikah.
Dinda masih harus bekerja. Ibu yang sabar
dong! Lagian zaman sekarang ini menikah
muda lebih banyak efek negative-nya. Ibu
nggak lihat di tivi banyak kasus perceraian
karena menikah muda?”
“Kamu tidak muda lagi, Nda! 27
tahun! Sebaiknya kamu berhenti merantau
dari Medan dan pulang ke sini. Nikah dan
jadi ibu yang baik. Toh selama merantau
uangmu selalu kamu hamburkan dengan
jalan-jalan nggak jelas itu.”
***
Pertemuan kedua Dinda dengan
Karno. Dinda berkunjung ke Bali sesuai
keinginan lelaki yang telah menjadi
kekasihnya itu. Seharian mereka habiskan
dengan berjalan-jalan ke sana kemari.
Melepaskan rindu yang telah menggunung.
Malamnya, tanpa pikir panjang,
Dinda menyerahkan diri seutuhnya kepada
lelaki itu.
Karno menghilang. Dinda sudah
menelusuri jejak lelaki itu. Namun dia tetap
tidak menemukannya. Perasaannya hancur
lebur seketika. Sedangkan janin di dalam
kandungannya kian hari kian membesar.
Ketika usia kehamilan Dinda
memasuki enam bulan, dia menemukan
fakta menyakitkan. Karno sudah memiliki
istri. Namun selingkuhannya bertebaran di
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 45
mana-mana. Dinda meminta
pertanggungjawaban, sayang
permintaannya ditolak oleh Karno. Hati
Dinda remuk. Apalagi tidak ada lagi orang
yang ada di saat dia kesusahan seperti ini.
Semua menjauh. Memandang rendah
kepadanya. Seolah dia kotoran paling
menjijikkan di atas bumi.
Dia tak lagi ingin apa-apa dari bumi.
Dia ingin ditelan. Tenggelam bersama asa.
Karena menurutnya, itulah yang terbaik
baginya saat ini.
Lalu Tuhan menjawab pinta Dinda.
Ketika proses persalinan Dinda selesai, dia
pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sedang
bayi perempuannya menangis hebat
sepanjang malam. ¤
Biodata Penulis
Eva Riyanty Lubis, lahir di Padangsidimpuan,
Sumatera Utara, pada 13 Mei 1992. Karya berupa
cerpen, puisi, artikel, tulisan perjalanan dan
resensi yang telah dimuat ada di Smile E-Magz,
Majalah Inspirasi, Batak Pos, Majalah Imut,
Annida Online, Riau Hari Ini, Radar Bojonegoro,
Waspada, Medan Bisnis, Analisa Medan, Tabloid
Gaul, Kompas Anak, Majalah Gadis dan Majalah
Reader’s Digest.
Sedangkan novel yang sudah terbit berjudul Me
And My Heart (Zettu, Desember 2012), Rasa Hati
(Hi-fest Publishing, Desember 2013), Putri Ping
(Indiva, April 2014), dan Perfect Day (Elex Media,
Desember 2014).
Jembatan Kecil. Karya: Layung Kemuning
PURAKARYA CERPEN
“Jangan pernah
berpuas diri di titik
yang sama. Teruslah
berputar.”
Dee-Supernova: Akar
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 46
Oleh : Nur Aini Salsabila
Airmataku masih terus mengalir,
seolah-olah turut berkisah tentang
kepedihan hidup yang tak kunjung pamit
dari wajah. Merenggut manis senyumku dan
menggantinya dengan wajah sangar yang
cemberut.
Rumit, itu yang dia ucapkan minggu
lalu saat aku mengutarakan untuk
mengadopsi seorang anak. Bahkan cicak-
cicak pun enggan bersuara ketika dia mulai
menentang keinginanku.
"Bagaimana bisa kamu berfikir
seperti itu?" katanya sedikit ketus. "Kita
bahkan belum mempunya rumah, dan masih
tinggal di rumah kontrakan sudah berani
membebani diri dengan mengadopsi anak.
