Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

141
Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Yusuf S. Djajadihardja, Retno Andiastuti Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia www.tisda.org/indoo Indonesian Operational Ocean Observing System (INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483) Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Transcript of Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 1: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Tim Penulis:Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin,Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Yusuf S. Djajadihardja,Retno Andiastuti

Rise

tdan

Teknolo

giPem

anta

uan

Din

am

ika

Laut

Indonesia

www.tisda.org/indoo

Indonesian Operational Ocean Observing System(INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)

Riset dan TeknologiPemantauanDinamika LautIndonesia

Page 2: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Buku ini dicetak olehBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANANDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

APBN Tahun Anggaran 2006

Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin,Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Retno Andiastuti

Riset dan Teknologi PemantauanDinamika Laut Indonesia

Indonesian Operational Ocean Observing System(INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)

Page 3: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Buku ini dicetak olehBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANANDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

APBN Tahun Anggaran 2006

Tim Penulis: Albert Sulaiman, Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin,Marina C.G. Frederik, Muh. Sadly, Retno Andiastuti

Riset dan Teknologi PemantauanDinamika Laut Indonesia

Indonesian Operational Ocean Observing System(INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)

Page 4: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

KEPALA BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

KATA SAMBUTAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Permasalahan sumberdaya alam kelautan menempati posisi yang cukup sentral dalam memberikan kontribusi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman hayati laut, potensi sumberdaya non-hayati, potensi jasa kelautan, serta potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi asset ekonomi yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol dan mampu mencerdaskan masyarakat.

Untuk dapat mengelola sumberdaya alam kelautan secara baik, sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka ada salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan, bahkan amat diperlukan, yakni teknologi. Dalam kaitan ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara umum, dan Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara khusus, dapat memainkan peranan yang berarti. Oleh karena itu saya menyambut gembira ketika mengetahui berkembangnya inisiatif dan upaya staf Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) dalam kerangka Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project), dimana BPPT bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan European Space Agency (ESA), ENEA Italy dengan dukungan grant dari Uni-Eropah (EU), untuk menyusun sebuah buku mengenai peranan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam pemantauan dinamika laut Indonesia.

Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia” membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.

Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di Indonesia dan ditulis dengan gaya popular, tapi tetap dalam koridor saintifik ini diharapkan dapat

menjangkau khalayak pembaca yang luas. Kepada Tim Editor, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini.

Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya

pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan

informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan

angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat

bagi masyarakat luas, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi,

masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh kelautan dan pihak-pihak

yang terkait dalam pengelolaan potensi sumberdaya lautan.

Semoga keahlian dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam kelautan dapat

dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif pada masa depan.

Jakarta, Mei 2006

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Prof. Ir. Said D. Jenie, Sc. D.

Page 5: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

KEPALA BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

KATA SAMBUTAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Permasalahan sumberdaya alam kelautan menempati posisi yang cukup sentral dalam memberikan kontribusi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman hayati laut, potensi sumberdaya non-hayati, potensi jasa kelautan, serta potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi asset ekonomi yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol dan mampu mencerdaskan masyarakat.

Untuk dapat mengelola sumberdaya alam kelautan secara baik, sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka ada salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan, bahkan amat diperlukan, yakni teknologi. Dalam kaitan ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara umum, dan Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara khusus, dapat memainkan peranan yang berarti. Oleh karena itu saya menyambut gembira ketika mengetahui berkembangnya inisiatif dan upaya staf Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) dalam kerangka Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project), dimana BPPT bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan European Space Agency (ESA), ENEA Italy dengan dukungan grant dari Uni-Eropah (EU), untuk menyusun sebuah buku mengenai peranan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya dalam pemantauan dinamika laut Indonesia.

Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia” membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.

Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di Indonesia dan ditulis dengan gaya popular, tapi tetap dalam koridor saintifik ini diharapkan dapat

menjangkau khalayak pembaca yang luas. Kepada Tim Editor, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini.

Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya

pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan

informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan

angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat

bagi masyarakat luas, khususnya para peneliti, kalangan perguruan tinggi,

masyarakat pengguna informasi penginderaan jauh kelautan dan pihak-pihak

yang terkait dalam pengelolaan potensi sumberdaya lautan.

Semoga keahlian dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam kelautan dapat

dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif pada masa depan.

Jakarta, Mei 2006

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Prof. Ir. Said D. Jenie, Sc. D.

Page 6: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

DEPUTI KEPALA BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN

SUMBERDAYA ALAM, BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN

TEKNOLOGI

KATA SAMBUTAN

Permasalahan sumberdaya alam kelautan, khususnya di dalam pemantauan

dinamika laut Indonesia menempati posisi yang cukup penting dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam

lautan yang baik diperlukan metode dengan pendekatan multidisiplin yang

meliputi berbagai aspek, seperti aspek pemanfaatan sumberdaya, kelestarian

lingkungan dan aspek sosial ekonomi masyarakat.

Orientasi pembangunan Bangsa Indonesia ke depan yang berbasis pada

sumberdaya kelautan merupakan suatu keharusan mengingat (i) Indonesia

memiliki sumberdaya laut yang besar, (ii) Indonesia memiliki daya saing yang

tinggi di bidang kelautan, (iii) Industri di bidang kelautan dan perikanan

memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri industri lainnya. Hal ini sesuai

dengan kebijakan strategis yang dibuat Kementerian Negara Riset dan

Teknologi telah menempatkan pembangunan kelautan sebagai salah satu

program unggulan. Sumberdaya iptek Nasional diarahkan untuk mendukung

program tersebut.

Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, peran teknologi di dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat

diabaikan, bahkan amat diperlukan. Dalam kaitan ini, Kedeputian Teknologi

Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara cermat membina unit-unit nya

dalam hal ini Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) agar

dapat memainkan peranan yang berarti di dalam mengembangkan dan

mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh untuk kelautan. Berbagai bentuk

kegiatan, seperti seminar, ceramah, pameran, dan penerbitan buku. Salah satu

kegiatan tersebut yang dapat dipandang strategis,karena memiliki dampak

dalam jangka panjang.

Oleh karena itu saya menyambut dengan sangat gembira usaha segenap staf

peneliti Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) yang telah

berhasil menyusun dan menerbitkan buku berjudul “Riset dan Teknologi

Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini merupakan salah satu produk

dari proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project) dimana BPPT

bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan

dan Perikanan (DKP), European Space Agency (ESA), ENEA dan IMC Italy dengan

dukungan grant dari Uni-Eropah (European Union).

Melalui buku ini saya sangat berharap, masyarakat luas dapat lebih mengetahui

dan memahami kemampuan-kemampuan yang dimiliki P-TISDA khususnya,

serta Kedeputian TPSA umumnya, dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di

Indonesia. Hal ini tercermin dari Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di

Indonesia

Akhir kata, saya memberikan penghargaan yang tinggi Kepada Tim P-TISDA atas

usaha di dalam menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat

dalam memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia.

Terima kasih.

Jakarta, Mei 2006

Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya AlamBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS.

Page 7: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

DEPUTI KEPALA BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN

SUMBERDAYA ALAM, BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN

TEKNOLOGI

KATA SAMBUTAN

Permasalahan sumberdaya alam kelautan, khususnya di dalam pemantauan

dinamika laut Indonesia menempati posisi yang cukup penting dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam

lautan yang baik diperlukan metode dengan pendekatan multidisiplin yang

meliputi berbagai aspek, seperti aspek pemanfaatan sumberdaya, kelestarian

lingkungan dan aspek sosial ekonomi masyarakat.

Orientasi pembangunan Bangsa Indonesia ke depan yang berbasis pada

sumberdaya kelautan merupakan suatu keharusan mengingat (i) Indonesia

memiliki sumberdaya laut yang besar, (ii) Indonesia memiliki daya saing yang

tinggi di bidang kelautan, (iii) Industri di bidang kelautan dan perikanan

memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri industri lainnya. Hal ini sesuai

dengan kebijakan strategis yang dibuat Kementerian Negara Riset dan

Teknologi telah menempatkan pembangunan kelautan sebagai salah satu

program unggulan. Sumberdaya iptek Nasional diarahkan untuk mendukung

program tersebut.

Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, peran teknologi di dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat

diabaikan, bahkan amat diperlukan. Dalam kaitan ini, Kedeputian Teknologi

Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) secara cermat membina unit-unit nya

dalam hal ini Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) agar

dapat memainkan peranan yang berarti di dalam mengembangkan dan

mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh untuk kelautan. Berbagai bentuk

kegiatan, seperti seminar, ceramah, pameran, dan penerbitan buku. Salah satu

kegiatan tersebut yang dapat dipandang strategis,karena memiliki dampak

dalam jangka panjang.

Oleh karena itu saya menyambut dengan sangat gembira usaha segenap staf

peneliti Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) yang telah

berhasil menyusun dan menerbitkan buku berjudul “Riset dan Teknologi

Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini merupakan salah satu produk

dari proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO Project) dimana BPPT

bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan

dan Perikanan (DKP), European Space Agency (ESA), ENEA dan IMC Italy dengan

dukungan grant dari Uni-Eropah (European Union).

Melalui buku ini saya sangat berharap, masyarakat luas dapat lebih mengetahui

dan memahami kemampuan-kemampuan yang dimiliki P-TISDA khususnya,

serta Kedeputian TPSA umumnya, dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di

Indonesia. Hal ini tercermin dari Isi buku yang kaya informasi iptek kelautan di

Indonesia

Akhir kata, saya memberikan penghargaan yang tinggi Kepada Tim P-TISDA atas

usaha di dalam menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat

dalam memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya kelautan di Indonesia.

Terima kasih.

Jakarta, Mei 2006

Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya AlamBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS.

Page 8: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI

SUMBERDAYA ALAM

KATA SAMBUTAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya

kelautan yang sangat besar, para peneliti di bidang teknologi kelautan sudah

seharusnya bergerak secara cepat untuk melakukan kajian-kajian untuk

selanjutnya di implementasikan dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan

sumberdaya kelautan kita, yang akhirnya mampu memberi kesejahteraan

bangsa dan negara Indonesia.

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) merupakan suatu

Unit dibawah Kedeputian Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT dengan

dukungan 3 (tiga) Bidang, yaitu: Bidang Teknologi Karakterisasi Sumberdaya

Alam, Bidang Teknologi Pemodelan Sistem Sumberdaya Alam, dan Bidang

Teknologi Akuntansi SDA. Dalam melaksanakan kegiatannya, P-TISDA didukung

oleh 6 (enam) Kompetensi Inti (KI), yaitu: KI Remote Sensing, KI GIS, KI

Teknologi Kelautan, KI Teknologi Iklim, KI Survei Terrestrial, dan KI Valuasi SDA.

Berbekal kompetensi dalam bidang teknologi remote sensing untuk aplikasi

kelautan, P-TISDA telah melakukan berbagai kegiatan riset bidang kelautan

bekerjasama dengan institusi/universitas di dalam negeri maupun dengan luar

negeri. Salah satu bentuk kerjasama kegiatan riset kelautan yang dilakukan P-

TISDA adalah berpartisipasi dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System

(INDOO Project). Proyek INDOO merupakan kegiatan riset kelautan dan

pembiayaannya melalui grant dari Uni-Eropah (European Union). BRKP sebagai

koordinator kegiatan ini bekerjasama dengan BPPT, European Space Agency

(ESA), IMC dan ENEA Italy.

Dalam rangka promosi kemampuan teknologi kelautan yang dimiliki Indonesia

saat ini kepada masyarakat luas, para peneliti P-TISDA BPPT mengambil

inisiatif untuk menerbitkan buku yang diberi judul ”Riset dan Teknologi

Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Rangkaian kata-kata tajuk tersebut

bukannya tanpa makna sama sekali.

Buku ini memuat secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut

Indonesia yang dimulai dengan paparan sejarah riset oseanografi dilanjutkan

dengan karakteristik umum serta dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi

dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem

pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu

kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa

Indonesia.

Sebagai catatan akhir, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kerja

keras dari Tim Editor P-TISDA hingga diterbitkannya buku ini. Terima kasih juga

kami sampaikan kepada Tim peneliti dari Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK)

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang merupakan mitra kerjasama

di dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO).

Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya

para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi

penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya

kelautan di Indonesia.

Jakarta, Mei 2006

Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam

Dr. Ir. Yusuf S. Djajadihardja, MSc.

Page 9: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI

SUMBERDAYA ALAM

KATA SAMBUTAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya

kelautan yang sangat besar, para peneliti di bidang teknologi kelautan sudah

seharusnya bergerak secara cepat untuk melakukan kajian-kajian untuk

selanjutnya di implementasikan dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan

sumberdaya kelautan kita, yang akhirnya mampu memberi kesejahteraan

bangsa dan negara Indonesia.

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) merupakan suatu

Unit dibawah Kedeputian Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT dengan

dukungan 3 (tiga) Bidang, yaitu: Bidang Teknologi Karakterisasi Sumberdaya

Alam, Bidang Teknologi Pemodelan Sistem Sumberdaya Alam, dan Bidang

Teknologi Akuntansi SDA. Dalam melaksanakan kegiatannya, P-TISDA didukung

oleh 6 (enam) Kompetensi Inti (KI), yaitu: KI Remote Sensing, KI GIS, KI

Teknologi Kelautan, KI Teknologi Iklim, KI Survei Terrestrial, dan KI Valuasi SDA.

Berbekal kompetensi dalam bidang teknologi remote sensing untuk aplikasi

kelautan, P-TISDA telah melakukan berbagai kegiatan riset bidang kelautan

bekerjasama dengan institusi/universitas di dalam negeri maupun dengan luar

negeri. Salah satu bentuk kerjasama kegiatan riset kelautan yang dilakukan P-

TISDA adalah berpartisipasi dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System

(INDOO Project). Proyek INDOO merupakan kegiatan riset kelautan dan

pembiayaannya melalui grant dari Uni-Eropah (European Union). BRKP sebagai

koordinator kegiatan ini bekerjasama dengan BPPT, European Space Agency

(ESA), IMC dan ENEA Italy.

Dalam rangka promosi kemampuan teknologi kelautan yang dimiliki Indonesia

saat ini kepada masyarakat luas, para peneliti P-TISDA BPPT mengambil

inisiatif untuk menerbitkan buku yang diberi judul ”Riset dan Teknologi

Pemantauan Dinamika Laut Indonesia”. Rangkaian kata-kata tajuk tersebut

bukannya tanpa makna sama sekali.

Buku ini memuat secara komprehensif tentang karakteristik dinamika laut

Indonesia yang dimulai dengan paparan sejarah riset oseanografi dilanjutkan

dengan karakteristik umum serta dinamika laut Indonesia, satelit oseanografi

dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut Indonesia dan pengembangan sistem

pemantauannya, serta contoh riset kelautan terpadu. Oleh karena itu

kandungan buku ini sangat penting untuk diketahui oleh segenap Bangsa

Indonesia.

Sebagai catatan akhir, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kerja

keras dari Tim Editor P-TISDA hingga diterbitkannya buku ini. Terima kasih juga

kami sampaikan kepada Tim peneliti dari Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK)

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang merupakan mitra kerjasama

di dalam Proyek Indonesia Ocean Observing System (INDOO).

Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya

para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi

penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya

kelautan di Indonesia.

Jakarta, Mei 2006

Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam

Dr. Ir. Yusuf S. Djajadihardja, MSc.

Page 10: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

DIREKTUR PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTANBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN

KATA SAMBUTAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya

alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu

dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi

kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan

menjaga kelestariannya. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman

hayati laut, potensi sumberdaya non hayati, potensi jasa kelautan, serta

potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan

kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi aset ekonomi

yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol, mampu

mencerdaskan masyarakat.

Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK) merupakan suatu Unit dibawah Badan

Riset kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan,

dimana salah satu tugasnya adalah melakukan kajian teknologi kelautan untuk

mengetahui potensi kelautan di Indonesia. Untuk itu, PRTK melakukan

berbagai kegiatan di bidang kelautan dengan melakukan koordinasi dengan

institusi institusi terkait seperti BPPT. Untuk itu melalui Proyek Indonesia

Ocean Observing System (INDOO Project), PRTK bekerjasama dengan BPPT

(dalam hal ini P-TISDA) serta European Space Agency (ESA), IMC dan ENEA Italy.

Oleh karena itu, saya memberikan apresiasi kepada Tim P-TISDA BPPT yang

telah berinisiatif menerbitkan Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan

Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini kaya akan informasi iptek kelautan di

Indonesia yang membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika

laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut

Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset

kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk

diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.

Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya

pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan

informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan

angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat

bagi masyarakat luas.

Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya

para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi

penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya

kelautan di Indonesia.

Jakarta, Mei 2006

PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTAN, BRKP

Dr. Farid Ma'ruf

Page 11: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

DIREKTUR PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTANBADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN

KATA SAMBUTAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya

alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya alam ini perlu

dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi

kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu dengan senantiasa memperhatikan dan

menjaga kelestariannya. Di dalam laut terpendam potensi keanekaragaman

hayati laut, potensi sumberdaya non hayati, potensi jasa kelautan, serta

potensi lingkungan laut yang luar biasa besarnya. Ini berarti bahwa kelautan

kita yang begitu besar itu, apabila bisa dikonversikan menjadi aset ekonomi

yang nyata dapat menjadi sumber devisa negara yang menonjol, mampu

mencerdaskan masyarakat.

Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK) merupakan suatu Unit dibawah Badan

Riset kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan,

dimana salah satu tugasnya adalah melakukan kajian teknologi kelautan untuk

mengetahui potensi kelautan di Indonesia. Untuk itu, PRTK melakukan

berbagai kegiatan di bidang kelautan dengan melakukan koordinasi dengan

institusi institusi terkait seperti BPPT. Untuk itu melalui Proyek Indonesia

Ocean Observing System (INDOO Project), PRTK bekerjasama dengan BPPT

(dalam hal ini P-TISDA) serta European Space Agency (ESA), IMC dan ENEA Italy.

Oleh karena itu, saya memberikan apresiasi kepada Tim P-TISDA BPPT yang

telah berinisiatif menerbitkan Buku berjudul “Riset dan Teknologi Pemantauan

Dinamika Laut Indonesia”. Buku ini kaya akan informasi iptek kelautan di

Indonesia yang membahas secara komprehensif tentang karakteristik dinamika

laut Indonesia, satelit oseanografi dan aplikasinya, Pemodelan dinamika laut

Indonesia dan pengembangan sistem pemantauannya, serta contoh riset

kelautan terpadu. Oleh karena itu kandungan buku ini sangat penting untuk

diketahui oleh segenap Bangsa Indonesia.

Sebagai penutup saya berharap kehadiran buku ini di tengah gencarnya

pembangunan kelautan, serta mengingat masih langkanya ketersediaan

informasi tentang hal ini di tanah air, maka kehadiran buku ini merupakan

angin segar yang patut kita syukuri, dengan harapan kiranya dapat bermanfaat

bagi masyarakat luas.

Semoga buku ini memberikan manfaat kepada berbagai kalangan, khususnya

para peneliti, kalangan perguruan tinggi, masyarakat pengguna informasi

penginderaan jauh dan pihak pihak yang terkait dalam pengelolaan

sumberdaya kelautan, dan memperkuat khasanah pengelolaan sumberdaya

kelautan di Indonesia.

Jakarta, Mei 2006

PUSAT RISET TEKNOLOGI KELAUTAN, BRKP

Dr. Farid Ma'ruf

Page 12: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Daftar Isi

KATA SAMBUTAN KEPALA BPPTKATA SAMBUTAN DEPUTI TPSA BPPTKATA SAMBUTAN DIREKTUR P-TISDAKATA SAMBUTAN KEPALA PUSRISTEKLA

DAFTAR ISI

BAB I KARAKTERISTIK DINAMIKA LAUT INDONESIA 11.1 Sejarah riset oseanografi 11.2 Karakteristik umum 5 1.3 Dinamika Laut Indonesia: Samudra Pasifik Barat, Arlindo,

Samudra Hindia Timur, Paparan 7

BAB II SATELIT OSEANOGRAFI DAN APLIKASINYA2.1 Sejarah Satelit Oseanografi 202.2 Metoda Penginderaan Jauh Kelautan 30

BAB III PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP 47

BAB IV PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemetaan KarakteristikPerairan 52

BAB V PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemantauan Fenomena Lautdan Pesisir 57

BAB VI PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan PerubahanTutupan Lahan Laguna Segara Anakan 65

BAB VII PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan GelombangInternal 69

TIM PENULIS

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Perkasa, karena atas

perkenan-Nya juga, tim penulis berhasil menyelesaikan buku ”Riset Dan

Teknologi Kelautan Indonesia”. Karya tulis ini merupakan kerja bersama

peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kegiatan

program INDOO (Indonesia Operational Ocean Observing System) yang

mendapatkan pendanaan dari Uni Eropa dan Badan Riset Kelautan dan

Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan.

Garis besar buku disusun sebagai berikut: Bab 1 menyajikan gambaran

karakteristik dinamika perairan Indonesia. Bab 2 memberikan gambaran

perkembangan satelit oseanografi. Aplikasi penginderaan jauh untuk perikanan

tangkap, pemetaan karakteristik perairan, pemantauan fenomena laut dan

pesisir, pengamatan perubahan tutupan lahan laguna segara Anakan, dan

pengamatan gelombang internal dipaparkan masing-masing pada Bab 3, 4, 5, 6

dan 7. Bab 8, 9, dan 10 memaparkan metoda numerik dinamika laut, model

spektral elemen hingga di Selat Makassar, dan model sebaran zat hara untuk

hidro-ekologi perairan teluk. Bab 11 memuat konsep pengembangan sistem

pemantauan dinamika laut Indonesia. Bab 12 memberikan contoh pengelolaan

riset terpadu dalam kegiatan survei PotRets Nipah.

Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan wawasan riset dan

pemanfaatan teknologi kelautan di Indonesia, khususnya dapat menjadi acuan

untuk pengembangan sistem pemantauan kondisi biofisik perairan Indonesia

yang bermanfaat untuk semua pelayaran antar pulau maupun lintas kepulauan

Indonesia, aktivitas olahraga air, industri perikanan budidaya dan lain

sebagainya.

Tidak lupa kami sampaikan ucapan terimakasih kepada pimpinan di kedeputian

Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPPT, khususnya direktur

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Dr. Ir. Yusuf Surachman

Djadjadiharja MSc. dan kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP-DKP, Dr. Ir.

W. Farid Ma'ruf MSc., atas semua dukungan sehingga buku ini dapat

diterbitkan.

Jakarta, 15 Mei 2006

Tim Penulis

Page 13: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Daftar Isi

KATA SAMBUTAN KEPALA BPPTKATA SAMBUTAN DEPUTI TPSA BPPTKATA SAMBUTAN DIREKTUR P-TISDAKATA SAMBUTAN KEPALA PUSRISTEKLA

DAFTAR ISI

BAB I KARAKTERISTIK DINAMIKA LAUT INDONESIA 11.1 Sejarah riset oseanografi 11.2 Karakteristik umum 5 1.3 Dinamika Laut Indonesia: Samudra Pasifik Barat, Arlindo,

Samudra Hindia Timur, Paparan 7

BAB II SATELIT OSEANOGRAFI DAN APLIKASINYA2.1 Sejarah Satelit Oseanografi 202.2 Metoda Penginderaan Jauh Kelautan 30

BAB III PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP 47

BAB IV PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemetaan KarakteristikPerairan 52

BAB V PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pemantauan Fenomena Lautdan Pesisir 57

BAB VI PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan PerubahanTutupan Lahan Laguna Segara Anakan 65

BAB VII PENGINDERAAN JAUH UNTUK Pengamatan GelombangInternal 69

TIM PENULIS

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Perkasa, karena atas

perkenan-Nya juga, tim penulis berhasil menyelesaikan buku ”Riset Dan

Teknologi Kelautan Indonesia”. Karya tulis ini merupakan kerja bersama

peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kegiatan

program INDOO (Indonesia Operational Ocean Observing System) yang

mendapatkan pendanaan dari Uni Eropa dan Badan Riset Kelautan dan

Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan.

