p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

88
p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051 JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal Of Plantation Based Industry Vol. 13 No. 1 Juni 2018 Penanggung Jawab : Drs. Abd Rachman Supu, MM Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Manajer Jurnal : Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si Dewan Editor: Editor : Alfrida Lullung S, M.Si Editor Bagian : Eky Yenita Ristanti, M.MG Melia Ariyanti, S.TP, M.Si Copy Editor : Wahyuni, ST Dwi Indriana, ST Andi Nur Amalia, STP, M.Si Layout Editor : Rahmad Wahyudi, ST Wiyanto P. Tangkin, ST Proof Reader : Haspiah, MM Medan Yumas, SPi Dyah Wuri Asriati, ST Jamilah, ST, MSi Reviewer : Ir. Ruslan Yunus, M.S. (Teknik Industri, Ekonomi Proses) Drs. P. Natsir La Teng (Pemrosesan Pangan) Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian) Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis) Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian) Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jur. Kimia Fak. MIPA UNHAS) Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS (Jur. Tek. Hasil Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS) Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS) Penerbit : Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian R.I. Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Kotak Pos 1148 Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135 Makassar 90231 e-mail : [email protected] Akreditasi LIPI : Nomor : 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016, tanggal 24 Maret 2016 Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Transcript of p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Page 1: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

A

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal Of Plantation Based IndustryVol. 13 No. 1 Juni 2018

Penanggung Jawab : Drs. Abd Rachman Supu, MM Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Manajer Jurnal : Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si

Dewan Editor:Editor : Alfrida Lullung S, M.Si

Editor Bagian : Eky Yenita Ristanti, M.MG Melia Ariyanti, S.TP, M.Si

Copy Editor : Wahyuni, ST Dwi Indriana, ST Andi Nur Amalia, STP, M.Si

Layout Editor : Rahmad Wahyudi, ST Wiyanto P. Tangkin, ST

Proof Reader : Haspiah, MM Medan Yumas, SPi Dyah Wuri Asriati, ST Jamilah, ST, MSi

Reviewer : Ir. Ruslan Yunus, M.S. (Teknik Industri, Ekonomi Proses) Drs. P. Natsir La Teng (Pemrosesan Pangan) Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian) Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis) Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian) Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jur. Kimia Fak. MIPA UNHAS) Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS (Jur. Tek. Hasil Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS) Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS)

Penerbit : Balai Besar Industri Hasil PerkebunanBadan Penelitian dan Pengembangan IndustriKementerian Perindustrian R.I.Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Kotak Pos 1148Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135Makassar 90231e-mail : [email protected]

Akreditasi LIPI : Nomor : 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016, tanggal 24 Maret 2016

Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Page 2: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

B

Page 3: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 13 No. 1, Juni 2018

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

i

PENGANTAR REDAKSI

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan Volume 13 No. 1 Juni 2018 dapat diterbitkan. Edisi pertama pada volume ini menyajikan tujuh artikel hasil seleksi Tim Review.

Ketujuh artikel tersebut masing-masing adalah : (1). Pengolahan Cangkang Kelapa Sawit Menjadi Carbon Black Skala Ikm Dan Studi Kelayakan (2). Penambahan Gel Lidah Buaya Sebagai Antibakteripada Sabun Mandi Cair Berbahan Dasar Minyak Kelapa (3). Designing Functional Beverages Process : Highlighting Lessons Learned From Research And Development (4). Aspek Teknis Dan Finansial Insinerasi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Biokar Sebagai Pupuk Karbon (5). Anti-Aging Properties Of Cream Made With Cocoa Polyphenol, Aloe Vera (Aloe Barbadensis) And Seaweed (Euchema Cottoni) As Active Agents (6). Peningkatan Kadar Alkohol, Asam Dan Polifenol Limbah Cairan Pulp Biji Kakao Dengan Penambahan Sukrosa Dan Ragi (7). Karakteristik zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber zat warna alam.

Artikel yang disajikan berasal dari beberapa institusi litbang maupun perguruan tinggi dan merupakan hasil penelitian yang berkaitan dengan penanganan pasca panen, penanganan limbah industri, pengolahan pangan dan pemanfaatan bahan alam.

Kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya kami ucapkan terima kasih. Semoga hasil-hasil penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan industri nasional, khususnya industri hasil perkebunan dan dapat memperkaya khasanah iptek sebagai bagian dari wujud pengabdian kita kepada Tuhan, bangsa dan negara.

Akhirnya kepada para sejawat peneliti, perekayasa, dan dosen baik dari dalam lingkungan maupun dari luar lingkungan Kementerian Perindustrian kami undang untuk mengirimkan artikel karya tulis ilmiahnya untuk dimuat pada Jurnal IHP.

Makassar, Juni 2018

Editor / Ketua Dewan Redaksi

Page 4: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 13 No. 1, Juni 2018

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979 – 0023 dan e-ISSN 2477-0051 menyampaikan terima kasih kepada para Reviewer yan telah menelaah (mereview) artikel-artikel pada penerbitan Vol. 13 No. 1 Juni 2018. Terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jurusan Kimia FMIPA UNHAS), Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir (Jurusan Teknologi Pertanian UNHAS), Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS), Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNHAS), Dr. Ir. Paulina Taba, M.Phil (Jurusan Kimia FMIPA UNHAS), Ir. Ruslan Yunus, M.Sc ( Teknik Industri, Ekonomi Proses), Ir. Justus E.Loppies (Teknologi Hasil Pertanian), Drs. P. Natsir Lateng, M.Si (Teknologi Pascapanen), Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Teknologi Pasca Panen), dan Ir. Rosniati (Teknologi Pasca Panen).

Page 5: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 13 No. 1, Juni 2018

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

iiiiiiv

1-10

11-18

19-35

37-42

43-51

53-61

iii

PENGANTAR REDAKSIUCAPAN TERIMA KASIHDAFTAR ISILEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET) PENGOLAHAN CANGKANG KELAPA SAWIT MENJADI CARBON BLACK SKALA IKM DAN STUDI KELAYAKANProcessing of Oil Palm Shells Into Carbon Black Small and Medium Industries Scale And Feasibility Studies

Zainal Abidin Nasution, Harry P Limbong dan Siti Salamah Nasution

PENAMBAHAN GEL LIDAH BUAYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA SABUN MANDI CAIR BERBAHAN DASAR MINYAK KELAPAAdditional Of Aloe Vera Gel As Antibactery In Liquid Bath Soap Based Coconut Oil

Sukma Budi Ariyani dan Hidayati

DESIGNING FUNCTIONAL BEVERAGES PROCESS: HIGHLIGHTING LESSONS LEARNED FROM RESEARCH AND DEVELOPMENT Proses Perancangan Minuman Fungsional: Pembelajaran Sekilas dari Penelitian dan Pengembangan

Agus Sudibyo

ASPEK TEKNIS DAN FINANSIAL INSINERASI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI BIOKAR SEBAGAI PUPUK KARBON Technical and Financial Aspects on Inceneration of Oil Palm Empty Fruit Bunches Into Biochar as Carbon FertilizerAmos Lukas 1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono 2) , Imran Rosyadi 3),

Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng 5)

ANTI-AGING PROPERTIES OF CREAM MADE WITH COCOA POLYPHENOL, ALOE VERA (ALOE BARBADENSIS) AND SEAWEED (EUCHEMA COTTONI) AS ACTIVE AGENTSSifat Anti-aging dari Krim Berbahan Aktif Polifenol Kakao, Aloe Vera (Aloe barbadensis) dan Rumput Laut (Euchema cottoni)

Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, dan Dwi Indriana

PENINGKATAN KADAR ALKOHOL, ASAM DAN POLIFENOL LIMBAH CAIRAN PULP BIJI KAKAO DENGAN PENAMBAHAN SUKROSA DAN RAGIthe increased levels of alcohol, acid and polyphenol waste of cocoa bean pulp liquid by the addition of sucrose and yeast

St. Sabahannur1), Andi Ralle1)

Page 6: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

iv

KARAKTERISTIK ZAT WARNA ANTOSIANIN DARI BIJI KAKAO NON FERMENTASI SEBAGAI SUMBER ZAT WARNA ALAMCharacterization of Antosianin Source of Natural Dyes from Unfermented Cocoa Beans As a Source of Natural Dyes

Alfrida Lullung Sampebarra 63-70

Page 7: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 13 No. 1, Juni 2018

LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)

v

PRoCESSing of oil PAlm SHEllS inTo CARBon BlACk SmAll And mEdium induSTRiES SCAlE And fEASiBiliTy STudiES

Zainal Abidin Nasution, Harry P Limbong dan Siti Salamah NasutionBaristand Industri Medan

Abstract: Palm oil shell charcoal is obtained by roasting method. Palm oil shells are roasted on an iron pot in the open air. The process of completion is declared completed when no more smoke comes out (at a temperature of about 348 0 C). Randemen of palm shell charcoal of the result roasting, the average is 38.20%. The palm shell charcoal is pounded and the powder is passed 200 mesh sieve (74 micron), ready to be used as filler in rubber vulcanisats, which is used as raw material for the manufacture of goods of rubber or other purposes in accordance with the specification. From the study of economic techniques in Small and Medium Scale business, about the processing of carbon palm shell powder as Carbon Black can be known as follows ; Randemen raw materials = 38.20%; Production capacity of carbon black is 300 kg/day; Number of working days (after deducting with Sundays and national holidays) is 283 days/year; Working hours per day on average is 8 hours; Working schedule per day is 08.00-16.00 (1 hour break); Manager and business owner: 1 (one) person; Office Secretary: 1 (one) person; Daily freelance worker: 3 (three) persons; Production = 84.900 kg/year of oil palm shell charcoal powder as Carbon Black; Amount of Investment = Rp.253.500.000,-; Production cost (1 year) = Rp.527.421.047,-; Non-fixed cost (1 year) = Rp.312.051.047,-; Fixed cost (1 year)= Rp.214.470.000,-; Selling price of palm shell charcoal powder as Carbon Black (in accordance with the calculation) = Rp.7.730,- per kg; Gross profit per year = Rp. 128.855.953; Annual net income with tax rate 12 %= Rp.113,393,238,-; Return On Investment (ROI) = 5 year; Production Capacity at Limit No Profit - Break Event Point (BEP) = 62.47%; Total Production at BEP Scale = 187.40 kg/day

keywords: oil palm shell, roasting, feasibility studies and palm shell charcoal powder

Page 8: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

vi

AddiTionAl of AloE VERA gEl AS AnTiBACTERy in liquid BATH SoAP BASEd CoConuT oil

Sukma Budi Ariyani dan HidayatiBaristand Industri Pontianak Jln. Budi Utomo No. 41 Pontianak 78243

ABSTRACT. Liquid soap is made by saponification reaction of oil and fat reacted with KOH. Aloe vera gel is used as an antibacterial and has a good substance for the skin. The objective of this study was to obtain the characteristics of aloe vera gel, to obtain liquid bath soap product with the addition of aloe vera gel and to know the antibacterial activity of Echerichia coli on the obtained liquid bath soap. Methods of research include preparation of aloe vera gel, aloe vera gel testing, making liquid bath soap made from coconut oil, liquid bath soap test in accordance with SNI and inhibitory test of Escherichia coli bacteria. The altered variables used were aloe vera gel concentrations added to the manufacture of liquid bath soap (5, 10 and 15%). The results obtained are aloe vera gel can be used as material for cosmetic products. Aloe vera gel contains saponins, anthraquinone, lignin and 18 types of amino acids. Liquid bath soap product obtained, for state parameters, pH, total weight free alkali and total plate number, the result meets the SNI 06-4085-1996 and has a resistance to the bacteria Escherichia coli with an inhibitory zone diameter of 1.85 cm with the test method dish disc.

keywords : aloe vera gel, coconut oil, Esherichia coli, liquid bath soap

DESIGNING FUNCTIONAL BEVERAGES PROCESS : HIGHLIGHTING LESSONS LEARNED FROM RESEARCH AND DEVELOPMENT

Agus SudibyoCenter for Agro-Based Industry (CABI)

Abstract In recent times, there has been growing recognition of the key role of foods and beverage in disease prevention and treatment. Rapidly increasing knowledge on nutrition, medicine, and plant biotechnology has dramatically changed the concepts about food, health and agriculture, and brought in revolution of them. Research currently underway at academic, industry and government facilities will reveal how a myriad of substances can be used as functional food components. Thus natural bioactive compounds include a broad diversity of structures and functionalities that provide an excellent pool of molecules for the production of nutraceuticals, functional foods, and food addives. This review attempts to display about research and development of functional beverages and designing functional beverages and the formula for beverage success.

keywords: designing, functional beverages, lessons learned, highlighting, research and development.’

Page 9: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

vii

TECHniCAl And finAnCiAl ASPECTS on inCEnERATion of oil PAlm EmPTy fRuiT BunCHES inTo BioCHAR AS CARBon fERTilizER

Amos Lukas 1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono 2) , Imran Rosyadi 3), Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng 5)

Pusat Strategi Teknologi dan Audit Teknologi - BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 1); Pusat Teknoprener dan Klaster Industri - BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 2);

Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 3);Inkubator Kampus Hijau - Pusat Penelitian dan Pelatihan Teknologi Internasional Dr.Ishenny

(P3TDI) 4) Kota Langsa-Aceh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan–Jl. Prof.Dr.Abdurrahman Basalamah No.28, Makassar 5),

Abstract This paper deal with incineration of the oil palm empty fruit brunches into biochar as carbon fertilizer for planting medium. The inceration process uses carbonized technology at temperature of 400 °F, developed by Ishenny Noor (2015). Application of 22-23% biochar as carbon fertilizer could increase soil carbon content from 0,4 - 0,7% to 2% / Ha, physical and chemical soil quality, ground water storage, fertilizer activity of soil microorganisms, soil nutrients. Application of biochar on rice plantation yielded 10 tons / ha of black rice / Ha, while application on oil palm plantation yielded oil palm fruit bunch of 20 to 40 kg / bunch. Production of biochar from oil palm empty bunches could give an extra profit for a palm oil processing factory by Rp. 471,926,000 a year (with a capacity of 100 tons/hour of the oil palm empty bunches in 24 hour operation a day) with the ROI of 78%/years, and B/C ratio of 1,71.

keywords: incineration, biochar, planting media, empty palm oil bunch waste.

ANTI-AGING PROPERTIES OF CREAM MADE WITH COCOA POLYPHENOL, ALOE VERA (AloE BARBAdEnSiS) AND SEAWEED

(EuCHEmA CoTToni) AS ACTIVE AGENTSEky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, dan Dwi Indriana

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ABSTRACT. Cream made from cocoa polyphenol combined with aloe vera and seaweed has been prepared and its anti-aging properties have been studied. Cream composition consisted of cocoa butter, olive oil, sodium dodecyl sulfate polypropylene glycol, cetyl alcohol and distilled water as the cream base. Cocoa polyphenol, aloe vera, and seaweed were used as active agents to perform anti-aging activity. Anti-aging tests were done in vivo, using male Wistar rats. Anti-aging tests included cream effectivity to protect skin from UV B radiation, which indicated by wrinkle, exfoliation, erythema and skin elasticity. The research showed that skin smeared with cream contained cocoa polyphenol, aloe vera and seaweed has less wrinkle and erythema after being exposed to the UV B lamp for 2 weeks. The cream contained 3 active ingredients (cocoa polyphenol, aloe vera and seaweed) showed less effectivity to protect against exfoliation compared to the cream with only 2 active ingredients (aloe vera and seaweed). However, the skin smeared with a cream containing 3 active ingredients is more resistant to UV B radiation than the non-smeared skin. In addition, the skin smeared with the cream containing cocoa polyphenol, aloe vera, and seaweed showed better elasticity compared to the non-smeared skin.

keywords: anti-aging, photoaging, cocoa polyphenol, aloe vera, seaweed.

Page 10: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

viii

THE inCREASEd lEVElS of AlCoHol, ACid And PolyPHEnol wASTE of CoCoA BEAn PulP liquid By THE AddiTion of SuCRoSE And yEAST

St. Sabahannur 1), Andi Ralle1)

1)Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia

Abstract:: The aim of this research is to know the effectivenes of adding yeast and sucrose to increase the level of alcohol, acid and polyphenol liquid of cocoa beans pulp as bioherbisida. The research is arranged in Completely Random Design (RAL) of two factor. The first factor was the addition of yeast with concentration: 0.5% and 1%, the second factor of sucrose concentration consisted of: 0%, 1%, 2%, and 3%. The addition of yeast and sucrose is done at the beginning of fermentation by mixing with wet cocoa beans, then seeds in fermentation for 3 days. The pulp liquid dripping out of the fermentation box is accommodated in Waskom. The parameters observed were: alcohol, total acid, acetic acid, citric acid and polyphenol. The results showed that, the addition of yeast and sucrose significantly affected the increase of alcohol content, total acid, acetic acid, citric acid and polyphenol. The addition of 1% yeast and 2% sugar produced 0.77% alcohol content, 65.25% total acid, citric acid 2740,73 ppm, and acetate acid 3915,33ppm, while the highest polyphenol level was 1056,84 ppm in addition of yeast 1 % and 3% sucrose.

keywords: cocoa pulp, yeast, sucrose, alcohol, polyphenols

Characterization of Antosianin Source of natural dyes from unfermented Cocoa Beans As a Source of natural dyes

Alfrida Lullung SampebarraBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract. This study aims to determine the characterization of anthocyanin dye from unfermented cocoa beans as a natural dye. The extraction of an anthocyanin dye using ethanol solvent with two types of acids i.e. acetic acid and oxalic acid at pH 2, 3 and 4. The result showed that the extraction solution was identified as red solution. The results of anthocyanin dye extract test from cocoa beans with ethanol pretation with acetic acid each at pH 2: antosianin level 4.156%, antioxidant activity 91.91%, color intensity 0.288, pH 3 antosianin 4.499%, antioxidant activity 91.92%, color intensity 0.430 and pH 4 anthocyanin content 2.221%, antioxidant activity 88.08%, color intensity 0.194. While the use of solvent ethanol and oxalic acid is pH 2 levels of anthocyanin 4.156%, antioxidant activity 61.17%, color intensity 0.223, pH 3 antosianin 4.499%, antioxidant activity 49.83%, color intensity 0.356. and pH 4 levels of anthocyanin 2.221%, antioxidant activity 69.74%, color intensity 0.143. The test results showed that the extract with the use of ethanol and acetic acid solvent at pH 3 gave better result than the other extract.

keywords: anthocyanin preparations, natural dyes, unfermented cocoa beans

Page 11: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

ix

PENGOLAHAN CANGKANG KELAPA SAWIT MENJADI CARBon BlACk SKALA IKM DAN STUDI KELAYAKAN

Zainal Abidin Nasution, Harry P Limbong dan Siti Salamah NasutionBaristand Industri Medan

Abstrak : Arang cangkang kelapa sawit diperoleh dengan metode penyangraian. Cangkang kelapa sawit disangrai pada kuali besi di udara terbuka. Proses penyangraian dinyatakan selesai dilaksanakan apabila tidak ada lagi asap yang keluar (pada suhu sekitar 3480C). Randemen arang cangkang kelapa sawit hasil penyangraian, rata-rata adalah 38,20 %. Arang cangkang kelapa sawit ditumbuk dan diambil bubuknya lolos ayakan 200 mesh (74 mikron), siap dijadikan filler dalam pembuatan vulkanisat karet, digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan barang-barang dari karet ataupun keperluan lain sesuai spesifikasinya.Dari studi teknik ekonomi dalam skala Industri Kecil dan Menengah, tentang pengolahan serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black dapat diketahui sebagai berikut ; Randemen bahan baku = 38,20 % ; Kapasitas produksi carbon black = 300 kg/hari ; Jumlah hari kerja (dikurangi dengan hari Minggu dan hari hari libur nasional ) = 283 hari/tahun ; Jam kerja per hari rata rata : 8 jam ; Jadwal kerja per hari = 08.00 – 16.00 ( istirahat 1 jam) ; Pengelola sekaligus pemilik usaha : 1 (satu) orang ; Sekretaris kantor : 1 (satu) orang ; Tenaga kerja harian lepas : 3 (tiga) orang ; Produksi = 84.900 kg/tahun serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black ; Jumlah Investasi = Rp. 253.500.000,- ; Biaya produksi (1 tahun) = Rp.527.421.047,- ; Biaya tidak tetap ( 1 tahun) = Rp.312.051.047,- ; Biaya tetap ( 1 tahun) = Rp.214.470.000,- ; Harga jual serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black (sesuai dengan hasil perhitungan) = Rp.7.730,- per kg ; Laba kotor per tahun = Rp. 128.855.953 ; Laba bersih per tahun dengan pajak pajak 12 % = Rp. 113,393.238,- ; Pengembalian Investasi (Return On Investment - ROI) = 5 tahun ; Kapasitas Produksi Pada Batas Tidak Untung - Tidak Rugi (Break Event Point - BEP) = 62,47 % ; Jumlah Produksi Pada Skala BEP = 187,40 kg/hari

kata kunci : cangkang kelapa sawit, penyangraian, tekno ekonomi dan serbuk arang cangkang kelapa sawit

PENAMBAHAN GEL LIDAH BUAYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA SABUN MANDI CAIR BERBAHAN DASAR MINYAK KELAPA

Sukma Budi Ariyani dan HidayatiBaristand Industri Pontianak Jln. Budi Utomo No. 41 Pontianak 78243

ABSTRAk. Sabun cair dibuat melalui reaksi saponifikasi dari minyak dan lemak yang direaksikan dengan KOH. Gel lidah buaya digunakan sebagai antibakteri dan memiliki kandungan zat yang baik untuk kulit. Penelitian ini bertujuan memperoleh karakteristik gel lidah buaya, memperoleh produk sabun mandi cair dengan penambahan gel lidah buaya dan mengetahui aktivitas antibakteri Escherichia coli pada sabun mandi cair yang diperoleh. Metode penelitian yang dilakukan meliputi pembuatan sediaan gel lidah buaya, pengujian gel lidah buaya, pembuatan sabun mandi cair berbahan dasar minyak kelapa, pengujian sabun mandi cair sesuai SNI dan uji daya hambat bakteri Escherichia coli. Variabel berubah yang digunakan adalah konsentrasi gel lidah buaya yang ditambahkan pada pembuatan sabun mandi cair (5, 10 dan 15%). Hasil yang diperoleh adalah gel lidah buaya dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan produk kosmetik. Gel lidah buaya ini mengandung zat saponin, antrakuinon, lignin dan 18 jenis asam amino. Produk sabun mandi cair yang diperoleh, untuk parameter keadaan, pH, bobot jenis alkali bebas dan angka lempeng total, hasilnya memenuhi SNI sabun mandi cair (SNI 06-4085-1996) dan memiliki daya hambat terhadap bakteri Escherichia coli dengan diameter zona hambat rata-rata sebesar 1,85 cm dengan metode uji cakram dish.

kata kunci : Escherichia coli, gel lidah buaya, minyak kelapa, sabun mandi cair

Page 12: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

PRoSES PERAnCAngAn minumAn fungSionAl: PEmBElAjARAn SEkilAS dARi PEnEliTiAn dAn PEngEmBAngAn

Agus SudibyoCenter for Agro-Based Industry (CABI)

Abstrak Pada waktu sekarang ini, terdapat kecenderungan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap peranan kunci bahan pangan dan minuman dalam perlakuan penanganan dan pencegahan suatu penyakit. Meningkatnya secara cepat pengetahuan pada nutrisi, obat dan bioteknologi tanaman telah merubah secara dramatis terhadap konsep tentang pangan, kesehatan dan pertanian, serta membawa perkembangan yang sangat cepat terhadap ketiga hal tersebut. Penelitian yang dilakukan sekarang ini baik di tingkat akademi, industri dan fasilitas dari pemerintah akan menghasilkan bagaimana berbagai macam suatu senyawa dapat digunakan sebagai komponen pangan fungsional. Dengan demikian, senyawa bioaktif alami termasuk berbagai macam struktur dan sifat fungsional yang dimilikinya menyediakan molekul-molekul yang sempurna untuk memproduksi nutraceutikal, pangan fungsional serta bahan tambahan pangan. Dalam tulisan ini akan membahas tentang penelitian dan pengembangan minuman fungsional serta perancangan minuman fungsional dan formula yang digunakan untuk kesuksesan minuman tersebut.

kata kunci: perancangan, minuman fungsional, pembelajaran, sekilas, penelitian dan pengembangan.

ASPEK TEKNIS DAN FINANSIAL INSINERASI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI BIOKAR SEBAGAI PUPUK KARBON

Amos Lukas 1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono 2) , Imran Rosyadi 3), Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng 5)

Pusat Strategi Teknologi dan Audit Teknologi - BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 1); Pusat Teknoprener dan Klaster Industri - BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 2);

Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 3);Inkubator Kampus Hijau - Pusat Penelitian dan Pelatihan Teknologi Internasional Dr.Ishenny

(P3TDI) 4) Kota Langsa-Aceh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan–Jl. Prof.Dr.Abdurrahman Basalamah No.28, Makassar 5),

Abstrak Paper ini berkaitan dengan aspek teknis dan finansial insinerasi limbah tandan kosong kelapa sawit (TKSS) menjadi biokar sebagai pupuk karbon untuk media tanam. Proses insinerasi ini menggunakan carbonized technology pada suhu 400°F, yang dikembangkan oleh Ishenny Noor (2015). Aplikasi hasil biokar 22-23 % sebagai pupuk karbon dapat meningkatkan kandungan karbon tanah dari 0,4-0,7% menjadi 2 % /Ha, kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan air tanah, daya simpan pupuk untuk kebutuhan tanaman, kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas perkembang biakan mikroorganisme tanah dan nutrisi tanah. Aplikasi biokar pada sawah padi memberikan hasil 10 ton/ha padi hitam, sedangkan aplikasi pada kebun sawit memberikan hasil tandan buah segar sebesar 20-40 kg/tandan. Produksi biokar dari TKKS dapat memberikan laba ekstra pada pabrik pengolahan sawit sebesar Rp.471.926.000 per tahun (dengan kapasitas 100 ton per jam yang beroperasi selama 24 jam per hari), dengan ROI =78%/ tahun dan rasio B/C = 1,71.

kata kunci: insinerasi, biokar, media tanam, limbah tandan kosong kelapa sawit.

x

Page 13: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

xi

SifAT AnTi-Aging dARi kRim BERBAHAn AkTif PolifEnol kAkAo, AloE VERA (AloE BARBAdEnSiS) dAn RumPuT lAuT (EuCHEmA CoTToni)

Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

ABSTRAK. Krim berbahan polifeol kakao yang dikombinasikan dengan lidah buaya dan rumput laut telah dibuat dan dipelajari sifat anti penuaannya. Komposisi krim terdiri dari lemak kakao, minyak zaitun, sodium dodesil sulfat, polipropilen glikol, setil alkohol dan aquades sebagai basis krim. Polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut digunakan sebagai bahan aktif yang bertindak sebagai anti penuaan. Uji anti penuaan dilakukan secara in vivo, menggunakan tikus Wistar jantan. Uji anti penuaan yang dilakukan meliputi efektifitas krim untuk melindungi kulit dari radiasi sinar ultraviolet B, yang ditunjukkan dengan adanya kerutan, pengelupasan, kemerahan dan elastisitas kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kulit yang diolesi dengan krim yang mengandung polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut menunjukkan lebih sedikit kerutan dan kemerahan setelah dipapar dengan lampu UV B selama 2 minggu. Krim yang mengandung 3 bahan aktif (polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut) kurang menunjukkan efektifitas terhadap pengelupasan dibandingkan dengan krim yang hanya mengandung 2 bahan aktif (lidah buaya dan rumput laut), tetapi krim yang mengandung 3 bahan aktif tersebut masih menunjukkan proteksi yang baik terhadap kulit, dibandingkan dengan kulit yang tidak terlindungi (kulit yang tidak diolesi dengan krim apapun). Selain itu, kulit yang diolesi dengan krim yang mengandung polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut menunjukkan elastisitas yang lebih baik daripada yang tidak diolesi dengan krim.

kata kunci: anti penuaan, fotoaging, polifenol kakao, lidah buaya, rumput laut.

PENINGKATAN KADAR ALKOHOL, ASAM DAN POLIFENOL LIMBAH CAIRAN PulP BIJI KAKAO DENGAN PENAMBAHAN SUKROSA DAN RAGI

St. Sabahannur1), Andi Ralle1)1)Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia

Abstrak: Penelitian bertujuan mengetahui efektifitas penambahan ragi dan sukrosa pada peningkatan kadar alkohol, asam dan polifenol cairan pulp biji kakao sebagai bioherbisida Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama penambahan ragitape dengan konsentrasi: 0,5% dan 1%, faktor kedua konsentrasi sukrosa terdiri atas: 0%, sukrosa 1%, 2%, dan 3%. Pemberian ragi dan sukrosa dilakukan pada awal fermentasi dengan cara dicampur dengan biji kakao basah, lalu biji difermentasi selama 3 hari. Cairan pulp yang menetes keluar dari kotak fermentasi ditampung dalam Waskom. Parameter yang diamati terdiri atas: kadar alkohol, total asam, asam asetat, asam sitrat dan polifenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penambahan ragi dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar alkohol, total asam, asam asetat, asam sitrat dan polifenol. Penambahan ragi 1% dan gula 2% menghasilkan kadar alkohol 0,77%, total asam 65,25%, asam sitrat 2740,73 ppm, dan asam asetat 3915,33 ppm, sedangkan kadar polifenol tertinggi sebesar 1056,84 ppmpada penambahan ragi 1% dan sukrosa 3%.

kata kunci: pulp kakao, ragi, sukrosa, alkohol, polifenol

Page 14: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

KARAKTERISTIK ZAT WARNA ANTOSIANIN DARI BIJI KAKAO NON FERMENTASI SEBAGAI SUMBER ZAT WARNA ALAM

Alfrida Lullung SampebarraBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber zat warna alami. Ekstraksi zat warna antosianin menggunakan pelarut etanol dengan dua jenis asam yaitu asam asetat dan asam oksalat pada pH 2, 3 dan 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak teridentifikasi sebagai larutan berwarna merah. Hasil pengujian ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao dengan pelarut etanol dan asam asetat pada pH 2 adalah sebagai berikut kadar antosianin = 4,156%, aktivitas antioksidan = 91,91%, intensitas warna = 0,288, pada pH 3, kadar antosianin = 4,499%, aktivitas antioksidan = 91,92%, intensitas warna = 0,430 dan pada pH 4, kadar antosianin = 2,221%, aktivitas antioksidan = 88,08%, intensitas warna = 0,194. Sedangkan pada penggunan pelarut etanol dan asam oksalat, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: pada pH 2, kadar antosianin = 4,156%, aktivitas antioksidan = 61,17%, intensitas warna = 0,223, pada pH 3, kadar antosianin = 4,499%, aktivitas antioksidan = 49,83%, intensitas warna = 0,356 dan pada pH 4, kadar antosianin = 2,221%, aktivitas antioksidan = 69,74%, intensitas warna = 0,143. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak dengan pelarut etanol dan asam asetat pada pH 3 memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak lainnya.

kata kunci: sediaan antosianin, zat warna alami, biji kakao non fermentasi

xii

Page 15: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Pengolahan Cangkang Kelapa Sawit ... (Zainal Abidin Nasution)

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 1

PENGOLAHAN CANGKANG KELAPA SAWIT MENJADI CARBon BlACk SKALA IKM DAN STUDI KELAYAKAN

Processing of Oil Palm Shells Into Carbon Black Small and Medium Industries Scale and Feasibility Studies

Zainal Abidin Nasution, Harry P Limbong dan Siti Salamah NasutionBaristand Industri Medan

e-mail: [email protected]

Abstract: Palm oil shell charcoal is obtained by roasting method. Palm oil shells are roasted on an iron pot in the open air. The process of completion is declared completed when no more smoke comes out (at a temperature of about 348 0 C). Randemen of palm shell charcoal of the result roasting, the average is 38.20%. The palm shell charcoal is pounded and the powder is passed 200 mesh sieve (74 micron), ready to be used as filler in rubber vulcanisats, which is used as raw material for the manufacture of goods of rubber or other purposes in accordance with the specification. From the study of economic techniques in Small and Medium Scale business, about the processing of carbon palm shell powder as Carbon Black can be known as follows ; Randemen raw materials = 38.20%; Production capacity of carbon black is 300 kg/day; Number of working days (after deducting with Sundays and national holidays) is 283 days/year; Working hours per day on average is 8 hours; Working schedule per day is 08.00-16.00 (1 hour break); Manager and business owner: 1 (one) person; Office Secretary: 1 (one) person; Daily freelance worker: 3 (three) persons; Production = 84.900 kg/year of oil palm shell charcoal powder as Carbon Black; Amount of Investment = Rp.253.500.000,-; Production cost (1 year) = Rp.527.421.047,-; Non-fixed cost (1 year) = Rp.312.051.047,-; Fixed cost (1 year)= Rp.214.470.000,-; Selling price of palm shell charcoal powder as Carbon Black (in accordance with the calculation) = Rp.7.730,- per kg; Gross profit per year = Rp. 128.855.953; Annual net income with tax rate 12 %= Rp.113,393,238,-; Return On Investment (ROI) = 5 year; Production Capacity at Limit No Profit - Break Event Point (BEP) = 62.47%; Total Production at BEP Scale = 187.40 kg/day

keywords: oil palm shell, roasting, feasibility studies and palm shell charcoal powder

Abstrak : Arang cangkang kelapa sawit diperoleh dengan metode penyangraian. Cangkang kelapa sawit disangrai pada kuali besi di udara terbuka. Proses penyangraian dinyatakan selesai dilaksanakan apabila tidak ada lagi asap yang keluar (pada suhu sekitar 3480C). Randemen arang cangkang kelapa sawit hasil penyangraian, rata-rata adalah 38,20 %. Arang cangkang kelapa sawit ditumbuk dan diambil bubuknya lolos ayakan 200 mesh (74 mikron), siap dijadikan filler dalam pembuatan vulkanisat karet, digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan barang-barang dari karet ataupun keperluan lain sesuai spesifikasinya.Dari studi teknik ekonomi dalam skala Industri Kecil dan Menengah, tentang pengolahan serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black dapat diketahui sebagai berikut ; Randemen bahan baku = 38,20 % ; Kapasitas produksi carbon black = 300 kg/hari ; Jumlah hari kerja (dikurangi dengan hari Minggu dan hari hari libur nasional ) = 283 hari/tahun ; Jam kerja per hari rata rata : 8 jam ; Jadwal kerja per hari = 08.00 – 16.00 ( istirahat 1 jam) ; Pengelola sekaligus pemilik usaha : 1 (satu) orang ; Sekretaris kantor : 1 (satu) orang ; Tenaga kerja harian lepas : 3 (tiga) orang ; Produksi = 84.900 kg/tahun serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black ; Jumlah Investasi = Rp. 253.500.000,- ; Biaya produksi (1 tahun) = Rp.527.421.047,- ; Biaya tidak tetap ( 1 tahun) = Rp.312.051.047,- ; Biaya tetap ( 1 tahun) = Rp.214.470.000,- ; Harga jual serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black (sesuai dengan hasil perhitungan) = Rp.7.730,- per kg ; Laba kotor per tahun = Rp. 128.855.953 ; Laba bersih per tahun dengan pajak pajak 12 % = Rp. 113,393.238,- ; Pengembalian Investasi (Return On Investment - ROI) = 5 tahun ; Kapasitas Produksi Pada Batas Tidak Untung - Tidak Rugi (Break Event Point - BEP) = 62,47 % ; Jumlah Produksi Pada Skala BEP = 187,40 kg/hari

kata kunci : cangkang kelapa sawit, penyangraian, tekno ekonomi dan serbuk arang cangkang kelapa sawit

Page 16: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 1-10

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan2

PENDAHULUANPemerintah mendorong peningkatan

pemanfaatan karet alam domestik, sehingga pada akhirnya dapat diharapkan produk produk berbasis karet alam yang dihasilkan menjadi lebih beragam. Produk-produk berbasis karet alam tersebut bukan hanya untuk keperluan otomotif saja, bahkan lebih jauh dari itu,antara lain adalah produk produk untuk keperluan industri dalam negeri, seperti Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Di sana banyak digunakan produk produk berbasis karet untuk mesin dan peralatan PKS dalam bentuk karet bantalan mesin, karet seal untuk pompa, karet packing untuk bejana bejana bertekanan dan sambungan sistim pemipaan/valve dan lain sebagainya. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, melainkan juga untuk diekspor. Dengan demikian, selain meningkatkan devisa negara, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap harga karet alam internasional/dunia, serta meningkatkan keberlanjutan perkebunan karet di Indonesia, khususnya perkebunan karet rakyat.