Nyamuk-nyamuk yang numpang hidup di
kontrakan ini saja, yang setiap harinya
kenyang dengan darah kita saja tahu hidup
kita susah, sampai-sampai membeli obat
nyamuk saja tiada mampu, masih saja gaya-
gayaan membantu keluarga oranglain. Siapa
suruh mereka melahirkan banyak anak
jikalau mereka tidak mampu mengurus dan
membiayai anak-anaknya? Pokoknya aku
sebagai imammu tidak setuju kau
mengadopsi anak!" Nada bicaranya makin
terdengar meninggi.
Kami memang tidak berasal dari
keluarga yang berada, suamiku hanya
seorang buruh pabrik, dan aku hanya
seorang buruh cuci. Gaji kami berdua
sebulan jika digabungin tidak lebih dari Rp.
2 juta. Dengan gaji pas-pasan seperti itu
memang menambah biaya jika harus
mengadopsi atau memilki seorang anak.
Kebutuhan dapur, air, listrik dan biaya sewa
rumah ini jika ditotalkan mencapai satu
setengah juta. belum lagi jika ada keperluan
mendadak yang mengharuskan keluarnya
biaya, seperti sakit, sembako naik dari harga
standar.
Disapu angin. Karya: Uki
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 47
“Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain
karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan
ketakutannya akan sepi.” (Dee – Rectoverso)
Namun dua tahun ini aku sangat
merasa kesepian tanpa kehadiran seorang
anak dalam rumah kontrakan ini. Terkadang
jika berjalan di emperan toko yang menjual
pakaian dan aksesoris anak, hatiku begitu
miris. Seakan-akan ingin sekali turut
membeli beberapa helai dan membawanya
pulang ke rumah. Tidak jarang aku berhenti
lama hanya untuk sekedar melihat aktivitas
dalam toko, seperti para ibu-ibu hamil yang
mengelus-elus perutnya dan asyik memilih
pakaian untuk anak yang masih dalam
kandungannya. Ataupun sekedar melihat
suami-suami yang begitu romantis
menemani istri dan anaknya belanja pakaian
anak model-model masa kini yang begitu
lucu dalam pandangan mataku.
Ah, aku hanya mampu menelan
ludah, bagaimana bisa punya anak, jikalau
waktu dan perhatian dari suami saja jarang
aku dapatkan, gumamku dalam hati.
***
‘Malam ini aku lembur sayang.’
Pesan singkat yang dikirimkan
suamiku bertandang dalam kotak pesan
hapeku.
Lagi-lagi malam tahun baru ini
kulalui sendiri. Aku tahu, setiap malam tahun
baru karyawan pabrik tempat suamiku
bekerja, selalu mendapat perintah lembur
karena tingginya pesanan dan kurangnya
tenaga kerja aktif. Ya, sebagian dari
karyawan pabrik memilih cuti dan berlibur
bersama anak-istrinya, menikmati liburan
akhir tahun dengan berkumpul bersama
orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan
kami hanya bisa melaluinya di dua tempat
yang berbeda, tanpa adanya makan malam
bersama, kata-kata romantis ataupun
pelukan kasih sayang sebagai tanda
keharmonisan hubungan.
Bahkan fikiranku yang dangkal ini
terkadang menyimpulkan bahwa dia tidak
mencintaiku. Ah, tidak! Aku tidak ingin itu
terjadi walaupun pernikahan kami terjadi
hanya karena perjodohan orangtua semata,
tanpa cinta pada pandangan pertama, tanpa
permainan lirikan mata.
Tapi tetap saja pikiran itu
mengganjal. Apalagi jika mengingat ketika
dia berada di rumah dia lebih banyak
menghabiskan waktu menonton bola dan
sibuk mengurusi peliharaannya sendiri
daripada bercakap-cakap atau bercanda
tawa denganku.