Garis besar buku disusun sebagai berikut: Bab 1 menyajikan gambaran

karakteristik dinamika perairan Indonesia. Bab 2 memberikan gambaran

perkembangan satelit oseanografi. Aplikasi penginderaan jauh untuk perikanan

tangkap, pemetaan karakteristik perairan, pemantauan fenomena laut dan

pesisir, pengamatan perubahan tutupan lahan laguna segara Anakan, dan

pengamatan gelombang internal dipaparkan masing-masing pada Bab 3, 4, 5, 6

dan 7. Bab 8, 9, dan 10 memaparkan metoda numerik dinamika laut, model

spektral elemen hingga di Selat Makassar, dan model sebaran zat hara untuk

hidro-ekologi perairan teluk. Bab 11 memuat konsep pengembangan sistem

pemantauan dinamika laut Indonesia. Bab 12 memberikan contoh pengelolaan

riset terpadu dalam kegiatan survei PotRets Nipah.

Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan wawasan riset dan

pemanfaatan teknologi kelautan di Indonesia, khususnya dapat menjadi acuan

untuk pengembangan sistem pemantauan kondisi biofisik perairan Indonesia

yang bermanfaat untuk semua pelayaran antar pulau maupun lintas kepulauan

Indonesia, aktivitas olahraga air, industri perikanan budidaya dan lain

sebagainya.

Tidak lupa kami sampaikan ucapan terimakasih kepada pimpinan di kedeputian

Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPPT, khususnya direktur

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Dr. Ir. Yusuf Surachman

Djadjadiharja MSc. dan kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan, BRKP-DKP, Dr. Ir.

W. Farid Ma'ruf MSc., atas semua dukungan sehingga buku ini dapat

diterbitkan.

Jakarta, 15 Mei 2006

Tim Penulis

Page 14: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VIII Metoda Numerik DINAMIKA LAUT 75

BAB IX MODEL Spektral Elemen Hingga Di Selat Makassar 78

BAB X MODEL Sebaran Zat Hara Untuk Hidro-Ekologi Perairan Teluk 80

BAB XI PENGEMBANGAN SISTEM PEMANTAUAN DINAMIKA LAUTINDONESIA 85

BAB XII RISET KELAUTAN TERPADU: PotRets NIPAH 97

LampiranA. Sebaran konsentrasi klorofil-a 1998-2005 110B. Pola kekeruhan perairan 2003 118C. Dokumentasi kegiatan INDOO 2005 119D. Informasi alamat penulis 125

Page 15: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia
Page 16: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB IKarakteristik Dinamika Laut IndonesiaA. Sulaiman dan F. Syamsudin

1.1 SEJARAH RISET OSEANOGRAFISejarah riset kelautan di Indonesia menurut Parwono dkk (2005) dapat dibagi

dalam 3 perioda sebagai berikut:1. Masa sebelum jaman penjajahan Belanda (sejak awal catatan sejarah

Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda di tanah air).2. Masa Penjajahan Belanda (sejak awal abad ke-17 sampai dengan

kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945).3. Masa setelah Kemerdekaan Indonesia

Masa sebelum jaman penjajahan Belanda(sejak awal catatan sejarah Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda

di tanah air).Masa sebelum jaman penjajahan Belanda mempunyai dua jaman gemilang,

yaitu masa antara tahun 863 sampai dengan 1225 sebelum masehi, ketika

armada kerajaan laut Sriwijaya menguasai Sumatra dan seluruh wilayah bagian

barat Indonesia seperti yang kita kenal saat ini. Adapun masa gemilang kedua

antara tahun 1293 sampai dengan 1389 di bawah kekuasaan kerajaan

Majapahit. Pariwono (1986) membuat postulat bahwa sejak kedua jaman

gemilang tersebut, Indonesia telah memiliki ahli oseanografi handal untuk

keperluan praktis perang seperti mengetahui sifat angin, pasang surut laut dan

lain sebagainya. Hal itu bisa dilihat pada beberapa relief tentang perahu dan

armadanya yang terdapat pada candi Borobudur misalnya. Pengetahuan

Oseanografi praktis pada saat itu telah membuat kerajaan maritim seperti

Sriwijaya dan kerajaan besar Majapahit mampu menguasai sebagian besar

wilayah Indonesia pada waktu yang sangat panjang sebelum hegemoni

kekuasaan mereka dilumpuhkan dengan kedatangan para pelaut ulung dengan

teknologi yang lebih modern dari Eropa (Portugis dan Belanda).

Masa Penjajahan Belanda(sejak awal abad ke-17 sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17

Agustus 1945).Penelitian Oseanografi pada jaman kolonial memiliki sejarah yang sangat

berarti pada perkembangan penelitian kelautan di Indonesia pada saat ini.

Penelitian pada periode kolonial dimulai pada tahun 1768, ketika ekspedisi

kelautan Boudeuse and Etoile digelar Perancis di perairan Indonesia.

Selanjutnya sekitar 38 ekspedisi kelautan lainnya dengan melibatkan 10 negara

(Austria, Inggris, Denmark, Belanda, Prancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia, dan

Amerika) telah digelar di perairan Indonesia dalam kurun waktu 173 tahun

(Pariwono, 1986, dan Aken, 2005).

Penelitian oseanografi yang dilakukan mencakup:1) Pengetahuan karakteristik massa air (van Riel, 1932, 1934, dan 1938), 2) Kondisi hidrografi perairan Indonesia (Tydeman, 1903; van der Stok, 1922;

Schott, 1935), 3) Arus yang dipicu oleh angin di Laut Jawa (Barlage, 1927), dan4) Iklim yang berhubungan dengan wilayah penelitian tersebut (Braak,

1921).

Perlu juga dicatat disini bahwa Riel (1932) adalah orang pertama yang

menyatakan transport arus di perairan Indonesia mengarah ke samudera Hindia

dengan menggunakan data pada ekspedisi Snellius pertama. Ekspedisi Snellius

ini juga berhasil memberikan informasi kondisi batimetri perairan timur

Indonesia (van Riehl, 1934; Kuenen, 1935).

Beberapa jejak penting penelitian kelautan pada periode kolonial ini adalah

didirikannya Pasar Ikan di Jakarta yang menjadi laboratorium kelautan

pertama di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Banyak

hasil riset monumental dihasilkan pada laboratorium riset ini, diantaranya

adalah publikasi buku Atlas Ichthyologique dalam 6 volume sejak tahun 1819

sampai dengan 1878. Publikasi lainnya adalah The Fishes of the Indonesian

Archipelago oleh Weber dan de Beaufort (1911, 1913, 1916, 1922, 1929, 1931).

Pada masa ini juga terbit jurnal ilmiah pertama di Indonesia berjudul:

Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch indie (Nontji, 2005).

Penelitian oseanografi di Indonesia sudah dimulai sejak kedantangan VOC ke

tanah air. Bermula pada tahun 1598 pedagang VOC Willem Lodeijckz membuat

suatu catatan yang cukup lengkap tentang ikan dan mamalia laut di Indonesia.

Setelah itu seorang agen VOC kelahiran Jerman Georg Everhard Rumpf (1627-

1702) yang tinggal di Ambon meneliti secara otodidak kerang, crustacean,

mineral, tumbuhan dan binatang. Risetnya yang kebanyakan dalam bidang

organisme laut dipublikasikan tahun 1705 dengan judul D'Amboinsche

Rariteitkamer. Pada jaman VOC penelitian berjalan lambat karena dianggap

tidak menguntungkan. Sejalan dengan semakin lemahnya VOC dan pemerintah

Belanda semakin kuat mencengkeram kakinya di Bumi Nusantara maka

perlahan tapi pasti penelitian oseanografi mulai berjalan. Pada akhir abab 17

dan awal abad 18 dimana Inggris berkuasa beberapa pelayaran oseanografi

dilakukan. Louis Antoines De Bouganville dengan kapal Boudeuse dan Etoile

malakukan pelayaran di Indonesia timur tahun 1768. Disususl oleh James Cook

dengan kapal Endeavour tahun 1770. Diantara tahun 1793 sampai tahun 1840

1Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

2Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 17: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB IKarakteristik Dinamika Laut IndonesiaA. Sulaiman dan F. Syamsudin

1.1 SEJARAH RISET OSEANOGRAFISejarah riset kelautan di Indonesia menurut Parwono dkk (2005) dapat dibagi

dalam 3 perioda sebagai berikut:1. Masa sebelum jaman penjajahan Belanda (sejak awal catatan sejarah

Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda di tanah air).2. Masa Penjajahan Belanda (sejak awal abad ke-17 sampai dengan

kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945).3. Masa setelah Kemerdekaan Indonesia

Masa sebelum jaman penjajahan Belanda(sejak awal catatan sejarah Indonesia sampai dengan awal kehadiran Belanda

di tanah air).Masa sebelum jaman penjajahan Belanda mempunyai dua jaman gemilang,

yaitu masa antara tahun 863 sampai dengan 1225 sebelum masehi, ketika

armada kerajaan laut Sriwijaya menguasai Sumatra dan seluruh wilayah bagian

barat Indonesia seperti yang kita kenal saat ini. Adapun masa gemilang kedua

antara tahun 1293 sampai dengan 1389 di bawah kekuasaan kerajaan

Majapahit. Pariwono (1986) membuat postulat bahwa sejak kedua jaman

gemilang tersebut, Indonesia telah memiliki ahli oseanografi handal untuk

keperluan praktis perang seperti mengetahui sifat angin, pasang surut laut dan

lain sebagainya. Hal itu bisa dilihat pada beberapa relief tentang perahu dan

armadanya yang terdapat pada candi Borobudur misalnya. Pengetahuan

Oseanografi praktis pada saat itu telah membuat kerajaan maritim seperti

Sriwijaya dan kerajaan besar Majapahit mampu menguasai sebagian besar

wilayah Indonesia pada waktu yang sangat panjang sebelum hegemoni

kekuasaan mereka dilumpuhkan dengan kedatangan para pelaut ulung dengan

teknologi yang lebih modern dari Eropa (Portugis dan Belanda).

Masa Penjajahan Belanda(sejak awal abad ke-17 sampai dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17

Agustus 1945).Penelitian Oseanografi pada jaman kolonial memiliki sejarah yang sangat

berarti pada perkembangan penelitian kelautan di Indonesia pada saat ini.

Penelitian pada periode kolonial dimulai pada tahun 1768, ketika ekspedisi

kelautan Boudeuse and Etoile digelar Perancis di perairan Indonesia.

Selanjutnya sekitar 38 ekspedisi kelautan lainnya dengan melibatkan 10 negara

(Austria, Inggris, Denmark, Belanda, Prancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia, dan

Amerika) telah digelar di perairan Indonesia dalam kurun waktu 173 tahun

(Pariwono, 1986, dan Aken, 2005).

Penelitian oseanografi yang dilakukan mencakup:1) Pengetahuan karakteristik massa air (van Riel, 1932, 1934, dan 1938), 2) Kondisi hidrografi perairan Indonesia (Tydeman, 1903; van der Stok, 1922;

Schott, 1935), 3) Arus yang dipicu oleh angin di Laut Jawa (Barlage, 1927), dan4) Iklim yang berhubungan dengan wilayah penelitian tersebut (Braak,

1921).

Perlu juga dicatat disini bahwa Riel (1932) adalah orang pertama yang

menyatakan transport arus di perairan Indonesia mengarah ke samudera Hindia

dengan menggunakan data pada ekspedisi Snellius pertama. Ekspedisi Snellius

ini juga berhasil memberikan informasi kondisi batimetri perairan timur

Indonesia (van Riehl, 1934; Kuenen, 1935).

Beberapa jejak penting penelitian kelautan pada periode kolonial ini adalah

didirikannya Pasar Ikan di Jakarta yang menjadi laboratorium kelautan

pertama di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Banyak

hasil riset monumental dihasilkan pada laboratorium riset ini, diantaranya

adalah publikasi buku Atlas Ichthyologique dalam 6 volume sejak tahun 1819

sampai dengan 1878. Publikasi lainnya adalah The Fishes of the Indonesian

Archipelago oleh Weber dan de Beaufort (1911, 1913, 1916, 1922, 1929, 1931).

Pada masa ini juga terbit jurnal ilmiah pertama di Indonesia berjudul:

Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch indie (Nontji, 2005).

Penelitian oseanografi di Indonesia sudah dimulai sejak kedantangan VOC ke

tanah air. Bermula pada tahun 1598 pedagang VOC Willem Lodeijckz membuat

suatu catatan yang cukup lengkap tentang ikan dan mamalia laut di Indonesia.

Setelah itu seorang agen VOC kelahiran Jerman Georg Everhard Rumpf (1627-

1702) yang tinggal di Ambon meneliti secara otodidak kerang, crustacean,

mineral, tumbuhan dan binatang. Risetnya yang kebanyakan dalam bidang

organisme laut dipublikasikan tahun 1705 dengan judul D'Amboinsche

Rariteitkamer. Pada jaman VOC penelitian berjalan lambat karena dianggap

tidak menguntungkan. Sejalan dengan semakin lemahnya VOC dan pemerintah

Belanda semakin kuat mencengkeram kakinya di Bumi Nusantara maka

perlahan tapi pasti penelitian oseanografi mulai berjalan. Pada akhir abab 17

dan awal abad 18 dimana Inggris berkuasa beberapa pelayaran oseanografi

dilakukan. Louis Antoines De Bouganville dengan kapal Boudeuse dan Etoile

malakukan pelayaran di Indonesia timur tahun 1768. Disususl oleh James Cook

dengan kapal Endeavour tahun 1770. Diantara tahun 1793 sampai tahun 1840

1Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

2Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 18: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

justru peneliti dari Prancis mendominasi. Pada tahun 1858 mulailah era

penelitian laut dalam. Diawali dengan kapal Cachelot yang diketuai oleh

Seidenburg (Belanda) melakukan pengambilan sample sampai kedalaman

4900m di laut Banda. Pada tahun 1875 HMS Challenger yang dikomandoi

Wyville Thomson (Inggris) melakukan pengukuran di laut banda sampai

kedlaman 500m. Mereka menemukan temperature dasar sekitar 3.3ºC dan

mereka mengindikasikan adanya air laut dari kutub masuk ke laut Banda. Kapal

Gazelle yang dikomandoi Von Schleinitz dari Jerman mengobservasi

temperature sekitar 2.9ºC dan 3.3ºC pada kedalaman 3700m dan 4300m.

Penelitian komprehensif pertama kalai dilakukan dalam suatu ekspedisi yang

dinamakan ekspedisi Siboga. Ekspedisi ini diketuai oleh professor Max Weber

yang mempunyai latar belakang ahli zoology di universitas Amsterdam. Pada

bula Mei 1898 Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia membangun kapal

riset Siboga yang dimodifikasi dari kapal Perang. Sebagai kapten kapal

dipegang oleh LetKol G.F Tydeman. Meskipun tentara Tyderman sangat tertarik

pada ilmu pengetahuan. Tyderman pernah bekerja di observatory di universitas

Leiden. Pada akhir kariernya Tyderman mengajar Astronomi dan Navigasi di

Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kapal Siboga mempunyai panjang

50.6m, dua propeller dan mesin uap 1400 hp .Peralatan berat oseanografi

seperti winche di pasang di tempat bekas meriam. Dalam ekspedisinya Siboga

membawa beberapa thermometer untuk mengukur arus permukaan dan bawah

permukaan, botol sampling dan peralatan kimia untuk menentukan konsentrasi

DO dan lain sebagainya. Disamping itu beberapa peralatan seperti plankton

net, trawl dan vertical nets di bawa untuk menangkap plankton dan organisme

lainnya. Istri Weber, Anne Weber-van Bosse ahli alga dan plankton ikut serta

dan membawahi devisi flora laut. Dia adalah wanita pertama yang ikut dalam

riset oseanografi. Akibat penelitiannya dari ekspedisi Siboga ini Anne Weber

mendapatkan gelar Doktor dari universitas Utrecht. Sayang sekalai dalam

ekspedisi ini tak ada ahli oesenografi fisika dan kimia. Pada saat itu tak ada

ahli yang mengkususkan diri pada bidang fisika oseanografi. Ekspedisi Siboga

mendapatkan 323 titik sampling termasuk stasiun dekat karang dan pantai.

Ekspedisi berakhir pada 27 februari 1900 di pelabuhan Surabaya. Hasil dari

ekspedisi ini di publikasikan dalam bentuk monograf antara tahun 1901 sampai

1982. Hasil yang menarik adalah prediksi Tyderman tentang adanya sirkulasi

arus dari pasifik masuk ke laut Banda dan akhirnya ke lautan Hindia. Hasil ini

tak pernah di publikasikan oleh Tyderman, hanya diberikan di kuliahnya. Tapi

20 tahun kemudian karya ini dipublikasikan. Pada tahun 1925 seorang

hydrografer belanda LetKol Luymes mengusulkan kepada himpunan Geografi

Kerajaan untuk melakukan penelitian dasar laut (deep basin) Indonesia.

Ekpedisi ini memgkususkan diri dalam bidang fisika oseanografi dan geologi

laut. Luymes memprogandakan ekspedisi ini sebagai perhatian pemerintah

belanda terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di Negara tropis. Kenyataanya

ilmuwan dari Polyteknik Bandung (sekarang ITB) tak dilibatkan. Inilah watak

asli orang Belanda. Profesor Max Weber dan Laksamana Tyderman duduk

sebagai komite. Ekspedisi ini dinamakan Snellius diketuai oleh van Riel dimulai

pada bulan Maret 1929. Dalam ekspedisinya Snellius membawa dua

echosounder, coring (40-210cm), botol nansen dan thermometer. Dua teknisi

dari Indonesia Kartodiharjo dan Erie ikut serta membantu sampling geologi dan

biologi. Selama ekspedisi Snellius mempunyai 374 titik sampling dan 500 botol

sample. Hasil dari Snellius berupa 23 volume report dan 35 papwer di jurnal

internasional. Pada tahun 1978 masih terdapat paper yang menggunakan data

Snellius.

Masa setelah Kemerdekaan IndonesiaRiset kelautan pada perioda ini dimulai oleh Hardenberg dan Soeriaatmadja

yang mengumpulkan sampel data suhu dan salinitas bulanan yang diperoleh

dari kapal dagang kerajaan Hindia Belanda pada awal dekade tahun 1950-1960.

Data mereka juga menjadi acuan Wyrtki (1957, 1961) yang melakukan studi

sebaran rata-rata salinitas di permukaan pada perairan Indonesia dan

sekitarnya.

Riset kelautan di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat besar ketika

untuk pertama kalinya Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI mendapatkan kapal

riset, KR Samudera pada tahun 1950, kemudian bertambah lagi dengan kapal

yang lebih besar KR Jalanidhi pada tahun 1961. Dengan kedua kapal ini,

Indonesia berpartisipasi dalam penelitian Internasional Indian Ocean

Expedition (Wyrtki, K., 1971). Jumlah ekspedisi yang telah dilakukan dalam

kurun waktu singkat tersebut jumlahnya hampir 2x ekspedisi kelautan yang

dilakukan selama perioda kolonial dalam rentang waktu panjang 173 tahun.

Karya tulis ilmiah yang dihasilkan pada era itu (antara tahun 1950-1960)

tercatat ada 3 buah penelitian yang dinilai penting. Penelitian tentang salinitas

utara pantai Jawa dan Arus Pantai Selatan Jawa oleh Soeriaatmadja (1956,

1957). Kedua artikel tersebut adalah karya tulis oseanografi pertama oleh

putra Indonesia. Karya lainnya adalah tentang fisika oseanografi perairan

Indonesia yang ditulis Wyrtki (1961). Karya tulis tersebut mengenalkan apa

yang kita ketahui saat ini sebagai sistem arus lintas Indonesia.

Riset kelautan pada perioda tahun 1960 sampai dengan 1980 lebih fokus pada

proses fisik aspek lokal dan dikaitkan dengan bidang perikanan dengan

memanfaatkan kedua kapal riset LIPI tersebut. Thema umum penelitian adalah

menentukand aerah upwelling di perairan Indonesia: Selat Makassar (Illahude,

1970, 1978); Selatan Bali (Illahude, 1975; Nontji dan Illahude, 1975); Laut

Banda, Maluku, Halmahera dan Seram (Birowo dan Illahude, 1977); Selat Sunda

3Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

4Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 19: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

justru peneliti dari Prancis mendominasi. Pada tahun 1858 mulailah era

penelitian laut dalam. Diawali dengan kapal Cachelot yang diketuai oleh

Seidenburg (Belanda) melakukan pengambilan sample sampai kedalaman

4900m di laut Banda. Pada tahun 1875 HMS Challenger yang dikomandoi

Wyville Thomson (Inggris) melakukan pengukuran di laut banda sampai

kedlaman 500m. Mereka menemukan temperature dasar sekitar 3.3ºC dan

mereka mengindikasikan adanya air laut dari kutub masuk ke laut Banda. Kapal

Gazelle yang dikomandoi Von Schleinitz dari Jerman mengobservasi

temperature sekitar 2.9ºC dan 3.3ºC pada kedalaman 3700m dan 4300m.

Penelitian komprehensif pertama kalai dilakukan dalam suatu ekspedisi yang

dinamakan ekspedisi Siboga. Ekspedisi ini diketuai oleh professor Max Weber

yang mempunyai latar belakang ahli zoology di universitas Amsterdam. Pada

bula Mei 1898 Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia membangun kapal

riset Siboga yang dimodifikasi dari kapal Perang. Sebagai kapten kapal

dipegang oleh LetKol G.F Tydeman. Meskipun tentara Tyderman sangat tertarik

pada ilmu pengetahuan. Tyderman pernah bekerja di observatory di universitas

Leiden. Pada akhir kariernya Tyderman mengajar Astronomi dan Navigasi di

Akademi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kapal Siboga mempunyai panjang

50.6m, dua propeller dan mesin uap 1400 hp .Peralatan berat oseanografi

seperti winche di pasang di tempat bekas meriam. Dalam ekspedisinya Siboga

membawa beberapa thermometer untuk mengukur arus permukaan dan bawah

permukaan, botol sampling dan peralatan kimia untuk menentukan konsentrasi

DO dan lain sebagainya. Disamping itu beberapa peralatan seperti plankton

net, trawl dan vertical nets di bawa untuk menangkap plankton dan organisme

lainnya. Istri Weber, Anne Weber-van Bosse ahli alga dan plankton ikut serta

dan membawahi devisi flora laut. Dia adalah wanita pertama yang ikut dalam

riset oseanografi. Akibat penelitiannya dari ekspedisi Siboga ini Anne Weber

mendapatkan gelar Doktor dari universitas Utrecht. Sayang sekalai dalam

ekspedisi ini tak ada ahli oesenografi fisika dan kimia. Pada saat itu tak ada

ahli yang mengkususkan diri pada bidang fisika oseanografi. Ekspedisi Siboga

mendapatkan 323 titik sampling termasuk stasiun dekat karang dan pantai.

Ekspedisi berakhir pada 27 februari 1900 di pelabuhan Surabaya. Hasil dari

ekspedisi ini di publikasikan dalam bentuk monograf antara tahun 1901 sampai

1982. Hasil yang menarik adalah prediksi Tyderman tentang adanya sirkulasi

arus dari pasifik masuk ke laut Banda dan akhirnya ke lautan Hindia. Hasil ini

tak pernah di publikasikan oleh Tyderman, hanya diberikan di kuliahnya. Tapi

20 tahun kemudian karya ini dipublikasikan. Pada tahun 1925 seorang

hydrografer belanda LetKol Luymes mengusulkan kepada himpunan Geografi

Kerajaan untuk melakukan penelitian dasar laut (deep basin) Indonesia.

Ekpedisi ini memgkususkan diri dalam bidang fisika oseanografi dan geologi

laut. Luymes memprogandakan ekspedisi ini sebagai perhatian pemerintah

belanda terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di Negara tropis. Kenyataanya

ilmuwan dari Polyteknik Bandung (sekarang ITB) tak dilibatkan. Inilah watak

asli orang Belanda. Profesor Max Weber dan Laksamana Tyderman duduk

sebagai komite. Ekspedisi ini dinamakan Snellius diketuai oleh van Riel dimulai

pada bulan Maret 1929. Dalam ekspedisinya Snellius membawa dua

echosounder, coring (40-210cm), botol nansen dan thermometer. Dua teknisi

dari Indonesia Kartodiharjo dan Erie ikut serta membantu sampling geologi dan

biologi. Selama ekspedisi Snellius mempunyai 374 titik sampling dan 500 botol

sample. Hasil dari Snellius berupa 23 volume report dan 35 papwer di jurnal

internasional. Pada tahun 1978 masih terdapat paper yang menggunakan data

Snellius.