Selain dari pada itu, beberapa proyek infra struktur yang tengah dipersiapkan pemerintah, berpotensi memanfaatkan produk berbasis karet alam antara lain dock defender dalam program pembangunan fasilitas pelabuhan, bahan campuran aspal jalan (hot mix asphalt), rubber pads rel kereta api, bantalan jembatan, bending karet dan komponen water stop dalam pembangunan bendungan serta komponen pintu irigasi dan pengembangan rawa. Selain produk yang mendukung pembangunan infra struktur nasional, produk-produk berbasis karet alam lainnya yang dapat dikembangkan di dalam negeri yaitu karpet untuk sapi (cow mat), genteng karet, paving block, bearing bangunan anti gempa, penguatan tebing, kasur lateks, barang-barang karet otomotif dan lainnya.

Selain dari pada serbuk arang cangkang kelapa sawit dimanfaatkan sebagai Carbon Black, juga telah diteliti untuk bahan yang lain, yaitu sebagai filler hot mix asphalt. Menurut Nwaobakata, 2014, meneliti arang cangkang kelapa sawit sebagai filler hot mix asphalt.

Yaitu, memanaskan cangkang kelapa sawit sampai suhu 400 0C, kemudian digiling dan diayak dengan ayakan lolos 200 mesh. Dari percobaan yang telah dilaksanakan dengan perbandingan 3% berat serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai filler dari contoh hot mix asphalt, ternyata dapat mengurangi kelelahan (fatigue), mengurangi deformasi (permanent deformation characteristics) dan ketahanan perembesan air (lower moisture susceptibility) dari hot mix asphalt.

Menurut Pardamaian, 2008, basis satu ton Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (TBS), akan menghasilkan 20 % s/d 23 % CPO, 5 % s/d 7 % PKO dan sisanya berupa limbah padat, yaitu 20 % s/d 23 % tandan kosong kelapa sawit (yang mana terdiri atas 70 % air dan 30% bahan kering), 10 % s/d 12 % serat buah kelapa sawit dan 7 % s/d 9 % cangkang kelapa sawit.

Menurut Naibaho, 1996, setiap Pabrik Kelapa Sawit (PKS) selalu dilengkapi dengan boiler sebagai generator uap. Yang mana uap tersebut digunakan untuk keperluan proses produksi dan turbin uap sebagai pembangkit tenaga listerik untuk keperluan energi listerik PKS, dalam rangka menjalankan mesin-mesin pengolahan CPO.

Bahan bakar yang digunakan untuk boiler adalah limbah padatnya, yaitu serat buah sawit dan cangkang kelapa sawit. Konsumsi bahan bakar untuk boiler PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam adalah 3,8 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 1,5 ton cangkang kelapa sawit. Dari proses produksi PKS tersebut akan diperoleh limbah padat adalah 3,0 ton s/d 3,6 ton serat buah sawit. Sebagai bahan bakar boiler, adalah maksimal artinya semua serat buah kelapa sawit terpakai untuk bahan bakar boiler. Selain dari pada itu akan diperoleh rata-rata 2,4 ton/jam cangkang kelapa sawit. Konsumsi untuk boiler adalah 1,5 ton/jam cangkang kelapa sawit. Masih tersisa sekitar 0,9 ton/jam cangkang kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain adalah bahan baku pembuatan carbon black.

Berdasarkan keterangan diatas bahwa basis per ton Tandan Buah Segar Kelapa

Page 17: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 3

Pengolahan Cangkang Kelapa Sawit ... (Zainal Abidin Nasution)

Sawit (TBS), masih dapat diperoleh sekitar 60 kg - 69 kg tandan kosong kelapa sawit kering matahari ,yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler. Dengan kapasitas olah PKS adalah 30 ton TBS/jam maka diperoleh 1,8 ton – 2,1 ton tandan kosong kelapa sawit kering matahari. Jika sebahagian digunakan sebagai bahan bakar boiler, maka tentu saja dapat mengurangi pemakaian cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler. Sehingga cangkang kelapa sawit dapat digunakan sebesar besarnya sebagai bahan baku untuk pembuatan serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black.

Carbon Black adalah arang halus dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari berbagai material, antara lain seperti bahan bakar fosil, biofuel maupun biomassa. Pasar Carbon Black di Indonesia terus meningkat, dimana perkiraan konsumsi Carbon Black untuk industri yang membutuhkannya pada tahun 2016 adalah 55.000 ton. Pasar Carbon Black sebagai bahan baku maupun pembantu di Indonesia meliputi industri karet, pigment hitam pada pembuatan plastik, cat, karpet mobil, karpet drainase untuk rumah/hotel, karpet sapi, sandal, sol sepatu, aspal, kabel listerik, pipa, film plastik, karet-karet otomotif dan lainnya. Harga Carbon Black dipasaran pada tahun 2015, berkisar antara Rp.7.000 per kg s/d Rp.20.000 per kg tergantung pada jenis dan kualitasnya. (Sumber : /Carbon Black.CV.BINA JAYA.Indonetwork.co.id diakses tgl.19 Maret 2016).

Cangkang kelapa sawit merupakan biomassa lignoselulosa yang mengandung kadar karbon yang tinggi, dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon, diantaranya adalah sebagai bahan baku untuk pembuatan serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black. Menurut Okoroigwe, 2014, komposisi kimia cangkang kelapa sawit (kering udara) adalah seperti berikut C = 49,79 %, H = 5,58 %, O = 34,66 %, N = 0,72 % , S = 0,08 % dan Cl = 89 ppm.

Banyak sudah penelitian yang telah dilakukan tentang pembuatan arang cangkang kelapa sawit antara lain adalah Muhamad Halim dkk (2009), Abdul Gani Haji dkk (2010), Djoko Purwanto (2011) dan lainnya.

Menurut Rahmawati, 2009, hasil penelitiannya menjelaskan bahwa arang cangkang kelapa sawit dicampur dengan Carbon Black dapat digunakan sebagai bahan pengisi (filler) kompon karet sol sepatu, karena kemiripan struktur permukaan, luas area dan bilangan Iodine, hampir mendekati karakteristik Carbon Black eks impor.

Sesuai dengan parameter yang ditetapkan pada SNI. 9712 : 2010 tentang Karbon Hitam Untuk Produk Ban dan Karet lainnya, merupakan revisi dari SNI. 06 – 0712 – 1989 tentang Hitam Karbon Untuk Ban Jenis ISAF N 220, meliputi bilangan Iodine, absorbsi minyak Linseed, kekerasan butiran dan logam ( Cu dan Mn).

Maksud dan tujuan dari pada penelitian ini adalah mengolah cangkang kelapa sawit menjadi serbuk arang cangkang kelapa sawit. Dan selanjutnya memanfaatkan serbuk arang cangkang kelapa sawit tersebut untuk bahan pengisi (filler) pada pembuatan vulkanisat karet, dalam rangka substitusi Carbon Black sebagai bahan baku/pembantu industri.

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah melakukan studi/analisis terhadap aspek-aspek kelayakan teknologi, keunggulan teknologi, kelayakan ekonomi serta kelayakan sosial dan lingkungannya dari mengolah cangkang kelapa sawit menjadi serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black untuk bahan pengisi (filler) dari berbagai bahan vulkanisat karet.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Penguasaan teknologi pengolahan serbuk arang cangkang kelapa sawit dari cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black

2. Diperolehnya data-data/informasi tekno-ekonomi pengolahan serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai bahan perbandingan dalam rangka strategi implementasi hasil litbang.

3. Melestarikan lingkungan dari limbah padat (cangkang kelapa sawit) sisa proses dari PKS dan pemanfaatan limbah kayu dari perkebunan karet rakyat.

Page 18: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 1-10

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan4

Vulkanisat karet merupakan turunan yang paling utama dari barang barang karet. Hampir semua kompon karet, menggunakan Carbon Black sebagai bahan pengisi (filler). Bahan pengisi Carbon Black berfungsi sebagai penguat (reinforcing), memperbesar volume, memperbaiki sifat-sifat fisik dari barang-barag karet dan memperkuat vulkanisat karet (Boonstra dalam Prasetya, 2013).

Menurut Wikipedia, pirolisis adalah dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit Oksigen atau reagen lainnya, dimana material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi bio char, asap cair dan gas.

Cangkang kelapa sawit adalah merupakan biomassa, dimana komponen utamanya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Menurut Halim, 2009, cangkang kelapa sawit mengandung lignin = 42,8 % selulosa = 32,93 %, hemi selulosa = 12,03 %, air = 12,91 % dan abu = 4,61 %.

Menurut Yokoyama, 2008, terjadinya proses pirolisis biomassa adalah seperti berikut, kelembaban menguap pertama sekali yaitu 100oC, hemiselulosa akan terdekomposisi pada suhu 200 oC s/d 260 oC diikuti oleh selulosa pada suhu 240 oC s/d 340 oC dan terakhir lignin pada suhu 280 oC s/d 500 oC.

Tabel 1. Suhu Dan Keadaan Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Fungsi Pengamatan Pada Proses Penyangraian

No.Waktu

Pengamatan (menit ke-)

Suhu (oC)

Keadaan Cangkang Kelapa Sawit

1. 0 32 Normal2. 5 44 Normal3. 10 95 Mulai Berasap4. 15 95 Asap Tipis5. 16 95 Asap bertambah

6. 17 95 Asap bertambah banyak

7. 18 95 Mulai mengepul8. 19 95 Mengepul9. 21 114 Mengepul10. 24 125 Mengepul11. 27 156 Mengepul12. 30 179 Asap mulai mereda13. 32 202 Asap mulai menipis

14. 34 262 Asap menipis

15 37 348 Asap habis

Page 19: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 5

Pengolahan Cangkang Kelapa Sawit ... (Zainal Abidin Nasution)

Tabel-2. Hasil Pengujian Vulkanisat Karet

No PengujianHasil Uji Formulasi RSS/SBR/ACS (phr)

100/30/50 100/30/60 100/30/50 100/-/401. Rheometer

ML (mm), dn.m 0,40 0,05 0,55 0,58

MH (maks) dn.m 23,28 25,47 10,80 12,26Tc 10, menit 3,22 5,08 5,10 2,55Tc 90, menit 8,06 10,24 10,53 6,34

2.Hardness,

Shore-A74-75 66-67 45-46 48-49

3.Tensile Strength, kg/cm2

Modulus 300%,psi

63

29

19

18

78

18

132

234. Elongation at Break, % 240 230 680 689

5. Tear Resistence, kg/cm 21 21 14 26

METODOLOGIPercobaan pembuatan bubuk arang

cangkang kelapa sawit dilaksanakan dengan metode penyangraian. Pada pelaksanaannya metode penyangraian ini cukup mudah pengerjaannya, teknologinya tepat guna dan sederhana mengontrolnya.

Cangkang Kelapa Sawit

Dijemur Dibawah Sinar Matahari Sampai Kering

Penimbangan

Disangrai Di Udara Terbuka Sampai Asapnya Habis

Ditumbuk/Digiling

Pengayakan 200 mesh

Serbuk Arang Cangkang Kelapa Sawit

Tidak Lolos Ayakan

Gambar 1. Diagram Alir Percobaan Pembuatan Bubuk Arang Cangkang

Kelapa Sawit

Menurut Haji dkk, 2010, membuat arang cangkang kelapa sawit dengan menggunakan drum bekas yang tertutup dan pelaksanaan pembakarannya selama 5 jam, setelah itu api didalam drum dipadamkan dengan cara menyiramnya dengan air dan dibiarkan dingin secara alami. Suhu didalam drum bekas dipertahankan sekitar 378 oC s/d 385 oC.

Menurut Purwanto, 2011, pembuatan arang cangkang kelapa sawit dilakukan didalam tanur, dengan mempertahankan suhu 500 oC s/d 600 oC selama 2 jam s/d 3 jam. Jadi, proses pembuatan arang cangkang kelapa sawit pada penelitian ini berbeda dengan proses pembuatannya dengan yang telah dilaksanakan oleh para peneliti lainnya.

Menurut (Gnansounou dan Dauriat, 2010 dalam Puspita Sari, 2017) menjelaskan bahwa analisis tekno ekonomi adalah suatu jenis rekayasa yang mencakup desain proses, permodelan dan analisis biaya untuk desain produk yang inovatif dan produk yang kompetitif. Prosedur analisis ini meliputi desain proses dan permodelan teknologi, sedangkan investasi dan biaya produksi adalah merupakan evaluasi ekonomisnya.

Secara umum studi tekno ekonomi mencakup berbagai aspek yaitu potensi

Page 20: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 1-10

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan6

pasar yang tersedia, pemilihan lokasi pabrik, skala kapasitas produksi, teknologi produksi dan analisis ekonomi.

HASIL DAN PEMBAHASANAspek Kelayakan Teknologi

Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, seperti perkebunan karet rakyat,yaitu batang kayu karet tua dan limbah padat dari proses pengolahan tandan buah segar kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yaitu cangkang kelapa sawit.

Dari percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dengan metode penyangraian, rendemen hasilnya adalah rata-rata 38,20 % (yaitu diperoleh pada suhu terakhir 348 oC, dimana proses penyangraian dihentikan pada saat asap sudah habis, dinyatakan pirolisis sudah selesai). Hasil penelitian Halim dkk, 2009, pembuatan arang cangkang sawit menggunakan metode reaktor pirolisis dengan mempertahankan suhu pembakaran sebesar 400 oC dan lamanya proses pembakaran adalah 90 menit, diperoleh rendemen rata rata arang cangkang kelapa sawit sebesar 41 %.

Hasil penelitian Haji dkk, 2010, pembuatan arang cangkang kelapa sawit menggunakan metode pembakaran tertutup dengan mempertahankan suhu pembakaran sebesar 378 oC dan lamanya proses pembakaran adalah 5 jam, kemudian api didalam tungku dipadamkan dengan menyiramkan air dan dibiarkan dingin secara alami. Rendemen rata – rata arang cangkang kelapa sawit adalah 38,31%. Hasil penelitian Purwanto, 2011, pembuatan arang cangkang kelapa sawit pada tanur , dimana suhu pembakaran adalah 500 oC s/d 600 oC selama 2 jam s/d 3 jam menghasilkan mutu arang cangkang kelapa sawit yang baik.

Berdasarkan keterangan dari Yokoyama, 2008, bahwa pirolisis biomassa berakhir pada bagian lignin yaitu pada suhu 280 oC s/d 500 oC.

Melihat hal ini dan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat dinyatakan bahwa

proses penyangraian cangkang kelapa sawit efektip juga digunakan untuk memperoleh arang cangkang kelapa sawit. Dilihat dari rendemen dan suhunya, ternyata tidak terjadi perbedaan yang signifikan, yaitu : a. Nasution, 2012, memperoleh rendemen arang cangkang kelapa sawit 38,20 % dan suhu terakhir penyangraian 348 oC b. Halim,2009, memperoleh rendemen 41 % dan suhu pembakaran dipertahankan 400 oC c. Haji, 2010, memperoleh rendemen 38,31% dengan suhu pembakaran dipertahankan 378 oC.

Arang cangkang kelapa sawit yang diperoleh dari metode penyangraian, digiling sampai menjadi bubuk dan kemudian diayak dengan ayakan lolos 200 mesh.

Aspek Keunggulan Dibanding Teknologi Yang Sudah Ada

Berdasarkan literatur, beberapa proses pembuatan carbon black yang dikenal adalah a. Channel black, dimana carbon black yang diperoleh dihasilkan melalui proses pembakaran gas alam. b. Furnace black, proses ini menggunakan minyak bumi sebagai bahan baku dengan suhu pemanasan sekitar 1250 oC s/d 1450 oC. Hasil dekomposisi dari minyak bumi tersebut akan diperoleh carbon black. c. Thermal black, carbon black diperoleh dari pembakaran minyak bumi dengan sistim batch pada suhu proses 1350 oC tanpa udara (Sumber : SBP Board of Consultant and Engineers, 1987).

Sebagai Carbon Black hasil penelitian, keunggulan teknologi yang dimilikinya adalah :

Bahan baku Carbon Black eks impor berasal dari sumber-sumber fosil, yaitu minyak bumi dan gas. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan yang sumbernya pada suatu hari akan mengalami habis, tidak dapat diperbaharui (renewable). Namun tidak demikian halnya dengan cangkang kelapa sawit. Seiring dengan lahan kelapa sawit yang semakin luas di Indonesia, maka cangkang kelapa sawit menjadi sumber bahan baku untuk pembuatan serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black, pasokannya cukup baik.

Page 21: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 7

Berdasarkan laporan Ditjend Perkebunan, total luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2015 sudah mencapai 11.444.808 Ha dengan produksi sebesar 30.948.981 ton TBS. Secara perhitungan, limbah proses cangkang kelapa sawit yang dihasilkan sebanyak 2.475.918 ton. Asumsi 60 % dari cangkang kelapa sawit dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar boiler PKS–PKS, yaitu sebesar 1.485.550 ton cangkang kelapa sawit selama setahun, masih saja menyisakan sejumlah cangkang kelapa sawit yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam berbagai keperluan apakah sebagai bahan baku/pembantu industri sebesar 916.000 ton setahun. Selain dari bahan baku cangkang sawit, juga untuk keperluan proses penyangraian, diperlukan bahan bakar. Disini digunakan bahan bakar padat kayu karet.

Berdasarkan laporan Ditjend Perkebunan, total luas lahan perkebunan karet di Indonesia pada tahun 2015 adalah 3.656.057 Ha. Menurut Siagian, 2010, dijelaskan bahwa jumlah tanaman karet per hektar adalah sekitar 330 pohon, dan akan dilakukan peremajaan setelah berumur 30 tahun, dengan perkiraan volume kayu adalah 0,44 M3/pohon s/d 0.77 M3/pohon. Berdasarkan perhitungan-perhitungan diatas, yang meliputi pasarnya cukup potensial, teknologi pengolahan cangkang kelapa sawit telah dikuasai, didukung oleh sumber-sumber daya lainnya, itu artinya memberikan sinyal bahwa aspek keunggulan produk Carbon Black dari cangkang kelapa sawit secara teknologi itu adalah baik.

Analisis Kelayakan UsahaAnalisis kelayakan usaha serbuk

arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black,dilaksanakan dalam jangka waktu 5 tahun sesuai dengan umur kontrak tanah yang ditetapkan yaitu selama 5 tahun

dan pembiayaannya dilaksanakan oleh investor. Dana segar yang dapat dihimpun/ditarik ke kas dan dapat dibelanjakan lagi adalah dari biaya pemeliharaan/perawatan mesin dan peralatan dan bangunan pabrik serta biaya umum,yang meliputi biaya tidak terduga,seperti konsumsi tamu perusahaan,pembuatan spanduk untuk acara hari hari besar nasional,bantuan biaya sekolah anak karyawan yang berprestasi dan lain sebagainya. Selain itu juga ada dana segar yang dihimpun/ditarik ke kas dan didepositokan adalah biaya penyusutan (depresiasi) dari mesin/peralatan dan bangunan pabrik dihitung dengan metode garis lurus,dan dimana umur pengembalian dari investasi disamakan dengan umur teknis dan umur ekonomis mesin/peralatan dan bangunan, serta disamakan dengan umur kontrak tanah yaitu 5 tahun. Sehingga berdasarkan biaya investasi,biaya tidak tetap dan umur pengembalian investasi maka dapat dihitung laba bersih dari usaha. Dan berdasarkan besarnya laba bersih dari usaha yang akan dicapai ,maka dapat ditetapkan harga franco jual dari produk yang dihasilkan

Basis perhitungan:

• Randemen hasil penyangraian rata-rata : 38,20 %

• Kapasitas produksi serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black : 300 kg/hari.

• Jumlah hari kerja (setelah dikurangi dengan hari Minggu dan hari hari libur nasional) : 283 hari kerja/tahun

• Jam kerja per hari rata rata : 8 jam• Jadwal kerja per hari : 08.00 – 16.00

(istirahat 1 jam)• Pengelola sekaligus pemilik usaha : 1

(satu) orang• Sekretaris kantor: 1 (satu) orang• Tenaga kerja harian lepas : 3 (tiga )

orang

Pengolahan Cangkang Kelapa Sawit ... (Zainal Abidin Nasution)

Page 22: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan8

A. Investasi:

1. Bangunan :Kontrak tanah kosong 50 x 50 m2 = 2500 m2 selama 5 tahun @ Rp. 5.000.000 per tahun

Rp.25.000.000,-

2.

Pembangunan 1 (satu) unit bangsal/los (semi permanen) untuk kegiatan produksi dengan ukuran 20 x 20 m2 @ Rp. 250.000 per m2

Ruangan kantor :Pembangunan 1 (satu) unit ruangan kantor,semi permanen pada areal bangsal/los dengan ukuran 3 x 3 m2 = 9 m2 @ Rp. 500.000 per m2

Rp.100.000.000,-

Rp.4.500.000,-

3. Peralatan pokok : • Kuali besi kapasitas sangrai cangkang kelapa sawit 50

kg 4 unit @ Rp. 500.000,-Rp.2.000.000,-

• Tungku pemasak dari besi sebanyak 4 unit @ Rp.1.500.000,-

Rp.6.000.000,-

• Mesin giling/bubuk lengkap dengan motor penggerak berbahan bakar solar 7 HP ,1unit, komplit dengan beberapa jenis ayakan

Rp.25.000.000,-

• Timbangan duduk kapasitas 25 kg 2 unit @ Rp.4.000.000,-

Rp.8.000.000,-

• Pompa air 1 unit 300 watt,dan instalasinya dilingkungan unit usaha.

Rp.5.000.000,-

• Alat material handling lokal, 2 unit, @ Rp.5.000.000 Rp.10.000.000,-• Pembuatan sumur bor rumah tangga, 1 unit Rp.5.000.000,-• Listrik PLN, 5000 watt dan instalasi dilingkungan unit

usahaRp.20.000.000,-

• Barang habis pakai 1 paket Rp.15.000.000,-• Peralatan manual (misal : ember, gayung, dll) ditaksir Rp.3.000.000,-• Peralatan dan perabotan kantor 1 set,ditaksir Rp.25.000.000,-

Jumlah Investasi Rp.253.500.000,-

B. Biaya Produksi (1 tahun)1. Biaya Tetap

• Gaji pengelola, 1 orang, Rp. 6.000.000/bulan x 12 bln/tahun

• Gaji sekretaris, 1 orang,Rp. 3.000.000/bulan x 12 bln/tahun

Rp.72.000.000,-

Rp.36.000.000,- • Pemeliharaan mesin/peralatan/bangunan pabrik

(diperhitungkan) adalah 12 % per tahun dari investasi Rp.30.420.000,-

• Penyusutan dari investasi ditetapkan selama 5 tahun (dengan catatan semua nilai akhir dari barang barang pada akhir tahun ke 5 adalah nol). sehingga besarnya penyusutan per tahun adalah 20 % dari investasi

Rp.50.700.000,-

• Biaya umum per tahun (diperhitungkan) adalah 10 % dari investasi

Rp.25.350.000,-

Jumlah Rp.214.470.000,-

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 1-10

Page 23: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 9

Pengolahan Cangkang Kelapa Sawit ... (Zainal Abidin Nasution)

2. Biaya Tidak Tetap (1 tahun)• Bahan baku cangkang kelapa sawit : x 300 kg/hari x

283 hari/tahun x Rp. 800,-/kg. Rp.177.801.047,-

• Kayu bakar : 1,5m3/hari x 300 hari/tahun x Rp. 15.000,-

• Bahan bakar solar untuk motor penggerak penggiling arang cangkang sawit 10 liter/hari x 300 hari kerja/tahun x Rp. 6.500 per liter

Rp.6.750.000,-

Rp.19.500.000 ,-

• Listrik PLN untuk penerangan,perangkat elektronik,pompa air dan lainnya ditaksir 2.000.000,-/bulan x 12 bulan/tahun

Rp.24.000.000,-

• Gaji upah/biaya tetap : 3 orang/hari x 100.000/hari x 283 hari kerja/tahun

Rp.84.900.000,-

Jumlah Rp.312.951.047,-

Dari informasi pasar,bahwa harga Carbon Black pada tahun 2015 berkisar antara Rp,7.000,- per kg s/d Rp. 20.000,- per kg,tergantung kepada jenis dan kwalitasnya. Berdasarkan dari hasil studi tekno ekonomi,harga jual franco pabrik bubuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black adalah Rp. 7.730,- per kg. Artinya sebagai Carbon Black,harga tersebut cukup dapat bersaing untuk dijual dipasar.

E. Batas Titik Impas Tidak Untung-Tidak Rugi (Break Event Point = BEP)

Total biaya Produksi : • Biaya Tetap + Biaya Tidak tetap = Rp. 214.470.000,- + Rp. 312.951.047,- = Rp. 527.421.047,-

C. Menghitung Laba Bersih Berdasarkan Pengembalian Investasi (Return On Investment – ROI)

(Investasi+BiayaTidakTetap)

(Laba bersih / tahun) ROI = x 1 tahun

(Rp.253.500.000,- +Rp.312.951.047,-)

(Laba Bersih/tahun) 5 tahun= x 1 tahun

(Rp.566.451.047,-)

(5 ) Laba bersih/tahun = x 1 tahun= Rp.113.393.238

D. Menghitung Harga Jual Serbuk Arang Cangkang Kelapa Sawit Per Kg:

Laba bersih per tahun = Rp. 113.393.238Pajak-pajak besarnya adalah 12 % dari laba bersih, maka laba kotor adalah :

x Rp. 113.393.238 = Rp. 128.855.953

Total biaya produksi per tahun = Rp. 527.421.047Hasil penjualan/tahun = total biaya produksi/tahun + laba kotor/tahun : = Rp. 656.277.000Produksi/hari x jumlah hari kerja/tahun x harga jual/kg= hasil penjualan/tahun300 kg/hari x 283 hari/tahun x harga jual/kg = Rp. 656.277.000

Harga jual/kg = = Rp. 7.730 /kg

100

88

(Rp.656.277.000)

84.900

Biaya Tetap

(Penjualan-BiayaTidakTetap) BEP = x 100 %

(Rp.214.470.000,-)

(Rp.656.277.000,--Rp.312.951.047,-)=

(Rp.214.470.000,-)

(Rp.343.325.953,-) x 100% = 62,47 %=

F. Kapasitas Produksi Pada BEP= 62,47 % x 300 kg/hari = 187,40 kg/hari Aspek Kelayakan Sosial dan Lingkungan

UKM yang bergerak dalam produksi bubuk arang cangkang kelapa sawit ini, harus direncanakan dekat dengan lokasi bahan baku artinya dekat dengan PKS,sebagai sumber bahan baku cangkang kalapa sawit dan dekat dengan areal perkebunan karet rakyat,sebagai sumber bahan bakar. Sehingga biaya-biaya untuk pengadaan bahan bahan dapat ditekan, antara lain

Page 24: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan10

adalah : biaya-biaya pembelian cangkang kelapa sawit,kayu karet sebagai bahan bakar dan transportasi. Sekaligus juga letaknya dekat dengan pemukiman penduduk di pedesaan, sehingga tenaga kerja mudah direkrut dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

SIMPULANBerdasarkan studi tekno ekonomi

dapat diketahui randemen bahan baku = 38,20%, kapasitas produksi serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai carbon black = 300 kg/hari, jumlah hari kerja = 283 hari/tahun, jam kerja per hari rata rata = 8 jam, jadwal kerja setiap hari adalah 08.00 – 16.00 (istirahat 1 jam), pengelola sekaligus pemilik usaha 1 (satu) orang, sekretaris kantor 1 (satu) orang, tenaga kerja harian lepas 3 (tiga) orang, jumlah produksi = 84.900 kg/thn, investasi = Rp. 253.500.000,- biaya produksi (1 tahun) = Rp.527.421.047,- ,Biaya tidak tetap (1 tahun) = Rp.312.951.047,- Biaya tetap (1 tahun) = Rp.214.470.000,- Harga jual serbuk arang cangkang kelapa sawit sebagai Carbon Black = Rp.7.730,- per kg, Laba kotor per tahun = Rp.128.855.963. Laba bersih per tahun dengan pajak pajak 12 % = Rp.113.393.238,- Pengembalian Investasi (ROI) = 5 tahun. Batas Titik Impas (BEP) = 62,47 % dan Kapasitas produksi pada skala BEP = 187,40 kg/hari

DAFTAR PUSTAKA 1. Haji, AG, G. Pari, Habibati, Amiroddin

dan Maulina, 2010, Kajian Mutu Arang Hasil Pirolisis Cangkang Kelapa Sawit, Jurnal Purifikasi, Vol. II No. 1, hal. 77-86.

2. Halim,M,P Darmadji dan R Indrati,2009,Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Volatil Asap Cair Cangkang Sawit,Agritech Vol 23 No 3,hal.117-123,

3. Nasution,Z A,2012,Karakteristik Kimia Arang Cangkang Kelapa Sawit Yang Dihasilkan Dengan Metode Penyangraian Sebagai Bahan Pembuatan Biomassa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan,Vol.7 No.1,hal. 1 – 7.

4. Nasution,Z A,2015,Pengaruh Arang Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Bahan

Pengisi (Filler) Terhadap Sifat Sifat Fisik Kompon Karet, Prosiding Seminar Nasional Kulit Karet dan Plastik Ke – 4 Yogyakarta,28 Oktober 2015,ISSN : 2477 - 3298,hal. 62 - 74

5. Nuyah dan Rahmaniar, 2013, Pembuatan Kompon Karet Dengan Bahan Pengisi Arang Cangkang Sawit, Jurnal Dinamika Penelitian Industri, Vol. 24 No. 2, hal. 114-121.

6. Nwaobakata C and Agunwamba J C,2014,Effect Of Palm Kernel Shells Ash As Filler On The Mechanical Properties Of Hot Mix Asphalt,Archives Of Applied Science Research,Vol .6 No .5,pp. 42 - 49

7. Pardamaian, M, 2008, Panduan Lengkap Pengelolaan Kabun dan Pabrik Kelapa Sawit, Cetakan Pertama, Pustaka Angromedia, Jakarta.