Ya, pernikahan sakral yang menjadi
kaku karena adanya keengganan saling
menerima dan belajar berbagi rasa. Dimana
kami memilih memikul rasa yang kami
hadapi pada bahu masing-masing.
Terkadang juga lebih memilih
menenggelamkannya pada bantal yang
mulai kehilangan empuknya karena
seringnya kebasahan air mataku.
***
Aku sudah terbiasa melalui tahun
baru hanya dengan suara petasan, kembang
api dan suara musik electon dari para rumah
tetangga, serta mencium aroma sate dan
harumnya ketupat dari bilik kamar yang tak
berdaun jendela, hidungku bahkan juga
sudah mampu menebak si pembuat sate
hanya dengan mencium aromanya, ya aku
sudah hafal betul. Mereka berpesta pora,
merayakan pergantian tahun dengan
terompet sekali pakai, yang menurut
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 48
suamiku kelakuan mereka hanya
menghambur-hamburkan uang semata.
Sementara aku hanya bisa terbaring,
merebahkan tubuh karena lelah sambil
mengkhayalkan masa pergantian tahun baru
kemarin, ketika aku masih menjadi seorang
gadis cantik dan periang. Tidak diragukan,
kecantikan dan kemolekan tubuh
membuatku seperti kembang desa yang
pastinya membuat mabuk mata lelaki yang
memandang. Saat-saat siapapun ingin,
bahkan berlomba-lomba ingin memilikiku.
Hingga akhirnya orang tuaku memilih dia
untuk menjadi suamiku, dan karena baktiku
kepada orang tua, aku tunduk untuk
dimilikinya lahir batin, walaupun wajahnya
tidak semenarik dan setampan kumbang-
kumbang yang dulu selalu gencar
menggodaku.
***
Pemandangan tahun baru seperti ini
tidak lagi asing bagiku, maklum saja aku dan
suami mengontrak rumah di kawasan yang
penduduknya termasuk orang elit dan aku
menyandarkan penghasilanku pada upah
dari mereka sebagai buruh cuci
panggilan.Dari cerita para Ibu-Ibu majikan,
dapat kusimpulkan rata-rata pekerjaan
suami mereka adalah pengusaha sukses
dalam bidang pemerintahan maupun
swasta. Perbedaan yang cukup signifikan ini
yang membuatku susah bergaul dengan
mereka. Ya, malu miskin sendiri.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul
00.00, setengah jam lagi suamiku pulang,
aku tidak berharap dia membawa sekotak
sate, martabak manis atau sebungkus es
krim coklat kesukaanku. Aku hanya berharap
dia datang dan memeluk untuk menandakan
kalau dia menerimaku sebagai istrinya, agar
rasa kesepian ini terusir.
Aku menunggunya di sofa sambil
berbaring, kesibukan sebagai buruh cuci
sedikit membuat pinggang dan punggungku
pegal-pegal. Dan membuatku kehilangan
kesadaran, larut dalam lelap dan lelah yang
senantisa membelengguku.
Entah sudah berapa lama aku
tertidur, ketika aku terjaga belum juga ada
tanda-tanda kedatangannya. Aku
mengambil hape di atas meja dan mencoba
menghubunginya, namun suara dari balik
telpon genggam sana begitu
mengagetkanku.
"Halo, ini siapa?" Suara perempuan
terdengar nyaring di telingaku, aku mulai
panik dan membanting hapeku ke lantai.
Tepat dugaanku, dia pasti masih
berhubungan dengan mantannya. Seperti
sinetron di tv yang sekarang banyak
bercerita tentang perselingkuhan.
Emosiku memuncak, airmataku tak
terbendung. Tunggu saja, bila nanti kau
datang aku akan mencekik lehermu,
menjambak-jambak rambutmu sampai
Papan Pijak. Karya: Layung Kemuning
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 49
engkau mengakui semuanya, gumamku
nyaris tak terdengar. Dan pekatnya subuh
kembali membawaku kedalam buaiannya
hingga pagi menjelang.