Masa setelah Kemerdekaan IndonesiaRiset kelautan pada perioda ini dimulai oleh Hardenberg dan Soeriaatmadja

yang mengumpulkan sampel data suhu dan salinitas bulanan yang diperoleh

dari kapal dagang kerajaan Hindia Belanda pada awal dekade tahun 1950-1960.

Data mereka juga menjadi acuan Wyrtki (1957, 1961) yang melakukan studi

sebaran rata-rata salinitas di permukaan pada perairan Indonesia dan

sekitarnya.

Riset kelautan di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat besar ketika

untuk pertama kalinya Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI mendapatkan kapal

riset, KR Samudera pada tahun 1950, kemudian bertambah lagi dengan kapal

yang lebih besar KR Jalanidhi pada tahun 1961. Dengan kedua kapal ini,

Indonesia berpartisipasi dalam penelitian Internasional Indian Ocean

Expedition (Wyrtki, K., 1971). Jumlah ekspedisi yang telah dilakukan dalam

kurun waktu singkat tersebut jumlahnya hampir 2x ekspedisi kelautan yang

dilakukan selama perioda kolonial dalam rentang waktu panjang 173 tahun.

Karya tulis ilmiah yang dihasilkan pada era itu (antara tahun 1950-1960)

tercatat ada 3 buah penelitian yang dinilai penting. Penelitian tentang salinitas

utara pantai Jawa dan Arus Pantai Selatan Jawa oleh Soeriaatmadja (1956,

1957). Kedua artikel tersebut adalah karya tulis oseanografi pertama oleh

putra Indonesia. Karya lainnya adalah tentang fisika oseanografi perairan

Indonesia yang ditulis Wyrtki (1961). Karya tulis tersebut mengenalkan apa

yang kita ketahui saat ini sebagai sistem arus lintas Indonesia.

Riset kelautan pada perioda tahun 1960 sampai dengan 1980 lebih fokus pada

proses fisik aspek lokal dan dikaitkan dengan bidang perikanan dengan

memanfaatkan kedua kapal riset LIPI tersebut. Thema umum penelitian adalah

menentukand aerah upwelling di perairan Indonesia: Selat Makassar (Illahude,

1970, 1978); Selatan Bali (Illahude, 1975; Nontji dan Illahude, 1975); Laut

Banda, Maluku, Halmahera dan Seram (Birowo dan Illahude, 1977); Selat Sunda

3Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

4Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 20: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

(Illahude dan Ermaitis, 1992); Laut Arafura (Illahude dkk, 1990); dan sepanjang

selatan Jawa sampai Sumbawa (Illahude, 1992).Memasuki tahun 1980 hingga menutup abad ke-20 riset kelautan di Indonesia

sangat intensif dilakukan. Hal itu terutama karena minat peneliti dunia pada

sistem arus yang kita kenal sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) memiliki

kaitan yang sangat penting dalam konteks studi perubahan iklim dunia. Pada

masa tersebut paling tidak ada 4 program internasional yang telah dilakukan di

perairan Indonesia.1. Kerjasama riset keluatan antara Indonesia yang diwakili BPPT (Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Prancis dalam program JADE

(Java-Australia Dynamic Experiment) dari tahun 1985 sampai dengan

1995. Tujuan program JADE ini adalah mengukur transport arlindo dan

variabilitasnya pada pintu keluar di perairan antara Jawa dan Australia

(Fieux dkk., 1994, 1996).2. Kerjasama riset kelautan antar negara ASEAN dan Australia pada program

ROD (Regional Oceanographic Dynamic) Current Meter Experiment dari

tahun 1993 sampai dengan 1995 (Cresswell and Wells, 1998).3. Kerjasama riset kelautan antara Indonesia (BPPT) dan Amerika yang

diwakili Universitas Columbia dan Universitas California at San Diego

dalam program Arlindo dari tahun 1991 sampai dengan 1998. Studi

program Arlindo mencakup pemahaman pada proses mixing, stratifikasi

dan variabilitas arlindo pada beberapa selat penting Makassar, Lombok,

dan Ombai.

Memasuki abad ke-21 ini, pemahaman laut Indonesia sudah semakin maju,

meskipun pengetahuan tentang variabilitas transport Arlindo itu sendiri masih

menjadi pertanyaan besar saat ini. Untuk itulah, melalui kolaborasi 5 negara

(Indonesia, Amerika, Prancis, Belanda, dan Australia) kerjasama riset kelautan

memantau arlindo pada semua selat penting yang dilaluinya telah dilakukan

sejak tahun 2004 dan direncanakan berakhir pada tahun 2007 dengan program

yang disebut INSTANT (Internasional Nusatara Stratification and Transport).

Kerjasama riset ini melibatkan BPPT, BRKP, LIPI, LDEO Universitas Columbia,

SIO-UCSD, LODYC Prancis, NIOZ Belanda, dan CSIRO Australia.

1.2 KARAKTERISTIK UMUMSirkulasi arus laut di kepulauan Indonesia di pengaruhi oleh dua samudra. Beda

tekanan diantara mereka akan memberikan gaya pengerak sirkulasi arus di

perairan Indonesia. Gaya pengerak lain yang cukup dominan adalah monsoon.

Pada musim timur (boreal summer) (Juli-September) angin bergerak dari benua

Australia ke benua Asia sedangkan pada musim barat (boreal winter) (Januari-

Maret) angin bergerak dari benua Asia ke benua Australia. Pada musim timur

suhu muka laut lebih panas di sebelah utara dan berkebalikan jika musim

barat.

Sirkulasi arus di daerah paparan bergerak dari laut Cina selatan, masuk ke laut

Jawa melalui selat Karimata kemudian bergerak ke timur sampai ke laut Flores

dan akhirnya ke laut Banda. Sirkulasi arus ini sangat dipengaruhi oleh

monsoon. Arus di laut antara pulau Sumatra dan pulau Kalimantan selalau

berarah utara-selatan, sedangkan di laut Jawa berarah timur-barat. Sistem

laut ini merupakan sistem laut tertutup sehingga angin monsoon yang

berhembus tak dapat menimbulkan swell karena fetch tak terbentuk. Musim

transisi terjadi pada bulan April dimana arus bergerak dari laut Cina Selatan

masuk ke laut Jawa dengan kecepatan sekitar 0.5 m/s. Sesampainya di laut

Flores, arus ini bertemu dengan arus dari selat Makasar. Di pantai selatan Jawa

arus yang berasal dari pantai Sumatra bergerak ke timur dengan kecepatan

0.75 m/s. Arus ini akan bertemu dengan arus lintas yang muncul di selat

Lombok dan selat Ombai.

Pada bulan Agustus (musim timur) arus bergerak dari timur ke barat yaitu

mulai dari laut Flores ke laut Cina Selatan. Kecepatan arus permukaan sekitar

0.5-0.7 m/s. Pada bulan ini angin monsoon yang bertiup dari benua Australia

ke benua Asia akan mengenerasi arus yang bergerak sepanjang pantai selatan

jawa sampai ke pantai barat Sumatra. Beberapa peneliti menyebutkan arus ini

akan mengenerasi Up welling sepanjang pantai selatan Jawa (Susanto,D et al

2002).

Pada musim transisi ke dua yaitu sekitar bulan Oktober, dimana angin monsoon

mulai melemah, di laut Jawa terdapat dua sistem arus yaitu di pantai selatan

Kalimantan arus bergerak ke barat, sedangkan di pantai utara Jawa arus

bergerak ke timur. Di pantai timur Sumatra arus bergerak ke selatan sedangka

di pantai barat Kalimantan arus bergerak ke utara. Dimusim barat dimana agin

monsoon bergerak dari benua Asia ke benua Australia, akan mengenerasi arus

permukaan yang bergerak dari laut Cina Selatan masuk ke laut Jawa dan

akhirnya ke laut Flores dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.7 m/s.

Tingginya curah hujan dan banyaknya aliran sungai menyebabkan massa air di

lautan bagian dalam kepulauan Indonesia mempunyai salinitas permukaan yang

rendah yaitu dibawah 34 ‰. Salinitas permukaan tinggi hanya ada di perairan

Indonesia bagian timur yaitu di laut Banda dan laut Arafura. Di laut Jawa

sampai Sumatra salinitas besar pada bulan Juli-Agustus dan rendah pada bulan

Maret-April.

Pasang surut laut umumnya terdiri dari tipe diurnal dan campuran. Di wilayah

bagian barat umumnya bertipe diurnal sedangkan di laut Jawa umumnya

bertipe campuran cenderung diurnal kecuali di beberapa pantai di Jawa Timur

bertipe diurnal. Di perairan wilayah timur umumnya bertipe campuran

cenderung semi-diurnal.

5Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

6Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 21: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

(Illahude dan Ermaitis, 1992); Laut Arafura (Illahude dkk, 1990); dan sepanjang

selatan Jawa sampai Sumbawa (Illahude, 1992).Memasuki tahun 1980 hingga menutup abad ke-20 riset kelautan di Indonesia

sangat intensif dilakukan. Hal itu terutama karena minat peneliti dunia pada

sistem arus yang kita kenal sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) memiliki

kaitan yang sangat penting dalam konteks studi perubahan iklim dunia. Pada

masa tersebut paling tidak ada 4 program internasional yang telah dilakukan di

perairan Indonesia.1. Kerjasama riset keluatan antara Indonesia yang diwakili BPPT (Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Prancis dalam program JADE

(Java-Australia Dynamic Experiment) dari tahun 1985 sampai dengan

1995. Tujuan program JADE ini adalah mengukur transport arlindo dan

variabilitasnya pada pintu keluar di perairan antara Jawa dan Australia

(Fieux dkk., 1994, 1996).2. Kerjasama riset kelautan antar negara ASEAN dan Australia pada program

ROD (Regional Oceanographic Dynamic) Current Meter Experiment dari

tahun 1993 sampai dengan 1995 (Cresswell and Wells, 1998).3. Kerjasama riset kelautan antara Indonesia (BPPT) dan Amerika yang

diwakili Universitas Columbia dan Universitas California at San Diego

dalam program Arlindo dari tahun 1991 sampai dengan 1998. Studi

program Arlindo mencakup pemahaman pada proses mixing, stratifikasi

dan variabilitas arlindo pada beberapa selat penting Makassar, Lombok,

dan Ombai.

Memasuki abad ke-21 ini, pemahaman laut Indonesia sudah semakin maju,

meskipun pengetahuan tentang variabilitas transport Arlindo itu sendiri masih

menjadi pertanyaan besar saat ini. Untuk itulah, melalui kolaborasi 5 negara

(Indonesia, Amerika, Prancis, Belanda, dan Australia) kerjasama riset kelautan

memantau arlindo pada semua selat penting yang dilaluinya telah dilakukan

sejak tahun 2004 dan direncanakan berakhir pada tahun 2007 dengan program

yang disebut INSTANT (Internasional Nusatara Stratification and Transport).

Kerjasama riset ini melibatkan BPPT, BRKP, LIPI, LDEO Universitas Columbia,

SIO-UCSD, LODYC Prancis, NIOZ Belanda, dan CSIRO Australia.

1.2 KARAKTERISTIK UMUMSirkulasi arus laut di kepulauan Indonesia di pengaruhi oleh dua samudra. Beda

tekanan diantara mereka akan memberikan gaya pengerak sirkulasi arus di

perairan Indonesia. Gaya pengerak lain yang cukup dominan adalah monsoon.

Pada musim timur (boreal summer) (Juli-September) angin bergerak dari benua

Australia ke benua Asia sedangkan pada musim barat (boreal winter) (Januari-

Maret) angin bergerak dari benua Asia ke benua Australia. Pada musim timur

suhu muka laut lebih panas di sebelah utara dan berkebalikan jika musim

barat.

Sirkulasi arus di daerah paparan bergerak dari laut Cina selatan, masuk ke laut

Jawa melalui selat Karimata kemudian bergerak ke timur sampai ke laut Flores

dan akhirnya ke laut Banda. Sirkulasi arus ini sangat dipengaruhi oleh

monsoon. Arus di laut antara pulau Sumatra dan pulau Kalimantan selalau

berarah utara-selatan, sedangkan di laut Jawa berarah timur-barat. Sistem

laut ini merupakan sistem laut tertutup sehingga angin monsoon yang

berhembus tak dapat menimbulkan swell karena fetch tak terbentuk. Musim

transisi terjadi pada bulan April dimana arus bergerak dari laut Cina Selatan

masuk ke laut Jawa dengan kecepatan sekitar 0.5 m/s. Sesampainya di laut

Flores, arus ini bertemu dengan arus dari selat Makasar. Di pantai selatan Jawa

arus yang berasal dari pantai Sumatra bergerak ke timur dengan kecepatan

0.75 m/s. Arus ini akan bertemu dengan arus lintas yang muncul di selat

Lombok dan selat Ombai.

Pada bulan Agustus (musim timur) arus bergerak dari timur ke barat yaitu

mulai dari laut Flores ke laut Cina Selatan. Kecepatan arus permukaan sekitar

0.5-0.7 m/s. Pada bulan ini angin monsoon yang bertiup dari benua Australia

ke benua Asia akan mengenerasi arus yang bergerak sepanjang pantai selatan

jawa sampai ke pantai barat Sumatra. Beberapa peneliti menyebutkan arus ini

akan mengenerasi Up welling sepanjang pantai selatan Jawa (Susanto,D et al

2002).

Pada musim transisi ke dua yaitu sekitar bulan Oktober, dimana angin monsoon

mulai melemah, di laut Jawa terdapat dua sistem arus yaitu di pantai selatan

Kalimantan arus bergerak ke barat, sedangkan di pantai utara Jawa arus

bergerak ke timur. Di pantai timur Sumatra arus bergerak ke selatan sedangka

di pantai barat Kalimantan arus bergerak ke utara. Dimusim barat dimana agin

monsoon bergerak dari benua Asia ke benua Australia, akan mengenerasi arus

permukaan yang bergerak dari laut Cina Selatan masuk ke laut Jawa dan

akhirnya ke laut Flores dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.7 m/s.

Tingginya curah hujan dan banyaknya aliran sungai menyebabkan massa air di

lautan bagian dalam kepulauan Indonesia mempunyai salinitas permukaan yang

rendah yaitu dibawah 34 ‰. Salinitas permukaan tinggi hanya ada di perairan

Indonesia bagian timur yaitu di laut Banda dan laut Arafura. Di laut Jawa

sampai Sumatra salinitas besar pada bulan Juli-Agustus dan rendah pada bulan

Maret-April.

Pasang surut laut umumnya terdiri dari tipe diurnal dan campuran. Di wilayah

bagian barat umumnya bertipe diurnal sedangkan di laut Jawa umumnya

bertipe campuran cenderung diurnal kecuali di beberapa pantai di Jawa Timur

bertipe diurnal. Di perairan wilayah timur umumnya bertipe campuran

cenderung semi-diurnal.

5Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

6Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 22: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

1.3 DINAMIKA LAUT INDONESIADiatas telah diuraikan bahwa dinamika laut perairan Indonesia dapat di

golongkan dalam empat daerah kajian. Pertama adalah dinamika laut samudra

Pasifik Barat. Kedua dinamika laut arus lintas Indonesia (Arlindo). Ketiga

dinamika arus samudra India Timur dan ke empat adalah dinamika laut

paparan. Kita akan membahasnya satu persatu.

1.3.1 Dinamika Laut Samudra Pasifik BaratSistem sirkulasi arus di Pasifik Barat dinamakan sistem sirkulasi arus batas

barat lintang rendah Pasifik (The Pacific low latitude western boundary

currents/LLWBCs). Didunia ini ada tiga buah lautan yang mempunyai sistem

sirkulasi arus LLWBCs yaitu lautan Pasifik, lautan Atlantik dan lautan India. Dari

ketiga lautan tersebut hanya LLBWCs di lautan Pasifik yang mempunyai

dinamika paling kompleks. Ada dua factor utama yang menyebabkan dinamika

arus di LLBWCs ini kompleks. Faktor pertama adalah angin (merupakan gaya

pengerak utama arus) mempunyai variabilitas yang tinggi karena pengaruh

monsoon. Faktor yang lain adalah daerah batasnya berupa kepulauan sehingga

akan menyusun kondisi batas yang tak teratur. Bandingkan dengan lautan

Atlantik dengan kondisi angin yang umumnya tunak serta batasnya berupa

benua afrika dan amerika. Skematik dari LLWBCs di lautan Pasifik dan arus

lintas Indonesia dapat dinyatakan dalam gambar berikut:

Gambar 1.1 Diagram skematik the Pacific low latitude western boundary currents (LLBWCs)dan arus lintas Indonesia (Arlindo). (Sumber: Lukas, R., dkk, 1996).

Sumber utama massa air yang menopang sistem sirkulasi arus LLWBCs adalah

arus pasifik selatan/South Equatorial Currents (SEC) dan arus pasifik

utara/North Equatorial Currents (NEC) (Lukas et al 1996). Di belahan bumi

utara arus pasifik utara (NEC) yang bergerak ke barat pada lintang 14 N akan

memecah menjadi dua, arus yang satu bergerak ke utara dan yang lain ke

selatan. Arus yang ke utara menjadi arus Kuroshiwo yang bergerak ke perairan

Jepang dan yang bergerak ke selatan menjadi arus Mindanao.

Dibelahan Bumi bagian selatan arus ekuator selatan (SEC) yang bergerak

kebarat akan membelah di sekitar 15 S yang satu bergerak sepanjang Great

Barrier Reef dan akan menjadi Great Barrier Reef Undercurrents (GBRUC) dan

kemudian mengalir ke sepanjang pantai Papua New Guenia menjadi The New

Guinea Coastal Undercurrents (NGCUC). Massa air yang mengalir ke selatan

menjadi arus Australia timur /East Australia Currents (EAC). Dilapisan

termokline massa air dari NGCUC mengalir ke timur menjadi Equatorial

Undercurrents (EUC), sebagian menjadi North Equatorial Countercurrents

(NECC), sebagian lagi menjadi North Subsurface Counter Currents (NSCC) dan

sebagian menjadi arus lintas Indonesia yang diduga masuk melalui laut

Halmahera. Massa air dari SEC juga masuk ke kepulauan Indonesia melalui

selat Torres terus ke laut Arafura. Arus Mindanao bergerak ke selatan sebagian

masuk ke laut Sulawesi dan sebagian berinteraksi dengan arus ekuator selatan

(SEC). Akibat interaksi ini terjadi defleksi arus ke selatan menjadi North

Equatorial Counter Currents yang tak stabil. Akibat defleksi ini juga memicu

timbulnya Mindanau Eddy.

Arus Mindanao yang masuk ke laut Sulawesi sebagian masuk ke selat Makasar

dan sebagian dibelokkan ke timur sepanjang pantai utara Sulawesi dan

akhirnya masuk ke laut Halmahera. Interaksi arus ini dengan arus the New

Guinea Coastal Currents (NGCC) yang bergerak sepanjang pantai Papua New

Guinea akan menimbulkan adanya Halmahera Eddy. Kedua eddy ini dibatasi

oleh the North Equatorial Countercurrents (NECC). North Pacific Intermediate

Water (NPIW) dan Antarctic Intermediate Water (AAIW) juga terobsevasi di laut

Sulawesi dan Laut Halmahera (Kashino, Y., dkk, 1996).

Massa air laut Pasifik utara dan massa air dari pasifik selatan mempunyai sifat

yang berbeda dan mudah dibedakan dari salinitasnya atau profil oxigennya.

Massa air Pasifik utara mempunyai salinitas maksimum 34.75 pada 100 meter

dan massa air Pasifik selatan mempunyai salinitas maksimum 35.41

º

º

‰ pada 150

meter. Profil oksigen dari massa air Pasifik utara mempunyai curva yang

menurun dari permukaan ke dalam dengan minimum disekitar 10 C, sedangkan

massa air Pasifik selatan mempunyai profil oksigen yang cenderung konstan

antara 25ºC-10ºC (Ffield,A & A.L. Gordon 1992). Hasil analisi massa air yang

7Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

8Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 23: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

1.3 DINAMIKA LAUT INDONESIADiatas telah diuraikan bahwa dinamika laut perairan Indonesia dapat di

golongkan dalam empat daerah kajian. Pertama adalah dinamika laut samudra

Pasifik Barat. Kedua dinamika laut arus lintas Indonesia (Arlindo). Ketiga

dinamika arus samudra India Timur dan ke empat adalah dinamika laut

paparan. Kita akan membahasnya satu persatu.

1.3.1 Dinamika Laut Samudra Pasifik BaratSistem sirkulasi arus di Pasifik Barat dinamakan sistem sirkulasi arus batas

barat lintang rendah Pasifik (The Pacific low latitude western boundary

currents/LLWBCs). Didunia ini ada tiga buah lautan yang mempunyai sistem

sirkulasi arus LLWBCs yaitu lautan Pasifik, lautan Atlantik dan lautan India. Dari

ketiga lautan tersebut hanya LLBWCs di lautan Pasifik yang mempunyai

dinamika paling kompleks. Ada dua factor utama yang menyebabkan dinamika

arus di LLBWCs ini kompleks. Faktor pertama adalah angin (merupakan gaya

pengerak utama arus) mempunyai variabilitas yang tinggi karena pengaruh

monsoon. Faktor yang lain adalah daerah batasnya berupa kepulauan sehingga

akan menyusun kondisi batas yang tak teratur. Bandingkan dengan lautan

Atlantik dengan kondisi angin yang umumnya tunak serta batasnya berupa

benua afrika dan amerika. Skematik dari LLWBCs di lautan Pasifik dan arus

lintas Indonesia dapat dinyatakan dalam gambar berikut:

Gambar 1.1 Diagram skematik the Pacific low latitude western boundary currents (LLBWCs)dan arus lintas Indonesia (Arlindo). (Sumber: Lukas, R., dkk, 1996).

Sumber utama massa air yang menopang sistem sirkulasi arus LLWBCs adalah

arus pasifik selatan/South Equatorial Currents (SEC) dan arus pasifik

utara/North Equatorial Currents (NEC) (Lukas et al 1996). Di belahan bumi

utara arus pasifik utara (NEC) yang bergerak ke barat pada lintang 14 N akan

memecah menjadi dua, arus yang satu bergerak ke utara dan yang lain ke

selatan. Arus yang ke utara menjadi arus Kuroshiwo yang bergerak ke perairan

Jepang dan yang bergerak ke selatan menjadi arus Mindanao.

Dibelahan Bumi bagian selatan arus ekuator selatan (SEC) yang bergerak

kebarat akan membelah di sekitar 15 S yang satu bergerak sepanjang Great

Barrier Reef dan akan menjadi Great Barrier Reef Undercurrents (GBRUC) dan

kemudian mengalir ke sepanjang pantai Papua New Guenia menjadi The New

Guinea Coastal Undercurrents (NGCUC). Massa air yang mengalir ke selatan

menjadi arus Australia timur /East Australia Currents (EAC). Dilapisan

termokline massa air dari NGCUC mengalir ke timur menjadi Equatorial

Undercurrents (EUC), sebagian menjadi North Equatorial Countercurrents

(NECC), sebagian lagi menjadi North Subsurface Counter Currents (NSCC) dan

sebagian menjadi arus lintas Indonesia yang diduga masuk melalui laut

Halmahera. Massa air dari SEC juga masuk ke kepulauan Indonesia melalui

selat Torres terus ke laut Arafura. Arus Mindanao bergerak ke selatan sebagian

masuk ke laut Sulawesi dan sebagian berinteraksi dengan arus ekuator selatan

(SEC). Akibat interaksi ini terjadi defleksi arus ke selatan menjadi North

Equatorial Counter Currents yang tak stabil. Akibat defleksi ini juga memicu

timbulnya Mindanau Eddy.