8. Prasetya HA dan Poppy Marlina, 2013, Penggunaan Sekam Padi Sebagai Bahan Pengisi dan Antioksidan Pada Pembuatan Kompon Karet, Jurnal Dinamika Penelitian Industri, Vol. 24 No. 2, hal. 66 – 73.

9. Purwanto,D,2011,Arang Dari Limbah Tempurung Kelapa Sawit,Jurnal Penelitian Hasil Hutan,Vol 29 No, 1,hal.57-66

10. Rahmawati, 2009, Pengaruh Komposisi Arang Cangkang Kelapa Sawit dan Hitam Arang (Carbon Black) Terhadap Kualitas Kompon Karet Sol Sepatu, Skripsi, FMIPA Universitas Sumatera Utara, Medan.

11. Siagian,N, M Supriadi dan C Anwar,2010,Potensi Produksi Kayu Karet Tua Di Tingkat Petani Dan Perkebunan Serta Kendala Dalam Pemanfaatannya,Jurnal Penelitian Karet,Vol 28 No 1,Hal.26-43

12. Yokoyama,S,2008, The Asian Biomass Handbook: A Guide for Biomass Production and Utilization,The Japan Institute of Energy

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 1-10

Page 25: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 11

Penambahan Gel Lidah Buaya ... (Sukma Budi Aryani)

PENAMBAHAN GEL LIDAH BUAYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA SABUN MANDI CAIR BERBAHAN DASAR MINYAK KELAPA

Additional Oo Aloe Vera Gel as Antibactery in Liquid Bath Soap Based Coconut Oil

Sukma Budi Ariyani dan HidayatiBaristand Industri Pontianak Jln. Budi Utomo No. 41 Pontianak 78243

Email : [email protected]

ABSTRAk. Sabun cair dibuat melalui reaksi saponifikasi dari minyak dan lemak yang direaksikan dengan KOH. Gel lidah buaya digunakan sebagai antibakteri dan memiliki kandungan zat yang baik untuk kulit. Penelitian ini bertujuan memperoleh karakteristik gel lidah buaya, memperoleh produk sabun mandi cair dengan penambahan gel lidah buaya dan mengetahui aktivitas antibakteri Escherichia coli pada sabun mandi cair yang diperoleh. Metode penelitian yang dilakukan meliputi pembuatan sediaan gel lidah buaya, pengujian gel lidah buaya, pembuatan sabun mandi cair berbahan dasar minyak kelapa, pengujian sabun mandi cair sesuai SNI dan uji daya hambat bakteri Escherichia coli. Variabel berubah yang digunakan adalah konsentrasi gel lidah buaya yang ditambahkan pada pembuatan sabun mandi cair (5, 10 dan 15%). Hasil yang diperoleh adalah gel lidah buaya dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan produk kosmetik. Gel lidah buaya ini mengandung zat saponin, antrakuinon, lignin dan 18 jenis asam amino. Produk sabun mandi cair yang diperoleh, untuk parameter keadaan, pH, bobot jenis alkali bebas dan angka lempeng total, hasilnya memenuhi SNI sabun mandi cair (SNI 06-4085-1996) dan memiliki daya hambat terhadap bakteri Escherichia coli dengan diameter zona hambat rata-rata sebesar 1,85 cm dengan metode uji cakram dish.

kata kunci : Escherichia coli, gel lidah buaya, minyak kelapa, sabun mandi cair

ABSTRACT. Liquid soap is made by saponification reaction of oil and fat reacted with KOH. Aloe vera gel is used as an antibacterial and has a good substance for the skin. The objective of this study was to obtain the characteristics of aloe vera gel, to obtain liquid bath soap product with the addition of aloe vera gel and to know the antibacterial activity of Echerichia coli on the obtained liquid bath soap. Methods of research include preparation of aloe vera gel, aloe vera gel testing, making liquid bath soap made from coconut oil, liquid bath soap test in accordance with SNI and inhibitory test of Escherichia coli bacteria. The altered variables used were aloe vera gel concentrations added to the manufacture of liquid bath soap (5, 10 and 15%). The results obtained are aloe vera gel can be used as material for cosmetic products. Aloe vera gel contains saponins, anthraquinone, lignin and 18 types of amino acids. Liquid bath soap product obtained, for state parameters, pH, total weight free alkali and total plate number, the result meets the SNI 06-4085-1996 and has a resistance to the bacteria Escherichia coli with an inhibitory zone diameter of 1.85 cm with the test method dish disc.

keywords : aloe vera gel, coconut oil, Esherichia coli, liquid bath soap

PENDAHULUANSabun merupakan pembersih

yang dibuat dengan reaksi kimia antara kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun cair lebih diminati oleh masyarakat dibandingkan dengan sabun padat, karena penggunaannya yang lebih praktis, lebih hemat, tidak terkontaminasi bakteri, mudah dibawa dan mudah disimpan (Agusta, 2016).

Sabun mandi cair adalah sediaan berbentuk cair yang digunakan untuk membersihkan kulit, dibuat dari bahan dasar sabun dengan penambahan surfaktan, penstabil busa, pengawet, pewarna dan

pewangi yang diijinkan dan digunakan untuk mandi tanpa menimbulkan iritasi pada kulit. Sabun cair dibuat melalui reaksi saponifikasi dari minyak dan lemak dengan KOH (Irmayanti, et al., 2014).

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kimia dan farmasi, perkembangan kosmetik mulai bergeser ke arah natural product karena adanya trend back to nature (Duraisam, et al., 2011). Salah satu herbal yang dapat ditambahkan dalam sediaan kosmetik sabun mandi cair adalah gel lidah buaya.

Menurut Woodroof (1979), minyak kelapa diperoleh sebagai hasil ekstraksi

Page 26: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan12

daging buah kelapa segar. Asam-asam lemak dominan yang menyusun minyak kelapa adalah laurat dan miristat, yang merupakan asam-asam lemak berbobot molekul rendah, sedangkan menurut Ketaren (1986), minyak kelapa memiliki sekitar 90% kandungan asam lemak jenuh. Shrivastava (1982) menyatakan bahwa minyak kelapa memiliki sifat mudah tersaponifikasi (tersabunkan). Hal tersebut menjadi dasar dijadikannya minyak kelapa sebagai bahan dasar sabun mandi cair.

Lidah buaya Pontianak jenis Barbadensis memiliki kandungan senyawa lignin yang lebih tinggi dibandingkan lidah buaya yang ditanam di daerah lain karena berada di bawah garis khatulistiwa dengan tekstur tanah gambut dan intensitas cahaya matahari yang tinggi.

Lidah buaya adalah salah satu tanaman yang berkhasiat untuk menjaga kesehatan kulit. Keistimewaan lidah buaya terletak pada gelnya yang mampu untuk meresap di dalam jaringan kulit, sehingga banyak menahan kehilangan cairan yang terlalu banyak dari dalam kulit (Hartanto dan Lubis, 2002). Gel lidah buaya juga memiliki kandungan zat antibakteri dan antijamur.

Penggunaan sabun mandi cair merupakan salah satu cara untuk melindungi kulit dari infeksi bakteri dan mencegah penyakit infeksi kulit. Infeksi merupakan penyakit yang sering terjadi karena adanya mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan fisiologi normal tubuh. Escherichia coli merupakan bakteri penyebab infeksi tersering dan umum. Penggunaan antibakteri dari bahan sintetik dapat mencegah terjadinya infeksi, namun tidak sedikit yang memberikan efek samping seperti iritasi. Hal ini mendorong beralihnya penggunaan sediaan yang berasal dari alam (Rosdiyawati, 2014). Salah satu bahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri adalah gel lidah buaya Pontianak.

Sediaan yang lazim dijumpai seperti pada sabun, gel, salep atau lotion dapat langsung menuju bagian yang terinfeksi. Sediaan juga diharapkan memiliki daya antibakteri yang cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli.

METODOLOGIAlat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah lidah buaya, sodium benzoate, KOH, minyak kelapa dan asam sitrat.

Alat yang digunakan diantaranya pisau, beaker glass, gelas ukur, botol sampel, kain saring, heater magnetic stirrer, pengaduk, digital refraktometer dan rotary vacuum evaporator.

Pembuatan Sediaan Gel Lidah BuayaLidah buaya Barbadensis dicuci

terlebih dahulu dan dihilangkan durinya, kemudian dipotong dan dikupas. Setelah itu dihaluskan dengan blender, disaring hingga diperoleh filtrat berupa jus lidah buaya. Dilakukan pemekatan jus lidah buaya dengan alat rotary vacuum evaporator seperti pada Gambar 1., kondisi operasi:

- vakum : 110 mbar- rotari : 80 rpm- heating bath : 70oC- berat sampel : 500 gram- suhu sampel : 50oC- waktu evaporasi : 2 jam

Sehingga diperoleh gel dengan brix 4-5,5, diukur dengan digital refraktometer. Gel lidah buaya yang diperoleh ditambah sodium benzoat dengan konsentrasi 0,1% untuk mempertahankan kestabilan gel yang diperoleh.

Gambar 1. Rotary Vacuum Evaporator

Pengujian Gel Lidah BuayaGel lidah buaya yang diperoleh diuji

pH, TDS, kandungan saponin, antrakuinon, vitamin A, vitamin C dan asam amino.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 11-18

Page 27: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 13

Penambahan Gel Lidah Buaya ... (Sukma Budi Aryani)

Pembuatan Sabun Mandi CairPembuatan sabun mandi cair diawali

dengan pembuatan soap base. Minyak kelapa, akuades dan KOH ditimbang di tempat terpisah. Minyak kelapa ditimbang sebanyak 300 gram, akuades ditimbang sebanyak 228 gram dan KOH ditimbang sebanyak 76 gram. Minyak kelapa dipanaskan hingga mencapai suhu 70oC dan dipertahankan pada suhu tersebut. KOH dimasukkan ke dalam akuades, diaduk hingga homogen. Larutan KOH yang telah siap dimasukkan ke dalam minyak yang telah dipanaskan. Campuran tersebut diaduk menggunakan mixer selama 20 menit hingga campuran menjadi tebal dan padat. Langkah selanjutnya adalah memanaskan soap base. Campuran (soap base) dimasukkan ke dalam waterbath yang diisi dengan air yang telah mendidih. Soap base dipanaskan selama 3 jam dan diaduk setiap 30 menit sekali. Awalnya soap base berwarna putih susu dipanaskan hingga menjadi jernih dan transparan. Hasil soap base dapat disimpan di kulkas jika tidak langsung digunakan. Langkah berikutnya adalah pembuatan sabun cair yakni meliputi soap base ditimbang sebanyak 200 gram dan akuades juga ditimbang sebanyak 200 gram. Akuades dipanaskan hingga mendidih kemudian larutkan soap base ke dalam akuades mendidih. Campuran tersebut diaduk terus hingga larut dengan pemanasan stabil 50oC dengan heater magnetik stirrer. Setelah kira-kira hampir larut, tambahkan asam sitrat sebanyak 1,84 gram yang telah dilarutkan ke dalam akuades sebanyak 7,36 gram yang telah mendidih. Campuran diaduk selama 1 jam. Setengah jam sebelum pengadukan selesai, gel lidah buaya ditambahkan ke dalam campuran dengan konsentrasi 5, 10, 15% dari berat soap base yang digunakan. Hal ini dilakukan agar bahan sebelumnya tercampur homogen terlebih dahulu. Setelah selesai pengadukan, dilakukan penyaringan hingga diperoleh sabun cair yang diinginkan.

Pengujian Sabun Mandi CairSabun mandi cair yang diperoleh diuji

sesuai parameter yang terdapat dalam SNI 06-4085-1996 yakni meliputi parameter keadaan (bentuk, bau, warna), pH, alkali bebas, bahan aktif, bobot jenis dan Angka Lempeng Total (ALT).

Uji Daya Hambat Escherichia coli pada Sabun Mandi Cair dengan Metode Cakram Dish

Cakram dicelupkan ke dalam sampel (sabun cair) sampai merata di seluruh permukaan cakram. Media nutrient agar yang telah disterilkan dituangkan ke dalam petridish. Media nutrient agar yang telah dingin dan memadat selanjutnya ditanami bakteri. Bakteri sebelumnya telah dibiakkan terlebih dahulu. Bakteri yang ditanam, diratakan hingga seluruh permukan nutrient agar dengan menggunakan spreader. Kemudian cakram tersebut diletakkan dalam media nutrient agar yang telah ditanami bakteri, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam. Aktifitas antibakteri ditunjukkan oleh luas diameter zona bening yang terbentuk.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil uji gel lidah buaya dapat dilihat

pada Tabel 1 dan hasil uji sabun mandi cair sesuai parameter dalam SNI dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan hasil gel lidah buaya yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Hasil Uji Gel Lidah Buaya

No. Parameter Gel Lidah Buaya

1. pH 4,33

2. TDS (mg/L) 46932

3. Saponin (mg/kg) 977,91

4. Antrakuinon (mg/kg)

126,81

5. Lignin (%) 11,58

6. Vitamin C (%) 0,00538

7. Vitamin A (mcg/100 g)

30,77

8. Asam AminoL-Histidin (ppm) 40,86L-Threonin (ppm) 71,88L-Prolin (ppm) 41,66L-Tirosin (ppm) 66,93L-Leusin (ppm) 67,81L-Asam Aspartat (ppm) 119,93

L-Lisin HCl (ppm) 46,95

Page 28: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan14 Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan14

Tabel 2. Hasil Uji Sabun Mandi Cair Sesuai Parameter dalam SNI

Glisin (ppm) 120,72L-Arginin (ppm) 45,99L-Alanin (ppm) 101,7L-Valin (ppm) 46,74L-Isoleusin (ppm) 37,82L-Fenilalanin (ppm) 35,22

L-Asam glutamat (ppm) 118,35

L-Serin (ppm) 249,3L-Metionin (ppm) 12,81L-Sistin (ppm) 48,42L-triptofan (ppm) 16,86

ParameterHasil Uji Sabun Mandi Cair SNI 06-4085-

1996 A0 A1 A2 A3

Keadaan :1. Bentuk

2. Bau

3. Warna

CairanHomogen

Khas minyak kelapaKuning jernih

Cairan Homogen

Khas minyak kelapaKuning jernih

CairanHomogen

Khas minyak kelapaJingga jernih

CairanHomogen

Khasminyak kelapaJingga jernih

CairanHomogen

Khas

Khas

pH 9,12 9,08 9,02 9,01 8-11

Alkali Bebas 0,0 0,0 0,0 0,0 Maks 0,1

Bahan Aktif 3 1 1 9 Min 15

Bobot Jenis 1,03 1,03 1,04 1,08 1,01-1,10

ALT >25 >25 >25 >25 Maks 1 x 105

Keterangan Tabel 2.:

A0 : Sabun mandi cair tanpa penambahan gel lidah buaya

A1: Sabun mandi cair dengan penambahan gel lidah buaya konsentrasi 5% dari soap base yang digunakan

A2: Sabun mandi cair dengan penambahan gel lidah buaya konsentrasi 10% dari soap base yang digunakan

A3: Sabun mandi cair dengan penambahan gel lidah buaya konsentrasi 15% dari soap base yang digunakan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 11-18

Page 29: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 15

Penambahan Gel Lidah Buaya ... (Sukma Budi Aryani)

Gambar 2. Gel lidah buaya

Hasil Uji Gel Lidah Buaya a. pH

pH alami gel lidah buaya bersifat asam adalah antara 4-5 (Padmadisastra, et al., 2013). Sedangkan menurut standar Terry Laboratories, pH gel lidah buaya yakni 3,5 sampai 4,5. Pada Tabel 1., pH gel lidah buaya yang diperoleh adalah 4,33 (memenuhi standar Terry Laboratories).

b. Saponin, Lignin dan AntrakuinonLidah buaya (Aloe vera (L.) Webb.)

memiliki banyak manfaat yakni sebagai sumber penghasil bahan baku untuk aneka produk industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Lidah buaya memiliki kandungan saponin yang mempunyai kemampuan untuk membersihkan dan bersifat antiseptik. Pemanfaatan lidah buaya sebagai bahan pembuatan sabun, tidak hanya mampu membunuh bakteri, tetapi juga dapat melembutkan kulit. Hal ini disebabkan karena adanya lignin yang berguna untuk menjaga kelembaban kulit serta menahan air di dalam kulit, sehingga tidak terjadi penguapan yang berlebihan (Gusviputri, et al., 2013).

Dilihat pada Tabel 1., diperoleh kadar saponin, lignin dan antrakuinon dalam gel lidah buaya masing-masing sebesar 977,91 mg/kg, 11,58% dan 126,81 mg/kg. Saponin larut dalam air membentuk buih seperti buih sabun, hal ini disebabkan karena saponin mempunyai amphiphilik. Saponin untuk obat luar biasanya bersifat membersihkan. Saponin memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan

mikroorganisme (Robinson, 1995) sedangkan senyawa antrakuinon mempunyai beberapa macam fungsi yaitu antiseptik, antibakteri, antikanker, dan pencahar (Rohyani, et al., 2015).

Saponin merupakan glikosida yang larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis, jadi mekanisme kerja saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang mengganggu permeabilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida (Darsana, et al., 2012).

Antrakuinon merupakan suatu antimikroba yang berspektrum luas. Lidah buaya mengandung beberapa glikosida antrakuinon (aloin, aloe-emodin dan barbaloin). Aloe-emodin bersifat bakterisidal terhadap Sreptococcus mutans. Salah satu mekanismenya adalah dengan menghambat transfer elektron pada rantai pernapasan mitokondria (Rahardja, et al., 2010).

c. Asam AminoDilihat pada Tabel 1., gel lidah buaya

memiliki kandungan 18 jenis asam amino. L-serin adalah jenis asam amino dengan kandungan terbesar dalam gel lidah buaya yakni sebesar 249,3 ppm.

Sabun Mandi Cair yang Diperoleha. Uji Organoleptis/ Keadaan

Hasil uji organoleptik sabun mandi cair yang diperoleh memiliki warna jingga jernih, pengaruh dari warna minyak kelapa yang digunakan. Bentuk sabun mandi cair yang dihasilkan berupa cairan homogen. Dari segi bau, bau yang ditimbulkan yaitu bau khas seperti minyak kelapa.

b. pHpH sabun mandi cair yang diperoleh

masih dalam batas standar sesuai SNI 06-4085-1996 yakni 8-11. Semakin banyak gel lidah buaya ditambahkan pada sabun mandi cair, akan sedikit menurunkan pH sabun yang diperoleh karena sifat gel lidah buaya

Page 30: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan16

yang asam. Penurunan yang terjadi tidak signifikan terlihat dari hasil pH yang diperoleh. pH sabun cair yang diperoleh berkisar pada pH 9 (bersifat basa). Hal tersebut karena pembuatan sabun cair menggunakan KOH. KOH bersifat basa kuat.

c. Alkali BebasAlkali bebas menunjukan banyaknya

logam Alkali yang tidak tersabunkan dalam VCO pada proses saponifikasi, sehingga masih dalam bentuk logam alkalinya (Predianto, et al., 2017). Pada penelitian ini, VCO diganti dengan minyak kelapa. Pengujian alkali bebas diperlukan untuk mengetahui seberapa banyak logam alkali yang tidak tersabunkan, karena nantinya akan berpengaruh pada kualitas sabun mandi cair itu sendiri. Hasil penelitian alkali bebas sabun mandi cair yang diperoleh menunjukkan kadar alkali bebas sebanyak 0 %, dapat dilihat pada Tabel 2.

d. Bahan AktifBahan aktif yang diukur adalah

jumlah senyawa dalam sabun yang tidak tersabunkan (Predianto, et al., 2017). Hasil penelitian sabun mandi cair menunjukan kadar bahan aktif dalam sabun cair yang tertinggi adalah sebesar 9%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk bahan aktif dalam sabun mandi cair yang diperoleh belum memenuhi SNI 06-4085-1996 yang ada yakni minimal 15%. Untuk menaikkan bahan aktif agar memenuhi SNI 06-4085-1996, dalam pembuatan sabun cair, dapat ditambahkan minyak yang mengandung asam lemak oleat seperti minyak zaitun, rice bran atau canola. Asam lemak oleat ini berfungsi untuk menambah kelembaban kulit. Penambahan konsentrasi gel lidah buaya saat proses pembuatan sabun cair dapat juga dilakukan untuk menambah total bahan aktif dalam sabun mandi cair.

e. Bobot JenisBobot jenis sabun mandi cair yang

dihasilkan dari penelitian ini adalah 1,03-1,08, dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil ini menunjukkan bahwa bobot jenis dari sabun mandi cair yang diproduksi masih memenuhi standar SNI 06-4085-1996, yakni berkisar antara 1,01-1,10. Pengujian bobot

jenis penting untuk dilakukan karena dapat menentukan apakah suatu zat padat dapat bercampur atau tidak dengan zat lainnya, maka akan mempermudah dalam formulasi sabun.

f. Angka Lempeng TotalHasil uji angka lempeng total

pada sabun mandi cair yang dihasilkan dari penelitian ini menunjukkan sedikit pertumbuhan mikroorganisme dalam sabun yakni sebesar < 25 koloni/gram. Hal ini menunjukkan bahwa sabun mandi cair yang diperoleh relatif higienis dari mikroorganisme yang dapat membahayakan konsumen. Hasil uji angka lempeng total pada sabun mandi cair dalam penelitian ini memiliki angka cemaran mikroba yang memenuhi standar SNI 06-4085-1996 yakni kurang dari 1x105 koloni/gram.

Uji Daya Hambat Escherichia coli Bakteri E. coli merupakan salah satu

jenis kelompok bakteri yang kehadirannya sangat dihindari pada suatu benda yang berhubungan dengan manusia. Sejak diketahui bahwa jasad renik tersebut dapat tersebar pada semua individu, maka analisis bakteriologi air minum ditujukan pada kehadiran mikroorganisme tersebut.

Pada kondisi tertentu bakteri Escherichia coli menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran kemih, pneumonia dan meningitis pada bayi baru lahir serta infeksi luka dalam. Pemberian antibakteri merupakan salah satu pilihan dalam menangani penyakit infeksi. Namun penggunaan antibakteri yang tidak terkontrol dapat mendorong terjadinya perkembangan resistensi terhadap antibakteri yang diberikan. Adanya resistensi ini dapat menimbulkan banyak masalah dalam pengobatan penyakit infeksi, sehingga diperlukan usaha untuk mengembangkan obat tradisional berbahan herbal yang dapat membunuh bakteri untuk menghindari terjadinya resistensi tersebut. Salah satu tanaman yang secara empiris digunakan sebagai bahan obat yaitu Aloe barbadensis atau lebih dikenal sebagai lidah buaya (Rahardjo, et al., 2017).

Lidah buaya diketahui mengandung emodin antrakuinon yang sebelumnya telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 11-18

Page 31: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 17

Penambahan Gel Lidah Buaya ... (Sukma Budi Aryani)

Antrakuinon bekerja dengan cara menghambat sintesis protein sehingga bakteri tersebut tidak dapat tumbuh dalam media yang terdapat ekstrak lidah buaya. Aloe vera pun terdapat saponin yang mengandung glikosida yang memiliki efek antiseptik (Puteri dan Tiana, 2017).

Hasil sabun mandi cair terbaik diuji daya hambatnya terhadap bakteri Escherichia coli dengan metode cakram dish. Hasil yang diperoleh, sabun mandi cair yang menggunakan gel lidah buaya memiliki daya hambat bakteri Escherichia coli dengan diameter zona hambat rata-rata sebesar 1,85 cm, perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Davis dan Stout (1971) bahwa sampel dengan diameter zona bening 10-20 mm diklasifikasikan respon hambatan mikrobanya termasuk ke dalam ketegori kuat. Hasil uji dengan metode cakram dish dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 3. Hasil pengukuran dengan metode cakram dish

dasar minyak kelapa dan menggunakan gel lidah buaya, berdasarkan hasil uji yang diperoleh, parameter keadaan, pH, bobot jenis, alkali bebas dan angka lempeng total, hasilnya memenuhi SNI sabun mandi cair (SNI 06-4085-1996). Sabun mandi cair yang diperoleh memiliki daya hambat terhadap bakteri Escherichia coli dengan diameter zona hambat rata-rata sebesar 1,85 cm dengan metode uji cakram dish.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih

kepada Kepala Balai dan Kepala Seksi Teknologi Industri Baristand Industri Pontianak, rekan-rekan tim peneliti, dewan redaksi majalah dan semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan tulisan ini dapat diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA1. Agusta, W. Tri, 2016. Optimasi Formula

Sabun Cair Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) Dengan Variasi Konsentrasi VCO dan Kalium Hidroksida. Skripsi. Program Studi Farmasi. Fakultas Kedokteran. Universitas Tanjungpura Pontianak.

2. Ariyanti, Ni Kadek, Ida Bagus Gede Darmayasa dan Sang Ketut Sudirga. 2012. Daya Hambat Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aerus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922. Jurnal Biologi. Volume XVI. Nomor 1. Juni 2012.

3. Darsana, I. G. O., I. N. K. Besung dan H. Mahatmi. 2012. Potensi Daun Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steenis) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli secara In Vitro, Indonesia Medicus Veterinus 2012; 1 ( 3), 337 – 51.

4. Davis. Stout. 1971. Disc Plate Method of Microbiological Antibiotic Essay. Journal of Microbiology. 22(4).

5. Duraisamy, A., V. Krishnan dan K. P. Balakrishnan. 2011. Bioprospecting dan New Cosmetic Product Development: A brief review on the current status. International Journal of Natural Produch Research, p 26-37.

No. Perlakuan Diameter yang terbentuk (cm)

1. Cakram 1 1,9

2. Cakram 2 1,8

Rata-rata 1,85

Gambar 3. Hasil Uji dengan Metode Cakram Dish

SIMPULANGel lidah buaya hasil penelitian

memiliki brix 4-5,5 dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan produk sabun mandi cair. Gel lidah buaya ini mengandung zat saponin, antrakuinon dan lignin yang merupakan bahan aktif yang baik untuk kulit. Produk sabun mandi cair berbahan

Page 32: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan18

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 11-18

6. Gusviputri, Arwinda, Njoo Meliana P.s, Aylianawati dan Nani Indraswati. 2013. Pembuatan Sabun dengan Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai Antiseptik Alami. Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

7. Hartanto, E.S. dan E.H. Lubis. 2002. Pengolahan Minuman Sari Lidah Buaya (Aloevera linn.). Warta IHP/J. Agro-Based Industry.

8. Irmayanti, P. Yunia, Ni Putu Ayu Dewi Wijayanti dan Cokorda Istri Sri Arisanti. 2014. Optimasi Formula Sediaan Sabun Mandi Cair dari Ekstrak Kulit Manggis (Garania Mangostana Linn.). Jurnal Kimia 8 (2), Juli 2014: 237-242.

9. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press.

10. Padmadisastra, Y., Sidik, & Sumi Ajizah. 2013. Formulasi sediaan cair gel lidah buaya (aloe vera linn.) sebagai minuman kesehatan. Simposium Nasional Kimia Bahan alam III, 1-13.

11. Predianto, Herwin, Lydia I. Momuat dan Meiske S. Sangi. 2017. Produksi Sabun Mandi Cair Berbahan Baku VCO yang Ditambahkan dengan Ekstrak Wortel (Daucus carrota). Chem. Prog. Volume 10. Nomor 1. Mei 2017.

12. Puteri, Teresya dan Tiana Milanda. 2017. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe vera L.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus : Review. Farmaka Suplemen Volume 14. Nomor 2.

13. Rahardja, F., Sugiarto Puradisastra, dan Arlene Angelin. 2010. Aktivitas Antimikroba Gel Lidah Buaya (Aloe Vera L.) pada Acne Vulgaris yang Terinfeksi Staphylococcus sp. Secara In Vitro, JKM 2010;10 (1). h. 30-6.

14. Rohyani, I. Suci, Evy Aryanti dan Suripto. 2015. Kandungan Fitokimia Beberapa Jenis Tumbuhan Lokal Yang Sering Dimanfaatkan Sebagai Bahan Baku Obat di Pulau Lombok. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiv Indon. Volume 01. Nomor 02. April 2015. Hal 388-391.

15. Rosdiyawati, Risky. 2014. Uji Efektivitas Antibakteri Sediaan Sabun Mandi Cair Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Pontianak (Citrus nobilis Lour. Var. Microcarpa) Terhadap Staphylococcus aerus dan Escherichia coli. Skripsi. Program Studi Farmasi. Fakultas Kedokteran. Universitas Tanjungpura Pontianak.

16. Shrivastava, S. B. 1982. Soap, Detergent, and Parfume Industry. New Delhi : Small Industry Research Institute

17. Sudarto, Y. 1997. Lidah Buaya. Yogyakarta : Kanisius.

18. Woodroof, J. G. 1979. Coconuts Production, Processing, Products. Second Edition. USA : The AVI Publishing Company, Inc.

Page 33: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 19

DESIGNING FUNCTIONAL BEVERAGES PROCESS : HIGHLIGHTING LESSONS LEARNED FROM RESEARCH AND DEVELOPMENT

Proses Perancangan Minuman Fungsional: Pembelajaran Sekilas dari Penelitian dan Pengembangan

Agus SudibyoCenter for Agro-Based Industry (CABI)

Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 IndonesiaEmail: [email protected]

Abstract In recent times, there has been growing recognition of the key role of foods and beverage in disease prevention and treatment. Rapidly increasing knowledge on nutrition, medicine, and plant biotechnology has dramatically changed the concepts about food, health and agriculture, and brought in revolution of them. Research currently underway at academic, industry and government facilities will reveal how a myriad of substances can be used as functional food components. Thus natural bioactive compounds include a broad diversity of structures and functionalities that provide an excellent pool of molecules for the production of nutraceuticals, functional foods, and food addives. This review attempts to display about research and development of functional beverages and designing functional beverages and the formula for beverage success.

keywords: designing, functional beverages, lessons learned, highlighting, research and development.’

Abstrak Pada waktu sekarang ini, terdapat kecenderungan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap peranan kunci bahan pangan dan minuman dalam perlakuan penanganan dan pencegahan suatu penyakit. Meningkatnya secara cepat pengetahuan pada nutrisi, obat dan bioteknologi tanaman telah merubah secara dramatis terhadap konsep tentang pangan, kesehatan dan pertanian, serta membawa perkembangan yang sangat cepat terhadap ketiga hal tersebut. Penelitian yang dilakukan sekarang ini baik di tingkat akademi, industri dan fasilitas dari pemerintah akan menghasilkan bagaimana berbagai macam suatu senyawa dapat digunakan sebagai komponen pangan fungsional. Dengan demikian, senyawa bioaktif alami termasuk berbagai macam struktur dan sifat fungsional yang dimilikinya menyediakan molekul-molekul yang sempurna untuk memproduksi nutraceutikal, pangan fungsional serta bahan tambahan pangan. Dalam tulisan ini akan membahas tentang penelitian dan pengembangan minuman fungsional serta perancangan minuman fungsional dan formula yang digunakan untuk kesuksesan minuman tersebut.

kata kunci : perancangan, minuman fungsional, pembelajaran, sekilas, penelitian dan pengembangan.

INTRODUCTIONOver the last decade, demand for

“healthy” foods and beverages has increase in many parts of the world (Ozen et al., 2012) and the diffusion of functional foods throughout the market has blurred the distinction between pharma and nutrition (Eussen et al., 2011). The term “functional food” itself was use in Japan, in 1980s, for food products fortified with special constituents that possess advantages physiological effect (Zadik, 2010). Meanwhile, the term “nutraceutical” was coined from “nutrition” and “pharmaceutical” in 1989 by Stephen De Felice, MD, fiunder and chairman of foundation for Innovation in Medicine,

Cranford, New Jersey – USA (Rajat et al., 2012).

Today, researchers have identified hundred of compounds with functional qualities, and they continue to make new discoveries surrounding the complex benefits of phytochemicals (non-nutritive plant chemicals) that have protective or disease preventive properties in food (Rajat et al., 2012). In this regard, functional foods play an outstanding role.

Numerous food products are marketed with enhanced quantities of bioactive food compounds (BFC) and theses products are collectively reffered to as functional foods (Crowe, 2013). Nowadays, the range of

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

Page 34: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan20

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

functional foods includes products such as baby foods, baked goods and cereals, dairy foods, confectionery, ready meals, snacks, meat products, spreads and beverages (Ofori and Hsieh, 2013).

In particular, beverages are by far the most active functional food category, because of : (1) convinience and possibility to meet consumer demands for container contents, size, shape and appearance ; (2) easer to distribution and better storage for refrigerated and shelf-stable products; and (3) great opportunity to incorporate desirable nutrients and bioactive compounds (Corbo et al., 2014).

Given the potential health benefits of bioactive food compounds and the emphasis of product development of functional foods as well as designing foods in their role in preventing lifestyle disorder, so functional foods and beverages formulated with bioactive compounds are being developed with matrices to improve stability, bioactivity and bioavailability (Crowe, 2013). In order to optimization of the production and formulation of functional beverages, many lessons can be learned from the research and development as well as commercial trends.

However, the development and commerce of these product including designing functional beverages is rather complex, expensive and risky as special requirements should be answered (Siro et al., 2008). This development and marketing require significant research efforts. This involves identifying functional compounds and their physiological effects, developing a suitable food matrix, taking into account bioavailability and potential change during processing food/beverages preparation, consumer education and clinical trials on product efficacy in order to gain approval for health-enhancing marketing claims (Kotilainen et al., 2006). Therefore, this article will provide a brief overview of lessons learned from research and development as well as commercial trends of functional beverages, a review of the scientific advances on functional beverages presented, and designing the formula functional beverages for beverages success.