***
Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi,
suara gedoran dari balik pintu membuatku
terkejut bukan kepalang. Seperti dentuman
petasan yang kudengar semalam ketika
kalender menggugurkan angka 31 nya dan
menyisakan angka 1. Aku yang sedari tadi
membereskan perabotan di dapur, sudah
mempersiapkan sebilah pisau di balik
sakuku.
Ya aku telah merencanakannya
sematang mungkin. Jika dia tidak bisa
kumiliki, orang lain pun tidak boleh
memilikinya. Niat untuk menghabisinya
telah bersarang dalam. Pernikahan tidak
seperti ini, aku akan bahagia selepas ini,
meskipun masa depan harus kujalani dalam
jeruji besi atau di .... Entahlah!
Aku telah gelap mata sambil sedikit
berlari kecil menyongsongnya, seluruh
tubuhku bergetar menerka-nerka kejadian
apa yang akan terjadi selanjutnya.Namun
alangkah kagetnya ketika aku membuka
pintu, sosok Ibu tua langsung memeluk
tubuhku, aaahh aku pasti bermimipi.
"Ibu, ini Ibu kan?” kataku sedikit tak
percaya. Ibu mencubitku agak keras di pipi.
"Iya Nak, ini Ibu, suamimu
menjemput Ibu di kampung semalam untuk
menemanimu, dan Ibu mengajak keponakan
kamu untuk ikut serta, kata suamimu engkau
sudah sangat ingin mempunyai anak,"
tunjuknya ke bayi yang sedang digendong
suamiku. "Dan suara yang kamu dengar
semalam itu suara sepupumu, Ibu
menyuruhnya mengangkat telpon darimu,
karena suamimu sudah tertidur pulas karena
menempuh perjalanan jauh tanpa istirahat,
Nak." Terang Ibu panjang lebar melanjutkan
pembicaraan. "Ibu berniat
memberitahukanmu namun telponnya
langsung terputus tiba-tiba." Mataku
berkaca-kaca, mungkin Ibu tidak dapat
membaca perubahan ekspresi wajahku saat
itu, namun sejuta sesal atas kebodohanku
tidak mempercayai suamiku sendiri
menampakkan wujud istri durhaka di
wajahku.
Subhanallah, walhamduliilah .... Aku
berlari memeluk suamiku dan memohon
maaf untuk kesalahpahamanku. Aku
menyadari kesalahanku, ternyata suamiku
hanya ingin aku mengadopsi anak dari
keluarga aku sendiri, bukan dari orang yang
sama sekali tidak bertalian darah denganku.
Kurasa ini kado terindah darimu Tuhan, yang
kau titipkan ke tangan suamiku yang
berwajah pangeran. Pisau yang berada di
balik sakuku pasti ikut tersenyum karena
tidak berhasil melukai dan menggores
sedikitpun kulit dari orang yang soleh
seperti suamiku. Atau mungkin menarik
napas leganya karena terhindar dari cipratan
darah dan napsu binatangku yang terbersit
beberapa jam lalu.
"Selamat tahun baru honey," kecupan
yang mendarat di keningku menutup
kekesalan dan menggantinya dengan
senyum kebahagiaan. Sekaligus
membuyarkan ingatan tentang pisau di balik
sakuku.
Aku mengangguk perlahan dalam
hangatnya pelukannya, "Terima Kasih
sayang," ucapku di tengah isak bahagia.
Serasa ingin mendekapnya erat dan tak
ingin lagi kulepaskan. Bahagia yang dia
persembahkan hari ini, akan kubayar dengan
sepenuh bakti.
"Terima kasih Tuhan, Ibu, Ayah. Telah
kau pilihkan dan izinkan dia menjadi
seorang imam, sebaik-baiknya imam, dalam
hidupku." Gumamku dalam hati. ¤
PURAKARYA CERPEN
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 50
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 51
“Seseorang yang melakukan kesalahan dan tidak
membetulkannya telah melakukan satu kesalahan
lagi.” Confucius.
dalam Perubahan sosial dan Budaya
Perubahan Sosial dan Budaya.