Arus Mindanao yang masuk ke laut Sulawesi sebagian masuk ke selat Makasar

dan sebagian dibelokkan ke timur sepanjang pantai utara Sulawesi dan

akhirnya masuk ke laut Halmahera. Interaksi arus ini dengan arus the New

Guinea Coastal Currents (NGCC) yang bergerak sepanjang pantai Papua New

Guinea akan menimbulkan adanya Halmahera Eddy. Kedua eddy ini dibatasi

oleh the North Equatorial Countercurrents (NECC). North Pacific Intermediate

Water (NPIW) dan Antarctic Intermediate Water (AAIW) juga terobsevasi di laut

Sulawesi dan Laut Halmahera (Kashino, Y., dkk, 1996).

Massa air laut Pasifik utara dan massa air dari pasifik selatan mempunyai sifat

yang berbeda dan mudah dibedakan dari salinitasnya atau profil oxigennya.

Massa air Pasifik utara mempunyai salinitas maksimum 34.75 pada 100 meter

dan massa air Pasifik selatan mempunyai salinitas maksimum 35.41

º

º

‰ pada 150

meter. Profil oksigen dari massa air Pasifik utara mempunyai curva yang

menurun dari permukaan ke dalam dengan minimum disekitar 10 C, sedangkan

massa air Pasifik selatan mempunyai profil oksigen yang cenderung konstan

antara 25ºC-10ºC (Ffield,A & A.L. Gordon 1992). Hasil analisi massa air yang

7Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

8Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 24: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dinyatakan dalam TS diagram dan profil oksigen dari hasil observasi di perairan

Indonesia dapat dilihat dari gambar berikut:Hasil diatas menunjukkan bahwa massa air dari Pasifik masuk ke perairan

Indonesia. Masuknya massa air ini ke perairan Indonesia ini akan dikenal

dengan nama arus lintas Indonesia (Arlindo). Arus lintas ini ternyata

mempengaruhi dinamika atmosfer-laut skala global yang dikenal dengan El

Nino. Variasi tahunan dari suhu muka laut (SST) di lautan Pasifik (khususnya

Pasifik tengah dan Pasifik timur) mempunyai kaitan erat dengan anomali

atmosfer global. Pemanasan abnormal skala besar di samudra Pasifik ekuator

disebut El Nino.

Fenomena ini berkaitan erat dengan sistem osilasi global di atmosfer yang

dinamakan osilasi selatan, sehingga kedua fenomena tersebut merupakan

suatu kesatuan yang sering disebut dengan nama El Nino Southern Oscillation

Gambar 1.2 Analisis massa air di perairan Indonesia bagian timur NP(north pasific) danSP(south pacific) (sumber: Ffield, A. dan A. Gordon, 1992).

(ENSO). Selama masa El Nino, tekanan lebih rendah dari normal terobservasi di

Pasifik tropis sebelah timur dan tekanan lebih tinggi dari normal terobservasi

di Indonesia dan Australia utara. Pada periode ini di Indonesia terjadi

penurunan penguapan sehingga terjadi kekeringan. Siklus ENSO merupakan

flukstuasi skala besar dari temperatur laut, curah hujan, sirkulasi atmosfer,

gerakan vertikal dan gerakan sepanjang ekuator Pasifik. Selama periode El

Nino temperatur muka laut sekitar 2ºC-5ºC diatas normal dan lawan dari

kondisi diatas yang disebut La Nina, suhu muka laut sekitar 1ºC-4ºC dibawah

normal.

Hubungan antara El Nino dengan arus lintas diakibatkan kenyataan bahwa

hubungan dinamik antara samudra Pasifik dan samudra India dikontrol oleh

benua maritim Indonesia yang mempunyai topografi dan jaringan selat yang

kompleks. Dengan menggunakan simulasi global ocean general circulation

model (GOGCM) menunjukkan bahwa dengan adanya Arlindo maka pemanasan

suhu muka laut di Pasifik akan bergeser ke arah barat dibandingankan tanpa

kehadiran Arlindo. Lautan Pasifik juga akan lebih panas dan lautan India akan

lebih dingin jika Arlindo tidak hadir. Perubahan magnitude Arlindo akan

mempengaruhi pola suhu muka laut di Pasifik ekuator.

1.3.2 Dinamika Laut Arus Lintas IndonesiaDinamika arus lintas Indonesia ini sangat terpengaruh oleh musim dan

mempunyai variabilitas tinggi (Wyrtki, K., 1987). Selama musim tenggara arus

lintas ini menguat, dan selama musim barat arus lintas melemah. Pada lapisan

permukaan dinamika massa air arus lintas ini dipengaruhi oleh angin

permukaan. Selama musim tenggara massa air permukaan bergerak dari laut

Banda ke laut Flores, kemudian meneruskan perjalanan ke laut Jawa dan

akhirnya ke laut Cina selatan. Selama musim barat massa air bergerak dari laut

Jawa dan selat Malaka kemudian memotong laut Flores dan akhirnya masuk ke

laut Banda. Hasil observasi menunjukkan bahwa untuk lapisan atas, massa air

laut Banda berasal dari massa air lautan Pasifik utara (Gordon, A., dkk, 1994).

Massa air itu masuk ke arus lintas Indonesia melalui selat Makasar. Skematik

arus lintas Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.3.

Massa air dari Pasifik Barat masuk ke perairan Indonesia melalui selat Makasar,

kemudian diteruskan ke laut Flores. Di laut ini arus memecah, sekitar 20%

masuk ke Selat Lombok dan diteruskan ke Samudra India dan sisinya masuk ke

Laut Banda. Dari laut Banda massa air keluar ke Samudra Indonesia melalui

laut Timor.

Selat Makasar merupakan lintasan utama dari pergerakan massa air di lautan

Pasifik ke lautan India. Sumber utama massa air yang masuk ke selat Makasar

adalah massa air dari Pasifik utara. Massa air ini akan bergerak dari laut

9Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

10Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 25: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dinyatakan dalam TS diagram dan profil oksigen dari hasil observasi di perairan

Indonesia dapat dilihat dari gambar berikut:Hasil diatas menunjukkan bahwa massa air dari Pasifik masuk ke perairan

Indonesia. Masuknya massa air ini ke perairan Indonesia ini akan dikenal

dengan nama arus lintas Indonesia (Arlindo). Arus lintas ini ternyata

mempengaruhi dinamika atmosfer-laut skala global yang dikenal dengan El

Nino. Variasi tahunan dari suhu muka laut (SST) di lautan Pasifik (khususnya

Pasifik tengah dan Pasifik timur) mempunyai kaitan erat dengan anomali

atmosfer global. Pemanasan abnormal skala besar di samudra Pasifik ekuator

disebut El Nino.

Fenomena ini berkaitan erat dengan sistem osilasi global di atmosfer yang

dinamakan osilasi selatan, sehingga kedua fenomena tersebut merupakan

suatu kesatuan yang sering disebut dengan nama El Nino Southern Oscillation

Gambar 1.2 Analisis massa air di perairan Indonesia bagian timur NP(north pasific) danSP(south pacific) (sumber: Ffield, A. dan A. Gordon, 1992).

(ENSO). Selama masa El Nino, tekanan lebih rendah dari normal terobservasi di

Pasifik tropis sebelah timur dan tekanan lebih tinggi dari normal terobservasi

di Indonesia dan Australia utara. Pada periode ini di Indonesia terjadi

penurunan penguapan sehingga terjadi kekeringan. Siklus ENSO merupakan

flukstuasi skala besar dari temperatur laut, curah hujan, sirkulasi atmosfer,

gerakan vertikal dan gerakan sepanjang ekuator Pasifik. Selama periode El

Nino temperatur muka laut sekitar 2ºC-5ºC diatas normal dan lawan dari

kondisi diatas yang disebut La Nina, suhu muka laut sekitar 1ºC-4ºC dibawah

normal.

Hubungan antara El Nino dengan arus lintas diakibatkan kenyataan bahwa

hubungan dinamik antara samudra Pasifik dan samudra India dikontrol oleh

benua maritim Indonesia yang mempunyai topografi dan jaringan selat yang

kompleks. Dengan menggunakan simulasi global ocean general circulation

model (GOGCM) menunjukkan bahwa dengan adanya Arlindo maka pemanasan

suhu muka laut di Pasifik akan bergeser ke arah barat dibandingankan tanpa

kehadiran Arlindo. Lautan Pasifik juga akan lebih panas dan lautan India akan

lebih dingin jika Arlindo tidak hadir. Perubahan magnitude Arlindo akan

mempengaruhi pola suhu muka laut di Pasifik ekuator.

1.3.2 Dinamika Laut Arus Lintas IndonesiaDinamika arus lintas Indonesia ini sangat terpengaruh oleh musim dan

mempunyai variabilitas tinggi (Wyrtki, K., 1987). Selama musim tenggara arus

lintas ini menguat, dan selama musim barat arus lintas melemah. Pada lapisan

permukaan dinamika massa air arus lintas ini dipengaruhi oleh angin

permukaan. Selama musim tenggara massa air permukaan bergerak dari laut

Banda ke laut Flores, kemudian meneruskan perjalanan ke laut Jawa dan

akhirnya ke laut Cina selatan. Selama musim barat massa air bergerak dari laut

Jawa dan selat Malaka kemudian memotong laut Flores dan akhirnya masuk ke

laut Banda. Hasil observasi menunjukkan bahwa untuk lapisan atas, massa air

laut Banda berasal dari massa air lautan Pasifik utara (Gordon, A., dkk, 1994).

Massa air itu masuk ke arus lintas Indonesia melalui selat Makasar. Skematik

arus lintas Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.3.

Massa air dari Pasifik Barat masuk ke perairan Indonesia melalui selat Makasar,

kemudian diteruskan ke laut Flores. Di laut ini arus memecah, sekitar 20%

masuk ke Selat Lombok dan diteruskan ke Samudra India dan sisinya masuk ke

Laut Banda. Dari laut Banda massa air keluar ke Samudra Indonesia melalui

laut Timor.

Selat Makasar merupakan lintasan utama dari pergerakan massa air di lautan

Pasifik ke lautan India. Sumber utama massa air yang masuk ke selat Makasar

adalah massa air dari Pasifik utara. Massa air ini akan bergerak dari laut

9Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

10Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 26: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 1.3 Skematik arus lintas Indonesia (www.ldeo.columbia.edu)

Sulawesi masuk ke selat Makasar sepanjang tahun (Wyrtki, K., 1966). Arus yang

kuat yang menuju ke selatan terdeteksi di lapisan intermediate (Waworuntu,

J., dkk,1999). Temperatur dasar dari selat Makasar umumnya konstant dan

hanya bervariasi sekitar 0.007ºC. Untuk memahami struktur termal di selat

Makasar di perlukan minimal sistem hidrodinamika tiga lapis (Waworuntu, J.,

dkk, 1999). Sedangkan massa air dari Pasifik selatan akan berinfiltrasi dari laut

Sulawesi masuk ke laut Banda melalui selat Lifamatola. Massa air ini adalah

massa air intermediate yaitu massa air dibawah temokline.

Gordon, A dan A. Field 1994 mengobservasi bahwa pada musim barat yaitu

pada bulan Desember di Laut Flores dan Laut Banda bagian barat mempunyai

salinitas maksimum di sekitar 110 dbar (20ºC) dan salinitas minimum disekitar

300dbar (10ºC) yang merupakan ciri dari massa air Pasifik utara sub tropik dan

massa air Pasifik utara intermediate. Salinitas permukaan lebih tawar dari

salinitas sub permukaan, hal ini diakibatkan sebagai konsekuensi tingginya

curah hujan dan adanya transport massa air tawar dari sungai. Salinitas

permukaan terendah terendah berada di Laut Flores bagian barat. Salinitas

permukaan sebesar 34.5‰ terobservasi di laut Flores sebelah timur dan laut

Banda terobservasi salinitas diatas 34.4‰ . Pada musim barat di lapisan

6 3permukaan mempunyai transport massa sebesar 6.3 Sv (1 Sv = 10 m /det)

yang berarah ke timur, sedangkan antara 300 sampai 1000dbar mempunyai

transport massa sebesar 3.5 Sv ke arah barat.

Pergerakan massa air dapat dilihat dari transport massa air yang dapat dihitung

dari data CTD. Transport geostropik di Laut Banda dapat dilihat pada gambar

berikut:Gordon, A dan A. Ffield mengemukakan gagasan bahwa tingginya salinitas di

laut Flores sebesar 34.4‰ -34.6‰ pada kedalaman 300 dbar sampai 1000 dbar

diakibatkan adanya massa air dari dari laut Banda dengan salinitas antara

34.5‰ -34.6‰ yang bergerak ke barat menuju laut Flores akan menabrak sill

(gundukan) di dekat selat Makasar sehingga massa air tadi dibelokkan kembali

ke laut Banda Massa air laut Banda di bawah termoklin yang mempunyai

salinitas tinggi diindikasikan berasal dari laut Pasifik selatan atau lautan India.

Massa air dari laut Pasifik selatan masuk ke arus lintas Indonesia melalui laut

Maluku dan laut Halmahera, sedangkan massa air dari laut India masuk ke arus

lintas melalui celah Alor-Wetar dan celah Timor.

Gambar 1.4 Transport geostropik laut Banda (sumber: Gordon, A dan A. Ffield, 1994)

11Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

12Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 27: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 1.3 Skematik arus lintas Indonesia (www.ldeo.columbia.edu)

Sulawesi masuk ke selat Makasar sepanjang tahun (Wyrtki, K., 1966). Arus yang

kuat yang menuju ke selatan terdeteksi di lapisan intermediate (Waworuntu,

J., dkk,1999). Temperatur dasar dari selat Makasar umumnya konstant dan

hanya bervariasi sekitar 0.007ºC. Untuk memahami struktur termal di selat

Makasar di perlukan minimal sistem hidrodinamika tiga lapis (Waworuntu, J.,

dkk, 1999). Sedangkan massa air dari Pasifik selatan akan berinfiltrasi dari laut

Sulawesi masuk ke laut Banda melalui selat Lifamatola. Massa air ini adalah

massa air intermediate yaitu massa air dibawah temokline.

Gordon, A dan A. Field 1994 mengobservasi bahwa pada musim barat yaitu

pada bulan Desember di Laut Flores dan Laut Banda bagian barat mempunyai

salinitas maksimum di sekitar 110 dbar (20ºC) dan salinitas minimum disekitar

300dbar (10ºC) yang merupakan ciri dari massa air Pasifik utara sub tropik dan

massa air Pasifik utara intermediate. Salinitas permukaan lebih tawar dari

salinitas sub permukaan, hal ini diakibatkan sebagai konsekuensi tingginya

curah hujan dan adanya transport massa air tawar dari sungai. Salinitas

permukaan terendah terendah berada di Laut Flores bagian barat. Salinitas

permukaan sebesar 34.5‰ terobservasi di laut Flores sebelah timur dan laut

Banda terobservasi salinitas diatas 34.4‰ . Pada musim barat di lapisan

6 3permukaan mempunyai transport massa sebesar 6.3 Sv (1 Sv = 10 m /det)

yang berarah ke timur, sedangkan antara 300 sampai 1000dbar mempunyai

transport massa sebesar 3.5 Sv ke arah barat.

Pergerakan massa air dapat dilihat dari transport massa air yang dapat dihitung

dari data CTD. Transport geostropik di Laut Banda dapat dilihat pada gambar

berikut:Gordon, A dan A. Ffield mengemukakan gagasan bahwa tingginya salinitas di

laut Flores sebesar 34.4‰ -34.6‰ pada kedalaman 300 dbar sampai 1000 dbar

diakibatkan adanya massa air dari dari laut Banda dengan salinitas antara

34.5‰ -34.6‰ yang bergerak ke barat menuju laut Flores akan menabrak sill

(gundukan) di dekat selat Makasar sehingga massa air tadi dibelokkan kembali

ke laut Banda Massa air laut Banda di bawah termoklin yang mempunyai

salinitas tinggi diindikasikan berasal dari laut Pasifik selatan atau lautan India.

Massa air dari laut Pasifik selatan masuk ke arus lintas Indonesia melalui laut

Maluku dan laut Halmahera, sedangkan massa air dari laut India masuk ke arus

lintas melalui celah Alor-Wetar dan celah Timor.

Gambar 1.4 Transport geostropik laut Banda (sumber: Gordon, A dan A. Ffield, 1994)

11Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

12Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 28: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Laut utama dari arus lintas adalah laut Banda dan di laut ini pada musim barat

mempunyai suhu muka laut rata-rata 4 C lebih panas daripada musim timur

(Ilahude, A.G dan A. Gordon, 1996). Di tengah laut Banda pada musim timur

mempunyai suhu muka laut antara 25.7ºC-26.1ºC dan di musim barat suhu

muka laut antara 29.6ºC-30.3ºC. Pada musim timur lapisan termokline lebih

dangkal sekitar 40m, hal ini mengindikasikan adanya proses upwelling di laut

Banda (Wyrtki, K 1961). Salinitas pada musim barat maupun musim timur

cenderung sama yaitu berkisar antara 34.1‰ - 34.4‰. Dibeberapa daerah di

sebelah selatan yang berdekatan dengan laut Timor mempunyai harga salinitas

sebesar 34.5‰.

Beberapa fenomena menarik tentang sirkulasi arus lintas adalah proses

pengadukan (mixing processes). SST (sea surface temperatur/temperatur muka

laut) bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia

dan ini mengindikasikan adanya proses mixing yang digenerasi oleh pasang

surut (Ffield dan Gordon, 1996). Periode 14 harian secara kuat muncul di laut

Seram-Maluku dan laut Banda. Lebih lanjut Ffield dan Gordon

menghipotesakan bahwa proses mixing atau turbulen yang kuat digenerasi di

termoklin selama pasut kuat. Mereka menghitung bahwa dengan pendinginan

permukaan 0.2ºC dalam periode 14 hari mensyaratkan difusivitas diapiknal di

termoklin adalah:Dimana kedalaman lapisan permukaan D = 20 m dan temperatur dibawah

lapisan permukaan menurun secara linier pada T/z=0.06ºC/m. Difusivitas ini

berharga sepuluh kali lebih besar dibandingkan laut terbuka. A. Field dan A.

Gordon oceanographer dari LDEO Columbia University dan Hautala dkk dari

Universitas Washington menggunakan model adveksi-difusi untuk menghitung

sifat transport besaran skalar (salinitas, temperatur dan konsentrasi oksigen),

dan mereka menyimpulkan bahwa supaya perhitungan mereka cocok dengan

data di lapangan maka laut Banda harus mempunyai difusivitas diapiknal -4 2(difusivitas vertikal) 10 m /det. Hasil ini menunjukkan tingginya

difusivitas diapiknal yang harus terjadi di laut Banda. Sebagai perbandingan -6 2untuk rata-rata laut terbuka mempunyai difusivitas vertikal 10 m /det.

Sjoberg & Stigebrandt 1992 mengemukakan bahwa mixing yang kuat di

perairan Indonesia diakibatkan adanya topografi yang kompleks serta pasang

º

125105.5 smzT

tTD

surut yang kuat.

Hasil pengukuran mixing pada bulan September-Oktober 1998 di koordinat

(6.5ºS;128ºE) yang merupakan pusat dari laut Banda dengan Modular

Microstructure Profiler (MMP) yang mengukur parameter: potensial temperatur,

salinitas, potensial densitas, tekanan serta energi kinetik dissipation rate

menunjukkan hasil yang mengejutkan.Harga rata-rata kedalaman dibawah lapisan permukaan (20m z 300m)

-9untuk rate of dissipation = (9.57 0.34) x 10 W/kg dan difusivitas vertikal -6 2<>= (9.2 0.55) x 10 m2/det. Hasil juga menunjukkan bahwa ~N dan

0~N . Kondisi ini adalah tipikal turbulensi untuk laut terbuka. Pola deret

waktu dari rate of dissipation () menunjukan bahwa rate of dissipation

terkonsentrasi di daerah dengan stratifikasi maksimum yaitu daerah dengan

shear tinggi. Profil deret waktu dari kecepatan arus dan shear baik dalam arah

zonal maupun arah meridional menunjukkan suatu pola osilasi (dalam gambar

tampak berbentuk pita miring ke kanan). Pola osilasi ini timbul sebagai akibat

hadirnya suatu gelombang yang ada di badan air yang dikenal dengan nama

gelombang internal. Syarat untuk terjadinya gelombang internal adalah adanya

gradient densitas (Brunt-Vaisala frequency 0).

Umumnya mixing di laut dihasilkan oleh pecahnya gelombang internal.

Parameterisasi mixing dalam bentuk energi gelombang internal untuk laut

terbuka menunjukkan suatu fraksi kecil dari total yang diperlukan untuk

mempertahankan stratifikasi abisal (jurang). Sejauh ini diyakini pada umumnya

Gambar 1.4 a) Akusisi data MMP dari buritan kapal Baruna Jaya IV. (sumber foto: Jenifer ).b) Harga rata-rata dari dan K di Laut Banda pada saat pengamatan.

13Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

14Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 29: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Laut utama dari arus lintas adalah laut Banda dan di laut ini pada musim barat

mempunyai suhu muka laut rata-rata 4 C lebih panas daripada musim timur

(Ilahude, A.G dan A. Gordon, 1996). Di tengah laut Banda pada musim timur

mempunyai suhu muka laut antara 25.7ºC-26.1ºC dan di musim barat suhu

muka laut antara 29.6ºC-30.3ºC. Pada musim timur lapisan termokline lebih

dangkal sekitar 40m, hal ini mengindikasikan adanya proses upwelling di laut

Banda (Wyrtki, K 1961). Salinitas pada musim barat maupun musim timur

cenderung sama yaitu berkisar antara 34.1‰ - 34.4‰. Dibeberapa daerah di

sebelah selatan yang berdekatan dengan laut Timor mempunyai harga salinitas

sebesar 34.5‰.

Beberapa fenomena menarik tentang sirkulasi arus lintas adalah proses

pengadukan (mixing processes). SST (sea surface temperatur/temperatur muka

laut) bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia

dan ini mengindikasikan adanya proses mixing yang digenerasi oleh pasang

surut (Ffield dan Gordon, 1996). Periode 14 harian secara kuat muncul di laut

Seram-Maluku dan laut Banda. Lebih lanjut Ffield dan Gordon

menghipotesakan bahwa proses mixing atau turbulen yang kuat digenerasi di

termoklin selama pasut kuat. Mereka menghitung bahwa dengan pendinginan

permukaan 0.2ºC dalam periode 14 hari mensyaratkan difusivitas diapiknal di

termoklin adalah:Dimana kedalaman lapisan permukaan D = 20 m dan temperatur dibawah

lapisan permukaan menurun secara linier pada T/z=0.06ºC/m. Difusivitas ini

berharga sepuluh kali lebih besar dibandingkan laut terbuka. A. Field dan A.

Gordon oceanographer dari LDEO Columbia University dan Hautala dkk dari

Universitas Washington menggunakan model adveksi-difusi untuk menghitung

sifat transport besaran skalar (salinitas, temperatur dan konsentrasi oksigen),

dan mereka menyimpulkan bahwa supaya perhitungan mereka cocok dengan

data di lapangan maka laut Banda harus mempunyai difusivitas diapiknal -4 2(difusivitas vertikal) 10 m /det. Hasil ini menunjukkan tingginya

difusivitas diapiknal yang harus terjadi di laut Banda. Sebagai perbandingan -6 2untuk rata-rata laut terbuka mempunyai difusivitas vertikal 10 m /det.

Sjoberg & Stigebrandt 1992 mengemukakan bahwa mixing yang kuat di

perairan Indonesia diakibatkan adanya topografi yang kompleks serta pasang

º

125105.5 smzT

tTD

surut yang kuat.

Hasil pengukuran mixing pada bulan September-Oktober 1998 di koordinat

(6.5ºS;128ºE) yang merupakan pusat dari laut Banda dengan Modular

Microstructure Profiler (MMP) yang mengukur parameter: potensial temperatur,

salinitas, potensial densitas, tekanan serta energi kinetik dissipation rate

menunjukkan hasil yang mengejutkan.Harga rata-rata kedalaman dibawah lapisan permukaan (20m z 300m)

-9untuk rate of dissipation = (9.57 0.34) x 10 W/kg dan difusivitas vertikal -6 2<>= (9.2 0.55) x 10 m2/det. Hasil juga menunjukkan bahwa ~N dan

0~N . Kondisi ini adalah tipikal turbulensi untuk laut terbuka. Pola deret

waktu dari rate of dissipation () menunjukan bahwa rate of dissipation

terkonsentrasi di daerah dengan stratifikasi maksimum yaitu daerah dengan

shear tinggi. Profil deret waktu dari kecepatan arus dan shear baik dalam arah

zonal maupun arah meridional menunjukkan suatu pola osilasi (dalam gambar

tampak berbentuk pita miring ke kanan). Pola osilasi ini timbul sebagai akibat

hadirnya suatu gelombang yang ada di badan air yang dikenal dengan nama

gelombang internal. Syarat untuk terjadinya gelombang internal adalah adanya

gradient densitas (Brunt-Vaisala frequency 0).