RESEARCH AND DEVELOPMENT OF FUNCTIONAL BEVERAGES

Today, the exploration and exploitation of the disease fighting properties of a multitude of phytochemical found both food and non-food plants have created a renaissance in human health and nutrition research. At the same time, many opportunities for the development of novel dietary products have been created (Ashwini et al., 2013).

Many researchers report that functional foods represent one of the most interesting area of research and innovation in the food (Bigliardi and Galati, 2013), as suggested by the increasing number of scientific papers dealing with this topic since 2007 (Corbo et al., 2013). Numerous plant foods or physiologically active ingredients derived from plants have been investigated for their role in disease prevention and health (Pushpangadan et al., 2014).

Meanwhile, innovation is today’s business mantra. Expert proclaim daily that the only hope for business survival is the ability to continue innovating. In this context the development of new functioanl food or beverages products turn out to be increasingly challenging, as it has to fullfill the consumers expectancy for products that are simultaneously relish and healthy (Betoret et al., 2011). Therefore, a clear orientation towards innovation in adopting a new model followed by a complete strategy of following relevant knowledge and resources, through more extensive structures may lead to the course for innovative functional food/beverage products in the future (Khan et al., 2013).

Beverage do more than quenching thirst. New functional beverages like fortified waters, tea and/or dietary products have increased their convinience, novelty, fun and image, but maintain their status as health drinks (Tiwari et al., 2014). A functional beverage is non-alcoholic drink containing non-traditional constituents like phytochemicals in its formulation (Ahmad et al., 2013).

Generally, the different approaches in the research and development of functional

Page 35: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 21

beverages as follows : (1) Exploitation of phytochemical functionality; (2) Use of fruit and vegetables as ingredients; (3) Use of prebiotic, probiotic and synbiotic; and (4) Optimization of the production and formulation of novel functional beverages (Corbo et al., 2014).

Exploitation of Phytochemicals Functionality

Plant foods contain many bioactive compounds known as “phytochemicals”. Some group of the phytochemicals which have or appeare to have significant health potential are carotenoids, phenolic compounds (flavonoids, phytoestrogens, phenolic acids), phytosterols and phytostanols, tocotrienols, organosulfur compounds, and non-digestible carbohydrates like dietary fibers and prebiotics (Alissa and Ferns, 2012).

It has been suggested that natural ingredientss with strong antioxidant activity could be used to design novel functional beverages (Sun-Waterhouse, 2011). A possible approach relies upon the fortification with polyphenols as they have gained increasing interest due to their beneficial role against certain cancers, cardiovascular disease, type 2 diabetes, obesity, and age-related macular degeneration (Torronen et al., 2012).

Carotenoids have been credited with other health-promoting effects : immune enhancement and reduction of the risk of developing degenerative disease such as cancer, cardiovascular disease (CVD), and cataract (Keinsky and Johnson, 2005). These physiological avctivities have attributed to an antioxidant property, speciality to the ability to quench singlet oxygen and interact with free radicals (Alissa and Ferns, 2012). The carotenoids, particularly lycopene and beta-carotene, are the dietary antioxidant that function to reduce oxidative stres in vivo and blood markers of inflammation (Engelhard et al., 2006).

Phenolic compounds, which are highly researched for their antioxidant and anti-inflammatory activities, have a basic structure containing at least one aromatic ring with several hydoroxyl groups (Crowe,

2013). In general, these compounds are relatively stable in comparison to other secondary plant metabolites such taht they are easily degraded during food processing and digestion (Stinco et al., 2013).

However, in some foods, polyphenols exist as conjugates with proteins resulting in soluble and unsoluble protein-polyphenol complex which have a stabilizing effect on polyphenol (Bandyopadhyay et al., 2012). As results of this effect, protein-rich ingredients are being investigated for the potential to bind phenolic compounds and increase stability in developed functional food or beverages (Crowe, 2013).

There are approximately 8,000 different classes of polyphenols, the most important being flavanols, flavones, flavan-3-ols, flavanones and anthocyanins (Das et al., 2012). About 1,000 compounds having the polyphenol structure, with hydroxyl groups within aromatic rings have been identified in higher plants and about 100 polyphenols in edible plants (Servili et al., 2011). Dietary polyphenols are current interest because substancial evidence in vitro have suggested that they can affect numerous cellular process like gene expression, apoptosis, platelet aggregation, intercellular signaling, taht can have anticarcinogenic and antiatherogenic implication (Pusphangadan et al., 2014).

Some interesting sources of phenolics are cocoa, Hibiscus flower extract, Zingiber (Zingiber officinale) and green tea; and also fruits such as apple, blueberry, and strawberry (Gunathilake et al., 2013 a). In addition, the potential of some medical plants has been investigated. For instance, feverfew (Tanacetum parthenium) has been used as a source of nutraceuticals in the manufacture of functional beverage with anti-inflammatory properties (Marete et al., 2011).

Plant-derived flavonoids are the most common group of polyphenols in human diet, and are contained in vegetables and fruits as well as in beverages such as cocoa, tea and wine. Some isoflavones like lignans are phytoestrogens, a group of non-steroidal plant constituents that elicit estrogen-like biological response (Alissa and Ferns, 2012).

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

Page 36: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan22

Cocoa and chocolate (dark chocolate) is a flavonoid-rich food that has been recently investigated for its possible role in the prevention of cardiovascular disease and may reduce oxidative stress on LDL (low density lipoprotein) cholesterol (Galleano et al., 2009). In healthy adults, drinking flavonid-rich cocoa may improve no-dependent vasorelaxion and flow-mediated dilation in brachial arteris (Alissa and Ferns, 2012).

Tea contains three type of polyphenol flavonoids : catechins, theaflavine and quercetin. The potency of the polyphenol is determined by the varying process used in tea manufacturing. For example, white and green tea typically receive the least processing, therefore, their naturally occuring catechins are preserved with greater efficacy (Tiwari et al., 2011). Tea extracts formulated for high polyphenol content can contain the greatest amount of beneficial substance; because they are highly concentrated formulations (Heck and de Mejia, 2007).

A systematic review of the effectiveness of different flavonoid subclass and flavonoid-rich foods cardiovascular disease (CVD) concluded that some flavonoid-rich foods; including chocolate or cocoa, red wine or grape, and green or black tea may have some measurable effects on CVD risk factors, including a reduction in blood pressure and a favourable influence on endothelial function (Hooper et al., 2008). Nevertheless, there are still exist uncertainty as to whether or not flavonoids are the only bioactive compounds mediating the enhanced vascular reactivity.

Use of Fruits and Vegetables as Ingredients

A promising future could be the use of fruits and vegetables as a source of active ingredients to produe functional beverages. Using fruits and vegetables as ingredients for beverages means using a marketing advantage based on the aura of health surrounding the fruit and vegetable (Tiwari et al., 2011).

Food processing of fruits and vegetables have been long considered as a matter treatment, exploitation and exploration,

investigation, formulation and product development of functional foods, due to their role in maximising the functional benefits of plants food. Nowadays, the urgent demands for maintaining sustainable food production and at the same time delivering high quality products with an added functionality to prevent life-style related diseases such as cancer, obesity, diabetes, heart disease and stroke; this lead to valorization as source of bioactive compounds (Galanakis, 2013).

One approach was proposed by Wang and Bohn (2012) and consisted in the recovery of bioactive compounds or bioactive ingredients from functional food/beverage processing, and their addition to provide a greater amount and variety of functional foods, beside the traditional natural products. According to the authors, the modern way of food processing aims at preserving native bioactive ingredients in the raw food as much as possible.

Fruits and vegetables are well recognized functional foods or beverages, however, their beneficial ingredients also can be extracted, purified and use as dietary supplements, or after addition to different food product exert an added dietary value. However, these methods of a simple addition may results in unwanted and negative change of sensory and structure of food products. With the aid of novel processing technologies (such as microencalsulation), these effects could be minimized or avoided, e.g. through micro-structural modifications (Palzer, 2009).

Currently, research activities in micro structure design for process modelling in mouth behaviour and other sensorial characteristics, such as, taste development or physical sensation are building up support data for theses functionality studies (Wang and Bohn, 2012).

In the production of plum juice or plum pulp, the skins are waste containing large amounts of polyphenols, which could be recovered for the production of beverages with enhanced polyphenol content and anti-oxidant activity (Corbo et al., 2014). In industrial setting, the plum skin extract could be concentrated or dried to provide a

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

Page 37: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 23

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

functional ingredient, not only for plum nectars but also for other functional beverages such as fruit juice-based beverages and flavored iced teas (De Beer et al., 2012).

Several researchers have been endeavored to incorporate minerals, vitamins and fatty acids into edible film and coating formulations to enhance the nutritional value of some fruits and vegetables, where these micronutrients are present in low quantities (Betoret et al., 2011). They reported that the addition of ascorbic acid (1% w/v) to the alginate and gellen based edible coatings helped to preserve to natural ascorbic acid content in fresh-cut papaya, thus helping to maintain its nutritional quality throughout storage. Meanwhile, Corte’s et al., (2007) developed apple products enriched with vitamin E (100% IDR/200 g fresh apple) and evaluated the self-life of the products, after drying at 40oC in function of color, texture and the stability of vitamin E at the storage condition.

Baobab (Adendonia digitata) has a long histrory of traditional used in Ancient Egypt as treatment against fever, dysentry, and bleeding wounds, and it has a long history of nutritional and medical use in Africa (Tiwari et al., 2011). The pulp rich in vitamin C is used today to make drinks because of it dissolves easily in water and has a pleasing taste. Fermented milk drinks and iced drinks using the pulp also popular (Joulin et al., 2004). Baobab pulp can be used in soft drink, natural fruit smoothies, fruit fillings, jams, sauces, pudding and deserts. Clearly, the possibilities for product development using Baobab fruit pulp are numerous (Pacheco-Palencia et al., 2008).

Some research has been conducted on the fortification of functional beverages with minerals and vitamins. For example Xie and Zhao, 2007 developed calcium and zinc fortification of fruit using vacuum impregnation processing of high fructose corn syrup solution containing calcium and/or zinc in fresh- cut apples, strawberry slices, and whole marionberry (Betoret et al., 2011). Vacuum impregnation has been considered as a useful way to introduce desirable solutes into the porous structure of foods,

conveniently modify their original composition as an implement for development of new products.

Developing a new beverage based on vegetable, which can meets consumer demands and increase vegetable consumption has been proposed by Profir and Vizineanu (2013) to responses of consumers to the sensory properties of beverages. According to these authors, sensory analysis is an important instrument for development of new functional products. Application of principal component analysis can selected the most important variables an increase the accuracy of sensorial evaluation.

Another well-known and populer fruit, Morinda citrifolia is recognized as a novel food ingredient under the name of the Noni fruit puree (EFSA, 2009). Despite of the prover in vivo safety Tahitian Morinda citrifolia as food ingredient, yet, the unpleasent taste of its puree might restrict its use as preservative (Nathan et al., 2012). Interestingly, the addition of maltodextrin to the Morinda citrifolia pulp powder, as well as to the spray dried seedless fruit powder, succesfully eliminated M. citrifolia bd smell and unpleasant taste (Fabra et al., 2011).

Use of Prebiotic, Probiotic and Synbiotic Fermented dairy products are

generally good food matices for development of functional foods, but the consumption of these products is limited due to growing vegetarianism and the large number of individuals who are lactose intolerant or cholesterol-restricted diets (Martins et al., 2013). Therefore, a clear orientation toward innovation in adopting a new model followed by a complete strategy of following relevant knowledge and resources through extrusive structures may lead the course for innovative new functional food products in the future.

More recently, some research has been carried out on the fortification of functional beverages with prebiotics. A prebiotic is “ a selectively fermented ingredients, or a fiber that allow specific changes, both in the composition and/or activity of the gastrointestinal microflora, resulting conferring benefits on the well being

Page 38: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan24

and health of host” (Douglas and Sanders, 2008). An intake of prebiotics can modulate the gut microbiota by increasing the number of specific bacteria and thereby changing its compositions (Pravest, 2012).

Some examples of prebiotic compounds that commonly used in human nutrition as short-chain carbohydrates are include : Lactulose, galacto-oligo-saccharides (GOS), fructo-oligo-saccharides (FOS), inulin and its hydrolysates, malto-oligo-saccharides and resistant starch (Raghuveer and Tandon, 2009). Inulain and oligo-fructose, non-digestible fermentable fructons, are amongs the most studied and well established prebiotics. Beside being prebiotics, these compounds have shown to increase calcium absorption, thus improve both mineral content and bone mineral density (Bosscher et al., 2006).

Many studies have demonstrate the potentially extensive impact of prebiotics on the composition of the gut micro biota, stimulating directly and indirectly putative beneficial gut commercial than lactic acid bacteria. Consequently, these findings open other exciting areas of research for the discovery of new prebiotic strains and symbiotic combinations (El Sohaimy, 2012).

Soluble fibers such as FOS, beta (β)-glucans, and inulin has succesfully been added to functional beverages. The beneficial physiological effect of soluble dietary fibers seems to be closely related to increase in the viscosity of gastro intestinal tract’s content, that, in turn, reduces the rate of gastric emptying and nutrient absorption by profusely increasing the unstirred layer in the small intestine (Paquet et al., 2014). Therefore, the addition of dietary fiber into a diet through the use of functional beverages is challenge a great concern in the area of nutritional deficiencies.

Meanwhile, probiotic, according to a consensus definition, are “living microorganism, which upon ingestion in certain numbers, exert health benefits beyond inherent basic nutrition” (De Frese and Schrezenmeir, 2008). Probiotics generally included the following categories of bacteria, i.e. Lactobacilli, gram positive

cocci and Bifidobacterium families of bacteria (Pusphangadan et al., 2014).

Several authors studied the probiotic strain survival under simulated gastro intestinal condition (Mokarram et al., 2009) and similarly for liquid based products as dairy products. Subsequently, Weinbreck et al., (2010)., evaluated the use of microencapsulation to maintain probiotic Lactobaccillus rhamnosus GG (LGG) viability during exposure to detrimentally high levels of water activity in order to lenghthen the shelf-life of probiotic bacteria in dry products such as infant formula powder.

At present, probiotics and their effect on human health have been demonstrated both within different food matrices and as a single or mixed microbial culture preparations. For example, an extensive research and development activity concerning probiotic resulted in a great number of special new dairy products (e.g. Synbiofin drinking kefir, Synbioghurt drinking yoghurt; Huncult fermented drink, Milli Premium sour cream; Aktivit quark dessert, New Party butter cream, and Probos cheese cream) (Szakaly, 2007).

By elucidating the mechanisms of probiotics and prebiotics, scientists can design enhanced functional food tailored to improve host health (Delphine et al., 2009). To design of synbiotic products (the synergistic combinations probiotics and prebiotics) in the new chalenge for functional beverages, as prebiotics could enhance and/or improve the viability of probiotic bacteria and actively stimulate the beneficial microbiota in the gut (Wang et al., 2012).

For examples, Nazzaro and his coleageus (2008) that cited by cited by Corbo et al., (2014); they have designed a functional fermented carrot juice beverage with Lactobaccillus rhamnosus OSM 201711 and Lactobaccillus bulgaricus ATCC 11842 supplemented with inulin and FOS. Another example, Brajdes and Vizireanu (2013) reported that inulin induced better stress resistance in L. plantarum, as compared to glucose, whereas the adhesion of probiotics to the surface of enterocytes and mucosal cells through self-assembly and co-aggregation is about 10 times higher.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

Page 39: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 25

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

Due to the fact that prolongation of shelf-life is a great challenges for functional beverages, some researchers have tried to improve the viablity of probiotics (Corbo et al., 2014). Many approaches have been proposed, like a modification of the atmosphere of the product based on the increase of the content of CO2 in the headspace, which might have an impact on the survival of microaerophilic and anaerobic bacteria (Walsh et al., 2014).

Optimization of the Production and Formulation of Novel Functional Beverages

Recent technological advances and development of new methods to improve the production, detection, separazation, and/or characterization have revolutionized the screening of natural bioactive compounds and provided an opportunity to obtain natural extracts that could be potentially used (Wang and Weller, 2006). Examples of these technologies include mainly metabolic engineering and method to optimize the molecular spices. In addition, extraction process for separation of compounds have been developed to obtain highly purified products, rendering them useful in wide range of applications (Gil-Chavez et al., 2013).

Formulation and blending constitutes a simply and cheap technology to develop new functional food development and has been widely use in food processing (Betoret et al., 2011). A critical topic is the study of interactions that might occur when some ingredients are mixed together, as their functionality may be lost or reduced by reactions leading to precipitation formation, oxidation, insolubility, or degradation (Sun-Waterhouse, 2011). For example, it has been observed that milks affects the flavor metabolisms pathways by increasing sulfation in healthy subjects (Rodriguez-Roque et al., 2014). Another example, it has been reported that functionality and bioavailability of bioactive compounds are strong affected and determined by their chemical properties, in terms of solubilazation and depolymerization (Lesmes and Mc. Clements, 2009). Therefore, it is important to

define the “optimal dosage” of the compound, namely the content high enough to exert health benefits, without hazardous effects or undesirable interactions with other functional foods and nutraceuticals (Corbo et al., 2014).

The application of Novel technologies could make possible the production of functional beverages (Ofori and Hsieh, 2013). For example, many dairy products contain active ingredients like soluble fiber, but some compounds in this group could have deleterious effects on texture, in this sense 2 (two) approaches could be used, searching for low-viscosity and nutritionally relevant fiber source, or adding specific hydrocolloids (Praquet et al., 2014) or enzymes (Nionelli et al., 2014).

Some enzymes such as cellulase, β-glucosidase, xylanase, β-gluconase and pectinase help to degrade cell wall structure and depolymerize plant cell wall polysaccharides, faciltating the release of linked compounds (Chen et al., 2010). Hence these enzymes have been proposed as a tool to optimises the extraction of compounds from plant matrix (Wang et al., 2010).

Subsequently, Paquet et al., (2014) proposed the latter approach fruit juices enriched with β-glucan. These products could experience a significant decrease in viscosity during heat processing (pasteurization), while juices supplemented with a mixture of β-glucan and xanthan gum remain stable and effectively would reduce the human glycemic response. Moreover, Nionelli et al.,(2014) reported the prospect of 2 enzyme preparations containing xylanase, endogluconase, β-glucanase, and ferulic acid esterase (Depol 740 L) and α-amylase (Grindamyl) activities to improve the technology and nutritional features of cereal matrices having a high content of fibers. While, Singh et al., (2015) reported the enzyme naringanase (composed of α-L-rhamnosidase and β-D-glucosidase) activities could optimized and produced debittered kinnow beverage or citrus fruit juices.

Recently, beverages based on fruits, vegetables, cereals, and soybeans have been proposed as a new products

Page 40: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan26

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

containing probiotic strains, particularly, fruit juices have been reported as a novel and appropriate medium for probiotic as the content of essential nutrients (Perricone et al., 2015). However, adding probiotic to the juices is more complex than formulating in the dairy products because the bacteria need protection from acidic conditions in the fruit juice (Tiwari et al., 2011). Therefore, juice fortification with prebiotic microoganisms as a challenge and a frontier goal, as juices could combined nutritional effects with the added value of healthy benefits from a probiotic (Perricone et al., 2015).

Different authors proposed succesful strategies to improve the survival of probiotic in juices. For example, Perricone et al., (2014) succesfully tested this kind of approach; they evaluated the viability of Lactobaccillus reuteri DSM 20016 in pineapple, orange, green apple, and red fruit juices, and found that probiotic experienced a strong viability loss in red fruit juice, due probably to a combined effect of low pH and phenols. They used two different strategies : strain cultivation in a lab medium containing different amount of red fruit juices (up to 50%) or added with vanillic acid (phenol stress) or acidified to pH 5.0 (acid stress). These approached resulted in prolongation of the viability of Lactobaccillus reuteri by 5 days (phenol stress) and 11 days (pH stress). Saarela et al., (2011) improved the survival of Bacillus breve is blended juice (orange-grape and passion fruit) generating an acid tolerance variant of the microorganism by UV mutagenesis, combined with cultivation at sub-lethal pHs.

The supplementation of probiotics to cereal-based matrices may also require special technologies because of the acidic conditions. A possible approach is microencapsulation (ME), successfully applied using various matrices to protect the bacterial cells from the external environment (Granato et al., 2010). For example, an increased of viability was reported by using the micro-encapsulation of Lactobaccillus plantarum in sapodilla, grapes, orange and watermelon juices, and maintained the probiotic at 7 log CFU/ml or more for one

month (Ganappriya et al., 2013). Similarly, the encapsulation in alginate-inulin-xanthan prebiotic gum significantly enhanced cell viability of Lactobaccillus acidophilus DSM 20079 (Nazzaro et al., 2009).

DESIGNING FUNCTIONAL BEVERAGES AND THE FORMULA FOR BEVERAGE SUCCESS

The human diet undergoes traditionally changing both in nutritional composition and preparation methods and this circumstances require linking the understanding of health beneficial nutrition to the development of novel food products. As human developed on natural diet on the basis of a hunter and gatherer society, the sourcing and preparation of suitable food was the major activity on a day-to-day basis (Wang and Bohn, 2012).

According to desired products, several production steps are necessary in order to produce a food product from raw ingredients, change the physical and chemical apperance of the product, ensure food safety, consistant quality, shelf-life and supply. By definition, functional foods are food products, both natural occuring or processed food, which contain bioactive compounds with a functionally beyond the essential daily nutritional requirements to improve human health (Wang and Bohn, 2012). Therefore, when considering the aspect of functional food development, one need to understand the food structure and related product characteristics; as the structure primarily determines the behaviour of food within the human gastrointestinal (GI) tract (Lesmes and Mc. Clements, 2009).

Designing Functional BeveragesDesigning functional foods (include

beverages) are the food similar in apperance to conventional food consumed as part of the usual diet which contains biologically active components which demonstrated physiological benefits and offers to potentials of reducing the risk of chronic disease beyond basic nutritional functions (FAO, 2004). Another word, designing functional foods or beverages are the processed foods that

Page 41: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 27

supplemented with food ingredients naturally rich in disease preventing substances; this may involve genetic modification of food. Based on this new knowledge, it was known in better position to design new and healthier foods reducing the several chronic or infectious diseases (Manjula and Suneetha, 2011).

There are a number of technical approaches in designing foods or beverages with bioactive compounds that should be considered, i.e. product formulation, novel processing and modification of raw materials (Manjula and Suneetha, 2011).

Product formulation – This includes incorporation of functional ingredients into foods (e.g. fortification, reformulation, to increase levels of ingredients such as probiotics, phytochemicals, etc.) as well as reformulating foods to contain lower levels of potentially harmful components (e.g. reducing fats). Formulation and blending constitute a simply and cheap technology to develop new functional foods or beverages; and it has been widely used in food processing (Betoret et al., 2011).

The fortification of foods or beverages is well established production method and can be found in application in numerous products; for example breakfast cereals with added with vitamin (e.g. folic acid), minerals or fruit juices fortified with omega-3-fatty acid (Wang and Bohn, 2012) or fruit juices fortified with β-glucan could protect Lactobaccillus rhamnosus during refrigerated storage (Perricone et al., 2015).

Whereas, Novel Processing – Enhancing the functionality of food by fermentation, by heat or enzyme process or by novel processing to increase the availability to the body of components already present in the food. The novel technologies differ from the traditional food processing methods and have certain advantages in their capacity to prevent the inactivation of bioactive ingredients (Wang and Bohn, 2012). Fermentation is a process where foods are produced with the aid of microorganism that process enzymes such as amylases, proteases, and lipases that hydrolize the polysaccharides, proteins and lipids present

in food into products with enhanced flavor, aroma and texture. Fermentation exerts its desired effect through the in situ production of high levels of specific beneficial bioactive compounds, the removal of underirable compounds, or the coversion of these undesirable compounds into desirable compounds (Hsieh and Ofori, 2007).

Clearly, there is a number of parameters and variations that need to be measured, control and experimented with to determine the optimum conditions for fermentation, and proven to be consistent following up-scaling. Automated process such as control nutrient availability and stirring can influence efficiency of the fermentation (Mash et al., 2014).

Enzymes, which find numerous applications in the food industry, are bio-catalyst that catalyst metabolic reactions in living organisms. Enzyme usage is well established in many sectors in the food industry, particularly in the dairy, fruit and wine, distilling, and brewery industries (Hsieh and Ofori, 2007). The versantily of enzymes to catalyze a variety of process for the production of natural bioactive compounds represents an interesting approach to be further exploited in terms of its activity, robustness and efficiency (Gil-Chavez et al., 2013). More recently, enzyme usage in food processing has begun to drift from their traditional uses towards providing food products with health and nutritional benefits.

Subsequently, Modification of Raw materials – untill recently, this involved using conventional breeding/selection techniques to enhance the properties of plants and animals. In cases, where agronomic and breeding approaches can not achieve significant improvement of food products, biotechnology offer a useful alternative (Zhao and Shewryl, 2011).

Biotechnology uses biological systems, living organisms, or components of organisms to make or to modify products or processes for uses (Hsieh and Ofori, 2007). In the area of agriculture, biotechnology has been employed to provide healthier and nutritionally improved crops through an increase in the bioavailability of micro – and

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

Page 42: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan28

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

macronutrients, the removal of allergens and antinutritive components, and by increasing the antioxiant content. As an example of the use biotechnology to increase the bio-availability of a macronutrient, researchers are investigating methods that could improve the manipulated enzymes obtained form genetically modified microorganism to boost their thermal stability, thus enabling them to with stand severe processing conditions (Hasan et al., 2006).

The entry of genetically modified organism (GMO) into the food supply offer the potential for increased crop productivity and improved nutritional value that directly benefits for human health and well-being (Ofori and Hsieh, 2013). More recently, the advent of genetic engineering has led to the development of a wide range of genetically modified (GM) foods, and crops with enhance functional components are a major priority of current research (Manjula and Suneetha, 2011). Now scientist are using genetic or metabolic engineering to increase crop yields and certain nutrients (like vitamins, minerals, and essential amino acids or fatty acids) and medical compounds, or even produce vaccines, antibodies, or medicines that traditionally generated by animals or human body (Zhao, 2007).

The keys to design a second generation of functional beverages, according to Corbo et al., (2014) could be : (1) The identification and quantification of promising bioactive compounds; (2) The standardization of bioactive compounds; (3) The selection starters able to improve bioactive compounds; (4) The application of natural biopreservatives to improve the image of naturalness of the functional beverages; (5) The development and validation of standard methods to enhance and ensure the levels of phytochemicals and other biologically active compounds in raw and processed products; (6) The establishment of proper dosage and delivery systems; (7) The investigation of bioavailability and metabolism of functional ingredients; (8) The study of safety aspects related to functional beverage consumption; (9) The formulation

of the value added products based on traditional fermented beverage; (10) The examination of regulaatory issues; (11) The research on the effect of processing on the functional ingredients; (12) The stability of the products; and (13) The potential interaction of the functional ingredients with prescription and non-prescription drugs and with other classes of ingredients.

Functional Beverage Formulation Although it depends on the individual,

most product developers/designers find it less difficult to formulate a beverage than a food. In addition, although developing beverages has it challenges, there is more opportunity to incorporate exotic ingredients and combinations (Pontiakos, 2013).

For succesful functional beverage development, both consumer needs and opportunities originating in life sciences need to be taken into consideration from the earliest phases (Ares and Gambaro, 2007). As a consequence, the acceptance of a specific ingredients (functional ingredient) is linked to the consumer’s knowledge of the health effect of specific ingredients. Therefore, functional ingredients, which have been in the mind of consumers for a relatively long period (e.g. vitamins, fibers, minerals) achieve considerably higher rates of consumer acceptance than ingredients, which have been used since a short period of time (e.g. flavonoids, carotenoids, selenium, xylitol) (Krygier, 2007; Urala and Lahteenmaki, 2007).

As manufacturers take advantage of the booming functional beverage market and formulators or designer become even more creative; there are certain attributes that must be taken into account. Although it maybe easier to innovate drinks than foods, there a still restrictions in formulating (Pontiakos, 2013).

Some certain attributes that must be taken into account for functional beverages were included : solubility, texture and mouthfeel, flavor, serving size and use levels, and shelf-life (Pontiakos, 2013). Whether dairy drinks, coffee, tea, carbonated soft

Page 43: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 29

drinks, juices, sport drinks, flavored waters, energy drinks or any other beverage, they must meet consumer expectations for taste, texture and mouthfeel, color and stability (Bizzozero, 2015).

Ingredient solubility is obviously the number one property to consider when creating a beverage. For most beverages, including shots, extracts or very small amounts of powders are recommended, and water extracts are best to utilize. However, for thickening or clouder beverages, powder can occasionally by properly incorporated. As thickening agents (allowing the formulator/desinger to obtain the desired viscosity and texture) can suspend the powder and cloudy beverages (such as milk-based coffees and teas) can conceal that powder is not completely soluble.

Texture and mouthfeel : once the type of beverage is determined the texture and mouthfeel of the product should have be identified. Texture can take into account several different attributes, such as viscosity, suspension, mouthfeel, hydration rate and rheology. Texture attributes can be divided into three groups : those you see (visual), those you touch (mechanical) and those that happen in your mouth (oral). Visual attribute include the color and surface appearance of the product both ini and out of the packaging such as chroma and sheen. Mechanical attributes descripe experience of manipulation before eating and fracturability, adhesiveness and resistant to flow. While, oral attributes influence the eating experience and the delivery of flavor components (aromatic and basic taste) with terms of such as mixes with saliva, mouth clearing and cohesiveness (Singer, 2011).

Texture and mouthfeel are usually not affected by botanical ingredients; but as with any food or beverage application. In this case, it still have to be cautious as whether they could improve or worsen the overall appeal of the products (Pontiakos, 2013).

Flavor : Bitterness is usually the major issue when it comes the utilizing natural plant (botanical) ingredient in beverages. The bitterness can be overcome by adding

masking agents and bold flavors, or it can also be minimized by adjusting use levels. The use of sodium gluconate can significantly reduce, and sometimes completely inhibit bitterness of natural zero calorie sweeteners, minerals, and caffeine (Singer, 2011).

Inhibiting or masking bitterness has become a major challenge for beverage formulators/designers with the increasing expectations of consumers relating to healthiness and functionality of beverages. In fact, many person do not like bitter flavor and they like them even less where they do not expect them. For example, coffee drinkers know and expect the impact of caffeine on the taste of their preffered beverage; but the same coffee drinkers can find the same caffeine totally bitter in an energy drink as an energy drink is supposed to provide energy, it is vnot supposed to be bitter.

Flavor beyond sweetness, present unique set of challenges, because flavor agents do more that just add taste to a beverage and they never work alone; they work in teams of flavor agents, emulsifiers, colors (which impact flavor) and more. So it is not simply a matter of taste; its is also a matter of visual appearance and ingredient exclusion (Marrapool, 2015).

Serving size and Use levels : As the main purpose of functional beverage is to provide the consumer with health benefits; it is particularly important for product development to utilize accurate use levels of the beneficial ingredients. Even, if the beverage taste delicious, a consumer will not prchase the product again if they don’t see results; they could find a better testing, less expensive version in a conventional drink.

Shelf-life : Powder beverage mixes typically last longer in terms of active compounds; once actives are dissolved in liquid, they usually degrade a little faster than in powder form. However, formulate or designer are able to include an overage to composate for lost actives with time (Pantiakos, 2013).

Although product development need to keep the overall picture in mind, to formulate the ideal functional beverage each aspect of

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

Page 44: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan30

the drink must be taken into consideration and each of the above steps must be addressed. Therefore, keep in mind that each product development is unique and the order or specifies might be a little different.

CONCLUSIONSResearch currently underway at

academic, industry and government facilities will reveal how a myriad of substances can be used as functional food components. Potential and actual health benefits of bioactive food compounds (components) represent a similar frontier in diet-health research. Many researchers report that functional foods especially functional beverages represent one of the most interesting area of research and innovation in the food and beverage do more than quenching thirst.

Designing and development of functional foods or functional beverages has principally based on the technical approaches like product formulation and blending, novel processing, and modification of raw materials. From the perspective of food and beverage technology, and as well as for as functional beverage products are concerned, the future research lies in novel food processing methods, food or beverage design and understanding the relations bioactive ingredient release, personalized nutrition, and processing technology with improved efficiency.

Beverage designer or beverage maker for develope the formula beverage success should be consider all five aspect formulation options when creating a product, i.e. solubility, texture and mouthfeel, serving size and use of levels, flavor and shelf-life.

The emergence of dietary bioactive compounds with health benefits offers an excellent opportunity to improve public health and thus, this category of bioactive compounds has received much attention in recent years from the scientific community, consumers and manufactures.

REFERENCE1. Ahmad, RS; Butt, MS, Huma, N. and

Sultan, MT. (2013). “Green tea catechin based on functional drink (green cool) improve the antioxidant status of SD rats fed on high cholesterol and sucrose diet”. Pak. J. Pharm. Sci. 26 (4) : p. 721 – 726.

2. Alissa, EM and Ferns, GA. (2012). “Functional foods and nutraceuticals in the primary prevention of cardiovascular diseases”. J. Nutr. Metab. Vol. 2012 (Article 10) : p. 1 -16.

3. Ares, G. and Gambaro, A. (2007). “Influence of gender age and motives underlying food choice or perceived healthiness and willingness to try functional foods”. Appetite, 49 : p. 148 – 158.