Perkembangan suatu bangsa
dari jaman ke jaman memang selalu
berubah-ubah, tergantung segala sesuatu
yang mengimprovisasinya. Adalah
pemandangan yang tak aneh di jaman yang
serba modern ini, di mana segala sesuatu
yang berseberangan tentunya akan menuai
efek negatif di kalangan tertentu.
Dulu sebelum era internet masuk ke tanah
air Indonesia mungkin keadaannya sangat
berbeda, apalagi di jaman orde baru, di
mana segala sesuatu yang mencuat ke
permukaan khususnya melecehkan
pemerintahan, saya yakin tak akan lama ia
bisa lantang-lantang bicara. Di mana nilai-
nilai adat dan budaya masih dikatakan lekat.
Sehingga sebagian orang masih berpikir dua
kali terhadap hal-hal yang berkenaan
dengan tabu. Meskipun respek yang terlihat
di jaman itu seperti demikian, namun
sebagian orang di jaman ini tak kurang dan
masih banyak yang bertahan dengan adat
dan budaya yang berlaku turun temurun di
daerahnya.
Peran Sastra Cyber Dalam
Perubahan Sosial dan Budaya.
Keberadaan internet yang hampir
menjangkau pelosok-pelosok tentunya
membawa perubahan yang sangat aktif di
dunia nyata. Peranan-peranan yang
digunakan dalam sosial media seperti
facebook, twitter, blog dan lain-lain
memunculkan generasi-generasi sastra baru.
Dengan mempunyai nama komunitas
tersendiri yaitu “sastra cyber".
Sastra Cyber pun terus berkembang
mengikuti perkembangan yang terjadi di
dunia nyata. Terlebih hampir semua jenis
ponsel di jaman ini sangat mendukung,
sehingga jaringannya bisa diakses dari mana
pun dan kapan pun.
Munculnya segala apa yang bisa merusak
moral di internet sangat begitu mudah di
temukan. Tak jarang juga terdengar berita
tentang yang tak lazim di kalangan
masyarakat kita, dan
asal muasalnya
semua menunjuk
kepada internet.
Maka dari itu
kerusakan moral
dan budaya
Sumber foto: http://www.anneahira.com/faktor-pendorong-perubahan-sosial.htm
SASTRA CYBER
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 52
sudah jelas terlihat lambat-laun semakin
menggerogoti bangsa ini.
Baiklah kita kembali ke topik utama kita di
mana-peran-sastra cyber sangat aktif
mengikuti segala hal yang terjadi di dunia
nyata. Meskipun keberadaannya tak bisa di
pisahkan dari hal yang berbau internet
namun sastra cyber selalu terus bergerak
seperti memonitori segala hal yang terjadi.
Munculnya event-event sastra, karya-karya
sastra yang selalu bersinggungan dengan
adanya budaya yang terlunta, perubahan
sosial-penindasan kaum kapitalis-dsb.
Tentunya tak aneh bagi yang selalu
berselancar di dunia maya (cyber) karena
pastinya sangat mudah ditemukan
khususnya bagi para pengguna sosial media
facebook. Sebagai contoh karya puisi di
bawah ini.
Budaya Yang Terlunta;
Oleh: Dian Rusdi
Budayaku di ambang kematian
Mendera di setiap jiwa
Tak ada lagi seruling Gembala
Tak ada lagi tetabuhan
Gendang, Kecapi, Kolintang
Hanya sedikit saja.
Terlindas roda jaman
Lebih memunculkan seni
:Tak berpendidikan,
Budaya negeriku terlunta.
07/11/2013 22:42
Munculnya lomba dan karya sastra di
dunia cyber yang mengusung tema
pembelaan hak, kekecewaan, kebudayaan
yang hilang, rakyat yang kelaparan dan lain
sebagainya, menjadi satu tolak ukur bahwa
sastra cyber sangat aktif berperan dalam
perkembangan—perubahan—sosial
khususnya di tanah air kita tercinta ini. ¤
(D.Rusdi/Puraka)
SASTRA CYBER
Terik di Pantai Guanyin. Karya: Ade Junita
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 53
Artikel yang akan saya bahas kali ini adalah tentang peran serta
sastra cyber dalam mendorong perubahan sosial di tanah air.