Umumnya mixing di laut dihasilkan oleh pecahnya gelombang internal.

Parameterisasi mixing dalam bentuk energi gelombang internal untuk laut

terbuka menunjukkan suatu fraksi kecil dari total yang diperlukan untuk

mempertahankan stratifikasi abisal (jurang). Sejauh ini diyakini pada umumnya

Gambar 1.4 a) Akusisi data MMP dari buritan kapal Baruna Jaya IV. (sumber foto: Jenifer ).b) Harga rata-rata dari dan K di Laut Banda pada saat pengamatan.

13Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

14Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 30: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

ada dua sumber gelombang internal yaitu pasang surut Bulan dan stress angin.

Untuk sumber Bulan, aliran pasut barotropik yang lewat dalam topografi yang

kasar akan diubah ke aliran pasut baroklinik untuk menggenerasi gelombang

internal dengan frekuensi pasut. Gelombang internal mempunyai frekuensi

yang kontinu. Angin akan merangsang gerakan inersia (lembam) di lapisan

campuran yang menghasilkan gelombang internal semi-inersia (near-inertial 12internal wave). Dari total sebesar 2.1 TW (10 W) energi mixing di jurang

laut, 0.9 TW akibat pasang surut dan 1.2 TW akibat angin (Munk, 1998).

Gelombang internal yang digenerasi angin mempunyai tipikal frekuensi intrisik

( ) yang sama dengan frekuensi Koriolis lokal (f ). Gelombang ini dikendala I o

penjalarannya diekuator. Jika frekuensinya menjadi lebih kecil dari frekuensi

kritis maka dia menjadi frekuensi superinersia. Gelombang semi-inersia ini

pada suatu saat akan mentransfer energinya ke skala gelombang pecah melalui

mekanisme interaksi gelombang-gelombang atau melalui ketakstabilan shear.

Di dalam keadaan yang ekstrim gelombang semi-inersia ini akan mencapai

disuatu daerah lintang tinggi dengan frekuensi =2f dengan mekanisme I

parametric subharmonic instability (PSI) (Hibiya, P., dkk, 1999). Disamping

mekanisme pecahnya gelombang internal, angin juga merupakan sumber untuk

turbulen yang biasanya disebut mixing diimbuh angin.

Shear didominasi oleh pita yang miring keatas. Kondisi ini merepresentasikan

eksistensi gelombang internal semi inersia dengan rotasi berlawanan arah

jarum jam dan berarah kebawah. Perioda yang terobservasi adalah 4.4 hari

Gambar 1.5 Kecepatan shear arus dalam arah Zonal dan Meridional (Sulaiman, A, 2000).

(frekuensi f=1/4.4 hari =0.227). Frekuensi ini sama dengan f = 2 sin. o o

Lintang dilaut Banda adalah =6.5 maka f =0.22743 dimana =1/hari. Maka o o

kita dapatkan frekuensi observasi dinyatakan oleh =(1.02 0.02) f . Hasil ini o o

menunjukkan bahwa frekuensi yang terobservasi sama dengan frekuensi

Coriolis lokal sehingga disebut frekuensi intrisik. Dengan demikian kita

mempunyai gelombang internal tipe semi-inersia.

Hasil menunjukan bahwa gelombang mencepai kedalaman 10m selama 19.4

hari pada lintang (6.9 S;130.6 E), kira-kira sejauh 300 km. Perubahan lintang

juga akan mempengaruhi perubahan frekuensi intrisik, dengan kata lain

penjalaran gelombang juga dipengaruhi oleh lintang. Dari hasil ini dapat

diduga gelombang internal semi-inersia digenerasi di salah satu sisi cekungan

di sebelah barat daya pada saat musim tenggara (southeast monsoon) dan

menjalar ke barat laut. Rekaman pada saat survei menunjukkan gelombang

bergerak ke dasar cekungan, jadi gelombang pada penjalarannya ke atas akan

dipantulkan lagi ke dasar.

1.3.3 Dinamika Laut Samudra India TimurLaut India merupakan lautan yang paling sempit dan paling kompleks

dibandingkan lautan lainnya (Pasifik dan Atlantik). Gaya pengerak utama

sisitem sirkulasi arus di samudra India adalah monsoon. Lautan India bagian

barat sirkulasi arus akibat monsoon mempunyaiperiode semi annual, sedangkan

bagian timur sirkulasi arus mempunyai periode annual dan dipengaruhi oleh

arus lintas Indonesia (Ueda, H, 2001, Matsumoto,Y. dan G. Mayer, 1998).

Anomali beda fase antara bagian barat dan timur terutama di ekuator akan

menciptakan pola dua kutub (dipole). Struktur dipole timur-barat di samudra

India ekuator bisasnya diasosiasikan dengan sebuah anomaly interannual suhu

muka laut (tinggi-rendah) dan kompresi conveksi di timur-barat samudra India.

Selama Musim Tenggara, angin tenggara dari Australia membangkitkan

Upwelling sepanjang Jawa-Sumatra dan kondisi ini berbalik pada Musim

Baratlaut. Sedangkan pada periode transisi yaitu bulan April-May dan October-

November, equatorial westerly generated equatorial downwelling Kelvin waves

menjalar ke timur, menumbuk pulau Sumatra dan memecah menjadi dua,

sebagian ke utara menuku ke teluk bengala dan sebagian menyusur pantai

Sumatra dan Jawa. Di pantai Sumatra dan Jawa gelombang ini coastally

trapped Kelvin waves dan masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat

Lombok (Susanto, D., dkk, 2002).

Profil salinitas di lautan India bagian timur mempunyai bentuk yang sama

dengan profil pada 03N,90E 03S,90E yang mana memmpunyai salinitas 35 psu

pada 100m dan menurun pada kedalamaan (Sulaiman, A., dkk, 2002). Pada

04S,90E salinitas maksimum 35.2 psu terdapat pada kedalaman sekitar 70m

º

º º

15Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

16Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 31: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

ada dua sumber gelombang internal yaitu pasang surut Bulan dan stress angin.

Untuk sumber Bulan, aliran pasut barotropik yang lewat dalam topografi yang

kasar akan diubah ke aliran pasut baroklinik untuk menggenerasi gelombang

internal dengan frekuensi pasut. Gelombang internal mempunyai frekuensi

yang kontinu. Angin akan merangsang gerakan inersia (lembam) di lapisan

campuran yang menghasilkan gelombang internal semi-inersia (near-inertial 12internal wave). Dari total sebesar 2.1 TW (10 W) energi mixing di jurang

laut, 0.9 TW akibat pasang surut dan 1.2 TW akibat angin (Munk, 1998).

Gelombang internal yang digenerasi angin mempunyai tipikal frekuensi intrisik

( ) yang sama dengan frekuensi Koriolis lokal (f ). Gelombang ini dikendala I o

penjalarannya diekuator. Jika frekuensinya menjadi lebih kecil dari frekuensi

kritis maka dia menjadi frekuensi superinersia. Gelombang semi-inersia ini

pada suatu saat akan mentransfer energinya ke skala gelombang pecah melalui

mekanisme interaksi gelombang-gelombang atau melalui ketakstabilan shear.

Di dalam keadaan yang ekstrim gelombang semi-inersia ini akan mencapai

disuatu daerah lintang tinggi dengan frekuensi =2f dengan mekanisme I

parametric subharmonic instability (PSI) (Hibiya, P., dkk, 1999). Disamping

mekanisme pecahnya gelombang internal, angin juga merupakan sumber untuk

turbulen yang biasanya disebut mixing diimbuh angin.

Shear didominasi oleh pita yang miring keatas. Kondisi ini merepresentasikan

eksistensi gelombang internal semi inersia dengan rotasi berlawanan arah

jarum jam dan berarah kebawah. Perioda yang terobservasi adalah 4.4 hari

Gambar 1.5 Kecepatan shear arus dalam arah Zonal dan Meridional (Sulaiman, A, 2000).

(frekuensi f=1/4.4 hari =0.227). Frekuensi ini sama dengan f = 2 sin. o o

Lintang dilaut Banda adalah =6.5 maka f =0.22743 dimana =1/hari. Maka o o

kita dapatkan frekuensi observasi dinyatakan oleh =(1.02 0.02) f . Hasil ini o o

menunjukkan bahwa frekuensi yang terobservasi sama dengan frekuensi

Coriolis lokal sehingga disebut frekuensi intrisik. Dengan demikian kita

mempunyai gelombang internal tipe semi-inersia.

Hasil menunjukan bahwa gelombang mencepai kedalaman 10m selama 19.4

hari pada lintang (6.9 S;130.6 E), kira-kira sejauh 300 km. Perubahan lintang

juga akan mempengaruhi perubahan frekuensi intrisik, dengan kata lain

penjalaran gelombang juga dipengaruhi oleh lintang. Dari hasil ini dapat

diduga gelombang internal semi-inersia digenerasi di salah satu sisi cekungan

di sebelah barat daya pada saat musim tenggara (southeast monsoon) dan

menjalar ke barat laut. Rekaman pada saat survei menunjukkan gelombang

bergerak ke dasar cekungan, jadi gelombang pada penjalarannya ke atas akan

dipantulkan lagi ke dasar.

1.3.3 Dinamika Laut Samudra India TimurLaut India merupakan lautan yang paling sempit dan paling kompleks

dibandingkan lautan lainnya (Pasifik dan Atlantik). Gaya pengerak utama

sisitem sirkulasi arus di samudra India adalah monsoon. Lautan India bagian

barat sirkulasi arus akibat monsoon mempunyaiperiode semi annual, sedangkan

bagian timur sirkulasi arus mempunyai periode annual dan dipengaruhi oleh

arus lintas Indonesia (Ueda, H, 2001, Matsumoto,Y. dan G. Mayer, 1998).

Anomali beda fase antara bagian barat dan timur terutama di ekuator akan

menciptakan pola dua kutub (dipole). Struktur dipole timur-barat di samudra

India ekuator bisasnya diasosiasikan dengan sebuah anomaly interannual suhu

muka laut (tinggi-rendah) dan kompresi conveksi di timur-barat samudra India.

Selama Musim Tenggara, angin tenggara dari Australia membangkitkan

Upwelling sepanjang Jawa-Sumatra dan kondisi ini berbalik pada Musim

Baratlaut. Sedangkan pada periode transisi yaitu bulan April-May dan October-

November, equatorial westerly generated equatorial downwelling Kelvin waves

menjalar ke timur, menumbuk pulau Sumatra dan memecah menjadi dua,

sebagian ke utara menuku ke teluk bengala dan sebagian menyusur pantai

Sumatra dan Jawa. Di pantai Sumatra dan Jawa gelombang ini coastally

trapped Kelvin waves dan masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat

Lombok (Susanto, D., dkk, 2002).

Profil salinitas di lautan India bagian timur mempunyai bentuk yang sama

dengan profil pada 03N,90E 03S,90E yang mana memmpunyai salinitas 35 psu

pada 100m dan menurun pada kedalamaan (Sulaiman, A., dkk, 2002). Pada

04S,90E salinitas maksimum 35.2 psu terdapat pada kedalaman sekitar 70m

º

º º

15Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

16Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 32: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dan menurun sampai 34.6 psu pada kedalamana 150m. Salinitas tertinggi

berada di sebelah selatan ekuator yang mengindikasikan kehadiran massa air

the Indian Central Water (ICW). Di lintang utara salinitas rendah (<34 psu)

berasal dari Laut Andaman dimana massa air tawar berasal dari sungai

Irrawady dan sungai Salween. Termoklin lebih dalam di bagian selatan ekuator

dari pada di bagian utara pada bulan Agustus, hal ini disebabkan oleh posisi

Matahari pada bulan itu. Profil temperatur menunjukkan kedalaman termoklin lebih dalam di lintang

yang tinggi. Salinitas yang tinggi sepanjang 5S pada kedalaman 50-100m

Gambar 1.6 Diagram TS di Timur Samudra India.

Gambar 1.7 Profil temperatur dan salinitas pada bujur 90E. (Sulaiman, A. dkk, 2002)

Gambar 1.8 Profil temperatur dan salinitas 90ºE sampai selatan Jawa. (Sulaiman, A., dkk, 2002)

menunjukkan massa air ICW yang mengalir dari barat ke timur dan rendahnya

salinitas di permukaan diduga disebabkan oleh transport massa air dari arus

lintas Indonesia. Dari analisisi Ts diangram menunjukkan bahwa massa air ICW

terobservasi dibujur 95E-102E dan massa air the Australasian Maditerranean

Water (AAMW) terobservasi di bujur 103E-110E.

Hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi dapat dilihat pada gambar-

gambar dibawah ini.1.3.4 Dinamika Laut PaparanGaya pengerak utama dinamika laut di daerah paparan angin musim (Monsoon)

yang berubah arah dua kali dalam setahun. Monsoon ini terdiri dari Southeast

Monsoon (SE)/musim timur, biasanya terjadi pada bulan Juni-September,

musim peralihan pada bulan April-Mei serta Oktober-November dan Northwest

Monsoon (NW)/musim barat pada bulan Desember-Maret. Pada musim barat

yaitu sekitar bulan Desember-Februari arus permukaan bergerak ke timur

dengan kecepatan rata-rata 75 cm/det. Pada musim peralihan yaitu sekitar

bulan April/Mei arus melemah menjadi sekitar 25 cm/det. Sedangkan pada

musim timur yaitu pada bulan Juni-Agustus arus bergerak ke barat dengan

kecepatan rata-rata 50 cm/det dan menguat pada bulan Agustus. Sedangkan

pada musim peralihan kedua sekitar bulan Oktober/November arus berbalik

menuju ke timur dengan kecepatan rata-rata 60 cm/det. Laut Jawa pada

musim barat dicirikan dengan salinitas yang rendah (< 32 ) akibat suplai

massa air dari laut China Selatan yang bersalinitas rendah serta adanya runoff

dari sungai dari Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan pada musim timur

Juni-September salinitas naik akibat suplai massa air dari timur yaitu laut

Flores (>32 ).

DAFTAR PUSTAKA

Alford, M.H dan M. C Gregg 1999 “Diapycnal Mixing in The Banda Sea: Result

of the First Microstructure Measurement in the Indonesian Througflow” J.

Geophys. Lett; Vol:26, No:17, hal. 2741-2744.Alford, M.H dan M.C Gregg 2000 “Near-Inertial Mixing: Modulation of Shear,

strain and Microstructure at Low latitude” J. Geophys. Res. Submitted.Ffield, A dan A. Gordon 1992 “Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline”

J. Phys. Ocean, Vol: 22 184-195.Gordon, A dan J. Mc Clean 1999 “Thermohaline Stratification of the

Indonesian seas: Model and Observation” J. Phys. Oceanorg, Vol:29,

hal.198-216.Gordon, A., A. Ffield dan A.G Ilahude, 1994 “Thermocline of the Flores and

Banda Sea”J. Geophys. Res Vol:99 No: C9, hal. 18.235-18.242.Gordon, A; D. Susanto dan A. Ffield 1999 “Througflow within Makassar Strait”

Geophys.Res. Lett Vol:26, No:21, 3325-3328.Gregg,M.C 1987 “Dyapicnal Mixing in the Thermocline : A Review” J. Geophys.

Res. Vol: 92, No:C5 , 5249-5286.

17Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

18Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 33: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dan menurun sampai 34.6 psu pada kedalamana 150m. Salinitas tertinggi

berada di sebelah selatan ekuator yang mengindikasikan kehadiran massa air

the Indian Central Water (ICW). Di lintang utara salinitas rendah (<34 psu)

berasal dari Laut Andaman dimana massa air tawar berasal dari sungai

Irrawady dan sungai Salween. Termoklin lebih dalam di bagian selatan ekuator

dari pada di bagian utara pada bulan Agustus, hal ini disebabkan oleh posisi

Matahari pada bulan itu. Profil temperatur menunjukkan kedalaman termoklin lebih dalam di lintang

yang tinggi. Salinitas yang tinggi sepanjang 5S pada kedalaman 50-100m

Gambar 1.6 Diagram TS di Timur Samudra India.

Gambar 1.7 Profil temperatur dan salinitas pada bujur 90E. (Sulaiman, A. dkk, 2002)

Gambar 1.8 Profil temperatur dan salinitas 90ºE sampai selatan Jawa. (Sulaiman, A., dkk, 2002)

menunjukkan massa air ICW yang mengalir dari barat ke timur dan rendahnya

salinitas di permukaan diduga disebabkan oleh transport massa air dari arus

lintas Indonesia. Dari analisisi Ts diangram menunjukkan bahwa massa air ICW

terobservasi dibujur 95E-102E dan massa air the Australasian Maditerranean

Water (AAMW) terobservasi di bujur 103E-110E.

Hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi dapat dilihat pada gambar-

gambar dibawah ini.1.3.4 Dinamika Laut PaparanGaya pengerak utama dinamika laut di daerah paparan angin musim (Monsoon)

yang berubah arah dua kali dalam setahun. Monsoon ini terdiri dari Southeast

Monsoon (SE)/musim timur, biasanya terjadi pada bulan Juni-September,

musim peralihan pada bulan April-Mei serta Oktober-November dan Northwest

Monsoon (NW)/musim barat pada bulan Desember-Maret. Pada musim barat

yaitu sekitar bulan Desember-Februari arus permukaan bergerak ke timur

dengan kecepatan rata-rata 75 cm/det. Pada musim peralihan yaitu sekitar

bulan April/Mei arus melemah menjadi sekitar 25 cm/det. Sedangkan pada

musim timur yaitu pada bulan Juni-Agustus arus bergerak ke barat dengan

kecepatan rata-rata 50 cm/det dan menguat pada bulan Agustus. Sedangkan

pada musim peralihan kedua sekitar bulan Oktober/November arus berbalik

menuju ke timur dengan kecepatan rata-rata 60 cm/det. Laut Jawa pada

musim barat dicirikan dengan salinitas yang rendah (< 32 ) akibat suplai

massa air dari laut China Selatan yang bersalinitas rendah serta adanya runoff

dari sungai dari Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan pada musim timur

Juni-September salinitas naik akibat suplai massa air dari timur yaitu laut

Flores (>32 ).

DAFTAR PUSTAKA

Alford, M.H dan M. C Gregg 1999 “Diapycnal Mixing in The Banda Sea: Result

of the First Microstructure Measurement in the Indonesian Througflow” J.

Geophys. Lett; Vol:26, No:17, hal. 2741-2744.Alford, M.H dan M.C Gregg 2000 “Near-Inertial Mixing: Modulation of Shear,

strain and Microstructure at Low latitude” J. Geophys. Res. Submitted.Ffield, A dan A. Gordon 1992 “Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline”

J. Phys. Ocean, Vol: 22 184-195.Gordon, A dan J. Mc Clean 1999 “Thermohaline Stratification of the

Indonesian seas: Model and Observation” J. Phys. Oceanorg, Vol:29,

hal.198-216.Gordon, A., A. Ffield dan A.G Ilahude, 1994 “Thermocline of the Flores and

Banda Sea”J. Geophys. Res Vol:99 No: C9, hal. 18.235-18.242.Gordon, A; D. Susanto dan A. Ffield 1999 “Througflow within Makassar Strait”

Geophys.Res. Lett Vol:26, No:21, 3325-3328.Gregg,M.C 1987 “Dyapicnal Mixing in the Thermocline : A Review” J. Geophys.

Res. Vol: 92, No:C5 , 5249-5286.

17Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

18Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 34: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB IISatelit Oseanografi N. Hendiarti, M. Sadly, M.C.G. Frederik, R. Andiastuti A., A. Sulaiman

Bab ini akan membahas secara komprehensif tentang satelit oseanografi.

Diawali dengan ulasan singkat tentang sejarah satelit oseanografi, dilanjutkan

dengan pengamatan fenomena laut menggunakan data satelit penginderaan

jauh, analisis kesuburan perairan dan hubungannya dengan keberadaan ikan

pelagis, serta pengamatan fenomena pesisir.

Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa teknologi satelit, khususnya satelit

oseanografi memiliki peranan dan kontribusi besar di dalam penyediaan

informasi tentang sumberdaya laut serta mampu melakukan identifikasi dan

monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut secara

cepat dan berkelanjutan.

2.1 SEJARAH SATELIT OSEANOGRAFIIndonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya

alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Sekitar 70 % muka bumi kita terdiri

dari lautan dengan segala potensi dan sumberdaya laut yang dikandungnya.

Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat

dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dengan

melihat luasnya wilayah laut Indonesia, maka penanganan dan pengelolaan

potensi sumberdaya alam kelautan memerlukan suatu teknologi yang mampu

melakukan identifikasi serta monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam

dan lingkungan laut secara cepat dan berkelanjutan.

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi

alternatif yang dapat digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam

dan lautan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mempunyai

kemampuan yang baik di dalam mengidentifikasi serta melakukan monitoring

terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut dalam periode

tertentu. Benefit yang diperoleh di dalam pemanfaatan Teknologi

penginderaan jauh satelit adalah cakupan pengamatan yang luas, resolusi

temporal (perulangan) yang tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir

setiap hari bahkan setiap jam sehingga dapat digunakan untuk

pemantauan/monitoring, mampu mengamati daerah-daerah terpencil,

pengamatan dan penerimaan data secara near real time sehingga data yang

Hautala,S; J.L Reid & N. Bray 1996 “The Distribition and Mixing of Pacific

water Masses in The Indonesian Seas” J. Geophys.Res. Vol: 101, No: C5,

12.375-12.389.Ilahude,A.G & A. Gordon 1996 “ Thermocline Stratification within the

Indonesian Seas” J. Geophys. Res, Vol:101, No:C5 12.401-12.409.Ilyas,M; A. Sulaiman & M.C Gregg 1999 “The Water Mass Dynamics of the Banda

Sea (Results from Arlindo Microstructure Survey)” Prosiding. Konferensi

ESDAL'99, Jakarta.Kashino,Y; E. Firing; P. Hacker; A. Sulaiman & Lukiyanto “Direct Current

Measurement in and around the Celebes Sea at February 1999“ J.

Geophys. Res. Letter. Submitted.Monin,A.S & R.V Ozminov1985 “Turbulence in the Ocean” D. Reidel

Pubs.Comp. Dordrecht.Moum,F; D. Caldwell & C. Paulson 1989 “Mixing in the Equatorial Surface

Layer and Thermocline” J. Geophys.Res. Vol:94, No:C2, 2005-2021.Munk,W & C. Wunsch 1998 “Energitic of Tidal and Wind" Res. Vol:104, No:C5,

10.981-10.989Sulaiman, 2000 “Turbulensi Laut Banda” P3 TISDA, Jakarta.Sulaiman,A; Agus A. Dipoera & Mekky 2002 “Mirai Cruise Report”, Jakarta.Waworuntu,J et al 2000 “Througflow Dynamics in the Makassar Strait and the

Western Pacific” Procc. Int. Conference on Ocean Science Technology and

Industry, Jakarta.Wyrtki,K 1961 “Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters” Univ of

California,La Jolla, california.Mixing” Deep-Sea Res.I 45, 1977-2009.

19Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

20Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 35: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB IISatelit Oseanografi N. Hendiarti, M. Sadly, M.C.G. Frederik, R. Andiastuti A., A. Sulaiman

Bab ini akan membahas secara komprehensif tentang satelit oseanografi.

Diawali dengan ulasan singkat tentang sejarah satelit oseanografi, dilanjutkan

dengan pengamatan fenomena laut menggunakan data satelit penginderaan

jauh, analisis kesuburan perairan dan hubungannya dengan keberadaan ikan

pelagis, serta pengamatan fenomena pesisir.

Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa teknologi satelit, khususnya satelit

oseanografi memiliki peranan dan kontribusi besar di dalam penyediaan

informasi tentang sumberdaya laut serta mampu melakukan identifikasi dan

monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut secara

cepat dan berkelanjutan.