4. Ashwini, GC., Vaishali, KS; Sakhare, RS; Ganesh, BO and Digambar, NN. (2013). “Role of Nutraceuticals in various diseases : A comprehensive Review”. Int. J. Res. Pharm. & Chem., 3 (2) : p. 1 -10.

5. Bandyopadhyay, P.; Gosh, AK and Gosh, C. (2012). “Revent development of polyphenols and protein interactions : Effect on tea and coffee taste, antioxidant properties and digestive system”. Food Funct. 3 : p. 592 -605.

6. Betoret, E., Betoret, D., Vidal, D. and Fito, P. (2011). “Functional food development : Trends and technologies”. Trens in Food Sci. Technol. 22 : p. 498 – 508.

7. Bizzozero, J. (2015). “Market watch : The clean-label movement”. Food Product Design., March 2015 : p. 4 – 5.

8. Bligiardi, B. and Galati, F. (2013). “Innovation trends in the food industry : the case of functional foods”. Trends Food Sci. Technol. 31 : p. 118 – 129.

9. Bosscher, D.; Van Loo, J. and Franck, A. (2006). “Inulin and oligo-fructose as functional ingredients to improve bone mineralization”. Int. Dairy J., 16 : p. 1092 – 1097.

10. Brajdes, C. and Vizireanu, C. (2013). “Stability of Lactobacillus plantarum from functional beverage –based sprouted backwheat in the conditions simulating

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

Page 45: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 31

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

in the upper gastrointestinal tract”. Glob. Res. Anal., 2 : p. 7 – 9.

11. Chen, S.; Xing, XH; Huang, JJ and Xu, MS. (2010). “Enzyme-assisted extraction of flavonoids from Ginkgo biloba leaves : Improvement effect of flavonol transglycosylation catalyzed by Penicillium decumbens cellulase”. Enzyme Microb. Technol., 48 (1) : p. 100 – 105.

12. Corbo, MR; Bevilacqua, A., Petruzzi, L., Cassanova, F. and Sinigaglia, M. (2014). “Functional beverages : the emerging side of functional foods – commercial trends, Research and Health implications”. Comprehensive Rev. Food Sci. & Food Safety, 13 : p. 1192 – 1206.

13. Cortis, M.; Osporic, A. and Garcia, E. (2007). “Air dried apple fortified with vit E using matrix engineering”. VITAE , Revista de la Facultad de Quimica Farma Ceutica, 14 (2) : p. 17 – 26.

14. Crowe, KM. (2013). “Designing functional foods with bioactive polyphenols : Highlighting Lessons learned from original plant matrices”. J. Human Nutr. and Food Sci., 1 (3) : p. 1018 – 1019.

15. Das, L.; Bhaumaik, E.; Raychauduri, U. And Chakraborty, R. (2012). “Role of nutraceuticals in human health”. J. Food Sci. & Technol., 49 (2) : p. 173 – 183.

16. De Beer, D.; Steyn, N.; Joubert, E. And Muller, N. (2012). “Enhancing the polyphenol content of a red-fleshed Japaness Plum (Pinus salicina, Lindl) nectar by incorporating a polyphenol-rich extrac form the skins”. J.Food Sci. & Agric., 92 : p. 2741 – 2750.

17. De Frese, M. and Schrezenmeir, J. (2008). “Probiotics, prebiotics, and synbiotics”. Adv.Biochem. Eng. & Biotechnol. 111 : p. 1 – 66.

18. Delphine, MA; Saulnier, K.; Spinler, J.; Gibson, RG and Versalovic, J. (2009). “Mechanisms of probiotics and prebiotics : Considerations for enhanced functional foods”. Curr. Opin. Biotechnol. 20 : p. 135 – 141.

19. Douglas, LC and Sanders, ME. (2008). “Probiotics and prebiotics in dietetic

practice”. J. Am. Diet. Assoc. 108 : p. 510 – 521.

20. EFSA [European Food Safety Authority]. (2009). “Scientific opinion of the panel on dietetic products nutrition and alergies on a request from the European commission on the safety of Morinda citrofolia (Noni) fruit puree and concentrate as novel food ingredients”. EFSA J. , 998 : p. 1 – 16.

21. El Sohaimy, SA. (2012). “Functional foods and nutraceuticals – Modern approach to food science”. World Appl. Sci. J. , 20 (5) : p. 691 – 708.

22. Engelhard, YN; Grazer, B. and Paran, E. (2006). “Natural antioxidants from tomato extract reduced blood pressure in patients with grade-1 hypertension : a double-blind, placebo controlled pilot study”. Am. Heart J. 151 (1) : p. 100e.1 – 100e.6.

23. Eussen, SR; Verhagen, H.; Klungel, OH; Garsen, J., Van Loveren, H., Van Kranen, HJ and Rompelberg, CJ. (2011). “Functional foods and dietary supllement products at the interface betwee pharma and nutrition”. Eur. J. Pharmacol., 668 : p. 82 – 89.

24. FAO [Food and Agricultural Organization]. (2004). “Report of the regional consultation of the Asia Pasific Network for food and nutrition on functional foods and their applications in the daily diets”. Publication 33/2004. FAO, bangkok : pp. 61.

25. Fabra, MJ; Marquez, E.; Castro, D. and Chiralt, A. (2011). “Effect of maltodextrins in the water content-water-activity glass transtitions relation of Noni (Morinda citrifolia, L) pulp powder”. J. Food Eng. , 103 (1) : p. 47 – 51.

26. Gaanappriya, M.; Guhankumar, P.; Kiruththia, V.; Santhiya, N. and Anita, S. (2013). “Probiotication of fruit juices Lactobacillus acidophillus”. Int. J. Adv. Biotechnol. Res., 4 : p. 72 – 77.

27. Galanakis, CM. (2013). “Emerging technologies for the production of nutraceuticals from agriculture by products : A view point of opportunities and challenges”. Food Bioprod. Process. 91 : p. 575 – 579.

Page 46: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan32

28. Galleano, M.; Oteiza, PI and Fraga, CG. (2009). “Cocoa, Chocolate and cardiovascuar disease”. J. Cardiov. Pharm. Vol 54 No. 6 : p. 483 – 490.

29. Gil-Chavez, GJ; Villa, JA; Zavala, FA; Heredia, JB; Sepeelveda, D., Yahia, EM and Gonzalez-Aguilar, GA. (2013). “Technologies for extraction and production of bioactive compounds to be used as nutraceuticals and food ingredients : An overview”. Compreh. Rev. In Food Sci. & Food Safety 12 : p. 5 – 23.

30. Granato, D.; Branco, GF; Nazzaro, F.; Cruz, AG and Faria, JAF. (2010). “Functional foods and non-dairy probiotic food development : Trends concepts and products”. Compreh. Rev. Food Sci. & Food safety 9 : p. 292 – 302.

31. Gunathilake, KDP; Rupasinghe, HPV and Pitts, NL. (2013 a). “Formulation and characterization of bioactive-enriched fruit beverage designed for cardio-protection”. Food Res. Int. , 52 : p. 535 – 541.

32. Hasan, F.; Shah, AA and Hameed, A. (2006). “Industrial application of microbial lipases”. Enzyme Microb. Technol., 39 : p. 235 – 251.

33. Heck, CL and de Mejia, EG. (2007). “Yerna Mate tea (Ilex paraguariensis) : A Comprehensive review on chemistry, health implications, and technological considerations’. J. Food Sci. 72 :. P. R.138 – R.151.

34. Hooper, L.; Kroon, PA and Rimm, EB. (2008). “Flavonoids, flavonoid-riched food, and cardiovascular risks : A meta analysis of randomized controlled trial”. Am. J. Clin. Nutr. 88 (1) : p. 38 -50.

35. Hsieh, YHP and Ofori, JA. (2007). “Innovations in food technology for health”. Asia Pas. J. Clin. Nut., 16 (Suppl. 1) : p. 65 – 73.

36. Joulin, D.; Casazza, A.; Laurent, R.; Portier, D.; Guillamon, N. and Pandya, R. (2004). “Volatile flavor constituents of fruits from southern Africa : Mobola plum (Perinari curatellifolia)”. J. Agric & Food Chem., 52 : p. 2322 – 2326.

37. Khan, RS; Grigor, J., Winger, A. and Win, A. (2013). “Functional food product development – Opportunities and challenges for food manufactures”. Trends Food Sci. & Technol. 30 : p. 27 – 37.

38. Kotilainen, L., Rajalahti, R., Ragasa, C. And Pehu, C. (2006). “Health enhancing foods : opportunities for strengthening the sector in developing countries”. Agricul. & Rural Development Discuss. Paper 30.

39. Krinsky, NI and Johnson, EJ. (2005). “Carotenoid actions and their relation to helth and disease”. Molecular Aspects Med. Vol. 26 No. 6 : p. 459 – 516.

40. Krygier, K. (2007). “Functional foods in Poland”. In Proceedings of the fourth International Funct. Food Net. (FFNet.) meeting on functional foods. Int. Sci. Colloquim on FFNet. June, Montreux- Switzerland.

41. Lattazio, V.; Kroom, PA; Linsalata, V. And Cardinali, A. (2009). “Globe artichoke : A functional food and source of nutraceuticals ingredients”. J. Funct. Foods Vol. 1 Issue 2 (April 2009) : p. 131 – 144.

42. Lesmes, U. and Mc.Clements, DJ. (2009). “Structure-function relationship to guide rational design and fabrication of particulate food delivery systems”. Trends Food Sci. & Technol., 20 : p. 448 – 457.

43. Manjula, K. and Suneetha, C. (2011). “Designer foods – Their role in preventing lifestyle disorders”. Int. J. Food Sci. & Nature, 2 (4) : p. 878 – 882.

44. Marete, EN; Jacquire, JC and O’Riordan, D. (2011). “Ferfew (Tanacetum parthenium) as source of bioactives for functional foods : storage stability in model beverages”. J. Funct. Foods 3 : p. 38 – 43.

45. Marrapool, A. (2015). “The new Drinking culture : Getting your beverages clean-label ready”. Food Product Design, March 2015 : p. 6 – 9.

46. Martins, EMF; Ramos AM; Varzela, ES; Stringheta, PC; Pinto, CLD and Mrtins, JM. (2013). “Products of vegetable origin

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

Page 47: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 33

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

: A new alternative for the consumption of probiotic bacteria”. Food Res. Int., 51 : p. 764 – 770.

47. Mash, AJ; Hill, C.; Ross, RP and Cotter, PD. (2014). “Fermented beverages with health promoting potential : Past and future perspectives”. Trends in Food Sci. & Technol. , 25 : p. 113 – 124.

48. Mokarram, RR; Mortazawi, SA; Habibi Najati, MB and Shahidi, F. (2009). “The influence of multi-stage alginate coating on survivability of potential probiotic bacteria in simulated gastric and intestinal juice”. Food Res. Int. 42 : p. 1040 – 1045.

49. Nathan, TW; Janeal-Yancey, WS; Apple, JK; Dikeman, ME and Godber, RG. (2012). “Noni puree (Morinda citrifolia) mixed in beef pattiest enhanced color stability”. Meat Sci. 91 (2) : p. 131 – 136.

50. Nazzaro, F.; Frantinni, F.; Coppola, R.; Sada, A. and Orlando, P. (2009). “Fermentative ability of alginate-prebiotic encapsulated Lactobacillus acidophillus and survival under simulated gastrointestinal conditions”. J. Funct. Foods 1 : p. 319 – 323.

51. Nionelli, L.; Coda, R., Curiel, JA; Pottanen, K., Gobbetti, M. and Rizzello, CG. (2014). “Manufacture and characterization of a yoghurt-like beverage made with oat flakes fermented by selected lactic acid bacteria”. Int. J. Food Microbiol., 185 : p. 17 – 36.

52. Ofori, JA and Hsieh, YHP. (2013). “Novel technologies for the production of functional foods”. In BioNano-technology : A revolution in food, biomedical and health science, ed. by Bagchi, D, Bagchi, M, Moriyama, H. And Sahidi, F. John Wiley and Sons. New York : p. 143 – 162.

53. Ozen, AE; Pons, A. and Tur, JA. (2012). “Worldwide consumption of functional foods : A systematic Review”. Nutr. Rev., 70 : p. 472 – 481.

54. Pacheco-Palencia, LA; Talcott, ST; Safe, S. and Nertens-Talcott, S. (2008). “Absorption and biological activity of phytochemical-rich extracts form Acal (Euterpe daracea, Mart) pulp and oil in

vitro”. J. Agric. & Food Chem., 56 : p. 3593 – 3600.

55. Palzer, S. (2009). “Food structures for nutrition, health and wellness”. Trends Food Sci. & Technol., Vol 20 issue 5 (May 2009) : p. 194 – 200.

56. Pantiakos, G. (2013). “The formula for beverage success”. Nutraceutical Mag. (May/June, 2013) : p. 66-67.

57. Paquet, E.; Hussain, R.; Bazinet, L.; Limieux, S. and Turgeon, SL. (2014). “Effect of processing treatments and storage conditions on stability of fruit juice based beverages enriched with dietary fibers alone and in mixture with xanthan gum”. Food Sci. & Technol., 55 : p. 131 – 138.

58. Perricone, M.; Corbo, MR; Siniggaglia, M.; Speranza, B. and Bevilacqua, A. (2014). “Viability of Lactobacillus reuteri in fruit juices”. J. Funct. Foods 10 : p. 421 – 426.

59. Perricone, M.; Bevilacqua, A.; Altieri, C.; Sinigaglia, M. and Corbo, MR. (2015). “Challenges for productio of probiotic fruit juices : A Review”. Beverages 1, 2015 : p. 95 – 103.

60. Pravst, I. (2012). “Functional foods in Europe : A focus or health claims”. In Scientific, Health and Social Aspect of the food Industry, ed. by Valdez, B. Intech Publ., Rijeka, Croatia : p. 165 – 206.

61. Profir, AG and Vizireanu, C. (2013). “Sensorial analysis of functional beverage based on vegetable juice”. Acta Biol. Szegediensis 57 (2) : p. 145 – 148.

62. Pushpangadan, P., George, V., Sreedevi, P., Bincy, AJ, Ansar, S., Aswany, T., Ninawe, AS and Ijinu, TP. (2014). “Functional foods and nutraceuticals with special focus on mother and child care”. Annals of Phyto Medicine 3 (1) : p. 4 – 24.

63. Raghuveer, C. And Tandon, RV. (2009). “Consumption of functional foods and our health concern”. Pak. J. Physiol., 5 (1) : 76 – 83.

Page 48: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan34

64. Rajat, S., Manisha, S.; Robin, S. and Sunil, K. (2012). “Nutraceuticals : A Review”. Int. Res. J. Pharm., 3 (4) : p. 95 – 99.

65. Rodriguez-Roque, MJ; Rojas-Grau, MA; Elez-Martinez, P. and Beloso, OM. (2014). “In vitro bioaccessibility of health-related compounds as affected by the formulation of fruit-juice and milk-based beverages”. Food Res. Int., 62 : p. 771 – 778.

66. Saarela, M.; Alakomi, HL; matto, J.; Ahonem, AM and Tynkkynen, S. (2011). “Acid tolerance mutants of Bifidobacterium animalis subslactis with improved stability in fruit juice”. Food Sci. Technol., 44 : p. 1012 – 1018.

67. Servili, M.; Rizzello, CG; Taticchi, A.; Esponsto, S.; Urbani, S.; Mazzacane, F.; Gobbeti, M. and Dicagno, R. (2011). “Functional milk beverage fortified with phenolic compounds extracted from olive vegetation water and fermented with functional lactic acid bacteria”. Int. J. Food Microbiol., 147 : p. 45 – 52.

68. Singer, R. (2011). “New ways for beverage formulators to reduce bitterness and balance sourness”. Jungbunzlaur, Feb 2011 : p. 1-12.

69. Singh, P.; Sahota, PP; Badhra, F. and Singh, RK. (2015). “Optimazation, production and scale-up of debittered kinnow beverage by α-L-rhamnosidase producing yeast”. Emirates J. Food & Agric., 27 (7) : p. 548 – 555.

70. Siro, I., Kapolna, E., Kapolna, B. and Lugassi, A. (2008). “Functional food : Product development, marketing and consumer acceptance – A Review”. Appetite 51 (2008) : p. 456 – 467.

71. Stinco, C., Fernandez-Vazquez, R. And Hernanz, D. (2013). “Industrial orange juice debittering : impact of bioactive compounds nd nutritional value”. J. Acad. Nutr. Diet. 113 : p. 1354 – 1358.

72. Sun-Waterhaouse, D. (2011). “The development of fruit based functional foods targeting the health and wellness market : A Review”. Int. J. Food Sci. & Technolo., 46 : p. 899 – 920.

73. Szakaly, S. (2007). “Development and distribution of functional dairy products in Hungary”. In Proceedings of the fourth international FFNet meeting on functional foods. Int. Sci. Colloquin on FFNet. June, Montreux, Switzerland : p. 89 – 97.

74. Tiwari, R., Tiwari, G. and Rai, K. (2011). “Probiotic novel beverages and their applications”. Systematic Rev. Pharm. 2 (Issue 1) : p. 30 – 36.

75. Torronen, R., Mc. Dougall, GI; Dobson, G., Stewart, D., Matilla, P., Pihlawa, JM; Koskela, A. and Karjalaina, R. (2012). “Fortification of black-current juice with crowberry : impact of polyphenol composition, urinory phenolic metabolites, and postprandial glycemic response in healthy subjects”. J. Funct. Foods 4 : p. 746 – 756.

76. Urala, N. and Lahteenmaki, L. (2007). “Consumer’s changing attitudes towards functional food”. Food Quality and Prefer., 18 : p. 1- 12.

77. Walsh, H.; Cheng, J. and Guo, M. (2014). “Effects of carbonation on probiotic survivability, physico-chemical, and esensory properties of milk-based symbiotic beverages”. J. Food Sci., 79 : p. M.604 – M.613.

78. Wang, L. and Bohn, T. (2012). “Health-promoting Food ingredients and functional food processing (Chapter 9)”. In Nutrition, well-being and Health, ed. by Bouayed, J. Intech Publisher, Rijeka, Croatia : p. 201 – 224.

79. Wang, I. and Weller, C. (2006). “Recent advances in extraction of nutraceuticals from plants”. Trends Food Sci. & Technol., 17 (6) : p. 300 – 312.

80. Wang, S., Zhu, H., Lu, C., Kang, Z., Feng, L. and Lu, X. (2012). “Fermented milk supplemented with probiotics and prebiotics can effectively alter the intestinal microbiota and immunity of host animals”. J. Dairy Sci. 95 : p. 4813 – 4822.

81. Wang, T.; Jonsdottir, R.; Kristinsson, HG; Hreggvidsons, GO; Josson, JO and Olafsdottir, G. (2010). “Enzyme-enhanced extraction of antioxidant

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 19-35

Page 49: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 35

Designing Functional Beverages Process ... (Agus Sudibyo)

ingredients from red algae Palmaria palmata”. IWT-Food Sci. Technol., 43 (9) : p. 1387 – 1393.

82. Weinbreck, F.; Bodnar, I. and Marco, ML. (2010). “can encapsulation lengthen the shelf-life of probiotic bacteria in dry products ?”. Int. Food Microb., 136 : p. 364 – 367.

83. Zadik, Z. (2010). “The functional food era”. J. Pediatric. Endocr. and Metab., 23 (5) : p. 425 – 427.

84. Zhao, FJ. (2007). “Nutraceuticals, Nutritional therapy, Phytonutrients, and Phytotherapy for Improvement of human health : A Perspective on Plant Biotechnology applications”. Recent Patents Biotechnol., 1 : p. 75 – 97.

85. Zhao, FJ and Shewry, PR. (2011). “Recent developments in modifying crops and agronomic practice to improve human helath”. Food Policy, 36 : p. s.94 – s.101.

Page 50: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
Page 51: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 37

Aspek Teknis dan Finansial ... (Amos Lukas)

ASPEK TEKNIS DAN FINANSIAL INSINERASI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI BIOKAR SEBAGAI PUPUK KARBON

Technical and Financial Aspects on Inceneration of Oil Palm Empty Fruit Bunches Into Biochar as Carbon Fertilizer

Amos Lukas 1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono 2) , Imran Rosyadi 3), Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng 5)

Pusat Strategi Teknologi dan Audit Teknologi - BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 1); Pusat Teknoprener dan Klaster Industri - BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 2);

Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT- Jl.MH. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 3);Inkubator Kampus Hijau - Pusat Penelitian dan Pelatihan Teknologi Internasional Dr.Ishenny (P3TDI) 4)

Kota Langsa-Aceh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan–Jl. Prof.Dr.Abdurrahman Basalamah No.28, Makassar 5),

[email protected]

Abstract This paper deal with incineration of the oil palm empty fruit brunches into biochar as carbon fertilizer for planting medium. The inceration process uses carbonized technology at temperature of 400 °F, developed by Ishenny Noor (2015). Application of 22-23% biochar as carbon fertilizer could increase soil carbon content from 0,4 - 0,7% to 2% / Ha, physical and chemical soil quality, ground water storage, fertilizer activity of soil microorganisms, soil nutrients. Application of biochar on rice plantation yielded 10 tons / ha of black rice / Ha, while application on oil palm plantation yielded oil palm fruit bunch of 20 to 40 kg / bunch. Production of biochar from oil palm empty bunches could give an extra profit for a palm oil processing factory by Rp. 471,926,000 a year (with a capacity of 100 tons/hour of the oil palm empty bunches in 24 hour operation a day) with the ROI of 78%/years, and B/C ratio of 1,71.

keywords: incineration, biochar, planting media, empty palm oil bunch waste.

Abstrak Paper ini berkaitan dengan aspek teknis dan finansial insinerasi limbah tandan kosong kelapa sawit (TKSS) menjadi biokar sebagai pupuk karbon untuk media tanam. Proses insinerasi ini menggunakan carbonized technology pada suhu 400°F, yang dikembangkan oleh Ishenny Noor (2015). Aplikasi hasil biokar 22-23 % sebagai pupuk karbon dapat meningkatkan kandungan karbon tanah dari 0,4-0,7% menjadi 2 % /Ha, kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan air tanah, daya simpan pupuk untuk kebutuhan tanaman, kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas perkembang biakan mikroorganisme tanah dan nutrisi tanah. Aplikasi biokar pada sawah padi memberikan hasil 10 ton/ha padi hitam, sedangkan aplikasi pada kebun sawit memberikan hasil tandan buah segar sebesar 20-40 kg/tandan. Produksi biokar dari TKKS dapat memberikan laba ekstra pada pabrik pengolahan sawit sebesar Rp.471.926.000 per tahun (dengan kapasitas 100 ton per jam yang beroperasi selama 24 jam per hari), dengan ROI =78%/ tahun dan rasio B/C = 1,71.

kata kunci: insinerasi, biokar, media tanam, limbah tandan kosong kelapa sawit.

PENDAHULUANTandan Kosong Kelapa Sawit

(TKKS) adalah limbah pabrik kelapa sawit yang jumlahnya sangat melimpah. Setiap pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah Segar) akan dihasilkan TKKS sebanyak 22 – 23% TKKS atau sebanyak 220 – 230 kg TKKS. Apabila dalam sebuah pabrik dengan kapasitas pengolahan 100 ton/jam dengan waktu operasi selama 1 jam, maka akan dihasilkan sebanyak 23 ton (Yunindanova, 2009). Kandungan kompos tandan kosong

kelapa sawit berupa C=35%, N= 2,34%, C/N=15, P=0,31%, K=5,53%, Ca=1,46%, Mg=0,96%, dan air=52%. (Widiastuti dan Panji, 2007), berpeluang untuk dimanfaatkan menjadi biokar melalui teknologi karbonisasi pada suhu 400°F, yang dikembangkan oleh Ishenny Noor. Biokar yang berukuran nano ini mampu berfungsi sebagai media tanam sekaligus memperbaiki kondisi tanah yang layak ditanami.

Proses karbonisasi TKKS dilakukan pada insinerator dengan gasifikasi yang menghasilkan nano biokar sebesar 22–25%

Page 52: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

dari jumlah TKKS yang diolah, dalam waktu 1 (satu) jam berpeluang menghasilkan biokar sebesar 5,06 ton bagi pabrik dengan kapasitas pengolahan 100 ton/jam (Noor, 2015). Hasil uji lapang di sebuah lahan kelapa sawit di Kota Langsa Aceh dalam pemakaian media tanam untuk 1 ha membutuhkan 2 ton biokar. Sehingga dalam 1 jam operasi pabrik sawit berpeluang untuk memenuhi 1 Ha media tanam yang sehat. Hal ini berpeluang memberikan dampak yang besar bagi peningkatan produksi pertanian di Indonesia.

Media tanam adalah wadah atau media tempat untuk menanam dan tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman. Kondisi media tanam harus disesuaikan dengan kondisi tanaman, serta kondisi lingkungan di sekitar. (Fahmi, 2015). Biokar memiliki rongga udara yang dapat menyimpan udara, air dan tempat bakteri hidup artinya secara keseluruhan mampu menghasilkan unsur hara sendiri, artinya dengan penggunaan pupuk organik biokar tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan unsur hara dalam tanah dan tidak memerlukan pupuk kimia lagi.

Menurut Plaza et al, (2016) manfaat penerapan biokar pada tanah antara lain peningkatan kandungan karbon, peningkatan air tanah, retensi nutrisi, peningkatan kapasitas tukar kation, koreksi keasaman tanah, terbentuknya habitat mikroba tanah, dan pengendalian patogen tanaman.

Paper ini berkaitan dengan aspek teknis dan finansial insinerasi limbah tandan kodong kelapa sawit menjadi biokar untuk media tanam. Insinerasi menggunakan carbonized technology yang dikembangkan oleh Ishenny Noor (2015).

MEDIA TANAMMedia tanam yang baik adalah media

tanam yang mampu menyediakan udara yang cukup, memiliki unsur hara yang cukup yang dibutuhkan oleh tanaman (Buckman dan Brady, 1982). Media tanam biokar dari TKKS yang didapat melalui pembakaran pada insinerator DR. Ishenny, memiliki rongga udara sehingga dapat menampung air dan udara yang menyebabkan kelembaban

terjaga baik dan suplay oksigen yang cukup ke akar sehingga akar tanaman cepat tumbuh menembus memanjang ke dalam tanah dan menjadi tempat tumbuhnya mikroba yang mampu mengolah udara menjadi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Biokar sanggup mengikat air dalam jumlah yang cukup karena ukurannya nano, bersifat buffer (penyangga) sehingga untuk menetralisir dan mengadaptasi pupuk yang diberikan pada tanaman. Biokar tidak lapuk sehingga bisa dimanfaatan dalam jangka waktu yang lama, cendawan atau jamur tidak dapat menggunakan sebagai media pertumbuhan, tetapi menjadi media pertumbuhan bagi mikroba tanah yang mampu memanfaatkan unsur udara dan air diproses menjadi unsur hara yang dibutuhkan tanaman ( Anderson et al, 2011).

Media tanam yang baik harus memliki (1) kadar hara tinggi, hara sangat mempengaruhi kelangsungan pertumbuhan mikroorganisme yang ada di dalam tanah (2) kadar pH netral, berkisar antara 6,5 – 7,5, dalam kondisi ini akan lebih banyak menyerap unsur hara dan menjaga keseimbangan mikroorganisme yang terdapat dalam tanah. (3) tekstur lempung, dapat mengikat berbagai mineral (4) sebagai media pertumbuhan mikroorganisme tanah, yang dapat mengurai unsur-unsur yang terkandung dalam tanah agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman, mampu memperbaiki tekstur tanah sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih optimal (5) unsur mineral, memiliki kandungan mineral lengkap yang dibutuhkan tanaman dan (6) cocok untuk berbagai tanaman, media yang baik akan mudah ditanami berbagai jenis tanaman.

INSINERASI TKKS MENJADI BIOKAR Teknologi karbonisasi dengan mesin

DR Ishenny’s telah dioperasikan di Kota Langsa sejak tahun 2016. Insinerator ini menggunakan teknologi radiasi panas atau carbonized technology, pada suhu 400oF sehingga tidak memerlukan bahan bakar minyak atau gas untuk pemanfaatan limbah biomasa menjadi biokar. Insinerator ini tidak menyebabkan polusi udara karena tidak

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 37-42

Page 53: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Aspek Teknis dan Finansial ... (Amos Lukas)

terjadi reaksi oksidasi dimana pembakaran memerlukan bahan bakar dan udara yang cukup banyak (Liu et al, 2012). Mesin ini tidak mengeluarkan bau dari gas ammonia, dioxin, asap dan sulphur dan lainnya. Insinerator ini juga tidak mengeluarkan limbah cair seperti air lindi (leachate).

Gambar 2. Biokar (pupuk arang)

Tabel 1. Spesifikasi Insinerator DR. Ishenny

Gambar 1. Insinerator Dr. Ishenny

Insinerator ini mampu menampung dan memproses limbah TKKS 5 ton per hari dengan waktu operasi selama 24 jam, tanpa memerlukan pengeringan (drying) sebelum diproses. Insinerator Dr. Ishenny mempunyai unit utama yang terdiri dari Insinerator yang berfungsi mengeluarkan radiasi panas dan unit sekunder adalah reactor pemanasan berfungsi untuk terjadinya proses pyrolysis dan gasifikasi dan juga berfungsi memproduksi karbon (biokar) (Lee et al, 2017). Beberapa alat insinerator Dr. Ishenny’s ini sudah terpasang di Aceh, Bogor dan Medan dan merupakan generasi ke-3, desain sederhana, ramah lingkungan, mudah dioperasikan, tidak memerlukan tempat yang luas serta mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Insinerator 205 CM (L) X 101 CM (W) X 160 CM (H)

Reaktor 186 CM (L) X 86 CM (W) X 100 CM (H)

Capacity 5 ton (Wet basis) /day (24 hrs)

Hydro cyclone 2 smoke inlet, capacity: 1 00 L/day

Blower cooler 1 unitCompressor 1 HPWater pump Head

30 m

BOKAR SEBAGAI MEDIA TANAMBiokar yang dihasilkan dari insinerasi

limbah TKKS dengan proses karbonisasi dapat menhasilkan pupuk karbon untuk media tanam yang baik. Ini disebabkan karena biokar mampu: meningkatkan karbon tanah dari 0,4 – 0,7 % menjadi 2% dengan menambahkan 2 ton biokar/Ha. Selain dari itu juga dapat meningkatkan: kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan air tanah, daya simpan pupuk untuk kebutuhan tanaman, kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas fertility mikroorganisme tanah dan meningkatkan nutrisi tanah.

Hasil dari aplikasi pemanfaatan biokar sebagai media tanam; mengembalikan kesuburan tanah pada pH: 7.00-7.50,

Page 54: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 37-42

meningkat kandungan karbon tanah yang kaya oksigen, mampu menyimpan air yang diperlukan tanaman, menghasilkan nitrogen (Urea) melalui proses aktivitas mikroba tanah, meningkat porossitas tanah sehingga akar mampu menembus tanah lebih dalam, meningkatkan hasil pertanian 100%, memperpendek usia panen tanaman

dari 110 hari menjadi 90 hari, meniadakan/minimalisasi penggunaan pupuk kimia, mengurangi serangan hama tanaman, meningkatkan kualitas produk pertanian menjadi kualitas organik, dan dengan demikian meningkatkan pendapatan petani hingga Rp 50 – 100 juta/tahun.

Gambar 3. Desain Mesin Karbonisasi DR. Ishenny (Patented)

Gambar 4. Panen Padi Ciherang di Aceh Tamiang

Hasil ujicoba pemanfaatan bokar sebagai media tanam di beberapa tempat di Aceh pada berbagai tanaman terlihat bahwa: tanaman padi varitas Ciherang di Kabupaten Aceh Tamiang, dapat meningkat menjadi 10 ton/Ha dibanding tanpa biokar hanya menghasilkan 3 ton/ha, bebas hama penyakit serta dapat memperpendek usia

panen 90 hari, padi dengan kualitas organik, harga gabah Rp. 5000/kg (tahun 2017). Padi hitam di tanah bekas timbunan tanah di kota Langsa, Aceh menghasilkan 10 ton / Ha, kualitas organik, bebas hama penyakit dan usia panen 90 hari, harga gabah Rp.10.000 / kg (Tahun 2017).

Page 55: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Aplikasi biokar pada kebun sawit salah satu perusahaan swasta di kota Langsa, Aceh pada umur tanaman kelapa sawit 8 tahun menghasilkan TBS 20-30 kg setiap tandan dibanding tanpa menggunakan biokar menghasilkan TBS 15-20 kg setiap tandan, tahan terhadap serangan hama yang menyerang akar (Ganoderma). Keuntungan lain dari aplikasi biokar di kebun sawit adalah bisa dilakukan tumpang sari dengan tanaman sayuran (kangkung, sawi). Dengan tumpang sari tanaman sayuran di kebun sawit bisa menghasilkan pendapatan Rp. 20 juta per bulan.

ASPEK FINANSIAL PRODUK BIOKARDari aspek finansial produksi biokar

dengan proses karbonisasi menggunakan insinerator Ishenny Noor dengan kapasitas 5 ton TKSS /hari untuk menghasilkan biokar sebanyak 250 kg/hari diperoleh sebagai berikut dengan asumsi harga biokar sebagai pupuk karbon Rp. 5.000,- per kg

- Investasi (unit insinerator): Rp. 305.000.000,-- Biaya operasional/tahun: Rp. 275.318.000,-- Ekstra keuntungan/tahun: Rp. 471.926.000,-- ROI/tahun: 78%- Rasio B/C: 1,71

Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut insinerasi limbah TKSS menjadi biokar, layak untuk diterapkan.