Sebenarnya peran sastra cyber di dunia nyata telah berlangsung
lama, tapi mungkin kita jarang memerhatikan hal-hal kecil seperti
ini, karena terlalu fokus pada sesuatu yang bersifat nyata dan
terlihat mata.
Setiap waktu lingkaran hidup tak
berhenti berubah, seperti roda yang terus
berputar. Perubahan sosiologi di tatanan
masyarakat pun sedikit demi sedikit terlihat,
seiring generasi dan keadaan yang
melingkupi di sekitarnya.
Sastra cyber tidak hanya berkutik
mengenai kegiatan-kegiatan semacam
diskusi dan lain sebagainya yang terjadi dan
terus berlangsung melalui dunia cyber.
Apalagi internet telah lama digunakan untuk
berbagi informasi. Adanya email atau surel
lainnya telah ikut serta dalam memberi
pergerakan sosial dalam masyarakat baik
dalam jangkauan sempit ataupun luas.
Dalam realitasnya sastra telah
berhasil memberikan pengaruh yang besar
pada tatanan masyarakat meskipun melalui
jalur cyber. Meski demikian selalu ada dua
sisi yang perlu dipertimbangkan dengan
serius mengingat pengaruh dampak dari
fakta ini adalah perubahan sosial.
Bebas Mobil Karya: Ade Junita
SASTRA CYBER
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 54
Dorongan Sastra dari Dunia
Cyber
Peran sastra cyber dalam
mendorong perubahan sosial
semakin gencar dilakukan,
menyebar ke segala penjuru bumi.
Demi menyeimbangi dan menekan
perubahan sosial yang ada di
kalangan masyarakat. Sebagai
contoh, munculnya event-event
menulis yang menghasilkan buku-
buku sastra bernuansa religi,
perkembangan akhlaq yang baik,
runtuhnya sebuah akidah, efek
buruk sebuah pergaulan, dsb. Atau
pementasan-pementasan sastra
atau drama, sastra yang dijadikan
sebuah film, pertemuan-
pertemuan antar sesama penikmat
sastra-kopdar-, dan sebagainya.
Jelas itu adalah sebagian
dari peran sastra cyber dalam
mendorong perubahan sosial
kepada dunia nyata. Mendorong
agar kita tak melebihi batas dalam
sebuah pergaulan atau sebagainya.
Yang bisa menghancurkan jati diri
kita sebagai makhluq yang
bersosial.
Mungkin memang kita jarang sekali
memperhatikan hal tersebut, karena
kesibukan atau juga terlalu bertele-tele.
Padahal jika kita mau menengok serta
mengajarkan minat membaca kepada anak-
anak kita, pasti akan sangat bermanfaat
untuk perkembangan di masa depannya.
Peran sastra--cyber--dalam mendorong
perubahan sosial serta perkembangan
akhlaq yang baik semakin terlihat jelas jika
saja kita mau memperhatikan hal-hal kecil
seperti itu, contoh kecilnya bisa kita arahkan
anak-anak untuk tidak hanya membaca
komik saja melainkan buku pengetahuan
mengenai bahasa dan budaya terutama
sastra yang mengajarkan tingkah laku
manusia di tengah-tengah masyarakat.
Karena bukan mustahil hal yang besar itu
bisa kita mulai dari hal-hal sederhana saja. ¤
(D.Rusdi/Puraka)
SASTRA CYBER
Dalam Kios Buku
Karya: Rizal
“Salah satu penemuan terbesar umat manusia adalah bahwa
mereka bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka sangka
tidak bisa dilakukan.” Henry Ford
PURAKASASTRA | FEBRUARI 2016 55