2.1 SEJARAH SATELIT OSEANOGRAFIIndonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya

alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Sekitar 70 % muka bumi kita terdiri

dari lautan dengan segala potensi dan sumberdaya laut yang dikandungnya.

Potensi sumberdaya alam ini perlu dikelola dengan baik agar dapat

dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dengan

melihat luasnya wilayah laut Indonesia, maka penanganan dan pengelolaan

potensi sumberdaya alam kelautan memerlukan suatu teknologi yang mampu

melakukan identifikasi serta monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam

dan lingkungan laut secara cepat dan berkelanjutan.

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi

alternatif yang dapat digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam

dan lautan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mempunyai

kemampuan yang baik di dalam mengidentifikasi serta melakukan monitoring

terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan laut dalam periode

tertentu. Benefit yang diperoleh di dalam pemanfaatan Teknologi

penginderaan jauh satelit adalah cakupan pengamatan yang luas, resolusi

temporal (perulangan) yang tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir

setiap hari bahkan setiap jam sehingga dapat digunakan untuk

pemantauan/monitoring, mampu mengamati daerah-daerah terpencil,

pengamatan dan penerimaan data secara near real time sehingga data yang

Hautala,S; J.L Reid & N. Bray 1996 “The Distribition and Mixing of Pacific

water Masses in The Indonesian Seas” J. Geophys.Res. Vol: 101, No: C5,

12.375-12.389.Ilahude,A.G & A. Gordon 1996 “ Thermocline Stratification within the

Indonesian Seas” J. Geophys. Res, Vol:101, No:C5 12.401-12.409.Ilyas,M; A. Sulaiman & M.C Gregg 1999 “The Water Mass Dynamics of the Banda

Sea (Results from Arlindo Microstructure Survey)” Prosiding. Konferensi

ESDAL'99, Jakarta.Kashino,Y; E. Firing; P. Hacker; A. Sulaiman & Lukiyanto “Direct Current

Measurement in and around the Celebes Sea at February 1999“ J.

Geophys. Res. Letter. Submitted.Monin,A.S & R.V Ozminov1985 “Turbulence in the Ocean” D. Reidel

Pubs.Comp. Dordrecht.Moum,F; D. Caldwell & C. Paulson 1989 “Mixing in the Equatorial Surface

Layer and Thermocline” J. Geophys.Res. Vol:94, No:C2, 2005-2021.Munk,W & C. Wunsch 1998 “Energitic of Tidal and Wind" Res. Vol:104, No:C5,

10.981-10.989Sulaiman, 2000 “Turbulensi Laut Banda” P3 TISDA, Jakarta.Sulaiman,A; Agus A. Dipoera & Mekky 2002 “Mirai Cruise Report”, Jakarta.Waworuntu,J et al 2000 “Througflow Dynamics in the Makassar Strait and the

Western Pacific” Procc. Int. Conference on Ocean Science Technology and

Industry, Jakarta.Wyrtki,K 1961 “Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters” Univ of

California,La Jolla, california.Mixing” Deep-Sea Res.I 45, 1977-2009.

19Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

20Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 36: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dihasilkan selalu yang terbaru. Spektrum sensor penginderaan jauh yang

mencakup sinar tampak, infra merah, infra merah termal, dan gelombang

mikro dapat memberikan bebagai informasi tentang obyek daratan dan

perairan di permukaan bumi. Teknik mengindera permukaan bumi dibagi

menjadi 2 bagian, yaitu secara pasif dan aktif (lihat Gambar 2.1). Secara pasif

yaitu dengan merekam pantulan radiasi matahari dari benda-benda di

permukaan bumi. Sensor pasif biasanya menggunakan panjang gelombang sinar

tampak hingga infra merah. Mengindera secara aktif, yaitu sensor

memantulkan radiasi di panjang gelombang micro ke permukaan bumi dan

merekam pantulannya.

Pengamatan muka bumi, samudra/lautan, atmosfir dan interaksi ketiganya

dengan satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat

diperbaharui dengan segera. Secara garis besar, empat jenis satelit pengindera

bumi yang sudah beroperasi adalah: (a). Satelit cuaca/lingkungan, (b). Satelit

Gambar 2.1 Visualiasi perbedaan cara kerja sensor pasif dan aktif.

sumber alam, (c). Satelit pengamatan kelautan, dan (d). Satelit pengamat

sifat-sifat fisika/geofisika bumi. Khusus satelit penginderaan kelautan tidak

cukup hanya dilakukan melalui satelit cuaca/lingkungan dan satelit sumber

alam saja, namun juga oleh satelit yang khusus dirancang untuk tugas

tersebut.

Peluncuran satelit pertama dunia, badan ruang angkasa telah memulai untuk

mempertimbangan aplikasi praktis bahwa teknologi baru memungkinkan

digunakan untuk memasang kamera dan instrumen pengindera lain pada

platform.

Pemanfaatan satelit penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan kelautan

diawali pada tahun 1960 dengan pengembangan teknologi satelit oleh Amerika

Serikat (USA) yang disebut TIROS (Television and Infrared Observation

Satellite), yang mana menyediakan sistem pemantauan cuaca 24 jam.

Selanjutnya pada tahun 1970, generasi kedua sistem satelit cuaca,

penyempurnaan sistem operasional TIROS (Television and Infrared Observation

Satellite) yang dikembangkan dari teknologi TIROS. Terdapat total 6 (enam)

satelit yang berurutan, semuanya membawa infrared dengan ITOS-D,

diluncurkan pada tahun 1972 membawa sensor Very High Resolution

Radiometer (VHRR). Pada tahun 1978, diluncurkan satelit generasi ketiga yang

mana membawa sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) .

Generasi ini termasuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration). Hingga saat ini program tersebut masih berjalan, dan masih

beroperasinya 5 (lima) satelit NOAA, yaitu NOAA-12, 14, 15, 16, dan 17. Satelit

NOAA berorbit polar pada ketinggian 833 km dan memiliki sensor utama yaitu

AVHRR 5 kanal.

Pada tahun 1978, NASA meluncurkan satelit SEASAT, satelit pengamatan

samudra yang pertama, guna mengamati sifat-sifat fisika samudra. Sensor

imaging radar dan altimeter yang dibawa SEASAT berhasil merekam data arus

laut, pola gelombang arah dan kekuatan gelombang laut, serta bentuk

topografi bawah laut hasil interpretasi dari profil muka laut. Dari data yang

diperoleh, dilakukan berbagai aplikasi, antara lain usaha penginventarisasian

potensi energi gelombang laut untuk pembangkit energi listrik, potensi

akumulasi migas berdasarkan profil topografi bawah laut, prediksi arus serta

arah pergerakan gelombang dan angin.

SEASAT disusul oleh satelit GEOSAT (Geodetic Satellite), satelit geodesi milik

AL-AS, meruang angkasa pada tahun 1985, dan sejak tahun 1986 dialihkan

kepada NOAA guna dipakai dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Data GEOSAT

khusus diarahkan kepada pengamatan potensi gelombang laut dan studi

topografi bawah laut untuk eksplorasi. Wilayah samudra disekitar Indonesia

21Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

22Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 37: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dihasilkan selalu yang terbaru. Spektrum sensor penginderaan jauh yang

mencakup sinar tampak, infra merah, infra merah termal, dan gelombang

mikro dapat memberikan bebagai informasi tentang obyek daratan dan

perairan di permukaan bumi. Teknik mengindera permukaan bumi dibagi

menjadi 2 bagian, yaitu secara pasif dan aktif (lihat Gambar 2.1). Secara pasif

yaitu dengan merekam pantulan radiasi matahari dari benda-benda di

permukaan bumi. Sensor pasif biasanya menggunakan panjang gelombang sinar

tampak hingga infra merah. Mengindera secara aktif, yaitu sensor

memantulkan radiasi di panjang gelombang micro ke permukaan bumi dan

merekam pantulannya.

Pengamatan muka bumi, samudra/lautan, atmosfir dan interaksi ketiganya

dengan satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat

diperbaharui dengan segera. Secara garis besar, empat jenis satelit pengindera

bumi yang sudah beroperasi adalah: (a). Satelit cuaca/lingkungan, (b). Satelit

Gambar 2.1 Visualiasi perbedaan cara kerja sensor pasif dan aktif.

sumber alam, (c). Satelit pengamatan kelautan, dan (d). Satelit pengamat

sifat-sifat fisika/geofisika bumi. Khusus satelit penginderaan kelautan tidak

cukup hanya dilakukan melalui satelit cuaca/lingkungan dan satelit sumber

alam saja, namun juga oleh satelit yang khusus dirancang untuk tugas

tersebut.

Peluncuran satelit pertama dunia, badan ruang angkasa telah memulai untuk

mempertimbangan aplikasi praktis bahwa teknologi baru memungkinkan

digunakan untuk memasang kamera dan instrumen pengindera lain pada

platform.

Pemanfaatan satelit penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan kelautan

diawali pada tahun 1960 dengan pengembangan teknologi satelit oleh Amerika

Serikat (USA) yang disebut TIROS (Television and Infrared Observation

Satellite), yang mana menyediakan sistem pemantauan cuaca 24 jam.

Selanjutnya pada tahun 1970, generasi kedua sistem satelit cuaca,

penyempurnaan sistem operasional TIROS (Television and Infrared Observation

Satellite) yang dikembangkan dari teknologi TIROS. Terdapat total 6 (enam)

satelit yang berurutan, semuanya membawa infrared dengan ITOS-D,

diluncurkan pada tahun 1972 membawa sensor Very High Resolution

Radiometer (VHRR). Pada tahun 1978, diluncurkan satelit generasi ketiga yang

mana membawa sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) .

Generasi ini termasuk NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration). Hingga saat ini program tersebut masih berjalan, dan masih

beroperasinya 5 (lima) satelit NOAA, yaitu NOAA-12, 14, 15, 16, dan 17. Satelit

NOAA berorbit polar pada ketinggian 833 km dan memiliki sensor utama yaitu

AVHRR 5 kanal.

Pada tahun 1978, NASA meluncurkan satelit SEASAT, satelit pengamatan

samudra yang pertama, guna mengamati sifat-sifat fisika samudra. Sensor

imaging radar dan altimeter yang dibawa SEASAT berhasil merekam data arus

laut, pola gelombang arah dan kekuatan gelombang laut, serta bentuk

topografi bawah laut hasil interpretasi dari profil muka laut. Dari data yang

diperoleh, dilakukan berbagai aplikasi, antara lain usaha penginventarisasian

potensi energi gelombang laut untuk pembangkit energi listrik, potensi

akumulasi migas berdasarkan profil topografi bawah laut, prediksi arus serta

arah pergerakan gelombang dan angin.

SEASAT disusul oleh satelit GEOSAT (Geodetic Satellite), satelit geodesi milik

AL-AS, meruang angkasa pada tahun 1985, dan sejak tahun 1986 dialihkan

kepada NOAA guna dipakai dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Data GEOSAT

khusus diarahkan kepada pengamatan potensi gelombang laut dan studi

topografi bawah laut untuk eksplorasi. Wilayah samudra disekitar Indonesia

21Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

22Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 38: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

juga dicakup oleh GEOSAT dengan lebar cakupan 3 km dan jarak antar jalur

orbit 150 km. Data akan sangat membantu dalam eksplorasi migas dan

inventarisasi potensi energi gelombang laut di wilayah Indonesia. Pada tahun

1978 juga, sensor satelit khusus untuk kelautan dikembangkan oleh NASA yang

disebut Coastal Zone Color Scanner (CZCS). Sensor ini digunakan untuk

mengamati warna laut (ocean color) dari kondisi suatu perairan.Pada periode dari tahun 1980 sampai saat ini mempunyai keberlanjutan pada

pengembangan untuk oseanografi dengan memaksimalkan sensor satelit. Pada

tahun 1988 Badan Antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan Fengyun-1A

(FY-1A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1D pada

bulan Mei 2002. Satelit FY memiliki sensor MVISR (Multispectral Visible and

Infrared Scan Radiometer) dengan 10 kanal. FY-1 MVISR dapat digunakan untuk

pemantauan warna laut, serta dapat digunakan juga untuk mendeteksi sebaran

klorofil dan kekeruhan di perairan.

Eropa juga telah meluncurkan satelitnya dengan sensor SAR, yang disebut

European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, selanjutnya pada

tahun 1992, Jepang telah meluncurkan satelit yang disebut Japanese earth

Resources Satellite (JERS-1). Pada tahun 1992, gabungan antara Amerika dan

Perancis telah meluncurkan satelit TOPEX/POSEIDON. Pada tahun 1997 NASA

(USA) meluncurkan satelit Seastar dengan membawa sensor SeaWiFS (Sea

viewing Wide Field-of view Sensor) dengan minimum luas area yang dapat

dideteksi (resolusi spasial) 1.1 km, dengan jumlah kanal 8 (delapan). Data

satelit ini digunakan untuk pemantauan distribusi klorofil di laut, yang sangat

berguna dan merupakan salah satu parameter didalam penentuan lokasi

keberadaan ikan.

Sementara itu pada akhir tahun 1999 telah diorbitkan satelit lingkungan Terra

atau EOS-AM yang membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer). Kemudian pada tahun 2002 diorbitkan satelit Aqua atau

EOS-PM yang membawa sensor yang sama dengan Terra. Satelit tersebut

berorbit polar pada ketinggian 705 km dengan sistem descending pada satelit

Terra dan ascending pada satelit Aqua.satelit ini memiliki 36 kanal dengan

resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal 3 hingga 7 dan 1

km untuk kanal 8 hingga 36.

Dengan melihat perkembangan pesat dari teknologi satelit dengan dukungan

sensor yang semakin canggih, dapat dikatakan bahwa saat ini data satelit

memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, khususnya aplikasi

dibidang kelautan dan perikanan. Pertanyaan seputar peranan dan benefit

dari satelit untuk aplikasi bidang kelautan telah terjawab dengan deskripsi

singkat diatas.

Gambar 2.2 memperlihatkan karakteristik sensor-sensor pasif yang pernah

Gam

bar

2.2

Kara

kte

rist

ik s

enso

r pasi

f ya

ng t

ela

h d

imanfa

atk

an u

ntu

k p

engam

ata

n p

era

iran Indonesi

a.

23Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

24Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 39: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

juga dicakup oleh GEOSAT dengan lebar cakupan 3 km dan jarak antar jalur

orbit 150 km. Data akan sangat membantu dalam eksplorasi migas dan

inventarisasi potensi energi gelombang laut di wilayah Indonesia. Pada tahun

1978 juga, sensor satelit khusus untuk kelautan dikembangkan oleh NASA yang

disebut Coastal Zone Color Scanner (CZCS). Sensor ini digunakan untuk

mengamati warna laut (ocean color) dari kondisi suatu perairan.Pada periode dari tahun 1980 sampai saat ini mempunyai keberlanjutan pada

pengembangan untuk oseanografi dengan memaksimalkan sensor satelit. Pada

tahun 1988 Badan Antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan Fengyun-1A

(FY-1A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1D pada

bulan Mei 2002. Satelit FY memiliki sensor MVISR (Multispectral Visible and

Infrared Scan Radiometer) dengan 10 kanal. FY-1 MVISR dapat digunakan untuk

pemantauan warna laut, serta dapat digunakan juga untuk mendeteksi sebaran

klorofil dan kekeruhan di perairan.

Eropa juga telah meluncurkan satelitnya dengan sensor SAR, yang disebut

European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, selanjutnya pada

tahun 1992, Jepang telah meluncurkan satelit yang disebut Japanese earth

Resources Satellite (JERS-1). Pada tahun 1992, gabungan antara Amerika dan

Perancis telah meluncurkan satelit TOPEX/POSEIDON. Pada tahun 1997 NASA

(USA) meluncurkan satelit Seastar dengan membawa sensor SeaWiFS (Sea

viewing Wide Field-of view Sensor) dengan minimum luas area yang dapat

dideteksi (resolusi spasial) 1.1 km, dengan jumlah kanal 8 (delapan). Data

satelit ini digunakan untuk pemantauan distribusi klorofil di laut, yang sangat

berguna dan merupakan salah satu parameter didalam penentuan lokasi

keberadaan ikan.

Sementara itu pada akhir tahun 1999 telah diorbitkan satelit lingkungan Terra

atau EOS-AM yang membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer). Kemudian pada tahun 2002 diorbitkan satelit Aqua atau

EOS-PM yang membawa sensor yang sama dengan Terra. Satelit tersebut

berorbit polar pada ketinggian 705 km dengan sistem descending pada satelit

Terra dan ascending pada satelit Aqua.satelit ini memiliki 36 kanal dengan

resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal 3 hingga 7 dan 1

km untuk kanal 8 hingga 36.

Dengan melihat perkembangan pesat dari teknologi satelit dengan dukungan

sensor yang semakin canggih, dapat dikatakan bahwa saat ini data satelit

memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, khususnya aplikasi

dibidang kelautan dan perikanan. Pertanyaan seputar peranan dan benefit

dari satelit untuk aplikasi bidang kelautan telah terjawab dengan deskripsi

singkat diatas.

Gambar 2.2 memperlihatkan karakteristik sensor-sensor pasif yang pernah

Gam

bar

2.2

Kara

kte

rist

ik s

enso

r pasi

f ya

ng t

ela

h d

imanfa

atk

an u

ntu

k p

engam

ata

n p

era

iran Indonesi

a.

23Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

24Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 40: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

digunakan dalam penelitian di perairan Indonesia. Sumbu x menampilkan

panjang gelombang optik hingga infra-merah. Sumbu Y (kiri) menampilkan

sensor satelit dan sumbu Y (kanan) adalah tahun beroperasinya. Warna biru

menunjukkan resolusi spasial citra berukuran 250 meter atau lebih dan warna

hijau menunjukkan resolusi spasial berukuran 90 meter atau kurang. Lebar dari

masing-masing kotak menampilkan lebar kanalnya. Di gambar ini terlihat

bahwa hampir seluruh panjang gelombang sudah dapat dipantau dengan sensor

yang ada.

Berikut adalah ulasan singkat tentang satelit-satelit yang pernah dan telah

dimanfaatkan untuk observasi perairan indonesia antara lain:

CZCSSatelit Nimbus-7 yang salah satu sensornya

adalah Coastal Zone Color Sensor (CZCS)

dibuat oleh NASA, Amerika khusus untuk

pemantauan warna perairan laut. Satelit ini

beroperasi tahun 1978 - 1986, memiliki 6

band spektral (433-12500nm), dan dengan

reso- lusi spasial 825 meter. Produknya

adalah peta konsentrasi klorofil, vegetasi

permukaan, dan suhu permukaan laut. CZCS

membuktikan bahwa pemantauan dari satelit

dapat memberikan informasi berguna

tentang konsentrasi klorofil dan sedimen dan

memberikan jalan untuk dikembangkannya misi kelautan lainnya seperti

SeaWiFS dan MODIS.

OCTSSatelit ADEOS yang dilengkapi dengan sensor

Ocean Color and Temperature Scanner

(OCTS) dibuat oleh NASDA, Jepang

beroperasi tahun 1996 - 1997. Sensor ini

memiliki 12 band spektral (402-12500 nm)

dan resolusi spasial 700 meter. Produknya

adalah peta konsen- trasi klorofil, materi

terlarut dan suhu permukaan laut. Dengan

cakupan yang kasar, maka sensor ini dapat

memantau suatu lokasi setiap 3 hari.

SeaWiFSSatelit OrbView-2 (SeaStar) dengan sensor

satu-satunya SeaWiFS (Sea Viewing Wide

Field of View Sensor) dioperasikan oleh OSC,

Amerika. Beroperasi dari tahun 1997 -

sekarang. Sensor ini memiliki 8 band spektral

(402-885 nm) dengan resolusi spasial 9 dan

1.1 km. Produknya adalah peta konsentrasi

klorofil, suhu permukaan laut, batimetri,

turbiditas, dan pemantauan terumbu karang.

Karena besarnya cakupan citra, maka sensor ini dapat memantau kondisi laut

setiap hari.

Aqua – MODISSatelit Aqua (EOS PM-1) dengan sensor MODIS

(Moderate Resolution Imaging Spectro-

radiometer) dibuat oleh NASA, Amerika

diluncurkan tahun 2002 dan masih beroperasi

hingga sekarang. Sensor ini memiliki 36 band

spektral (620-965nm, 3660-14385 µm),

dengan 3 resolusi spektral (250m, 500m, dan

1 km). Band spektral 8-16 diperuntukan

khusus untuk pemantauan warna perairan.

Produknya adalah: sebaran konsentrasi

klorofil, suhu permukaan laut, turbiditas, dan kecerahan. Sedangkan untuk

aplikasi lainnya antara lain adalah untuk pemantauan aerosol, atmosfer, suhu

permukaan dll.

MERISSatelit ENVISAT yang dibuat oleh ESA, Eropa,

memiliki beberapa sensor, salah satunya

adalah MERIS (MEdium Resolution Imaging

Spectrometer). Satelit ini diluncurkan tahun

2002 dan masih beroperasi hingga sekarang.

Sensor ini memiliki 15 band spektral (412-

1050 nm) dengan resolusi spasial 300 dan

1200 meter. Produk sensor ini adalah:

konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen,

vegetasi, dan aerosol.

:www.ioccg.org /sensors/czcs.html

www.ioccg.org/sensors/octs.html

oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/IMAGES/seastar_orbit.jpg

ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php

ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php

www.ioccg.org/sensors/meris.html

25Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

26Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 41: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

digunakan dalam penelitian di perairan Indonesia. Sumbu x menampilkan

panjang gelombang optik hingga infra-merah. Sumbu Y (kiri) menampilkan

sensor satelit dan sumbu Y (kanan) adalah tahun beroperasinya. Warna biru

menunjukkan resolusi spasial citra berukuran 250 meter atau lebih dan warna

hijau menunjukkan resolusi spasial berukuran 90 meter atau kurang. Lebar dari

masing-masing kotak menampilkan lebar kanalnya. Di gambar ini terlihat

bahwa hampir seluruh panjang gelombang sudah dapat dipantau dengan sensor

yang ada.

Berikut adalah ulasan singkat tentang satelit-satelit yang pernah dan telah

dimanfaatkan untuk observasi perairan indonesia antara lain:

CZCSSatelit Nimbus-7 yang salah satu sensornya

adalah Coastal Zone Color Sensor (CZCS)

dibuat oleh NASA, Amerika khusus untuk

pemantauan warna perairan laut. Satelit ini

beroperasi tahun 1978 - 1986, memiliki 6

band spektral (433-12500nm), dan dengan

reso- lusi spasial 825 meter. Produknya

adalah peta konsentrasi klorofil, vegetasi

permukaan, dan suhu permukaan laut. CZCS

membuktikan bahwa pemantauan dari satelit

dapat memberikan informasi berguna

tentang konsentrasi klorofil dan sedimen dan

memberikan jalan untuk dikembangkannya misi kelautan lainnya seperti

SeaWiFS dan MODIS.

OCTSSatelit ADEOS yang dilengkapi dengan sensor

Ocean Color and Temperature Scanner

(OCTS) dibuat oleh NASDA, Jepang

beroperasi tahun 1996 - 1997. Sensor ini

memiliki 12 band spektral (402-12500 nm)

dan resolusi spasial 700 meter. Produknya

adalah peta konsen- trasi klorofil, materi

terlarut dan suhu permukaan laut. Dengan

cakupan yang kasar, maka sensor ini dapat

memantau suatu lokasi setiap 3 hari.

SeaWiFSSatelit OrbView-2 (SeaStar) dengan sensor

satu-satunya SeaWiFS (Sea Viewing Wide

Field of View Sensor) dioperasikan oleh OSC,

Amerika. Beroperasi dari tahun 1997 -

sekarang. Sensor ini memiliki 8 band spektral

(402-885 nm) dengan resolusi spasial 9 dan

1.1 km. Produknya adalah peta konsentrasi

klorofil, suhu permukaan laut, batimetri,

turbiditas, dan pemantauan terumbu karang.

Karena besarnya cakupan citra, maka sensor ini dapat memantau kondisi laut

setiap hari.