SIMPULAN Aplikasi biokar (yang dihasilkan dari

insinerasi limbah tandan kosong kelapa sawit) sebagai pupuk karbon media tanam, dapat meningkatkan karbon tanah sampai 2%, meningkatkan kualitas fisik dan kimia tanah, meningkatkan daya simpan air tanah, meningkatkan daya simpan pupuk, meningkatkan kandungan oksigen dalam tanah, meningkatkan aktivitas fertilitas mikroorganisme tanah dan meningkatkan nutrisi tanah serta menjadikan pH tanah= 7 – 7,5.

Uji coba biokar pada kebun kelapa sawit di Kota Langsa Aceh dapat menghasilkan 20-40 tandan buah segar per tandan,

Dari aspek finansial produksi biokar dengan kapasitas 5 ton per jam tandan kosong kelapa sawit menunjukkan kelayakan dengan ROI/tahun sebesar 78% dan rasio B/C sebesar 1,7.

Namun demikian, perlu dilakukan pengamatan lanjutan untuk melihat kestabilan nilai pH tanah selama lima tahun.

DAFTAR PUSTAKA1. Anderson, CR., LM Condron, TJ Clough,

M Fiers, A Stewart, RA Hill, RR Sherlock. 2011. Biochar induced soil microbial community change: Implications for biogeochemical cycling of carbon, nitrogen and phosphorus. Pedobiologia-International Journal of Soil Biology. 54, 309-320.

2. Buckman, H., dan Brady. 1982. Ilmu Tanah. PT Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

3. Fahmi, ZI. 2015. Media Tanam sebagai Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya.

4. Lee, XJ., LY Lee, S Gan, ST Gopakumar, HK Ng. 2017. Biochar potential evaluation of palm oil wastes through slow pyrolysis: Thermochemical characterization and pyrolytic kinetic studies. Bioresources Technology. 236, 155-163.

5. Liu, Y., H Lu, S Yang, Y Wang. 2016. Impacts of biochar on rice yield and soil properties in waterlogged paddy for two crop seasons. Field Crops Research 191. 161-167.

6. Noor, I.M. 2015. Sudah Saatnya Memodernkan Pabrik Kelapa Sawit Indonesia Untuk Lebih Kuat dan Mandiri dengan FASTLURR TECHNOLOGY, PT. Noor Amalindo, Jakarta..

7. Plaza, C., B. Giannetta, JM. Fernadez, EG. Lopez-de-Sa, A. Polo, G. Gasco, A. Mendez, C. Zaccone. 2016. Response of different soil organic matter pools to biochar and organic fertilizers. Agriculture,

Aspek Teknis dan Finansial ... (Amos Lukas)

Page 56: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan42

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 37-42

Ecosystems and Environment 225. 150-159.

8. Widiastuti, H dan T. Panji. 2007. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa Jamur Merang (Volvariella Volvacea) (TKSJ) sebagai Pupuk Organik pada pembibitan Kelapa Sawit. Jurnal Menara Perkebunan. Vo. 75(2), hal. 70-79.

9. Yunindanova. 2009. Tingkat Pematangan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Penggunaan Berbagai Jenis Mulsa terhadap Tumbuhan dan Produksi Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentun Mill) dan Cabai (Capsicum annum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. 76 hal.

Page 57: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 43

ANTI-AGING PROPERTIES OF CREAM MADE WITH COCOA POLYPHENOL, ALOE VERA (AloE BARBAdEnSiS) AND SEAWEED (EuCHEmA CoTToni) AS

ACTIVE AGENTSSifat Anti-aging dari Krim Berbahan Aktif Polifenol Kakao, Aloe Vera (Aloe

barbadensis) dan Rumput Laut (Euchema cottoni)

Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28 Makassar 90231Pos-el: [email protected]

ABSTRACTCream made from cocoa polyphenol combined with aloe vera and seaweed has been prepared and its anti-aging properties have been studied. Cream composition consisted of cocoa butter, olive oil, sodium dodecyl sulfate polypropylene glycol, cetyl alcohol and distilled water as the cream base. Cocoa polyphenol, aloe vera, and seaweed were used as active agents to perform anti-aging activity. Anti-aging tests were done in vivo, using male Wistar rats. Anti-aging tests included cream effectivity to protect skin from UV B radiation, which indicated by wrinkle, exfoliation, erythema and skin elasticity. The research showed that skin smeared with cream contained cocoa polyphenol, aloe vera and seaweed has less wrinkle and erythema after being exposed to the UV B lamp for 2 weeks. The cream contained 3 active ingredients (cocoa polyphenol, aloe vera and seaweed) showed less effectivity to protect against exfoliation compared to the cream with only 2 active ingredients (aloe vera and seaweed). However, the skin smeared with a cream containing 3 active ingredients is more resistant to UV B radiation than the non-smeared skin. In addition, the skin smeared with the cream containing cocoa polyphenol, aloe vera, and seaweed showed better elasticity compared to the non-smeared skin.

Keywords: anti-aging, photoaging, cocoa polyphenol, aloe vera, seaweed.

ABSTRAKKrim berbahan polifeol kakao yang dikombinasikan dengan lidah buaya dan rumput laut telah dibuat dan dipelajari sifat anti penuaannya. Komposisi krim terdiri dari lemak kakao, minyak zaitun, sodium dodesil sulfat, polipropilen glikol, setil alkohol dan aquades sebagai basis krim. Polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut digunakan sebagai bahan aktif yang bertindak sebagai anti penuaan. Uji anti penuaan dilakukan secara in vivo, menggunakan tikus Wistar jantan. Uji anti penuaan yang dilakukan meliputi efektifitas krim untuk melindungi kulit dari radiasi sinar ultraviolet B, yang ditunjukkan dengan adanya kerutan, pengelupasan, kemerahan dan elastisitas kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kulit yang diolesi dengan krim yang mengandung polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut menunjukkan lebih sedikit kerutan dan kemerahan setelah dipapar dengan lampu UV B selama 2 minggu. Krim yang mengandung 3 bahan aktif (polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut) kurang menunjukkan efektifitas terhadap pengelupasan dibandingkan dengan krim yang hanya mengandung 2 bahan aktif (lidah buaya dan rumput laut), tetapi krim yang mengandung 3 bahan aktif tersebut masih menunjukkan proteksi yang baik terhadap kulit, dibandingkan dengan kulit yang tidak terlindungi (kulit yang tidak diolesi dengan krim apapun). Selain itu, kulit yang diolesi dengan krim yang mengandung polifenol kakao, lidah buaya dan rumput laut menunjukkan elastisitas yang lebih baik daripada yang tidak diolesi dengan krim.

kata kunci: anti penuaan, fotoaging, polifenol kakao, lidah buaya, rumput laut.

Anti-Aging Properties of Cream ... (Eky Yenita Ristanti)

Page 58: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan44

INTRODUCTIONDevelopments of skin aging are due to

a combination of time effects (intrinsic aging) and environmental effects (extrinsic aging). Both factors can affect skin simultaneously. Ultraviolet (UV) light is the major cause of extrinsic aging, following certain biological and molecular pathways. Intrinsic aging is known as skin aging or chronological aging, while extrinsic aging induced by UV light is known as photoaging (Papanagiotou, 2008).

The wrinkle is the most recognizable sign of aging. However, there are many signs of skin degradation can be associated with aging, such as pigmentation, sallowness, and dryness. Photoaging shows clinical signs include dryness, irregular, dark/light pigmentation, sallowness, deep furrows, severe athrophy, telangiectases, premalignant, lesions, laxity, elastosis, and actinic purpura. In contrast to photoaging, chronological aging is indicated by laxity and fine wrinkling as well as the development of benign growth such as seborrheic keratosis and angiomas, but not associated with increased pigmentation or deep wrinkle shown in photoaging process (Helfrich et al., 2008).

The term of photoaging was firstly introduced in 1986 indicating the prolonged effect of UV light exposure on the skin (Kligman and Kligman, 1986 in Helfrich et al., 2008). The process of photoaging itself has been associated with protein oxidation in human skin (Sander, et al., 2002). According to an in vivo study conducted by Sander, et al. (2002), depleted antioxidant enzyme expression in photodamaged skin is associated with higher level of protein oxidation. Oxidative stress also effects in the perturbation of skin barrier due to UV exposures.

These results provide a rationale for the development of efficient antioxidant strategies to prevent skin’s photoaging and acute photodamage. Although sunscreens are indispensable in the prevention of skin photodamage, antioxidants in combination with sunscreens seem to be highly effective adjuncts increasing the safety and the efficacy of photoprotective products. The use

of antioxidants in cosmetics has more value because it has greater protection against environmental influences (sun, pollution, wind, and temperature) on the skin, thus inhibiting aging and skin damage (Mishra and Chattopadhyay, 2010).

The aim of this research is to prepare an anti-aging cream formulated from cocoa polyphenol. Cocoa polyphenol has beensun-exposed known for its antioxidant properties to prevent cardiovascular disease (Manach et al., 2005; Engler and Engler, 2011; Hooper et al., 2012). It was also reported in some studies (Heinrich et al. (2006); Williams, et al., 2009) that high flavonols cocoa consumption can protect skin from harmful UV effects. However, the topical use of cocoa polyphenol are unpopular. This research uses cocoa polyphenol as a topical application with the addition of aloe vera and seaweed extract to give cooling and soothing effects on the sun-exposed skin. Such combination of the anti-aging cream product is suitable to be used in the tropical area.

METHODOLOGYmaterials and equipment

Materials used in this research were cocoa butter, non-fermented cocoa beans, aloe vera (Aloe barbadensis), seaweed (Euchema cottoni), methanol p.a.(Merck), cetyl alcohol, n-hexane p.a. (Merck), sodium dodecyl sulfate (Merck), olive oil (Bertolli), polypropylene glycol, methyl paraben, propyl paraben and distilled water.

Equipment used in this research included beaker glass, analytical balance, mixer, blender, graduated cylinder, soxhlet apparatus for polyphenol extraction, stainless steel bowl and gas stove.

Preparation of Polyphenol Extraction from non-fermented Cocoa Beans

Cocoa beans were ground into paste using a blender. The cocoa paste was being defatted using n-hexane solvent extraction method. As much as 30 grams of cocoa paste was extracted using 300 mL of n-hexane solvent extraction for 4 hours in a soxhlet apparatus. After cocoa butter was

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 43-51

Page 59: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 45

Anti-Aging Properties of Cream ... (Eky Yenita Ristanti)

removed, the extraction was continued to obtain polyphenols by replacing the n-hexane solvent with methanol. Extraction with methanol was performed for 4 hours. The polyphenol gained from 1 batch of extraction process was 3.5%.

Extraction of Aloe vera and Seaweed with Hot water

As much as 2 grams of dried seaweed was dissolved with 50 mL of hot water. Soluble fraction was used for cream preparation. As much as 2 grams of Aloe vera gel taken from fresh Aloe vera stem was dissolved in 50 mL of hot water. Soluble fraction was used for cream preparation.

Preparation of the Anti-aging CreamAnti-aging cream was formulated

referring to the previous study conducted by Khorasani (2011). The use of liquid paraffin was replaced with olive oil (in equal quantity), solid white paraffin was replaced with cocoa butter (in equal quantity) and cetearyl alcohol was replaced with cetyl alcohol, therefore increasing the amount of cetyl alcohol in anti-aging cream composition. Cocoa butter, olive oil, cetyl alcohol, sodium dodecyl sulfate and polypropylene glycol were heated in a waterbath until the cocoa butter melts. After cocoa butter melted, aloe vera and seaweed extract were added into the mixture. The mixture was then stirred to form homogeneous mixture. The resulted cream was further cooled at room temperature. Preservatives were then added to prepared cream. The preparation used was a combination of propyl paraben and methyl paraben, as much as 1% total. Two types of sample were used for the anti-aging test, Sample A: cream was not added with polyphenol and sample B: cream was added with polyphenol as much as 0.5 grams per 300 grams sample.

Testing ParametersTesting parameters used in this

research were viscosity, methanol value, α-tocopherol, pH, heavy metals (Hg, Pb, and Fe), methyl paraben, propyl paraben, microbiology testing (total plate count, Staphylococcus aureus, Pseudomonas

aeruginosa, Candida albicans) and the anti-aging activity test. All quality testing of cream was conducted in Testing Unit Laboratory, Faculty of Pharmacy, Airlangga University, Surabaya. Quality testing of cream included pH test using a pH meter, viscosity with a viscometer. Determination of heavy metals content was included Hg, Pb, and Fe. Hg content was tested using ICP-AAS (Inductively Coupled Plasma-Atomic Absorbtion Spectrophotometer) method, Pb and Fe content were tested using AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer). The microbiological test was referred to Pharmacopoeia IV. Methyl paraben-propyl paraben and α-tocopherol contents were determined using HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Methanol residue was determined using GC (Gas Chromatography). The anti-aging test was completed at School of Pharmacy, Bandung Institute of Technology using healthy male Wistar rats.

Anti-aging TestThe anti-aging test was conducted at

School of Pharmacy, Bandung Institute of Technology using healthy male Wistar rats as previously studied by Tsukahara et al., (2006). Rats were immobilized so that the posterior part of the non-hairy hind limbs are facing upwards. Prior to irradiation, the test sample was applied to the right hind limb, while the left one was received no sample treatment, and served as a control. The UVB lamp (Philip) with irradiation intensity of 10 mW/cm2 was placed about 10 cm just above the treated skin. The irradiation was applied 5 days a week for 2 weeks, with the duration of irradiation 10-20 minutes each day. At the end of the 2nd week, wrinkles on hind limbs exposed to UVB were then scored according to these following observational criteria:

0 = no rough wrinkles1 = slightly shallow rough wrinkles2 = some rough wrinkles 3 = some deep rough wrinkles

Along with wrinkles observations, the occurrence of skin exfoliation and erythema were also being observed and scored

Page 60: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan46

according to the following observational criteria:

0 = not any 1 = a few2 = mild 3 = many

RESULTS AND DISCUSSIONThe formula of anti-aging cream used

in this research was selected from a series of formulation as given in Table 1.

Table 1. Formulation of Anti-aging Cream

Ingredients F1 (%) F2 (%) F3 (%) F4 (%) F5 (%)

Olive oil 2.6 1.6 1.1 0.9 2.1

Cocoa butter 3.9 2.4 1.7 1.3 3.1

Cetyl alcohol 19.5 11.8 8.5 6.6 15.5

Sodium dodecyl sulfate 3.9 2.4 1.7 1.3 3.1

Aloe vera 1.3 0.4 0.3 0.2 0.5

Seaweed 1.3 0.4 0.3 0.2 0.5

Propylene glycol 3.9 2.4 1.7 1.3 3.1

Distilled water 65 78.7 84.7 88.1 72.2

Those formulas were initial formulas to see which formula has the best characteristic. Therefore, preservatives were not added. Each formula was observed its emulsion stability and consistency. From these results, it was found that F1 cream was too thick and solid. It made F1 cream un-spreadable. Meanwhile, F2 cream was too liquid, F3 cream was sudsy and thin, and F4 was sudsy and the emulsion was broken. The F5 cream showed the best result in term of emulsion stability and consistency. The F5 cream was then used for further observation in terms of quality, anti-aging activity, and microbiology.

In order to extend the shelf life, the formulated cream was then added with preservatives from parabens class. Parabens are ester from para-hydroxybenzoic acid and widely used in cosmetics. Moreover, parabens are considered to be safe and low-cost preservatives. The cream then varied into two treatments: cream A with no polyphenols added, while cream B added with polyphenols. The quality of both creams was tested including pH, viscosity, heavy metals content (Pb, Hg and Fe), α-tocopherol levels, methanol content, methyl paraben, propyl paraben-and microbiology (total plate count,

Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, and Candida albicans).

Cosmetic products used for human skin should have a range of pH 4-6 in order to avoid skin irritation (Jellineck, 1970). Meanwhile, determination of heavy metals content is important since heavy metals such as Pb and Hg can cause a decrease in cognitive function and kidney failure (Nnorom et al, 2005). In addition, skin exposed to heavy metals may experience rashes, discoloration, and scarring (Ladiznski et al, 2011). As this cream was also made with seaweed, the analysis of iron (Fe) content becomes necessary. Seaweed is known for the high iron source. Iron may trigger skin photodamage as iron is contributing catalytically in the oxygen radical production (Bisset, et al., 1991).

The compounds contained in seaweed have the antioxidant potential for applications in the cosmetic fields. Applications of these antioxidant compounds work as anti-aging, protective body cells, bleach, and UV protective (Heo and Jeon, 2009; Heo e al., 2009; Wijesinghe & Jeon, 2011). Levels of methanol testing is required because the product contains polyphenols extracted from

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 43-51

Page 61: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 47

Anti-Aging Properties of Cream ... (Eky Yenita Ristanti)

cocoa beans by using solvent methanol. Microbiology testing was done because Staphylococcus aureus, Pseudomonas

aeruginosa and Candida albicans can cause infection when the skin are exposed (wounds).

Tabel 2. Result of Quality Analysis of Anti-aging Cream

Test Parameters Method Cream A Cream B

Total Plate Count (Cfu/g)Indonesia Farmakope

IV

< 10 x 10’ < 10 x 10’

Staphylococcus aureus Negative Negative

Pseudomonas aeruginosa Negative Negative

Candida albicans Negative Negative

Pb (ppm) AAS Negative Negative

Hg (ppm) ICP Negative Negative

Fe (ppm) AAS [2.17 ± 0.1] [1.79±0.1]

Methyl paraben (%)HPLC

[0.001±0.497] [0.0954±1.909]

Prophyl paraben (%) [0.0633±1.97] [0.0652±1.66]

Methanol (ppm) GC Negative Negative

Alfa Tocopherol (ppb) HPLC Negative Negative

pH pH meter [6.40 ± 0.01] [5.78 ± 0.03]

Viscosity (dps) Viscometer 600 300

From Table 2, it is clear that the resulted anti-aging cream has neither microbiology contamination nor heavy metals content. The cream added with polyphenol has lower pH value compared to cream that without polyphenol, as polyphenol is acidic and may lowering the pH of the cream. The pH values of both creams are 6.40 and 5.78 respectively (almost neutral). which may be associated with the use of sodium dodecyl sulfate. Methanol content in the cream is found to be negative, indicated that there is no remaining methanol residue from polyphenol extraction. The content of α-tocopherol in cream is also not found as tocopherol composition in cocoa butter as the main constituent of cream is dominated by β-tocopherol, followed by γ-tocopherol. Meanwhile, the amount of α-tocopherol in cocoa butter is not significant (Lipp and Anklam, 1997).

According to Armand (2010), the anti-aging activity was determined from a number of wrinkles caused by UV exposure. The more the wrinkle, the more ineffective the anti-aging cream is. It also indicates that the anti-aging cream has low anti-aging activity. The results of scoring calculation of wrinkles observation, exfoliation and erythema are shown in Figure 1 to Figure 5. It is shown that wrinkle was not observed in rat’s hind limb treated with sample cream B. Meanwhile, hind limbs treated with sample cream A and without any cream exhibited appearance of wrinkles with score varied between 1 to 3. Hind limb treated with no cream application shows more wrinkles appearance compared to those topically treated ones. This result indicates that cream with polyphenol has better protection against wrinkles induced by UVB exposure.

Page 62: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan48

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 43-51

Figure 1. Effect of the sample treatment on the wrinkle visual score after the UVB exposuregiven 5 times a week, with duration of 10-20 minutes per day. The testing sample was applied to one hind limb before the UVB exposure.Note: ****p<0.0001 compared to the group without treatment (ANOVA, post hoc Fisher PLSD).

Treatment Group

Sample B Sample A Without Treatment

Score

Treatment Group

Exfoliation and erythema scores are shown in Figure 2 and Figure 3. Exfoliation and erythema are less severe in hind limbs applied topically with the cream. Exfoliation scores of hind limb skin applied with sample cream A and B are lower than untreated hind limb skin as shown in Figure 2. However, the exfoliation score of the skin smeared with the cream containing polyphenol (B) is higher than that of the one smeared with the cream

without polyphenol (A). It indicates that polyphenol is not effective to protect skin from exfoliation process. Application of anti-aging creams either with polyphenol or without polyphenol resulted in less erythema score on hind limb skin (Figure 3). Both creams show lower erythema scores compared to the untreated skin. However, the effectivity of cream A and cream B to protect the skin from against erythema is only slightly different.

Figure 2. Effect of the sample treatment to the exfoliation score after the UVB exposuregiven 5 times a week, with duration of 10-20 minutes per day. The tested sample was applied to one hind limb before the UVB exposure.Note: *p<0.05, **p<0.01 compared to the group without treatment (ANOVA, post hoc Fisher PLSD).

Page 63: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 49

Figure 3. Effect of the sample treatment to the erythema score after the UVB exposure given 5 times a week, with duration of 10-20 minutes per day. The tested sample was applied to one hind limb before the UVB exposure.Note: *p<0.05, **p<0.01 compared to the group without treatment (ANOVA, post hoc Fisher PLSD).

1 2 3 4

Treatment Group

Sample B Sample A Without Treatment

Score

Effects of the UVB exposure and testing samples application are shown in Figure 4 and 5. Figure 4 shows the effect of UVB exposure against hind limb skin treated with sample cream B, while figure 5 shows the effect of UVB exposure against hind limb skin treated with sample cream A. On the skin applied with no sample cream, occurence of

wrinkles and exfoliation are clearly observed. Meanwhile, the skins applied with sample creams, are and exfoliation are slightly observed. The skin applied with sample cream A has more wrinkles compared than that with sample test B, but shows better result in the appearance of exfoliation.

Figure 4. Effect of UVB exposure on the formation of wrinkles and exfoliations to the skin smeared with cream B. Exposure was given 10-20 minutes per day for 5 days a week during 2 weeks. Note: 1 and 3 = before UVB exposure, 2 = without sample, 4 = treated with sample cream B. Arrow = wrinkles; circle = exfoliation

Anti-Aging Properties of Cream ... (Eky Yenita Ristanti)

Page 64: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan50

Figure 5. Effect of UVB exposure on the formation of wrinkles and exfoliations to the skin smeared with cream B. Exposure was given 10-20 minutes per day for 5 days a week during 2 weeks. Note: 1 and 3 = before UVB exposure, 2 = without sample, 4 = treated with sample cream B. Arrow = wrinkles; circle = exfoliation

1 2 3 4

Chronic UVB exposure causes skin premature aging, called photo-aging. Photo-aging is characterized by mild and rough wrinkles on the skin, depigmentation, change in skin texture, loss of elasticity, and actinic precancerous keratosis (Alam dan Havey, 2010). Skin photo-aging is primarily on the degree of ultraviolet radiation (UVR) and on an amount of melanin in the skin (skin

phototype). In addition, to direct or indirect DNA damage, UVR activates cell surface receptors of keratinocytes and fibroblasts in the skin, which leads to a breakdown of collagen in the extracellular matrix and a shutdown of new collagen synthesis (Pandel et al., 2013). Figure 6 shows the effect of UVB exposure on skin elasticity shown by the length of UVB exposed skin.

The Length of the Streached Skin

(cms)

Treatment Group Treatment Group

Without Sample B With Sample B Without Sample B With Sample B

The Length of

the Streached Skin

(cms)

Figure 6. Effect of test samples application on rat skin length after the UVB exposure. Exposure was given 5 times a week for 2 weeks, with an exposure duration of 10-20 minutes every day. The test sample was applied to one of hind limbs before UVB exposure. After being removed from the leg, skin incision was spread maximally.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 43-51

Page 65: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 51

Anti-Aging Properties of Cream ... (Eky Yenita Ristanti)

Anti-UVB often cause test results against the use of anti-aging creams (Figures 6 and 7) show that the utilization of cocoa butter and polyphenols from cocoa beans provides a protective effect against skin damage, moisturizes and protects skin elasticity. Most polyphenols are antioxidants that can neutralize free radicals that have

damaging effects on cells and tissues. Free radicals are often linked to cause cell damage associated with aging. As a powerful antioxidant, polyphenols are able to inhibit the aging process. The description of the effect of UVB exposure on skin flexibility and the effect of cream sampling is shown in Figure 7.

1 2

Figure 7. Effect of test sample applied to the length of hind limbs after the UVB exposure. Exposure was given 5 times a week for 2 weeks, with an exposure duration of 10-20 minutes every day. The test sample was applied to one of the hind limbs prior to UVB exposure After being removed from the leg, skin incision wass spread maximally. Note: 1 = test sample ”B”, 2= test sample ”A”, left = without sample, right = with sample

Anti-aging test shows that cream with polyphenols has the ability to inhibit the aging process, which states that the content of polyphenols in cosmetics can improve the moisture, sebum level and smoothness of the skin, also has the potential to protect skin damage that accompanies the aging process due to UVB exposure and can maintain the elasticity of the skin. The inhibitory activity of the aging process, especially wrinkles, is not caused by the presence of antioxidants in cocoa butter, olive oil, seaweed or aloe vera, as rat skin treated with sample cream B (added with cocoa polyphenol) has less wrinkles compare to the other which treated with sample cream A. Polyphenol also shows a good result in protecting skin from erythema and maintaining skin elastcity. However, polyphenol is not effective to protect skin from exfoliation.

CONCLUSIONCream made from cocoa polyphenol

combined with aloe vera and seaweed has been prepared from a composition

consisted of cocoa butter, olive oil, sodium dodecyl sulfate, polypropylene glycol, cetyl alcohol and distilled water as the cream base. The best formula was achieved at the composition of 2.1% olive oil; 3.1% cocoa butter; 15.5% cetyl alcohol; 3.1% sodium dodecyl sulfate; 0.5% aloe vera; 0.5% seaweed; 3.1% propylene glycol and 72.2% distilled water. Cocoa polyphenol was then added as anti-aging. Addition of polyphenol shows satisfactory results towards several signs of aging induced by UVB exposure. The result of this research shows that skin applied with cream contained cocoa polyphenol, aloe vera and seaweed has less wrinkle and erythema after being exposed to UV B lamp for 2 weeks. Cream contained 3 active ingredients (cocoa polyphenol, aloe vera and seaweed) shows less effectivity to protect against exfoliation compare to cream with only 2 active ingredients (aloe vera and seaweed), however, cream with 3 ingredients still shows better protection to skin, compared to the unprotected skin (skin which not applied with any cream). In

Page 66: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan52

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 43-51

addition, skin applied with cream contained cocoa polyphenol, aloe vera, and seaweed shows better elasticity, compared to those which not applied with cream.

REFERENCES1. Alam, M., Harvey, J. 2010. Photoaging.

In: Draelos, Z. D., editor. Cosmetic Dermatology Product and Procedures. New Jersey: Wiley-Blackwell. p 13- 20

2. Armand, G. 2010. Topical Anti-Wrinkle and Anti-aging Moisturizing Cream. US Patent Application Publication. Pub. No: 2010/0098794 A1

3. Bisset, D. L., Cahttejee, R., & Hannon, D.P. 1991. Chronic Ultraviolet Radiation-Induced Increase in Skin Iron and The Photoprotective Effect of Topically Applied Iron Chelators 1. Photochemistry and Photobiology. Volume 54, Issue 2, 215-223

4. Engler, M. B., & Engler, M. M. 2006. The Emerging Role of Flavonoid-Rich Cocoa and Chocolate in Cardiovascular Health and Disease, (March), 109–118

5. Heinrich, U., Neukam, K., Tronnier, H., Sies, H., & Stahl, W. 2006. Long-term ingestion of high flavanol cocoa provides photoprotection against UV-induced erythema and improves skin condition in women. The Journal of Nutrition, 136(6), 1565–1569

6. Helfrich, Y. R., Sachs, D. L., & Voorhees, J. J. 2008. Overview of Skin Aging and. Dermatology Nursing, 20(3), 177–183

7. Heo, S.-J., & Jeon, Y.-J. 2009. Protective effect of fucoxanthin isolated from Sargassum siliquastrum on UV-B induced cell damage. J. Photochem. Photobiol. B: Biol., 95(2), 101-107

8. Heo, S.-J., Ko, S.-C., Cha, S.-H., Kang, D.-H., Park, H.-S., Choi, Y.-U., Kim, D., Jung, W.-K., & Jeon, Y.-J. 2009. Effect of phlorotannins isolated from Ecklonia cava on melanogenesis and their protective effect against photo-oxidative stress induced by UV-B radiation. Toxicol. In Vitro, 23(6), 1123-1130

9. Hooper, L., Kay, C., Abdelhamid, A., Kroon, P. a, Cohn, J. S., Rimm, E. B., &

Cassidy, A. 2012. Effects of chocolate , cocoa , and flavan-3-ols on cardiovascular health : a systematic review and meta-analysis of randomized trials 1–3. The American Journal of Clinical Nutrition, 95(February), 740–751

10. Jellineck, S. 1970. Formulation and Function of Cosmetics. Dalam Sularto, S. A. dkk. 1995. Pengaruh Pemakaian Madu sebagai Penstubtitusi Gliserin dalam Beberapa Jenis Krim Terhadap Kestabilan Fisiknya : 2-3. Bandung: Universitas Padjadjaran

11. Lipp, M. & Anklam, E. 1997. Review of Cocoa Butter and Alternative Fats Foruse in Chocolate-Part A. Compositional Data. Food Chemistry, Vol. 62, No. 1, pp. 73-97

12. Manach, C., Mazur, A., & Scalbert, A. 2005. Polyphenols and prevention of cardiovascular diseases. Current Opinion in Lipidology, 16(1), 77–84

13. Mishra, A.K, Mishra, A, Chattophadyay, P. 2010. Formulation and In-Vitro Evaluation of Antioxidant Activity of O/W Sunscreen Cream Containing Herbal Oil as Dispersed Phase. International Journal of Biomedical Research. IJBR1[0][2010]201208

14. Nnorom, I.C., Igwe, J.C and Oji-Nnorom C.G. 2005. Trace Metal Contents of Facial (Make-Up) Cosmetics Commonly Used In Nigeria. African J. of. Biotechnology. Vol. 4 (10), pp. 1133-1138.

15. Pandel, R., Polsjak, B., Godic, A., Dahmane, R. 2013. Skin Photoaging and the Role of Antioxidants in Its Prevention: Review Article. Hindawi Publishing Corporation ISRN Dermatology Volume 2013, Article ID 930164

16. Papanagiotou, V.D., 2008. Skin Aging and Photoaging: Review, Dermattikon. Vol 4. 57-65

17. Sander, C.S.; Chang, H.; Hamm, F.; Elsner, P.; Thiele, J.J. 2002. Role of Oxidative Stress and Antioxidant Network in Cutaneous Carcinogenesis. Int. J. Dermatol. 43, 326–335

18. Tsukahara, K., Nakagawa, H., Moriwaki, S., Takema, Y., Fujimura, T., and Imokawa, G. 2006. Inhibition of ultraviolet-B-

Page 67: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 51

induced wrinkle formation by an elastase-inhibiting herbal extract: implication for the mechanism underlying elastase-associated wrinkles. International Journal of Dermatology, 45, 460–468

19. Wijesinghe, W., & Jeon, Y.-J. 2011. Biological activities and potential cosmeceutical applications of bioactive

components from brown seaweeds: a review. Phytochem. Rev., 10(3), 431-443

20. Williams, S., Tamburic, S., & Lally, C. 2009. Eating chocolate can significantly protect the skin from UV light. Journal of Cosmetic Dermatology, 8(3), 169–173.