Aqua – MODISSatelit Aqua (EOS PM-1) dengan sensor MODIS

(Moderate Resolution Imaging Spectro-

radiometer) dibuat oleh NASA, Amerika

diluncurkan tahun 2002 dan masih beroperasi

hingga sekarang. Sensor ini memiliki 36 band

spektral (620-965nm, 3660-14385 µm),

dengan 3 resolusi spektral (250m, 500m, dan

1 km). Band spektral 8-16 diperuntukan

khusus untuk pemantauan warna perairan.

Produknya adalah: sebaran konsentrasi

klorofil, suhu permukaan laut, turbiditas, dan kecerahan. Sedangkan untuk

aplikasi lainnya antara lain adalah untuk pemantauan aerosol, atmosfer, suhu

permukaan dll.

MERISSatelit ENVISAT yang dibuat oleh ESA, Eropa,

memiliki beberapa sensor, salah satunya

adalah MERIS (MEdium Resolution Imaging

Spectrometer). Satelit ini diluncurkan tahun

2002 dan masih beroperasi hingga sekarang.

Sensor ini memiliki 15 band spektral (412-

1050 nm) dengan resolusi spasial 300 dan

1200 meter. Produk sensor ini adalah:

konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen,

vegetasi, dan aerosol.

:www.ioccg.org /sensors/czcs.html

www.ioccg.org/sensors/octs.html

oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/IMAGES/seastar_orbit.jpg

ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php

ww.mumm.ac.be/ OceanColour/Sensors/modis.php

www.ioccg.org/sensors/meris.html

25Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

26Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 42: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

NOAASatelit NOAA dibuat oleh NASA, Amerika

memiliki beberapa sensor yang salah satunya

adalah sensor AVHRR (Advanced Very High

Resolution Radiometer). Satelit ini sangat

terkenal, sejak diluncurkan tahun 1978

hingga satelit seri ke 18 yang diluncurkan

tahun 2005. Konstelasinya telah memberikan

informasi berguna di berbagai bidang studi

meteorologi dan lingkungan. Sensor AVHRR

memiliki 5 band spektral (580-1250 nm) dengan resolusi spasial 4 km dan 1.1

km. Produknya adalah: suhu permukaan laut dan daratan, anomali suhu

permukaan, pemetaan awan, deteksi es dan salju, batas air dan darat, deteksi

hot spot.

LANDSATSatelit LANDSAT pertama kali diluncurkan

tahun 1972 dan yang terbaru (Landsat 7

ETM+) diluncurkan tahun 1999. Satelit ini

dibuat oleh NASA, Amerika dan dioperasikan

oleh USGS, Amerika. Sensor ETM (Enhanced

Thematic Mapper) memiliki 7 band spektral

(450-2350 nm) dengan resolusi spasial 30 dan

60 meter, sedangkan band spektral ke 8

(520-9000 nm) memiliki resolusi 15 meter.

Satelit ini berguna bagi berbagai bidang studi

seperti pertanian, kehutanan, geologi, kelautan dll. Produknya adalah:

konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen, garis pantai, tutupan lahan, dll.

SPOTSatelit SPOT (Le Systéme Pour l’Observation

de la Terre)dengan sensor HRG (High

Resolution Geometry) dibuat oleh Perancis.

Diluncurkan tahun 1986, seri 5 diluncurkan

tahun 2002. SPOT 5 memiliki 4 band spektral

(500-1750 nm) dengan resolusi spasial 10 dan

20 meter, 2 band spektral pankromatik (480-

710 nm) dengan resolusi spasial 5 m dengan

hasil citra beresolusi 2.5 meter. Satelit SPOT

juga memiliki sensor VEGETATION dengan 4

band spektral (450 – 1750 nm) dengan

resolusi spasial 1 km. Produknya adalah: deteksi tumpahan minyak, sedimen,

garis pantai, tutupan lahan, DEM, tutupan vegetasi, dll.

TERRA – ASTERSatelit Terra (EOS AM-1) memiliki beberapa

sensor yang salah satunya adalah ASTER

(Advanced Spaceborne Thermal Emission and

Reflection Radiometer) yang dioperasikan

oleh GSFC-NASA, Amerika dan ERSDAC,

Jepang. Diluncurkan tahun 1999 dan masih

beroperasi hingga sekarang. Sensor ASTER

memiliki 14 band spektral yang dibagi

menjadi 3, VNIR (520-860 nm) beresolusi

spasial 15 meter, SWRI (1600-2430nm)

beresolusi 30 meter, dan TIR (8125-11650

nm) beresolusi 90 meter. Produknya adalah:

peta geologi, turbiditas, suhu permukaan darat dan laut, tutupan lahan, DEM,

dll.

TOPEX/PoseidonSatelit TOPEX/Poseidon dibuat oleh NASA

(Amerika) dan CNES (Perancis), diluncurkan

tahun 1992 yang kemudian dilanjutkan oleh

Jason-1 sejak tahun 2001 hingga kini.

Instrumen yang digunakan adalah radar

altimeter, beroperasi pada frekuensi 13.6

dan 5.3 GHz. Instrumen ini dikombinasikan

dengan instrumen lainnya seperti GPS, TMR

(TOPEX Microwave Radiometer) dan DORIS

untuk mengukur ketinggian permukaan laut

dengan akurasi pengukuran hingga 2.5 cm.

Produknya: anomali ketinggian permukaan laut, tinggi gelombang, kecepatan

angin, dan uap air.

RADARSATSatelit Radarsat dioperasikan oleh CSA

(Kanada) dan MDA (Amerika). Radarsat-1

diluncur-kan tahun 1995 dan Radarsat-2

direncanakan tahun 2006. Radarsat-1

dilengkapi sensor SAR (Synthetic Aperture

Radar) dengan frequensi 5.3 GHz. Sensor ini

dapat berfungsi dalam beberapa mode yang

menghasilkan citra dengan resolusi spasial

antara 8 hingga 100 meter. Aplikasinya

www.spaceflightnow.com/titan/g14/

landsat.gsfc.nasa.gov

telsat.belspo.be/ beo/en/satellites/spot.htm

asterweb.jpl.nasa.gov

www.jpl.nasa.gov

www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/default.asp

27Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

28Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 43: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

NOAASatelit NOAA dibuat oleh NASA, Amerika

memiliki beberapa sensor yang salah satunya

adalah sensor AVHRR (Advanced Very High

Resolution Radiometer). Satelit ini sangat

terkenal, sejak diluncurkan tahun 1978

hingga satelit seri ke 18 yang diluncurkan

tahun 2005. Konstelasinya telah memberikan

informasi berguna di berbagai bidang studi

meteorologi dan lingkungan. Sensor AVHRR

memiliki 5 band spektral (580-1250 nm) dengan resolusi spasial 4 km dan 1.1

km. Produknya adalah: suhu permukaan laut dan daratan, anomali suhu

permukaan, pemetaan awan, deteksi es dan salju, batas air dan darat, deteksi

hot spot.

LANDSATSatelit LANDSAT pertama kali diluncurkan

tahun 1972 dan yang terbaru (Landsat 7

ETM+) diluncurkan tahun 1999. Satelit ini

dibuat oleh NASA, Amerika dan dioperasikan

oleh USGS, Amerika. Sensor ETM (Enhanced

Thematic Mapper) memiliki 7 band spektral

(450-2350 nm) dengan resolusi spasial 30 dan

60 meter, sedangkan band spektral ke 8

(520-9000 nm) memiliki resolusi 15 meter.

Satelit ini berguna bagi berbagai bidang studi

seperti pertanian, kehutanan, geologi, kelautan dll. Produknya adalah:

konsentrasi klorofil, turbiditas, sedimen, garis pantai, tutupan lahan, dll.

SPOTSatelit SPOT (Le Systéme Pour l’Observation

de la Terre)dengan sensor HRG (High

Resolution Geometry) dibuat oleh Perancis.

Diluncurkan tahun 1986, seri 5 diluncurkan

tahun 2002. SPOT 5 memiliki 4 band spektral

(500-1750 nm) dengan resolusi spasial 10 dan

20 meter, 2 band spektral pankromatik (480-

710 nm) dengan resolusi spasial 5 m dengan

hasil citra beresolusi 2.5 meter. Satelit SPOT

juga memiliki sensor VEGETATION dengan 4

band spektral (450 – 1750 nm) dengan

resolusi spasial 1 km. Produknya adalah: deteksi tumpahan minyak, sedimen,

garis pantai, tutupan lahan, DEM, tutupan vegetasi, dll.

TERRA – ASTERSatelit Terra (EOS AM-1) memiliki beberapa

sensor yang salah satunya adalah ASTER

(Advanced Spaceborne Thermal Emission and

Reflection Radiometer) yang dioperasikan

oleh GSFC-NASA, Amerika dan ERSDAC,

Jepang. Diluncurkan tahun 1999 dan masih

beroperasi hingga sekarang. Sensor ASTER

memiliki 14 band spektral yang dibagi

menjadi 3, VNIR (520-860 nm) beresolusi

spasial 15 meter, SWRI (1600-2430nm)

beresolusi 30 meter, dan TIR (8125-11650

nm) beresolusi 90 meter. Produknya adalah:

peta geologi, turbiditas, suhu permukaan darat dan laut, tutupan lahan, DEM,

dll.

TOPEX/PoseidonSatelit TOPEX/Poseidon dibuat oleh NASA

(Amerika) dan CNES (Perancis), diluncurkan

tahun 1992 yang kemudian dilanjutkan oleh

Jason-1 sejak tahun 2001 hingga kini.

Instrumen yang digunakan adalah radar

altimeter, beroperasi pada frekuensi 13.6

dan 5.3 GHz. Instrumen ini dikombinasikan

dengan instrumen lainnya seperti GPS, TMR

(TOPEX Microwave Radiometer) dan DORIS

untuk mengukur ketinggian permukaan laut

dengan akurasi pengukuran hingga 2.5 cm.

Produknya: anomali ketinggian permukaan laut, tinggi gelombang, kecepatan

angin, dan uap air.

RADARSATSatelit Radarsat dioperasikan oleh CSA

(Kanada) dan MDA (Amerika). Radarsat-1

diluncur-kan tahun 1995 dan Radarsat-2

direncanakan tahun 2006. Radarsat-1

dilengkapi sensor SAR (Synthetic Aperture

Radar) dengan frequensi 5.3 GHz. Sensor ini

dapat berfungsi dalam beberapa mode yang

menghasilkan citra dengan resolusi spasial

antara 8 hingga 100 meter. Aplikasinya

www.spaceflightnow.com/titan/g14/

landsat.gsfc.nasa.gov

telsat.belspo.be/ beo/en/satellites/spot.htm

asterweb.jpl.nasa.gov

www.jpl.nasa.gov

www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/default.asp

27Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

28Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 44: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

adalah untuk pertanian, penggunaan lahan, pemantauan bencana alam dan

tumpahan minyak, peta kehutanan, geologi,

deteksi kapal, dll. ERSSatelit ERS dibuat oleh ESA (Eropa), seri 1

diluncurkan tahun 1991 dan seri ke 2 tahun

1995. Satelit ERS memiliki 7 instrumen, salah

satu-nya adalah Radar Altimetri yang bekerja

di panjang gelombang 13.8 GHz dan

memberikan informasi tinggi gelombang,

kecepatan angin permukaan, dan tinggi

permukaan laut. Sensor ATSR-1 memiliki 4

band spektral (1600-12000 nm) dan ATSR-2

memiliki tambahan 3 band (550-870 nm) yang

memberikan informasi suhu permukaan laut dan vegetasi. Sensor SAR bekerja

di frekuensi 5.3 GHz dan dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial <=

30 meter. Produk SAR antara lain: deteksi tumpahan minyak, batimetri

perairan dangkal, kondisi permukaan laut (internal wave, eddy, front), tutupan

lahan, fitur geomorfologi, dan peta interferometri.

Informasi lebih lanjut tentang satelit dan sensornya serta contoh data dapat

dilihat di website berikut:CZCS: podaac.jpl.nasa.gov:2031/SENSOR_DOCS/czcs.html dan

earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/chlor.czcs.htmlOCTS: www.eorc.nasda.go.jp/ADEOS/Project/Octs.html dan

daac.gsfc.nasa.gov/data/datapool/OCTS/SeaWiFS: oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/ dan

earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/bios.seawifs.htmlAqua-MODIS: modis.gsfc.nasa.gov/ dan www.ioccg.org/gallery/ aqua.htmlMERIS: envisat.esa.int/instruments/meris/ dan

visibleearth.nasa.gov/view_set.php?sensorName=MERISNOAA-AVHRR: noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html dan

podaac.jpl.nasa.gov/sst/Landsat: landsat.gsfc.nasa.gov/ dan landsat.usgs.gov/SPOT: www.spotimage.fr/html/_.php dan spot4.cnes.fr/Terra-ASTER: terra.nasa.gov/About/ASTER/about_aster.html dan

imsweb.aster.ersdac.or.jp/ims/html/MainMenu/ MainMenu.htmlTOPEX/Poseidon: sealevel.jpl.nasa.gov/ dan

directory.eoportal.org/info_TOPEXPoseidonTopographyExperimentPoseidon.ht

mlRadarsat: www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/ default.asp dan

ccrs.nrcan.gc.ca/radar/spaceborne/ radarsat1/index_e.phpERS: earth.esa.int/ers/ dan ceos.cnes.fr:8100/cdrom-

7/ceos1/satellit/ers/ers.htm

2.2 METODA PENGINDERAAN JAUH KELAUTANPemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk mendeteksi parameter bio-

fisik perairan yang kemudian digunakan untuk aplikasi yang lebih luas.

Parameter biologi laut yang dapat dideteksi antara lain kandungan klorofil-a,

produktivitas primer, dan dissolved organic. Parameter fisika laut mencakup

profil dasar perairan, endapan terlarut, suhu permukaan laut, gelombang

permukaan, modulasi gelombang permukaan, tinggi muka laut / sea surface

height (SSH), dan kontras surface reflectance. Data pada panjang gelombang

akustik dapat menghasilkan seismic reflection.

Data satelit Penginderaan Jauh Kelautan (PJK) untuk jenis sensor pasif yang

telah banyak dikaji dan diterapkan di Indonesia adalah data NOAA-AVHRR yang

merupakan satelit cuaca dan data ocean color (CZCS, OCTS, SeaWiFS, dan

MODIS). Secara sangat sederhana alur kerja dari penerapan teknologi

penginderaan jauh kelautan dapat dilihat pada Gambar 2.3 (urutan tahapan

kerja: kiri ke kanan).

Energi yang terekam oleh sensor satelit akan dikirim ke stasiun penerima data

satelit di bumi atau SGRS (satellite gound receiving station). Selanjutnya, data

tersebut diproses dengan menggunakan perangkat lunak / software image

processing untuk menghasilkan citra satelit digital yang berisi informasi

directory.eoportal.org/pres_ERS2EUROPEANREMOTESENSINGSATELLITE2.html

Gambar 2.3 Tahapan kerja dalam penginderaan jauh kelautan

29Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

30Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 45: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

adalah untuk pertanian, penggunaan lahan, pemantauan bencana alam dan

tumpahan minyak, peta kehutanan, geologi,

deteksi kapal, dll. ERSSatelit ERS dibuat oleh ESA (Eropa), seri 1

diluncurkan tahun 1991 dan seri ke 2 tahun

1995. Satelit ERS memiliki 7 instrumen, salah

satu-nya adalah Radar Altimetri yang bekerja

di panjang gelombang 13.8 GHz dan

memberikan informasi tinggi gelombang,

kecepatan angin permukaan, dan tinggi

permukaan laut. Sensor ATSR-1 memiliki 4

band spektral (1600-12000 nm) dan ATSR-2

memiliki tambahan 3 band (550-870 nm) yang

memberikan informasi suhu permukaan laut dan vegetasi. Sensor SAR bekerja

di frekuensi 5.3 GHz dan dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial <=

30 meter. Produk SAR antara lain: deteksi tumpahan minyak, batimetri

perairan dangkal, kondisi permukaan laut (internal wave, eddy, front), tutupan

lahan, fitur geomorfologi, dan peta interferometri.

Informasi lebih lanjut tentang satelit dan sensornya serta contoh data dapat

dilihat di website berikut:CZCS: podaac.jpl.nasa.gov:2031/SENSOR_DOCS/czcs.html dan

earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/chlor.czcs.htmlOCTS: www.eorc.nasda.go.jp/ADEOS/Project/Octs.html dan

daac.gsfc.nasa.gov/data/datapool/OCTS/SeaWiFS: oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaWiFS/ dan

earthobservatory.nasa.gov/Observatory/Datasets/bios.seawifs.htmlAqua-MODIS: modis.gsfc.nasa.gov/ dan www.ioccg.org/gallery/ aqua.htmlMERIS: envisat.esa.int/instruments/meris/ dan

visibleearth.nasa.gov/view_set.php?sensorName=MERISNOAA-AVHRR: noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html dan

podaac.jpl.nasa.gov/sst/Landsat: landsat.gsfc.nasa.gov/ dan landsat.usgs.gov/SPOT: www.spotimage.fr/html/_.php dan spot4.cnes.fr/Terra-ASTER: terra.nasa.gov/About/ASTER/about_aster.html dan

imsweb.aster.ersdac.or.jp/ims/html/MainMenu/ MainMenu.htmlTOPEX/Poseidon: sealevel.jpl.nasa.gov/ dan

directory.eoportal.org/info_TOPEXPoseidonTopographyExperimentPoseidon.ht

mlRadarsat: www.space.gc.ca/asc/eng/satellites/radarsat1/ default.asp dan

ccrs.nrcan.gc.ca/radar/spaceborne/ radarsat1/index_e.phpERS: earth.esa.int/ers/ dan ceos.cnes.fr:8100/cdrom-

7/ceos1/satellit/ers/ers.htm

2.2 METODA PENGINDERAAN JAUH KELAUTANPemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk mendeteksi parameter bio-

fisik perairan yang kemudian digunakan untuk aplikasi yang lebih luas.

Parameter biologi laut yang dapat dideteksi antara lain kandungan klorofil-a,

produktivitas primer, dan dissolved organic. Parameter fisika laut mencakup

profil dasar perairan, endapan terlarut, suhu permukaan laut, gelombang

permukaan, modulasi gelombang permukaan, tinggi muka laut / sea surface

height (SSH), dan kontras surface reflectance. Data pada panjang gelombang

akustik dapat menghasilkan seismic reflection.

Data satelit Penginderaan Jauh Kelautan (PJK) untuk jenis sensor pasif yang

telah banyak dikaji dan diterapkan di Indonesia adalah data NOAA-AVHRR yang

merupakan satelit cuaca dan data ocean color (CZCS, OCTS, SeaWiFS, dan

MODIS). Secara sangat sederhana alur kerja dari penerapan teknologi

penginderaan jauh kelautan dapat dilihat pada Gambar 2.3 (urutan tahapan

kerja: kiri ke kanan).

Energi yang terekam oleh sensor satelit akan dikirim ke stasiun penerima data

satelit di bumi atau SGRS (satellite gound receiving station). Selanjutnya, data

tersebut diproses dengan menggunakan perangkat lunak / software image

processing untuk menghasilkan citra satelit digital yang berisi informasi

directory.eoportal.org/pres_ERS2EUROPEANREMOTESENSINGSATELLITE2.html

Gambar 2.3 Tahapan kerja dalam penginderaan jauh kelautan

29Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

30Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 46: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

mengenai kondisi bio-fisk lingkungan perairan seperti suhu permukaan laut

(SPL), klorofil (kesuburan perairan), TSM / total suspended matter (kekeruhan

perairan). Sebelum digunakan oleh pengguna, produk citra satelit tersebut

perlu dianalisis oleh ahli yang berkompeten dibidang aplikasi tertentu secara

multi disiplin ilmu.Resolusi spasial dari data satelit yang biasa digunakan untuk

kajian skala regional (cakupan seluruh wilayah Perairan Indonesia) adalah data

GAC (Global Area Coverage) dengan resolusi spasial >2 km. Untuk kajian semi-

lokal seperti perairan Laut Jawa sebaiknya digunakan data LAC (Local Area

Coverage) dengan resolusi spasial 0.5-1.1 km. Kedua jenis data tersebut

dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi secara rutin mengenai kondisi bio-

fisik lingkungan perairan.

Data GAC dapat dipesan secara near-real time melalui akses internet dengan

prosedur yang tidak terlalu sulit. Sedangkan, pengadaan data LAC hanya

dimungkinkan dengan adanya SGRS untuk HRPT (High Resolution Picture

Transmission) yang mencakup wilayah Indonesia.

Data GAC dan arsip data LAC serta produknya seperti citra SPL dan klorofil-a

dapat diperoleh secara gratis antara lain melalui alamat homepage berikut:

http://daac.gsfc.nasa.gov/data http://oceancolor.gsfc.nasa.gov

Data LAC (NOAA, MODIS, Feng-Yun) secara near-real time dapat diperoleh dari

LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Antariksa Nasional) dan SEACORM

(Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring). Permasalahan yang sering dijumpai pada penerapan teknologi PJK sensor pasif

ini adalah intensitas tutupan awan yang tinggi di daerah tropis terutama pada

kondisi musim hujan (Desember-April). Padahal kajian data seri untuk perioda

waktu yang lama akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perubahan

dinamika laut menurut ruang dan waktu yang antara lain dipicu oleh pengaruh

angin musiman. Untuk itu, diperlukan dukungan data lain dari satelit sensor

aktif (radar) serta dari teknologi lain seperti pemodelan hidrodinamika laut,

untuk melengkapi informasi / data yang 'bolong' karena tertutup awan. Riset dan pengembangan teknologi PJK mencakup berbagai aspek antara lain

akuisisi data termasuk pemrosesan dan analisisnya. Untuk memperoleh

informasi yang diinginkan, data tersebut perlu diproses dengan menggunakan

seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang

disebut dengan image processing. Saat ini, cukup banyak software image

processing yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, baik yang berbasis

komersial maupun open source termasuk juga software yang dikembangkan

sendiri oleh putra bangsa Indonesia.

Salah satu perangkat lunak berbasis open source tersebut adalah SeaDAS

(SeaWiFS Data Analysis System) yang dikembangkan oleh NASA (National

Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997. SeaDAS

merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses,

menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color

SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya.

Dalam perkembangannya, software tersebut kini juga memiliki kemampuan

untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone

Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate

Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic

Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu

permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).

SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data

Language) yang memungkinkan sipengguna mengembang- kan aplikasinya.

Pemanfaatan software ini telah memberikan hasil yang cukup memuaskan baik

bagi komunitas pengguna maupun pengembang teknologi penginderaan jauh

dalam bidang aplikasi pesisir dan kelautan di Indonesia. SeaDAS dalam

beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat

didownload di http://seadas.gsfc.nasa.gov/.

Selanjutnya akan dijabarkan prosedur pembuatan peta lingkungan perairan

dari satelit yang secara rutin telah dimanfaatkan untuk pemantauan laut

Indonesia.

Suhu Permukaan Laut dari data NOAA-AVHRRCitra Suhu Permukaan Laut (SPL) dihasilkan dari data satelit NOAA-AVHRR

untuk kanal infra merah jauh yang memiliki kisaran panjang gelombang 3-14

um. Masing-masing satelit NOAA mampu memberikan informasi dua kali dalam

sehari dengan daerah pengamatan yang sama untuk data LAC dengan resolusi

spasial 1.1 km2. Prosedur umum dari pemrosesan data tersebut meliputi:

deteksi dan eliminasi awan, koreksi geometri, determinasi nilai brightness

temperature, dan koreksi atmosfer (Cracknell, 1997). Pengukuran radiasi dan

energi pada spektrum infra merah jauh yang dipancarkan oleh permukaan laut

hanya dapat memberikan informasi suhu air pada lapisan permukaan.

Prosedur koreksi atmosfer merupakan langkah yang penting dalam pemrosesan

data untuk menghasilkan citra SPL. Untuk Perairan Indonesia, metoda koreksi

atmosfer yang digunakan adalah split window dengan algoritma McMillin dan

31Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

32Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 47: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

mengenai kondisi bio-fisk lingkungan perairan seperti suhu permukaan laut

(SPL), klorofil (kesuburan perairan), TSM / total suspended matter (kekeruhan

perairan). Sebelum digunakan oleh pengguna, produk citra satelit tersebut

perlu dianalisis oleh ahli yang berkompeten dibidang aplikasi tertentu secara

multi disiplin ilmu.Resolusi spasial dari data satelit yang biasa digunakan untuk

kajian skala regional (cakupan seluruh wilayah Perairan Indonesia) adalah data

GAC (Global Area Coverage) dengan resolusi spasial >2 km. Untuk kajian semi-

lokal seperti perairan Laut Jawa sebaiknya digunakan data LAC (Local Area

Coverage) dengan resolusi spasial 0.5-1.1 km. Kedua jenis data tersebut

dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi secara rutin mengenai kondisi bio-

fisik lingkungan perairan.