Anti-Aging Properties of Cream ... (Eky Yenita Ristanti)

Page 68: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
Page 69: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 53

Peningkatan Kadar Alkohol ... (St. Sabahannur)

PENINGKATAN KADAR ALKOHOL, ASAM DAN POLIFENOL LIMBAH CAIRAN PulP BIJI KAKAO DENGAN PENAMBAHAN SUKROSA DAN RAGI

The Increased Levels of Alcohol, Acid and Polyphenol Waste of Cocoa Bean Pulp Liquid by the Addition of Sucrose and Yeast

St. Sabahannur1), Andi Ralle1)

1)Fakultas Pertanian Universitas Muslim IndonesiaJl. Urip Sumoharjo Km 05, Makassar

Pos-el: [email protected]

Abstract:: The aim of this research is to know the effectivenes of adding yeast and sucrose to increase the level of alcohol, acid and polyphenol liquid of cocoa beans pulp as bioherbisida. The research is arranged in Completely Random Design (RAL) of two factor. The first factor was the addition of yeast with concentration: 0.5% and 1%, the second factor of sucrose concentration consisted of: 0%, 1%, 2%, and 3%. The addition of yeast and sucrose is done at the beginning of fermentation by mixing with wet cocoa beans, then seeds in fermentation for 3 days. The pulp liquid dripping out of the fermentation box is accommodated in Waskom. The parameters observed were: alcohol, total acid, acetic acid, citric acid and polyphenol. The results showed that, the addition of yeast and sucrose significantly affected the increase of alcohol content, total acid, acetic acid, citric acid and polyphenol. The addition of 1% yeast and 2% sugar produced 0.77% alcohol content, 65.25% total acid, citric acid 2740,73 ppm, and acetate acid 3915,33ppm, while the highest polyphenol level was 1056,84 ppm in addition of yeast 1 % and 3% sucrose.

keywords: cocoa pulp, yeast, sucrose, alcohol, polyphenols

Abstrak: Penelitian bertujuan mengetahui efektifitas penambahan ragi dan sukrosa pada peningkatan kadar alkohol, asam dan polifenol cairan pulp biji kakao sebagai bioherbisida Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama penambahan ragitape dengan konsentrasi: 0,5% dan 1%, faktor kedua konsentrasi sukrosa terdiri atas: 0%, sukrosa 1%, 2%, dan 3%. Pemberian ragi dan sukrosa dilakukan pada awal fermentasi dengan cara dicampur dengan biji kakao basah, lalu biji difermentasi selama 3 hari. Cairan pulp yang menetes keluar dari kotak fermentasi ditampung dalam Waskom. Parameter yang diamati terdiri atas: kadar alkohol, total asam, asam asetat, asam sitrat dan polifenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penambahan ragi dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar alkohol, total asam, asam asetat, asam sitrat dan polifenol. Penambahan ragi 1% dan gula 2% menghasilkan kadar alkohol 0,77%, total asam 65,25%, asam sitrat 2740,73 ppm, dan asam asetat 3915,33 ppm, sedangkan kadar polifenol tertinggi sebesar 1056,84 ppmpada penambahan ragi 1% dan sukrosa 3%.

kata kunci: pulp kakao, ragi, sukrosa, alkohol, polifenol

PENDAHULUANPemanfaatan buah kakao saat ini

masih terbatas pada biji dan kulit buah. Buah kakao matang berisi 30-40 biji yang diselubungi oleh pulp dan plasenta, sebanyak 68,5% dari berat buah kakao segar terbuang menjadi limbah meliputi: kulit, plasenta, dan pulp (Rohan, 1963; Chahyaditha, 2011). Pulp merupakan jaringan halus yang berlendir yang membungkus biji kakao, zat yang menyusun pulp terdiri atas 80-90% air, glukosa dan sukrosa antara 12-15%, asam-

asam organik dan beberapa asam amino, protein dan lemak, dengan kisaran nilai pH antara 3-4 (Pettipher, 1986; Effendi, 2002; Opeke, 1984;Bintoro, 1977; Warintek, 2001; Nasution et al., 1985; Wood & Lass, 1985; Lopez, 1986). Selama fermentasi dapat dihasilkan cairan pulp 15-20% dari berat biji kakao yang difermentasi (Ganda Putra et al., 2008).Cairan lendir pulp yang dihasilkan dari proses fermentasi satu ton biji kakao dapat mencapai 75-100 liter (Figuera et al., 1993).

Saat ini pemanfaatan pulp kakao belum optimal. Potensi cairan pulp yang

Page 70: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan54

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 53-61

cukup besar tersebut selama ini hanya dibuang begitu saja disekitar tempat pengolahan, selain akan mengotori juga dapat berdampak buruk atau mencemari lingkungan disekitarnya. Pulp kakao yang selama ini hanya sebagai limbah organik sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai substrat produksi alkohol dan asam asetat. Selain itu limbah pulp juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan herbisida alami (Kamaruddin dan Sudirman, 2008), hal ini disebabkan pulp kakao mengandung alkohol, asam malat, asam sitrat, asam asetat dan polifenol yang merupakan beberapa contoh zat kimia yang bersifat allelopat, yaitu dapat menghambat perkecambahan benih.

Untuk meningkatkan kadar alkohol pada cairan pulp, maka penambahan sukrosa merupakan salah satu alternatif. Sukrosa sederhana seperti glukosa dapat langsung difermentasi menjadi alkohol. Bahan yang mengandung senyawa yang lebih kompleks seperti pati atau selulosa harus dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana sebelum difermentasi menjadi alkohol. Hidrolisis dapat dilakukan secara kimiawi atau menggunakan enzim. Medium sukrosa dapat digunakan dengan penambahan enzim invertase sehingga dapat meningkatkan konsentrasi alkohol yang dihasilkan (Purawisastra et al.,1994).

Sukrosa merupakan gula meja yang dikonsumsi sehari-hari. Sukrosa merupakan gula yang ditemukan dalam tebu, komposisinya terdiri dari fruktosa dan glukosa dengan ikatan glukosiklik berupa jembatan oksigen antara C-1 dari glukosa dan C-2 dari fruktosa dimana kedua jenis sukrosa ini selanjutnya disebut dengan sukrosa invert. Sukrosa invert adalah suatu campuran glukosa dan fruktosa yang ekuimolar. Sukrosa dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku dalam hal penyediaan bioenergi, akan tetapi tahapannya tidak bisa langsung menjadi produk akhir tanpa pengubahan menjadi sukrosa sederhana dalam hal ini adalah sukrosa invert. Untuk mempercepat konversinya dibutuhkan sebuah biokatalis atau sering disebut dengan enzim. Enzim memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan katalis

biasa. Organisme penghasil enzim ini beragam jenis tetapi yang paling memiliki kandungan baik intraseluler maupun ekstraseluler dan banyak ditemukan adalah jenis khamir Saccaromyces cerevisiae. Khamir ini mempunyai aktivitas invertase yang tinggi sehingga sukrosa dengan cepat diubah menjadi glukosa dan fruktosa untuk keperluan metabolismenya (Ageng dan Surya Rosa Putra, 2009).

Salah satu jenis starter yang mengandung mikroorganisme yang dapat digunakan adalah ragi tape. Ragi tape mengandung Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai pertumbuhan sempurna pada suhu sekitar 30°C dan pH 4,8. Selain itu pada ragi tape terdapat mikroorganisme yang pada kondisi anaerob akan menghasilkan enzim amilase dan enzim amiloglukosidase, kedua enzim tersebut bertanggungjawab dalam penguraian karbohidrat menjadi glukosa dan maltose. Ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari spesies-spesies genus Aspergilius, Saccharomyces, Candida, Hansenulla, dan bakteri Acetobacter (Tarigan, 1988).

Peningkatan proses fermentasi yang terjadi akibat inokulasi mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae dan beberapa biakan bakteri lain dapat meningkatkan kinerja fermentasi biji kakao (Schwan, 1998; Widianto et al., 2013). Susijahadi et al. (1998) menjelaskan bahwa konsentrasi awal substrat sukrosa berpengaruh terhadap jumlah alkohol yang dihasilkan, sedangkan Wardani et al. (1991) menyatakan, kadar alkohol maksimum yang dapat diperoleh dari 180 g/l sukrosa adalah 12,26% v/v. Apabila konsentrasi alkohol yang dihasilkan lebih besar dari 12 persen, alkohol dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan mikroorganisme. Pada awal fermentasi, mikroorganisme yang aktif adalah khamir (yeast) yang memecah sukrosa, glukosa dan fruktosa menjadi etanol. Tujuan dari penelitian adalah untuk meningkatkan kadar alkohol, total asam, asam sitrat, asam asetat dan polifenol cairan pulp biji kakao sebagai bahan baku bioherbisida melalui penambahan ragi tape dan sukrosa.

Page 71: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 55

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: buah kakao matang, sukrosa,ragi tape, bahan kimia untuk analisa meliputi: NaOH, indikator pp, akuades, kertas lakmus, kertas whatman, dll.

Alat-alat yang digunakan antara lain: Kotak fermentasi, timbangan analitik, thermometer, pH-meter, waskom, alat titrasi, gelas ukur, pipet, ember.

Rancangan PercobaanPenelitian disusun berdasarkan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dua faktor. Faktor pertama ragi tape (R) terdiri dari dua taraf: 0,5% dan 1%. Faktor ke dua sukrosa (G) dengan 4 taraf: Tanpa sukrosa (g0), sukrosa 1% (g1), 2% (g2), dan 3% (g3). Jumlah kombinasi perlakuan delapan, masing-masing diulang 2 kali sehingga terdapat 16 unit perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA), apabila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNJ α 0,05 untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

Metode PenelitianKotak fermentasi yang digunakan

dilubangi pada bagian dasarnya, lalu diberi alas daun pisang. Selanjutnya biji kakao basah dimasukkan dalam kotak fermentasi. Biji kakao yang akan difermentasi dicampur sukrosa sesuai perlakuan (0,1%, 2% dan 3%), kemudian dicampur lagi dengan ragi tape sesuai dengan perlakuan (0,5% dan 1%) (ragi terlebih dahulu dihancurkan dengan cara ditumbuk, kemudian diayak dan diaduk hingga homogen). Selanjutnya biji kakao diaduk bersama dengan ragi dan sukrosa agar tercampur rata.

Kotak fermentasi ditempatkan diatas waskom untuk menampung cairan pulp yang menetes keluar selama fermentasi berlangsung. Fermentasi dilakukan selama 3 hari sampai cairan pulp tidak menetes. Cairan pulp disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan kotoran yang tercampur .

Parameter pengamatan

1. Pengujian kadar alkohol dengan metode piknometer (Putri dan Sukandar, 2008)

Kadar alkohol dihitung dengan rumus:

R= W2- W0W1 - W0

Ket: R: bobot jenis (sampel) W0: piknometer kosong W1: piknometer yang berisi air suling W2: bobot piknometer yang berisi destilasi2. Total asam Tertitrasi % TAT= mL NaOH x N NaOH (0,1) x FPx 100

Berat sampel (ml/g)

3. Kadar Asam Sitrat%TAT= mL NaOH x N NaOH (0,1) xFP x 100 x C6H07

Berat sampel (ml/g)

%TAT= mL NaOH x N NaOH(0,1) xFP x 100 x CH3COOH

Berat sampel (ml/g)

4. Kadar Asam Asetat

5. Kadar polifenol dianalisa dengan Metode Kolorimetri Folin-Ciocalteu Fenol (Lee et al., 2003)

Peningkatan Kadar Alkohol ... (St. Sabahannur)

Page 72: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan56

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 53-61

HASIL DAN PEMBAHASANKadar Alkohol

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ragi dan sukrosa berpengaruh sangat nyata terhadap kadar alkohol cairan pulp biji kakao. Pengaruh penambahan ragi dan sukrosa terhadap kadar alkohol cairan pulp kakao dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Presentase alkohol cairan pulp biji kakao

dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4-32oC (Kartika et al., 1992). Aktivitas ragi banyak dipengaruhi oleh media dan kondisi lingkungan (suhu dan keasaman) dimana panas, konsentrasi ion hidrogen, air dan cahaya mempengaruhi aktivitas pertumbuhan mikroorganisme. Tinggi rendahnya kadar alkohol yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh cepat lambatnya sel ragi yang digunakan dalam fermentasi bahan.

Pada tahap awal fermentasi, dengan pH pulp yang rendah (3,0-4,0) kandungan sukrosa yang tinggi (8–24%) serta tekanan oksigen yang rendah sangat baik untuk pertumbuhan ragi. Pertumbuhan ragi sangat dominan selama 24–36 jam fermentasi aktivitas ragi sangat kuat dan lebih dari 90% total mikroorganisme adalah ragi. Ragi memegang peranan pada pemecahan sukrosa menjadi alkohol (Lopez, 1986; Schwan et al., 1998; Leerían and Patterson, 1983).

Ragi tape mengandung Sacc-haromyces cerevisiae yang mempunyai pertumbuhan sempurna pada suhu sekitar 30°C dan pH 4,8. Ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari spesies-spesies genus Aspergilius, Saccharomyces, Candida, Hansenulla, dan bakteri Acetobacter (Tarigan, 1988). Menurut Azizah et al. (2012), S.cereviceae dapat mengkonversi sukrosa menjadi alkohol karena adanya enzim invertase dan zymase. Adanya enzim-enzim ini, menyebabkan S. cereviceae memiliki kemampuan untuk mengkonversi baik sukrosa dari kelompok monosakarida maupun dari kelompok disakarida. Jika sukrosa yang tersedia dalam substrat merupakan sukrosa disakarida maka enzim invertase akan bekerja menghidrolisis disakarida menjadi monosakarida. Setelah itu, enzim zymase akan mengubah monosakarida menjadi alkohol dan CO2.

Lama fermentasi yang paling optimal untuk proses pembuatan bioalkohol adalah 3 hari. Jika fermentasi dilakukan lebih dari 3 hari, justru kadar alkoholnya dapat berkurang. Berkurangnya kadar alkohol disebabkan karena alkohol telah dikonversi menjadi senyawa lain. Fermentasi alkohol

Konsentrasi Sukrosa

Konsentrasi Ragi (%) BNJ

0,050,5 1G0 (0%) 5,93b

x 4,89by

2,49

G1 (1%) 7,79ax 7,81a

x

G2 (2%) 3,01cx 0,77c

y

G3 (3%) 3,28cy 7,19a

x

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang

berbeda pada baris (a,b,c) dan kolom (x,y) yang sama

berarti berbeda nyata pada uji BNJ (0,05)

Berdasarkan uji BNJ 0,05 pada Tabel 1, bahwa penambahan ragi 0,5% dan 1% dengan konsentrasi sukrosa 1% menghasilkan cairan pulp kakao dengan kadar alkohol 7,79% dan 7,81% dan berbeda nyata dengan sukrosa 0%, 2% dan 3% baik pada penambahan ragi 0,5% maupun 1%. Terjadinya peningkatan kadar alkohol pada konsentrasi ragi 0,5% dan 1% yang mencapai puncaknya pada konsentrasi sukrosa 1% disebabkan karena S. Cereviceae mengalami exponensial fase yaitu fase dimana ragi mengalami pertumbuhan yang sangat cepat karena S. Cereviceae mampu menggunakan sejumlah sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa dan maltotriosa (Lewis dan Young, 1990). Selain itu S.cereviceae merupakan mikrobia yang paling banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar sukrosa yang tinggi

Page 73: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 57

merupakan suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi alkohol (etil alkohol) dan karbondioksida fermentasi ini berlangsung dalam keadaan anaerob (Azizah, 2012).

Total Asam Berdasarkan hasil penelitian yang

diperoleh menunjukkan, bahwa penambahan ragi dan sukrosa berpengaruh sangat nyata terhadap total asam tertitrasi pada cairan pulp biji kakao. Pengaruh penambahan ragi dan sukrosa terhadap total asam cairan pulp biji kakao dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Presentase kadar asam cairan pulp biji kakao

sukrosa yang banyak, selanjutnya sukrosa mengalami fermentasi menjadi alkohol, fermentasi alkohol menghasilkan asam yang banyak pula. Apabila dihubungkan dengan kadar alkohol (Tabel 1), bahwa terjadi penurunan kadar alkohol pada konsentrasi ragi 1% dan sukrosa 2%, karena sebagian besar alkohol sudah dirombak menjadi asam. Hasil dari penguraian alkohol menghasilkan asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat. Asam-asam tersebut akan berpengaruh terhadap keasaman (pH) biji setelah fermentasi (Ardhana dan Fleet, 2003; Ramlah & Daud, 2009; Guehi et al., 2010; Pasau, 2013).

Jenis ragi yang umum terdapat pada tumpukan biji kakao selama fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces theobromae, Saccharomyces ellipsoides, Saccharomyces apiculatus dan Saccharomyces apimulus (Nasution et al., 1985). Saccharomyces cerevisiae dan Candida tropicalis merupakan ragi dominan selama fermentasi kakao (Ardhana dan Fleet, 2003). Bakteri asam laktat merupakan bakteri penghasil sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari metabolisme sukrosa. Asam laktat yang dihasilkan dengan cara tersebut akan menurunkan nilai pH lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam (Sulistyowati dan Soenaryo, 1989; Alamsyah, 1991).

Selain itu oksigen yang semula terhalang oleh lapisan pulp dapat masuk kedalam tumpukan biji. Kondisi aerob (kaya oksigen) dimanfaatkan oleh bakteri aseto-bakteri untuk mengubah alkohol menjadi asam asetat dengan mengeluarkan bau khas yang menyengat. Jenis bakteri asam laktat Lactobacillus cellobiosus dominan sampai 48 jam dan Acetobacter pasteurianus merupakan golongan bakteri asam asetat yang paling lama bertahan hidup dibanding Acetobacter aceti yang aktif pada 24 jam pertama fermentasi.

Walaupun pulp mengandung asam-asam organik tetapi bakteri ini tidak beraktifitas pada awal fermentasi karena kondisi ekstrinsik tidak tersedianya oksigen. Laju pertumbuhan bakteri asam asetat akan meningkat setelah tersedianya oksigen dan

Konsentrasi

Sukrosa

Konsentrasi Ragi (%) BNJ

0,050,x5 1%

G0 (0%) 19,78 ax 16,78 c

y 6,48

G1 (1%) 14,47 cx 16,03 c

xG2 (2%) 21,75 a

y 65,25 ax

G3 (3%) 17,34 bx 19,59 b

x

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang

berbeda pada baris (a,b,c) dan kolom (x,y) yang sama berarti berbeda nyata pada uji

BNJ (0.05) Berdasarkan hasil uji BNJ 0,05pada

Tabel 2,bahwa kandungan asam pada cairan pulp kakao terbanyak yaitu 65,25% pada penambahan ragi 1% dan sukrosa 2% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan kandungan asam terendah ditunjukkan pada penambahan sukrosa 1% dengan konsentrasi ragi 0,5% dan 1%. Semakin tinggi konsentrasi ragi yang digunakan maka mikroba yang terdapat pada pulp semakin banyak, sehingga total asam yang dihasilkan juga meningkat. Peningkatan total asam disebabkan terbentuknya asam–asam organik sebagai hasil akhir fermentasi yaitu berupa asam asetat dan asam laktat. Asam ini terbentuk dari sukrosa yang ditambahkan dan juga sukrosa, glukosa dan fruktosa yang secara alami terdapat pada pulp biji. Pulp yang tebal berarti mengandung

Peningkatan Kadar Alkohol ... (St. Sabahannur)

Page 74: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan58

alkohol hasil perombakan bakteri asam laktat dan ragi. Oleh bakteri asam asetat, alkohol dioksidasi menjadi asam asetat dan asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan air (air ini akan keluar dari box fermentasi).

Asam Sitrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penambahan ragi dan sukrosa pada fermentasi biji kakao berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan asam sitrat cairan pulp kakao. Perbedaan kadar asam sitrat cairan pulp biji kakao pada berbagai konsentrasi ragi dan sukrosa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kadar asam sitrat cairan pulp biji kakao (ppm)

Asam AsetatHasil penelitian menunjukkan bahwa

penambahan ragi dan sukrosa berpengaruh sangat nyata terhadap kadar asam asetat cairan pulp biji kakao. Perbedaan kadar asam asetat cairan pulp kakao pada berbagai konsentrasi ragi dan sukrosa dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata kadar asam asetat cairan pulp biji kakao (ppm)

Konsentrasi Sukrosa

Konsentrasi Ragi (%) BNJ

0,050,5 1G0 (0%) 830,88b

x 704,87by

90,25G1 (1%) 614,86cx 610,36c

xG2 (2%) 929,33a

y 2740,73ax

G3 (3%) 728,50cy 823,01b

x

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda (a,b,dan c) dan pada baris yang berbeda (x,y) berarti

berbeda nyata pada uji BNJ (0.05)

Berdasarkan uji BNJ 0,05 pada Tabel 3 menunjukkan, bahwa penambahan ragi 1% dan sukrosa 2% memberikan kadar asam sitrat tertinggi (2740,73 ppm) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Fermentasi pada biji kakao terjadi dalam dua tahap yaitu fermentasi anaerob dan fermentasi aerob. Keberadaan asam sitrat membuat lingkungan pulp menjadi asam sehingga akan menginisiasi pertumbuhan ragi dan terjadi fermentasi secara anaerob. Khamir S. Cerevisiae tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan keadaan aerobik, namun akan melakukan fermentasi terhadap gula jauh lebih cepat pada keadaan anaerobik. Terurainya pulp selama fermentasi diduga turut menurunkan kadar asam sitrat sehingga menyebabkan peningkatan pH.

Konsentrasi Sukrosa

Konsentrasi Ragi (%) BNJ 0,050,5 1

G0 (0%) 1186,98bx 1006,96c

y

1388,31G1 (1%) 871,95 dy 961,96c

x

G2 (2%) 1327,61 ay 3915,33ax

G3 (3%) 1040,71 cy 1175,73bx

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda

pada baris (a,b,c) dan kolom (x,y) yang sama berarti berbeda

nyata pada uji BNJ (0.05)

Berdasarkan uji BNJ 0,05 pada Tabel 4, bahwa penambahan ragi 1% dan sukrosa 2% menunjukkan kandungan asam asetat lebih tinggi yaitu 3915,33 ppm dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan kandungan asam asetat cairan pulp lebih rendah pada penambahan ragi 0,5 dan 1%, dengan sukrosa 1%. Penambahan ragi 1% dan sukrosa 2% akan meningkatkan proses fermentasi, di mana sukrosa merupakan substrat yang akan dirombak oleh ragi menjadi etanol. Selanjutnya etanol akan diubah menjadi asam asetat (Chandra et al., 1990). Kandungan gula di dalam pulp dan penambahan sukrosa akan meningkatkan substrat yang dapat dirombak menjadi etanol, sedangkan inokulasi ragi meningkatkan jumlah mikrobia yang bekerja merombak gula menjadi etanol. Fermentasi asam asetat membutuhkan medium yang mengandung etanol 10-13%.

Peningkatan proses fermentasi yang terjadi akibat inokulasi mikroorganisme telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Sebagaimana Schwan (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 53-61

Page 75: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 59

Peningkatan Kadar Alkohol ... (St. Sabahannur)

penambahan biakan murni Saccharomyces cerevisiae dan beberapa biakan murni bakteri lain dapat meningkatkan kinerja fermentasi biji kakao.

Pada Tabel 4 juga memperlihatkan mulai terjadi penurunan kadar asam asetat 1040,71 ppm apabila konsentrasi sukrosa ditingkatkan menjadi 3% pada penambahan ragi 0,5% dan kadar asam asetat 1175,73 ppm pada ragi 1%. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya konsentrasi etanol yang dihasilkan. Apabila konsentrasi etanol terlalu tinggi, pembentukan asam asetat akan terganggu, sehingga fermentasi etanol menjadi asam asetat tidak berlangsung dengan sempurna (Darwis dan Sukara, 1989). Damanhuri (2004) menjelaskan fermentasi asam asetat dengan substrat etanol 16,10% menghasilkan 0,11% asam asetat dengan lama fermentasi selama 5 minggu. Asam asetat merupakan hasil dua tahap proses fermentasi dimana tahap pertama adalah fermentasi sukrosa menjadi etanol oleh khamir, sedangkan tahap kedua adalah oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh bakteri asam asetat (Luwihana, 1998). Substrat dalam fermentasi biji kakao adalah gula dan asam sitrat yang terkandung dalam pulp. Proses fermentasi mikrobia pelaku fermentasi akan merombak pulp menjadi asam-asam organik, selanjutnya Effendi (2002) menyatakan, pada fermentasi etanol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao oleh A. Aceti B127 dengan kondisi suhu 30οC, nilai pH awal 4, konsentrasi etanol 5% (v/v), inokulum 10% (v/v), dengan kecepatan pengadukan terbaik 400 rpm menghasilkan asam asetat 4,24%. Produksi asam sangat bergantung pada tingkat kesuburan pertumbuhan sel bakteri dan tingkat kesuburan tersebut menurun seiring dengan peningkatan kadar etanol substrat (Soedarini et al., 1998).

Polifenol Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penambahan ragi dan sukrosa berpengaruh sangat nyata terhadap kadar polifenol cairan pulp. Untuk mengetahui perbedaan kadar polifenol cairan pulp biji kakao dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata kadar polifenol cairan pulp biji kakao (ppm)

Kon-sentrasi Sukrosa

Konsentrasi Ragi (%) BNJ

0,05 0,5 1G0 (0%) 1047,36 a

x 804,66 ax 278,61

G1 (1%) 872,06 ax 840,36 a

xG2 (2%) 702,23 b

x 886,76 ax

G3 (3%) 920,84 ax 1056,84 a

x

Keterangan:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda

pada baris (a,b,c) dan kolom (x,y) yang sama berarti berbeda nyata

pada uji BNJ (0.05)

Berdasarkan uji BNJ taraf 0,05 pada Tabel 5 menunjukkan, bahwa penambahan ragi 1% dan sukrosa 3% menghasilkan polifenol 1056,84 ppm lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, sedangkan ragi 0,5% dengan sukrosa 2% menghasilkan polifenol hanya 702,23 ppm. Seperti diketahui bahwa pulp kakao mengandung sejumlah asam-asam organik seperti asam malat, asam sitrat dan asam asetat selain itu pulp kakao juga mengandung senyawa polifenol sebanyak 0,17% yang larut dalam air dan sebanyak 0,15% yang larut dalam alkohol (Anvoh et al., 2009; Dias et al., 2007). Senyawa asam organik tersebut bersama polifenol merupakan zat kimia yang bersifat allelopati yaitu dapat menghambat perkecambahan biji tanaman (Li et al., 2010; Sing et al., 2001).

Menurut Berri (1985), senyawa fenol berpengaruh terhadap enzim hidrolisis yang berperan dalam memecah cadangan makanan menjadi senyawa-senyawa yang siap dimetabolisme. Kemampuan penghambatan senyawa fenol tergantung konsentrasi (Salisbury dan Ross, 1995), pada konsentrasi tinggi senyawa fenol dapat menaikkan tekanan osmosis, sehingga menghambat difusi air dan oksigen ke dalam biji (Salisbury dan Ross, 1995; Gardner et al., 1991), serta menghambat transport asam amino dan pembentukan protein (Rice, 1984).

Asam fenolat merupakan salah satu dari belasan alelokimia (senyawa penyebab alelopati yang dapat menghambat

Page 76: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan60

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 53-61

pertumbuhan tanaman lain disekitarnya). Alelokimia dari senyawa fenol menghambat pertumbuhan tanaman melalui beberapa cara, antara lain dengan menghambat pembelahan dan pemanjangan sel, menghambat kerja hormon, mengubah pola kerja enzim, menghambat proses respirasi, menurunkan kemampuan fotosintesis, mengurangi pembukaan stomata, menghambat penyerapan air dan hara serta menurunkan permeabilitas membran (Einhellig, 1995; Devi et al., 1997).

Fenol merupakan senyawa kimia yang banyak dimanfaatkan sebagai insektisida, herbisida dan fungisida. Sebagai herbisida, fenol sangat tinggi toksisitasnya, bersifat non selektif dan bekerja secara efektif merupakan herbisida organik dan sebagian besar bersifat kontak (Oudejans, 1991).

KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian yang

diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa penambahan ragi dan sukrosa pada awal fermentasi biji kakao berpengaruh sangat nyata terhadap kadar alkohol, total asam, asam asetat, asam sitrat dan polifenol cairan pulp biji kakao. Penambahan ragi 1% dan gula 2% menghasilkan kadar alkohol 0,77%, total asam 65,25%, asam sitrat 2740,73 ppm, dan asam asetat 3915,33ppm, sedangkan kadar polifenol terbaik sebesar 1056,84 ppm pada penambahan ragi 1% dan sukrosa 3%.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan

kepada Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana Penelitian dalam skim Penelitian Terapan, dan Universitas Muslim Indonesia yang telah memberikan izin penelitian, sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA1. Ageng S., D., Surya Rosa Putra, 2009.

Profil Fermentasi Sukrosa Menjadi Etanol Menggunakan Zymomonas Mobilis Yang Dikoamobilkan Dengan Ekstrak Kasar Invertase. Prosiding Tugas Akhir

Semester Genap 2008/2009. Prosiding KIMIA FMIPA – ITS.

2. Alamsyah, T.S. 1991. Peranan fermentasi dalam pengolahan biji kakao kering. Suatu Tinjauan.Berita Perkebunan, 1 (2) : 97-103.

3. Anvoh, K.Y.B., A. Zoro-Bi and D. Gnakri. 2009. Production and characterization of juice from mucilage of cocoa beans and its transformation into marmalade. Pakistan Journal of Nutrition 8(2): 129- 133.

4. Ardhana, M.M. & G.H. Fleet, 2003. The microbial ecology of cocoa bean fermentation in Indonesia. International Journal of Food Microbiology 86, 87-99.

5. Azizah N., A. N. Al--Baarri, S. Mulyani, 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, Dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Semarang: Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

6. Bintoro, M.H. 1977. Periode Cukup Panen, Panen dan Periode Setelah PanenCoklat.IPB-Press. Bogor.

7. Chahyaditha E.M. 2011. Pembuatan Pektin dari Kulit Buah Kakao dengan Kapasitas Produksi 20.000 Ton / Tahun.Universitas Sumatra.

8. Darwis A.A, Sukara E. 1989. Penuntun Praktikum Isolasi, Purifikasi, dan Karakterisasi Enzim. Laboratorium Bioindustri, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

9. Devi, S.R., Pellisier dan Prasad. 1997. Allelochemical. In: M.N.V.Prasad (Eds).1997. Plant Ecophysiology. John Willey and Sons, Inc. Toronto, Canada. 253-303 hlm.

10. Dias, D.R., R.F. Schwan, E.S. Freire and R.D.S. Serodio. 2007. Elaboration of a fruit wine from cocoa (Thebroma cacao L.) pulp. International Journal of Food Science and Technology 42: 319-329

11. Effendi, M.S. 2002. Kinetika fermentasi asam asetat (vinegar) oleh bakteri Acetobacter aceti B127 dari etanol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao. J Teknol Ind Pert 13:125-135.

Page 77: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 61

12. Figueira, A., J. Janick and J.N. BeMiller. 1993. New products from Theobroma cacao: Seed pulp and pod gum. In J. Janick and J.E. Simon (eds.). New Crops. Wiley, New York. p. 475-478.

13. Ganda-Putra, G.P., Harijono, S. Kumalaningsih dan Aulani’am. 2008. Optimasi kondisi depolimerisasi pulp biji kakao oleh enzim polygalaturonase endojinus. Jurnal Teknik Industri 9 (1): 24-34.

14. Guehi, S.T., S. Dabone, L. Ban-Koffi, D.K. Kra, and G.I. Zahouli, 2010. Effect of turning beans and fermentation method on the acidity and physical quality of raw cocoa beans. Advance Journal of Food Science and Technology, 2:163-171.

15. Lehrian, D.W and G.R. Patterson. 1983. Cocoa fermentation, p. 529-575. In G.Reed (ed), Biotechnology, comprehensive treatise, vol 5.verlag Chemie, Basel, Switzerland.

16. Li Z.H., Q. Wang, X. Ruan, C.D. Pan. and D.A. Jiang. 2010. Phenolic and plant allelopathy. Molecules 15:8933-8952.

17. Lopez, A.S. 1986. The cocoa pulps soft drink industry in brazil and its effercts on head fermentation. International Cocoa Research Conference.

18. Nasution MZ, Tjiptadi W dan Laksmi BS. 1985. Pengolahan Cokelat. Bogor , Agroindustri Press.

19. Oudejans, JH. 1991. Agro Pesticides: Properties and Function in Integrated Crop Protection. United Nations Bangkok. 329 hlm.

20. Opeka LK. 1984. Optimising economic returns(profit) from cocoa cultivation trougheconomic efficient use of cocoa by product. Dalam Sulistyowati, Atmawinata O, Muloto S, Yusianto. 1998. Pemenfaatan limbah bubur pulp kakao untuk pembuatan nata kakao. Pelita Perkebunan 14: 63 – 75.

21. Pasau,C.,2013.Efektivitas penggunaan asam asetat pada pemeraman biji kakao segar sebagai analog fermentasi.E-j.agrotekbis 1 (2) : 113-120.

22. Pettipher, G. L. 1986. Analysis of cocoa pulp and the formulation of a standardised artificial cocoa pulp medium. Journal of the Science and Food Agriculture, 37:297–309.

23. Ramlah, S. & Daud, D. 2009. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Warna dan Citarasa Biji Kakao. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 4: 24-30.

24. Rohan,T.A. 1963. Proccesing of Raw Cocoa for The Market. Food and Agricultural Organization of The United National, Rome

25. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Lukman dan Sunaryono. ITB, Bandung. 338p

26. Schwan, R.F. 1998. Cocoa fermentations conducted with a defined microbial cocktail inoculum. Appl. Environ Microbiol., 64 (4) : 1477-1483.

27. Sulistyowati dan Soenaryo. 1989. Optimasi Lama Fermentasi dan Perendaman Biji Kakao Mulia.Pelita Pekebunan. Vol. 5 (1): 37-45.

28. Sing, H.P., R.K. Kohli. and D.R. Batish. 2001. Allelopathy in agroeco systems : An overview. Journal of Crop Production 4: 1-41.

Peningkatan Kadar Alkohol ... (St. Sabahannur)

Page 78: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
Page 79: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

KARAKTERISTIK ZAT WARNA ANTOSIANIN DARI BIJI KAKAO NON FERMENTASI SEBAGAI SUMBER ZAT WARNA ALAM

Characterization of Antosianin Source of Natural Dyes from Unfermented Cocoa Beans As a Source of Natural Dyes

Alfrida Lullung SampebarraBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof Dr. Abdurahman Basalamah No. 28 Makassare-mail : [email protected]

Abstract. This study aims to determine the characterization of anthocyanin dye from unfermented cocoa beans as a natural dye. The extraction of an anthocyanin dye using ethanol solvent with two types of acids i.e. acetic acid and oxalic acid at pH 2, 3 and 4. The result showed that the extraction solution was identified as red solution. The results of anthocyanin dye extract test from cocoa beans with ethanol pretation with acetic acid each at pH 2: antosianin level 4.156%, antioxidant activity 91.91%, color intensity 0.288, pH 3 antosianin 4.499%, antioxidant activity 91.92%, color intensity 0.430 and pH 4 anthocyanin content 2.221%, antioxidant activity 88.08%, color intensity 0.194. While the use of solvent ethanol and oxalic acid is pH 2 levels of anthocyanin 4.156%, antioxidant activity 61.17%, color intensity 0.223, pH 3 antosianin 4.499%, antioxidant activity 49.83%, color intensity 0.356. and pH 4 levels of anthocyanin 2.221%, antioxidant activity 69.74%, color intensity 0.143. The test results showed that the extract with the use of ethanol and acetic acid solvent at pH 3 gave better result than the other extract.

keywords: anthocyanin preparations, natural dyes, unfermented cocoa beans

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber zat warna alami. Ekstraksi zat warna antosianin menggunakan pelarut etanol dengan dua jenis asam yaitu asam asetat dan asam oksalat pada pH 2, 3 dan 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak teridentifikasi sebagai larutan berwarna merah. Hasil pengujian ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao dengan pelarut etanol dan asam asetat pada pH 2 adalah sebagai berikut kadar antosianin = 4,156%, aktivitas antioksidan = 91,91%, intensitas warna = 0,288, pada pH 3, kadar antosianin = 4,499%, aktivitas antioksidan = 91,92%, intensitas warna = 0,430 dan pada pH 4, kadar antosianin = 2,221%, aktivitas antioksidan = 88,08%, intensitas warna = 0,194. Sedangkan pada penggunan pelarut etanol dan asam oksalat, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: pada pH 2, kadar antosianin = 4,156%, aktivitas antioksidan = 61,17%, intensitas warna = 0,223, pada pH 3, kadar antosianin = 4,499%, aktivitas antioksidan = 49,83%, intensitas warna = 0,356 dan pada pH 4, kadar antosianin = 2,221%, aktivitas antioksidan = 69,74%, intensitas warna = 0,143. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak dengan pelarut etanol dan asam asetat pada pH 3 memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak lainnya.

kata kunci: sediaan antosianin, zat warna alami, biji kakao non fermentasi

PENDAHULUANZat warna alami yang bersifat lebih

aman dapat digunakan dan dikembangkan antara lain dari pigmen karotenoid, kurkumin, antosianin, dan pigmen lainnya yang terkandung dalam jaringan buah, bunga, daun, batang maupun akar tanaman Antosianin merupakan pigmen alami yang banyak ditemui pada tanaman yang berwarna merah dan ungu. Tanaman kakao merupakan salah satu sumber daya

lokal yang mengandung pigmen alami yaitu pigmen antosianin. Pigmen antosianin sendiri selain bisa digunakan sebagai bahan pewarna, juga merupakan antioksidan yang baik. Oleh karenanya, tanaman kakao dapat merupakan alternatif baru penghasil antioksidan. Kandungan dari biji kakao adalah purin alkaloid (teobromin dan kafein), lemak (asam oleat, asam stearat dan asam palmitat), protein, pati, monosakarida (sukrosa, glukosa dan fruktosa), amin

Karakteristik Zat Warna Antosianin ... (Alfrida Lullung Sampebarra)

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 63

Page 80: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

biogenik (fenil etil amin, tiramin, triptamin dan serotonin), alkaloid isokuinolin (salsolinol), tanin katekin (oligomerik proantosianidin) dan oksalat (Hii et al., 2009).

Antosianin merupakan pigmen berwarna merah, ungu dan biru yang biasa terdapat pada tanaman. Antosianin dapat menggantikan penggunaan pewarna sintetik rhodamin B, carmoisin, dan amaranth sebagai pewarna merah pada produk pangan. JEFCA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) telah menyatakan bahwa ekstrak yang mengandung antosianin memiliki efek toksisitas yang rendah. Selain berperan sebagai pewarna makanan, antosianin juga dipercaya berperan dalam sistem biologis, termasuk kemampuannya sebagai pengikat radikal bebas dan kemampuan untuk menghambat tahap inisiasi reaksi kimiawi yang menyebabkan karsinogenesis (Arivani, 2010). Antosianin dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. seperti antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, dan efek anti-inflamsi, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler, menghambat agregasi platelet serta immunitas. Semua aktivitas ini didasarkan pada peranan sebagai antioksidan. Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan.

Beberapa bahan yang dapat diekstrak sebagai sumber pewarna alami yang mengandung antosianin yaitu kelopak bunga rosella, kubis merah, ubi jalar ungu, bunga kana, buah duwet, strawberry, daun bayam merah, kulit rambutan, kulit buah anggur dan kulit manggis (Endang et al., 2009). Umumnya cara mengekstrak antosianin menggunakan pelarut dan asam. Fungsi pelarut untuk ekstrak antosianin merupakan faktor yang menentukan kualitas dari suatu ekstraksi, dan memiliki daya yang besar untuk melarutkan. Sedangkan penambahan asam berfungsi untuk lebih mengoptimalkan ekstraksi antosianin. Dalam penelitian yang dilakukan Saati dan Elfi Anis (2002) pelarut dan asam yang terbaik yaitu etanol 96% dengan asam asetat pada proses ekstraksi antosianin dari bunga kana. Penelitian

bertujuan untuk mengetahui karakterisasi zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi sebagai sumber zat warna alami.

METODOLOGI PENELITIANAlat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain : timbangan, neraca analitik, lumpang alu, rotary evaporator, oven, penangas air, pH meter, cawan penguap, mixer, waskom stainless steel, lumpang porcelain, corong, botol plastik, beaker glass, gelas ukur, sendok takar, gelas pengaduk, toples kaca, masker, sarung tangan, wadah pengering.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah biji kakao non fermentasi, etanol, asam sitrat, asam asetat, natrium hidroksida, aquabides, kertas pH, kertas saring.

METODE PENELITIANData kadar antosianin, karakteristik,

intensitas warna, aktivitas antioksidan dan efek iritasi pada kulit dari sediaan antosianin diperoleh dari hasil eksperimen dan uji laboratorium.

Prosedur penelitian meliputi hal-hal berikut.

1. Penyiapan bahan baku Penyiapan biji kakao non fermentasi

mengikuti metode standar (Sri Mulato et al., 1995). Pengeringan biji kakao melalui penjemuran dibawah sinar matahari selama 5 jam setiap hari selama 5 hari, untuk mendapatkan biji kakao kadar air 7%. Selanjutnya biji kakao dipisahkan dari kulit arinya, sebelum digiling.

2. Ekstraksi zat warna Pada tahap ini untuk setiap

eksperimen dilakukan ekstraksi zat warna alami dari 1 kg biji kakao (nib) secara maserasi selama 2 x 24 jam, menggunakan 2 liter pelarut etanol dengan penambahan untuk dua jenis asam yaitu asam oksalat dan asam asetat masing-masing pada pH 2, 3 dan 4. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil ekstraksi disaring dan

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan64

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 63-70

Page 81: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

filtratnya diuapkan menggunakan pada suhu 40 0C.

3. Uji sediaan zat warna alami Uji hasil ekstrak zat warna antosianin

dalam bentuk sediaan dilakukan pada Laboratorium Farmasi UNHAS Makassar dan Laboratorium Farmasi ITB Bandung untuk parameter- parameter kadar antosianin, intensitas warna, kestabilan dan aktivitas antioksidan.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil pengujian zat warna alam

antosianin dari biji kakao non fermentasi ini mencakup kadar antosianin, intensitas warna, aktivitas anti oksidan, dan efek iritasi antosianin pada kulit berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 1.

Kadar AntosianinKadar antosianin yang terdapat dalam

ekstrak etanol-asam asetat pH 2 (AApH2), etanol-asam asetat pH 3 (AApH3), etanol-asam asetat pH 4 (AApH4), etanol-asam oksalat pH 2 (AOpH2), etanol-asam oksalat pH 3 (AOpH3), dan etanol-asam oksalat pH 4 (AOpH4) dapat dilihat pada Tabel 1.

No. Kode Sampel

Kadar Antosianin (%)

1. AApH2 4,156AApH3 4,499AApH4 2,221

2. AOpH2 4,057AOpH3 3,347AOpH4 3,383

Karakteristik Zat Warna Antosianin ... (Alfrida Lullung Sampebarra)

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 65

Tabel 1. Kadar Antosianin dalam Ekstrak Biji Kakao

Hasil pengujian (Tabel 1) kadar antosianin ekstrak biji kakao non fermentasi menunjukkan bahwa kadar antosianin berkurang dengan meningkatnya nilai pH, Hal ini disebabkan antosianin merupakan zat warna merah yang stabil pada pH rendah, dan stabilitasnya akan turun apabila pH dinaikkan. Winarti dan Firdaus (2010) menyatakan bahwa stabilitas warna yang ditunjukkan oleh nilai absorbansi sangat dipengaruhi oleh nilai pH.

Reaksi yang terjadi akibat penambahan pH ditunjukkan pada Gambar 1. Perubahan warna akibat pengaruh pH terjadi karena kation flavilium yang berwarna merah berubah dari hidrat menjadi basa karbinol atau pseudobase (bentuk awal kalkon) tak berwarna dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna (Winarti S. dan Firdaus A., 2010).

Gambar 1. Perubahan struktur akibat pengaruh penambahan buffer pH (Sumber: Lee, et. al, 2005 dalam Nurlela dan Siregar (2011).

Page 82: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Sari at al., (2003) menyatakan bahwa pada pH rendah sebagian besar antosianin terdapat dalam bentuk kation flavilium yang berwarna merah, sedangkan senyawa basa karbinol yang tidak berwarna relatif kecil jumlahnya. Peningkatan pH memperbanyak senyawa basa karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sudarmanto (1990) bahwa inti flavilium pigmen antosianin bersifat defisien elektron sehingga sangat reaktif dan mudah mengalami reaksi yang umumnya menyebabkan dekolorasi warna.

Hasil ekstrak yang diperoleh juga dipengaruhi oleh jenis asam organik yang digunakan. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan derajat disosiasi dari asam yang digunakan. Tetapan disosiasi dari asam asetat lebih besar daripada tetapan disosiasi dari asam oksalat. Tetapan disosiasi untuk asam asetat adalah 1,75 x 10-5 dan asam oksalat adalah 5,4 x 10-5, 5,2 x 10-5 (Vogel 1987). Semakin besar tetapan disosiasi

Panjang Gelombang Serapan sampel

nm AOpH2 AOpH3 AOpH4 AApH2 AApH3 AApH4550 0,141 0,1397 0,033 0,193 0,268 0,098555 0,132 0,388 0,049 0,193 0,266 0,094560 0,126 0,351 0,037 0,183 0,253 0,089565 0,223 0,356 0,143 0,288 0,430 0,194570 0,102 0,290 0,033 0,165 0,234 0,079575 0,092 0,255 0,030 0,161 0,224 0,078580 0,172 0,312 0,128 0,245 0,303 0,166585 0,069 0,189 0,031 0,139 0,193 0,067590 0,061 0,158 0,028 0,127 0,174 0,062595 0,046 0,125 0,024 0,113 0,151 0,053600 0,109 0,025 0,027 0,105 0,133 0,052

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan66

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 63-70

semakin kuat suatu asam karena semakin besar jumlah ion hidrogen yang dilepaskan ke dalam larutan. Dalam hal ini, asam asetat merupakan asam organik lebih kuat jika dibandingkan dengan asam oksalat. Selain itu asam asetat juga merupakan asam monoprotik, yang berarti dapat berdisosiasi melepaskan satu H+ hanya sekali sedangkan asam oksalat melepaskan H+ dua kali. Keadaan yang semakin asam menyebabkan pigmen antosianin berada dalam bentuk kation flavilium atau oxonium yang berwarna dan pengukuran absorbansi akan menunjukkan jumlah antosianin yang semakin besar dan menyebabkan dinding sel vakuola yang pecah sehingga semakin banyak antosianin yang terekstrak (Fennema, 1985).

Uji Stabilitas WarnaTabel 2 menunjukan serapan ekstrak

yang diperoleh pada berbagai panjang gelombang.

Tabel 2. Hasil Uji Intensitas Warna

Penentuan stabilitas sampel diawali dengan mencari panjang gelombang maksimun serapan anthosianin. Panjang gelombang yang digunakan pada ekstrak antosianin dari biji kakao non fermentasi berkisar antara 550-600 nm. puncak serapan maksimum panjang gelombang pada ekatrak antosianin dengan pelarut etanol dan asam asetat AApH3 terjadi pada panjang gelombang 565 nm dan pada pelarut

etanol dan asam oksalat puncak serapan maksimum terjadi pada panjang gelombang 565 nm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak tersebut adalah senyawa antosianin. Menurut Ritter at al., (1990), panjang gelombang serapan maksimum antosianin berada sekitar 550-570 nm Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak yang diperoleh merupakan senyawa antosianin. Serapan maksimun pada panjang gelombang 565

Page 83: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

nm menghasilkan intensitas warna tertinggi untuk ekstrak zat warna dengan etanol dan asam asetat pada pH 3 sebesar 0,430.

Intensitas Warna Intensitas warna yaitu suatu

karakteristik cahaya yang dapat diukur panjang gelombangnya. Suatu zat akan berwarna jika zat tersebut melakukan absorbsi selektif sinar yang masuk dan meneruskan sebagian sinar yang tidak diadsorbsi atau sinar yang lewat. Ekstrak dengan total antosianin yang paling besar akan memiliki intensitas warna yang besar pula.

Tabel 2 menunjukkan bahwa stabilitas antosianin sangat dipengaruhi oleh nilai pH dan jenis asam. Perubahan nilai absorbansi dari ekstrak pada pH 2 dan pH 3 kurang signifikan. Namun pada pH 4 nilai absorbansi mengalami perubahan secara tajam. Pada hasil penelitian ini terlihat bahwa warna paling kuat intensitasnya pada pH 3 dan mengalami penurunan secara tajam pada pH 4. semakin tinggi pH yang diberikan semakin tidak stabil kadar antosianinnya atau semakin tinggi kerusakan antosianin biji kakao non fermentasi Pigmen antosianin masih stabil pada pH 3, sedangkan pada media pH 4 pigmen mengalami kerusakan (tidak stabil). Menurut Brouillard (1982), antosianin berubah warna dari warna merah menjadi berkurang warnanya pada asam lemah, pada pH rendah antosianin berada dalam bentuk kation flavilium yang merupakan bentuk yang paling stabil. Pada pH >3 warna merah terang kation flavilium

kemudian berubah bentuk menjadi basa kuinonoidal yang berwarna biru atau menjadi karbinol pseudobase yang tidak berwarna sejalan dengan naiknya pH. Ketika pH naik ke nilai pH 4-5 atau pH semakin ditingkatkan akan menyebabkan hilangnya proton lebih cepat yang akan menyebabkan deprotonisasi dan hidrasi kation flavilium dan pada pH >4 struktur antosianin tidak stabil dan dapat mengalami transformasi stabilitas pigmen (Bridgers, et al., 2010).

SuhuHasil pengujian zat warna antosianin

dari biji kakao non fermentasi pada berbagai suhu diberikan pada Tabel 3. Absorbansi antosianin pada panjang gelombang maksimum mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya suhu. Pada suhu 40 °C, 52 °C dan 62 °C, nilai absorbansi umumnya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada temperatur yang tinggi, antosianin mengalami dekomposisi/perubahan struktur. Degradasi mudah terjadi pada antosianin. Stabilitas senyawa antosianin dipengaruhi salah satunya oleh suhu. Menurut Adam (1973) dalam Yudiono (2011), suhu tinggi menyebabkan antosianin membentuk kalkon yang cincinnya terbuka, dan bersifat labil. Keberadaan O2 pada suhu tinggi menyebabkan antosianin berubah menjadi coklat. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Winarti et al., (2010) bahwa suhu dan lama pemanasan menyebabkan dekomposisi dan perubahan struktur sehingga terjadi pemucatan.

suhu (°C) AApH2 AApH3 AApH4 AOpH2 AOpH3 AOpH4suhu

kamar/ruang0,288 0,356 0,194 0,223 0,430 0,143

40 0,175 0,218 0,085 0,201 0,239 0,15652 0,165 0,211 0,082 0,192 0,233 0,15762 0,180 0,227 0,076 0,230 0,300 0,158

Karakteristik Zat Warna Antosianin ... (Alfrida Lullung Sampebarra)

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 67

Tabel 3. Serapan Sampel sebagai Fungsi Suhu

Page 84: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Vitamin C

(ppm)Serapan Serapan Rerata

Aktivitas antioksidan

(%)1,0163±0,029

1000 0,0724 0,0721 0,07225 92,89500 0,0762 0,0743 0,07315 92,80250 0,0759 0,0736 0,07475 92,62125 0,0940 0,0829 0,09345 90,8062,5 0,5553 0,3961 0,4757 53,19

Konsentrasi

(ppm)

% inhibisi peredaman DPPHAApH2 AApH3 AApH4 AOpH2 AOpH3 AOpH4

2500 91,13 91,17 92,02 85,32 74,39 90,441250 91,90 91,95 92,47 74,64 60,75 83,72625 91,91 91,92 88,08 61,17 49,83 69,74

312,5 85,11 81,14 66,96 53,06 39,34 54,16156,25 61,88 62,63 50,05 40,83 28,89 36,26

Berdasarkan hasil penelitian Hidayah (2013), diperoleh bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka absorbansi atau stabilitas warna semakin rendah sehingga warna merah akan berkurang. Penurunan absorbansi ini disebabkan karena terjadi kerusakan gugus kromofor pigmen yang menyebabkan kerusakan warna. Menurut Markakis (1982), menyatakan bahwa menurunnya stabilitas warna karena suhu yang tinggi disebabkan karena terjadinya dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna). Kerusakan

akibat pemanasan dapat terjadi melalui dua tahap, pertama terjadi hidrolisis ikatan glikosidik antosianin sehingga menghasilkan aglikon yang tidak stabil, kemudian cincin aglikon terbuka membentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna.

Aktifitas Antioksidan Untuk uji aktivitas antioksidan, vitamin

C digunakan untuk validasi metode. Aktivitas antioksidan dari vitamin C diberikan pada Tabel 4.

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan68

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 63-70

Tabel 4. Aktivitas Antioksidan dari Vitamin C

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa metode yang digunakan valid.

Aktivitas antioksidan dari ekstrak biji kakao dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Daya Aktivitas Antioksidan

Ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi memiliki kemampuan sebagai penangkal radikal bebas yang sangat baik, hal ini terlihat pada Tabel 5. Aktivitas penangkal radikal dibuktikan dengan perubahan warna ungu menjadi warna kuning, dan ketika ekstrak ditambahkan larutan DPPH, ekstrak menunjukkan aktivitas penangkal yang lebih besar karena warna larutan langsung berubah dari ungu menjadi kuning ketika ditambahkan DPPH. Berdasarkan hasil analisis aktivitas

penangkal radikal bebas DPPH pada konsentrasi 625 ppm ekstrak antosianin dari biji kakao non fermentasi dengan etanol dan asam asetat pada pH 3 memiliki aktivitas antioksidan tertinggi yakni sebesar 91,92% sedangkan terendah adalah penggunaan asam oksalat pH 3 dengan aktivitas antioksidan sebesar 49,83%. Senyawa yang memiliki kemampuan penangkal radikal umumnya merupakan pendonor atom hidrogen (H), sehingga atom H tersebut dapat ditangkap oleh radikal DPPH untuk

Page 85: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

berubah menjadi bentuk netralnya. Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa melepaskan atom hidrogennya untuk menetralkan elektron yang tidak berpasangan pada senyawa radikal bebas. Pada prinsipnya metode penangkal radikal bebas merupakan pengukuran penangkalan radikal bebas sintetik dalam pelarut organik polar seperti metanol pada suhu kamar oleh suatu senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan. Proses penangkalan radikal bebas ini melalui mekanisme pengambilan atom hidrogen dari senyawa antioksidan oleh radikal bebas sehingga radikal bebas menangkap satu elektron dari antioksidan. Radikal bebas sintetik yang digunakan adalah DPPH, senyawa ini bereaksi dengan senyawa antioksidan melalui pengambilan atom hidrogen dari senyawa antioksidan untuk mendapatkan pasangan elektron. Keberadaan sebuah antioksidan yang dapat menyumbangkan elektron kepada DPPH

menghasilkan warna kuning yang merupakan ciri spesifik dari reaksi radikal DPPH (Kiay et al., 2011). Vitamin C yang digunakan sebagai pembanding, pada konsentrasi 500 ppm memberikan aktivitas sebesar 92,80% sedangkan pada konsentrasi vitamin C 1000 ppm, aktivitas antioksidan adalah sebesar 92,89%. Hasil ini menunjukan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi merupakan aktivitas antioksidan yang kuat dan setara dengan aktivitas antioksidan vitamin C.

Untuk penentuan IC50 kurva regresi dibuat antara persentasi penangkal radikal bebas terhadap konsentrasi larutan uji. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan besarnya nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH. Hasil perhitungan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6.

No. Kode Sampel

Nilai IC

(µg/ml ) Aktivitas

antioksidan1. AApH2 1,367 x10-5 sangat Kuat

AApH3 9,394 x 10-3 sangat KuatAApH4 0,926 Sangat kuat

2. AOpH2 68 kuatAOpH3 1124 Tidak berkhasiatAOpH4 62,8 kuat

Karakteristik Zat Warna Antosianin ... (Alfrida Lullung Sampebarra)

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 69

Tabel 6. Nilai IC50 dari Ekstrak Biji Kakao

Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH terhadap ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao nonfermentasi untuk penentuan nilai IC50 dapat dilihat bahwa hasil ekstrak AApH2, AApH3 dan AApH4 memiliki potensi aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan konsentrasi yang sangat kecil yaitu 1,367 x 10-5 µg/ml, 9,394 x 10-3 µg/ml dan 0,926 µg/ml Jadi, pada konsentrasi tersebut ekstrak air sampel kering dan basah sudah memiliki potensi sebesar 50 % dalam menangkal radikal bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak zat warna antosianin dari biji kakao non fermentasi dengan etanol dan asam asetat mempunyai daya antioksidan yang sangat kuat, dengan

nilai IC50 kurang dari 50 μg/mL. Semakin kecil nilai IC50 semakin tinggi aktivitas antioksidannya (Sinaga, 2009). Suatu senyawa dikatakan antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 μg/mL, kuat jika IC50 bernilai 50 μg/mL sampai 100 μg/mL, sedang jika IC50 bernilai 100 μg/mL sampai 150 μg/mL dan lemah jika IC50 bernilai 151 μg/mL sampai 200 μg/mL (Anonim, 2005).

SIMPULANLAnPORAN PENELIT KASBerdasarkan hasil penelitian ekstraksi

antosianin terhadap parameter yang diamati, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan jenis asam dan pH memberikan pengaruh terhadap kadar antosianin yang

Page 86: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

dihasilkan. Pigmen antosianin pada biji kakao non fermentasi dengan warna merah lebih stabil dalam keadaan asam yaitu pH 3 dan kadar antosianin tertinggi diperoleh pada penggunaan pelarut etanol dengan asam asetat pH 3 yakni sebesar 4,499%. Ekstraksi zat warna alami dari biji kakao non fermentasi dapat digunakan pada produk makanan minuman dan kosmetik.

DAFTAR PUSTAKA1. Anonim. Online 2005. Tanaman Obat

Indonesia. http://www.iptek.go.id.2. Arivani, S. 2010. Total Antosianin Ekstrak

Buah Salam dan Korelasinya dengan Kapasitas Anti Peroksidasi pada Sistem Linoleat. Agrointek, 4 (2) : 121-127.

3. Bridgers, N. E., Chin, S. M., Den Truong, V. 2010. Extraction of Anthocyanins from Industrial Purple-Fleshed Sweetpotatoes and Enzymatic Hydrolysis of Residues for Fermentable Sugars. Industrial Crops and Products 32 (2010) 613-620.

4. Brouillard, R. 1982. Chemical Structure of Anthocyanin. Di dalam P. Markakis (ed). Anthocyanin as Food Colors. Academic Press. New York.

5. Endang, K., Dwi. A. S, Agus. W dan Adi. T. 2009. Zat Pewarna Tekstil Dari Kulit Buah Manggis. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surakarta, Surakarta.

6. Fennema, Owen. 1985. Food Chemistry. 2nd edition. Marcell Dekker, Inc. New York.

7. Hii, C. L., Law, C. L., Suzannah, S., Misnawi, & Cloke, M., 2009, Polyphenols in cocoa (Theobroma cacao L.), Asian Journal of Food and Agro-Industry, 2, 04, 702-722.

8. ISO 10993-10-2010, Biological Evaluation of Medical Devices – Part 10; test for Irritation and Sensitization, Geneva, 1995, 2-5.

9. Kiay, N., Suryanto, E., Mamahit, L., Efek Lama Perendaman Ekstrak Kalamansi (Citrus Microcarpa) terhadap Aktivitas Antioksidan Tepung Pisang Goroho (Musa spp.). Chem. Prog. 2011, 4, 27-33.

10. Nurlela, Siregar, D. I. Y. 2011. Ekstraksi dan Uji Stabilitas Zat Warna Alami dari

Bunga Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L) dan Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L). Jakarta. Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Valensi Vol. 2 No. 3.

11. Ritter, L. and C.A., Franklin, Dermal Toxicity Testing: Exposure and Absorption, in Handbook of In vivo Toxicity Testing, 1990, D.L. Arnold, H. C. Grice, and D.R. Krewski (Eds.,) Academic press, Inc., Toronto 247-257.

12. Saati, Elfi Anis. 2002. Identifikasi dan Uji Kualitas Pigmen Kulit Buah Naga Merah (Hylocareus costaricensis) pada Beberapa Umur Simpan dengan Perbedaan Jenis Pelarut. UMM Press. Malang.

13. Sari, Diah Permata & Saati, Elfi Anis,. 2003. Pengujian Efektivitas Penggunaan Jenis Pelarut dan Asam dalam Ekstraksi Pigmen Antosianin Bunga Kanan. Skripsi. Jurusan THP, Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang.

14. Sri-Mulato, Wahyudi, T.,Atmawinata, O., & Amin, S.(1995). Beberapa Alternatif Sarana Pengolahan Kakao Rakyat. Prosiding Seminar Pengeringan Biji Kakao dengan Energi Surya. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

15. Sudarmanto. 1990. Bahan Pewarna Alami dalam Tanaman Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.

16. Vogel. 1987. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerjemah :Pudjaatmaka H dan Setiono. EGC. Jakarta.

17. Winarti S. dan Firdaus A., 2010. Stabilitas Warna Merah Ekstrak Bunga Rosela Untuk Pewarna Makanan Dan Minuman. Surabaya. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 11 No. 87-93.

18. Yudiono. K. 2011. Ekstraksi Antosianin Dari Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas CV. Ayamurasaki) Dengan Teknik Ekstraksi Subcritical Water. Jurnal Teknologi Pangan.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 13 No. 1 Juni 2018: 63-70

Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan70

Page 87: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

PETUNJUK PENULISAN

KETENTUAN UMUM• Artikel adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) atau makalah ilmiah, hasil penelitian, tinjauan, kajian, atau

ulasan dan komunikasi pendek yang dikemas secara sistimatis dan kritis, dibidang ilmu/aplikasi teknik (rekayasa) dan teknologi industri hasil perkebunan.

• Artikel belum pernah dipublikasikan pada jurnal ilmiah lain atau dipresentasikan pada pertemuan ilmiah, seminar dan semacamnya.

FORMAT PENULISAN• Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku dan lugas.• Artikel diketik pada kertas A4 huruf Arial font 11 spasi tunggal (kecuali dinyatakan lain) berkisar antara

7-12 halaman. Batas marjin kiri 3,5 cm; kanan 2,5 cm; atas 3,0 cm; dan bawah 2,5 cm.• Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia, diikuti dengan terjemahannya dalam

bahasa Inggris. Bila artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka judul, abstrak, dan kata kunci diikuti dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

• Judul menggunakan huruf kapital bold dan terjemahannya dengan huruf biasa italik masing-masing dengan font 11 spasi tunggal berkisar antara 10 - 25 kata.

• Nama penulis dicantumkan dibawah judul diikuti dengan nama dan alamat institusi penulis beserta satu alamat pos-el korespondensi penulis dengan font 10 spasi tunggal. Nama penulis dicetak bold.

• Abstrak dibuat dalam satu paragraf menggunakan font 10 italik (paling banyak 150 kata dalam bahasa Inggris, dan 200 kata dalam bahasa Indonesia). Kata kunci dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk, paling banyak delapan kata.

• Sistimatika penulisan artikel hasil penelitian adalah Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan Daftar Pustaka. Untuk tulisan bersifat teknik (rekayasa) dan tinjauan/ulasan ilmiah, selain Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Simpulan dan seterusnya sistimatika penulisannya disesuaikan dengan isi artikel. Setiap paragraf ditulis dalam bentuk paragraf utuh tanpa dipenggal kedalam butir-butir (pointer). Misalnya untuk menuliskan urutan proses, komposisi bahan, perlakuan penelitian, standar, atau simpulan hasil penelitian atau kajian ilmiah.

• Sitasi pustaka dan sitasi teks mengacu pada Chicago Style (Scientific Style). Daftar Pustaka menggunakan font 10.

• Bila tahun publikasi pustaka tidak diketahui maka sebagai gantinya digunakan t.t atau n.d.• Contoh penulisan sitasi teks (Hidayat, 2001). Bila penulis pustaka lebih dari 2 (dua) orang maka hanya

nama penulis pertama yang ditulis diikuti dengan kata et al.• Contoh penulisan Daftar Pustaka:

1. Beckett, S. T. 2000. The Science of Chocolate. Cambridge UK: RSCP Paper backs.2. BSN. 1995. Mutu dan Cara Uji Gula Palma, SNI 01-3743-1995. Jakarta: Badan Standardisasi

Nasional.3. Budiarso, I. 2004. Minyak Kelapa: Minyak Goreng Paling Aman dan Paling Sehat. http://viladago.

blogsome.com/2005/12/20/minyak-kelapa (diakses 9 Maret 2008).4. Chau, K. V and Gaffney, J. J. 1990. A Finite Difference Model for Heat and Mass Transfer in

Products with Internal Heat Generation and Transpiration. J. Food Sc. 55 (2):484-487.5. Holland, F.A. 1984. Process Economics. In Perry’s Chemical Engineers Handbook. Robert H.Perry

and Don Green, eds. New York : McGraw Hill Inc.6. Republika. 2008. Harga Cengkeh Melonjak. 19 Nopember.7. Sukha, D.A. 2003. Potential Value Added Products from Trinidad and Tobago Cocoa. Proc.

of Seminar/Exhibition on The Revitalization of Trinidad and Tobago Cocoa Industry. Sept, 20. St.Agustine: APASTT-Faculty of Sci. and Agricult. UWI.

• Bila pustaka yang diacu di tulis oleh penulis yang sama dan dalam tahun yang sama, maka setiap pustaka disusun dengan membedakan tahun terbit dengan huruf abjad, misalnya ( 2012 a), (2012 b) dst.

• Tabel, gambar, dan grafik diberi nomor urut; ilustrasi tersebut harus jelas terbaca. Judul tabel ditulis disebelah atas tabel yang bersangkutan, sedangkan judul gambar dan grafik disebelah bawah ilustrasi masing-masing. Tabel dibuat hanya dengan menggunakan garis horisontal.

Page 88: p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

• Masing-masing judul bab diketik dengan huruf kapital, sedangkan judul sub-bab dan Ucapan Terima Kasih (jika ada) dengan huruf biasa, ketiganya diketik bold font 11.

• Acuan pustaka sedapat mungkin 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer (jurnal ilmiah, prosiding, laporan hasil riset, dan paten).

• Kecuali judul, nama, dan alamat institusi penulis dan abstrak, naskah diketik dalam bentuk 2 (dua) kolom termasuk tabel, gambar, dan grafik (sepanjang memungkinkan). Ukuran font dan spasi tabel, gambar, dan grafik masing-masing font 10 spasi tunggal (atau menyesuaikan).Bila tidak memungkinkan, tabel, gambar, dan grafik menempati 2 (dua) kolom, agar ilustrasi tersebut dapat terbaca dengan jelas. Khusus untuk gambar dalam bentuk foto agar melampirkan negatifnya.

SELEKSI ARTIKEL• Proses seleksi meliputi: seleksi awal, penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Review (penelaahan) oleh

Mitra Bestari, dan persetujuan artikel. Proses penyuntingan dan review dapat berlangsung lebih dari satu kali dan bersifat anonim.

• Kriteria penilaian mencakup kesesuaian dengan persyaratan JIHP, derajat originalitas, konsep atau dasar pemikiran, alur penulisan, kedalaman ilmiah, unsur kebaruan dan inovasi, dan nilai manfaat/aplikasi hasil penelitian, kajian atau ulasan ilmiah tersebut.

• Redaksi berhak menolak, mengembalikan untuk diperbaiki atau mengedit kembali naskah tanpa merubah isi dan maksud artikel.

LAIN-LAIN• Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap setiap pernyataan dan pendapat ilmiah yang dikemukakan

penulis didalam artikelnya.• Artikel disertai dengan Surat Pengantar dan no Hp penulis dikirim dalam sampul tertutup, ditujukan

kepada Dewan Redaksi JIHP dengan alamat Redaksi JIHP atau melalui email [email protected]