Data GAC dapat dipesan secara near-real time melalui akses internet dengan

prosedur yang tidak terlalu sulit. Sedangkan, pengadaan data LAC hanya

dimungkinkan dengan adanya SGRS untuk HRPT (High Resolution Picture

Transmission) yang mencakup wilayah Indonesia.

Data GAC dan arsip data LAC serta produknya seperti citra SPL dan klorofil-a

dapat diperoleh secara gratis antara lain melalui alamat homepage berikut:

http://daac.gsfc.nasa.gov/data http://oceancolor.gsfc.nasa.gov

Data LAC (NOAA, MODIS, Feng-Yun) secara near-real time dapat diperoleh dari

LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Antariksa Nasional) dan SEACORM

(Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring). Permasalahan yang sering dijumpai pada penerapan teknologi PJK sensor pasif

ini adalah intensitas tutupan awan yang tinggi di daerah tropis terutama pada

kondisi musim hujan (Desember-April). Padahal kajian data seri untuk perioda

waktu yang lama akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perubahan

dinamika laut menurut ruang dan waktu yang antara lain dipicu oleh pengaruh

angin musiman. Untuk itu, diperlukan dukungan data lain dari satelit sensor

aktif (radar) serta dari teknologi lain seperti pemodelan hidrodinamika laut,

untuk melengkapi informasi / data yang 'bolong' karena tertutup awan. Riset dan pengembangan teknologi PJK mencakup berbagai aspek antara lain

akuisisi data termasuk pemrosesan dan analisisnya. Untuk memperoleh

informasi yang diinginkan, data tersebut perlu diproses dengan menggunakan

seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang

disebut dengan image processing. Saat ini, cukup banyak software image

processing yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, baik yang berbasis

komersial maupun open source termasuk juga software yang dikembangkan

sendiri oleh putra bangsa Indonesia.

Salah satu perangkat lunak berbasis open source tersebut adalah SeaDAS

(SeaWiFS Data Analysis System) yang dikembangkan oleh NASA (National

Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997. SeaDAS

merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses,

menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color

SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya.

Dalam perkembangannya, software tersebut kini juga memiliki kemampuan

untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone

Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate

Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic

Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu

permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).

SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data

Language) yang memungkinkan sipengguna mengembang- kan aplikasinya.

Pemanfaatan software ini telah memberikan hasil yang cukup memuaskan baik

bagi komunitas pengguna maupun pengembang teknologi penginderaan jauh

dalam bidang aplikasi pesisir dan kelautan di Indonesia. SeaDAS dalam

beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat

didownload di http://seadas.gsfc.nasa.gov/.

Selanjutnya akan dijabarkan prosedur pembuatan peta lingkungan perairan

dari satelit yang secara rutin telah dimanfaatkan untuk pemantauan laut

Indonesia.

Suhu Permukaan Laut dari data NOAA-AVHRRCitra Suhu Permukaan Laut (SPL) dihasilkan dari data satelit NOAA-AVHRR

untuk kanal infra merah jauh yang memiliki kisaran panjang gelombang 3-14

um. Masing-masing satelit NOAA mampu memberikan informasi dua kali dalam

sehari dengan daerah pengamatan yang sama untuk data LAC dengan resolusi

spasial 1.1 km2. Prosedur umum dari pemrosesan data tersebut meliputi:

deteksi dan eliminasi awan, koreksi geometri, determinasi nilai brightness

temperature, dan koreksi atmosfer (Cracknell, 1997). Pengukuran radiasi dan

energi pada spektrum infra merah jauh yang dipancarkan oleh permukaan laut

hanya dapat memberikan informasi suhu air pada lapisan permukaan.

Prosedur koreksi atmosfer merupakan langkah yang penting dalam pemrosesan

data untuk menghasilkan citra SPL. Untuk Perairan Indonesia, metoda koreksi

atmosfer yang digunakan adalah split window dengan algoritma McMillin dan

31Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

32Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 48: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Crosby (1984). Algoritma perhitungan SPL tersebut telah divalidasi oleh Marine

Research of the Australia's Commonwealth Scientific and Industrial Research

Organisation (CSIRO, Australia) dengan menggunakan data pengukuran in situ

yang sebagian mencakup wilayah perairan Samudra India (Komunikasi pribadi

dengan Paul Tildesley dari CSIRO, Hobart). Persamaan matematis dari

algoritma tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

SPL ( K) = T + 2.702 * (T - T ) - 273.734 4 5

dimana, SPL adalah nilai suhu permukaan laut dalam derajat Kelvin;T adalah brightness temperature untuk kanal 4 (10500-11500 nm);4

T adalah brightness temperature untuk kanal 5 (1150012500 nm).5

Verifikasi algoritma SPL untuk Perairan Indonesia telah dilakukan oleh BPPT

dengan menggunakan data pengukuran in situ di Samudra India, laut Jawa,

Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Prosedur validasi tersebut

º

menghasilkan akurasi yang lebih tinggi yaitu 0.8C dan 1.5C untuk data AVHRR

LAC yang direkam pada malam dan siang hari (Farahidy dkk, 1996; Hendiarti

dan Lestiana, 1999). Data AVHRR yang direkam pada malam hari menghasilkan

tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan data siang hari. Dimana, pada siang hari terbentuk termoklin diurnal dekat lapisan permukaan

yang menyebabkan kondisi pada lapisan tersebut menjadi kurang akurat untuk

menggambarkan nilai SPL dari kolom air tersebut.

Contoh citra SPL dari data MODIS GAC yang dapat didownload dalam format

'hdf' dan gambar melalui alamat homepage NASA diperlihatkan pada Gambar

2.4. Analisis yang dapat dilakukan terhadap citra satelit tersebut hanya

kualitatif untuk kajian regional seperti terlihat bahwa Samudra Pasifik Barat

memiliki sebaran SPL yang lebih hangat (warna oranye) dibandingkan dengan

Samudra India (warna kuning).

Tingkat ketelitian dari informasi yang dihasilkan juga lebih rendah

dibandingkan produk dari data AVHRR, karena sensor MODIS hanya merekam

data pada siang hari yang merupakan kondisi kurang optimal untuk perhitungan

SPL namun optimal untuk pengukuran kandungan material dalam air. Contoh

produk SPL dari data LAC dengan resolusi spasial 1.1 km disajikan dalam

Juli Agustus September

2002

2003

2004

2005

SPL (C)

Gambar 2.4 Pengamatan regional: Citra SPL dari tahun 2002 2005 pada bulan Juli sampai September.Pada perioda tersebut, kondisi perairan Samudra Pasifik lebih hangat dibandingkan Samudra India;masa air dari Pasifik barat bergerak masuk ke perairan Indonesia menuju samudra India (Arlindo).

Sumber : GSFC-NASA

Gambar 2.5. Pengamatan semi-lokal: Citra SPL pada 28 Agustus 2001 memperlihatkan fenomenaupwelling di Selatan Jawa ditunjukkan dengan sebaran SPL lebih rendah dengan warna biru.

33Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

34Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 49: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Crosby (1984). Algoritma perhitungan SPL tersebut telah divalidasi oleh Marine

Research of the Australia's Commonwealth Scientific and Industrial Research

Organisation (CSIRO, Australia) dengan menggunakan data pengukuran in situ

yang sebagian mencakup wilayah perairan Samudra India (Komunikasi pribadi

dengan Paul Tildesley dari CSIRO, Hobart). Persamaan matematis dari

algoritma tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

SPL ( K) = T + 2.702 * (T - T ) - 273.734 4 5

dimana, SPL adalah nilai suhu permukaan laut dalam derajat Kelvin;T adalah brightness temperature untuk kanal 4 (10500-11500 nm);4

T adalah brightness temperature untuk kanal 5 (1150012500 nm).5

Verifikasi algoritma SPL untuk Perairan Indonesia telah dilakukan oleh BPPT

dengan menggunakan data pengukuran in situ di Samudra India, laut Jawa,

Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Prosedur validasi tersebut

º

menghasilkan akurasi yang lebih tinggi yaitu 0.8C dan 1.5C untuk data AVHRR

LAC yang direkam pada malam dan siang hari (Farahidy dkk, 1996; Hendiarti

dan Lestiana, 1999). Data AVHRR yang direkam pada malam hari menghasilkan

tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan data siang hari. Dimana, pada siang hari terbentuk termoklin diurnal dekat lapisan permukaan

yang menyebabkan kondisi pada lapisan tersebut menjadi kurang akurat untuk

menggambarkan nilai SPL dari kolom air tersebut.

Contoh citra SPL dari data MODIS GAC yang dapat didownload dalam format

'hdf' dan gambar melalui alamat homepage NASA diperlihatkan pada Gambar

2.4. Analisis yang dapat dilakukan terhadap citra satelit tersebut hanya

kualitatif untuk kajian regional seperti terlihat bahwa Samudra Pasifik Barat

memiliki sebaran SPL yang lebih hangat (warna oranye) dibandingkan dengan

Samudra India (warna kuning).

Tingkat ketelitian dari informasi yang dihasilkan juga lebih rendah

dibandingkan produk dari data AVHRR, karena sensor MODIS hanya merekam

data pada siang hari yang merupakan kondisi kurang optimal untuk perhitungan

SPL namun optimal untuk pengukuran kandungan material dalam air. Contoh

produk SPL dari data LAC dengan resolusi spasial 1.1 km disajikan dalam

Juli Agustus September

2002

2003

2004

2005

SPL (C)

Gambar 2.4 Pengamatan regional: Citra SPL dari tahun 2002 2005 pada bulan Juli sampai September.Pada perioda tersebut, kondisi perairan Samudra Pasifik lebih hangat dibandingkan Samudra India;masa air dari Pasifik barat bergerak masuk ke perairan Indonesia menuju samudra India (Arlindo).

Sumber : GSFC-NASA

Gambar 2.5. Pengamatan semi-lokal: Citra SPL pada 28 Agustus 2001 memperlihatkan fenomenaupwelling di Selatan Jawa ditunjukkan dengan sebaran SPL lebih rendah dengan warna biru.

33Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

34Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 50: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 2.5.

Kandungan Material dalam Air dari Data Satelit Ocean ColorTeknologi penginderaan jauh kelautan dapat digunakan untuk memantau

sebaran material organik (klorofil-a) dan material anorganik (sedimen terlarut)

yang terkait dengan kesuburan dan kekeruhan perairan mulai dari cakupan

regional hingga lokal.

Citra satelit dapat menyajikan hasil dari proses interaksi antara gelombang

energi matahari (Tenaga Elektro Magnetik = TEM) dengan perairan termasuk

material yang dikandungnya (gambar 2.6). Sensor ocean color SeaWiFS dan

MODIS menerima radiasi matahari dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm)

dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh lapisan permukaan

perairan dan yang dihamburkan oleh atmosfer. Radiasi pantulan ini

mengandung informasi sifat bio-optik air laut yang diakibatkan oleh adanya

bahan tersuspensi dan terlarut pada air laut tersebut, serta membentuk warna

perairan (Gordon dan Morel, 1983). Pada umumnya bahan-bahan sedimen

anorganik, fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan hasil

penghancuran organisme laut dan terestrial (disebut juga material kuning atau

“yellow substance”) menjadi bahan utama yang mempengaruhi kenampakan

warna air laut.

Gambar 2.6 Sistem penginderaan jauh satelit ocean color.

Fitoplankton menyerap energi cahaya pada panjang gelombang pendek

sehingga terlihat adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada

panjang gelombang tersebut. Penyerapan dan penghamburan energi cahaya

oleh material organik dan inorganik menyebabkan naiknya besar energi pada

panjang gelombang biru-hijau (blue-green).Data satelit ocean color dapat dikelompokkan menjadi 3 tingkatan (level) yang

berbeda yaitu level 1 (1A dan 1B), 2, dan 3. Prosedur pemrosesan data ocean

color SeaWIFS diperlihatkan dalam Gambar 2.7. Level 1A berisi total radiasi

yang terekam oleh sensor (Lt), dimana mencakup komponen informasi lainnya

dari atmosfer dan laut dalam volume yang besar. Data level 2 merupakan

produk dengan nilai radiasi yang telah terkoreksi atmosfer dan informasi

mengenai parameter fisika dan biologi (klorofil-a dan material terlarut). Data

level 3 merupakan citra hasil komposit. Pada prosedur pemrosesan ini, koreksi

atmosfer merupakan tahapan yang terpenting untuk memperoleh hasil yang

maksimal. Kesuburan Perairan (konsentrasi klorofil-a perairan)Citra klorofil-a merupakan salah satu produk dari data satelit ocean color

seperti Satelit SeaStar dengan sensor SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View

Sensor) dan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer). Informasi ini diperoleh sekali dalam sehari dan diakuisisi

pada siang hari dengan ketelitian spasial 1.1 Km2. Satelit SeaStar yang lebih

dikenal dengan SeaWiFS, dirancang untuk memperoleh informasi tentang

Gambar 2.7 Prosedur pemrosesan data SeaWIFS (Senga, 2002).

35Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

36Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 51: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 2.5.

Kandungan Material dalam Air dari Data Satelit Ocean ColorTeknologi penginderaan jauh kelautan dapat digunakan untuk memantau

sebaran material organik (klorofil-a) dan material anorganik (sedimen terlarut)

yang terkait dengan kesuburan dan kekeruhan perairan mulai dari cakupan

regional hingga lokal.

Citra satelit dapat menyajikan hasil dari proses interaksi antara gelombang

energi matahari (Tenaga Elektro Magnetik = TEM) dengan perairan termasuk

material yang dikandungnya (gambar 2.6). Sensor ocean color SeaWiFS dan

MODIS menerima radiasi matahari dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm)

dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh lapisan permukaan

perairan dan yang dihamburkan oleh atmosfer. Radiasi pantulan ini

mengandung informasi sifat bio-optik air laut yang diakibatkan oleh adanya

bahan tersuspensi dan terlarut pada air laut tersebut, serta membentuk warna

perairan (Gordon dan Morel, 1983). Pada umumnya bahan-bahan sedimen

anorganik, fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan hasil

penghancuran organisme laut dan terestrial (disebut juga material kuning atau

“yellow substance”) menjadi bahan utama yang mempengaruhi kenampakan

warna air laut.

Gambar 2.6 Sistem penginderaan jauh satelit ocean color.

Fitoplankton menyerap energi cahaya pada panjang gelombang pendek

sehingga terlihat adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada

panjang gelombang tersebut. Penyerapan dan penghamburan energi cahaya

oleh material organik dan inorganik menyebabkan naiknya besar energi pada

panjang gelombang biru-hijau (blue-green).Data satelit ocean color dapat dikelompokkan menjadi 3 tingkatan (level) yang

berbeda yaitu level 1 (1A dan 1B), 2, dan 3. Prosedur pemrosesan data ocean

color SeaWIFS diperlihatkan dalam Gambar 2.7. Level 1A berisi total radiasi

yang terekam oleh sensor (Lt), dimana mencakup komponen informasi lainnya

dari atmosfer dan laut dalam volume yang besar. Data level 2 merupakan

produk dengan nilai radiasi yang telah terkoreksi atmosfer dan informasi

mengenai parameter fisika dan biologi (klorofil-a dan material terlarut). Data

level 3 merupakan citra hasil komposit. Pada prosedur pemrosesan ini, koreksi

atmosfer merupakan tahapan yang terpenting untuk memperoleh hasil yang

maksimal. Kesuburan Perairan (konsentrasi klorofil-a perairan)Citra klorofil-a merupakan salah satu produk dari data satelit ocean color

seperti Satelit SeaStar dengan sensor SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View

Sensor) dan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer). Informasi ini diperoleh sekali dalam sehari dan diakuisisi

pada siang hari dengan ketelitian spasial 1.1 Km2. Satelit SeaStar yang lebih

dikenal dengan SeaWiFS, dirancang untuk memperoleh informasi tentang

Gambar 2.7 Prosedur pemrosesan data SeaWIFS (Senga, 2002).

35Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

36Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 52: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

kondisi lautan melalui kenampakan warna pada perairan yang direkamnya.

Dengan 6 kanal pada cahaya tampak dan dua kanal pada inframerah dekat,

sensor SeaWiFS sangat baik untuk mendeteksi tingkat kehijauan (klorofil-a) di

suatu perairan. Satelit AQUA yang membawa sensor multikanal MODIS

diharapkan informasi oseanografi yang diperoleh dapat lebih baik dan akurat.

Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal spectral yang bekerja pada

kisaran gelombang visible dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal pada

kanal-kanal selebihnya. Kisaran gelombang pada kanal-kanal yang dimilikinya

yang lebih sempit tersebut diharapkan menghasilkan informasi parameter yang

lebih baik dan akurat.

Algoritma multi-scattering yang menggunakan band 670/865 nm dengan iterasi

infra merah dekat di perangkat lunak SeaDAS 4 adalah prosedur yang

direkomendasikan untuk koreksi atmosfer di perairan Indonesia (Hendiarti,

2003).

Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan klorofil dari citra

SeaWiFS dan MODIS adalah OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band) versi 4. Algoritma

OC4 ini dibuat dan dikembangkan untuk perairan dengan konsentrasi klorofil

rendah (di bawah 0.03 mg/m3) ke tinggi (di atas 1.0 mg/m3) berdasarkan

basis data in situ global dan hasil prediksi dari model bio-optik. Persamaan

empiris algoritma ini menggunakan ratio nilai nLw tertinggi untuk kanal 443,

490, 510 dan 555 nm (O'Reilly dkk., 2000).Algoritma OC4 memiliki akurasi lebih baik dibandingkan algoritma klorofil

lainnya seperti OC2 (Ocean Chlorophyll 2-band) dengan tingkat ketelitian 35%

(Hooker et al., 1992).

Untuk Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang

diperoleh dari citra SeaWiFS dan hasil pengukuran lapangan di permukaan

perairan pada perioda pengamatan Agustus 2000 Juli 2001 berkisar 0.26-0.42

untuk perairan keruh /pesisir dan 0.65-0.81 untuk perairan laut (Hendiarti,

)532.1649.0930.1067.3366.0( 432

10)44(RRRR

vOCChla

)555(

)555(

)510(

)510(,

)490(

)490(,

)443(

)443(max

0000 F

nL

F

nL

F

nL

F

nLR wwww

F0 adalah nilai irradiance dari extraterrestrial solar.

Juli Agustus September

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gambar 2.8 Pengamatan regional: pola sebaran klorofil-a pada bulan Juli sampai September.Konsentrasi klorofil tinggi (> 0.5 mg/m3) ditunjukkan dengan warna hijau-kuning-merah.

Sumber : GSFC-NASA

37Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

38Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 53: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

kondisi lautan melalui kenampakan warna pada perairan yang direkamnya.

Dengan 6 kanal pada cahaya tampak dan dua kanal pada inframerah dekat,

sensor SeaWiFS sangat baik untuk mendeteksi tingkat kehijauan (klorofil-a) di

suatu perairan. Satelit AQUA yang membawa sensor multikanal MODIS

diharapkan informasi oseanografi yang diperoleh dapat lebih baik dan akurat.

Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal spectral yang bekerja pada

kisaran gelombang visible dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal pada

kanal-kanal selebihnya. Kisaran gelombang pada kanal-kanal yang dimilikinya

yang lebih sempit tersebut diharapkan menghasilkan informasi parameter yang

lebih baik dan akurat.

Algoritma multi-scattering yang menggunakan band 670/865 nm dengan iterasi

infra merah dekat di perangkat lunak SeaDAS 4 adalah prosedur yang

direkomendasikan untuk koreksi atmosfer di perairan Indonesia (Hendiarti,

2003).

Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan klorofil dari citra

SeaWiFS dan MODIS adalah OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band) versi 4. Algoritma

OC4 ini dibuat dan dikembangkan untuk perairan dengan konsentrasi klorofil

rendah (di bawah 0.03 mg/m3) ke tinggi (di atas 1.0 mg/m3) berdasarkan

basis data in situ global dan hasil prediksi dari model bio-optik. Persamaan

empiris algoritma ini menggunakan ratio nilai nLw tertinggi untuk kanal 443,

490, 510 dan 555 nm (O'Reilly dkk., 2000).Algoritma OC4 memiliki akurasi lebih baik dibandingkan algoritma klorofil

lainnya seperti OC2 (Ocean Chlorophyll 2-band) dengan tingkat ketelitian 35%

(Hooker et al., 1992).

Untuk Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang

diperoleh dari citra SeaWiFS dan hasil pengukuran lapangan di permukaan

perairan pada perioda pengamatan Agustus 2000 Juli 2001 berkisar 0.26-0.42

untuk perairan keruh /pesisir dan 0.65-0.81 untuk perairan laut (Hendiarti,

)532.1649.0930.1067.3366.0( 432

10)44(RRRR

vOCChla

)555(

)555(

)510(

)510(,

)490(

)490(,

)443(

)443(max

0000 F

nL

F

nL

F

nL

F

nLR wwww

F0 adalah nilai irradiance dari extraterrestrial solar.

Juli Agustus September

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gambar 2.8 Pengamatan regional: pola sebaran klorofil-a pada bulan Juli sampai September.Konsentrasi klorofil tinggi (> 0.5 mg/m3) ditunjukkan dengan warna hijau-kuning-merah.

Sumber : GSFC-NASA

37Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

38Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 54: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

2003). Validasi dilakukan di 92 stasiun pada perairan Samudra India, Selat

Sunda, Teluk Pelabuhan Ratu, dan perairan pesisir Timur Lampung.

Pada beberapa kondisi, konsentrasi klorofil-a dari citra ocean color tersebut

ditemukan lebih tinggi dari data lapangan, diduga karena kontribusi klorofil

maksimum di kedalaman. Untuk mengurangi efek ini yang bergantung pada

tingkat penyerapan cahaya di kolom air, dimana suatu prosedur dengan

menggunakan konsentrasi permukaan weighted harus diterapkan. Setelah

dilakukan prosedur koreksi weighted tersebut, tingkat ketelitian dari produk

citra klorofil tersebut meningkat 2-6% untuk perairan laut (Hendiarti, 2003).

Gambar 2.8 memperlihatkan citra klorofil-a yang dihasilkan dari data satelit

GAC ocean color SeaWiFS dan MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4-9 km untuk

kajian regional. Hasil pengamatan selama 8 tahun (1998-2005) menunjukkan

bahwa kondisi lingkungan biologi perairan Indonesia pada lapisan paling atas

atau di zona eufotik sangat dinamis, dan fenomena ini juga memiliki korelasi

yang significant dengan potensi perikanan tangkap. Analisis terhadap sebaran

klorofil-a perairan dari menunjukkan kesuburan perairan yang tinggi dengan

konsentrasi klorofil-a tidak kurang dari 0.5 mg/m3 dan penyebarannya yang

lebih luas dijumpai pada bulan Juni-September, puncaknya Agustus terutama di

Samudra Hindia, Laut Jawa, Laut Seram, Laut Banda, Selat Karimata, Selat

Makassar selatan, dan Laut Arafuru. Sedangkan konsentrasi tinggi tersebut di

Laut Aru terjadi sepanjang tahun. Citra satelit klorofil-a secara lengkap dapat

TSS = 005860.0*03040.0

001004.0*5296.0

555

555

R

R

dilihat pada lampiran-A dalam buku ini atau dapat juga didownload di alamat:

http://www.tisda.org/indoo.

Contoh produk citra klorofil dari data LAC yang diterapkan untuk kajian

fenomena semi-lokal dan lokal disajikan dalam Gambar 2.9.

Kekeruhan Perairan (Konsentrasi Endapan Terlarut)Data yang digunakan untuk menghitung konsentrasi endapan terlarut sebagai

salah satu indikator dalam menentukan tingkat kekeruhan perairan adalah juga

data satelit ocean color seperti SeaWiFS dan MODIS. Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan endapan terlarut (TSM)

dari citra SeaWiFS adalah algoritma yang dikembangkan oleh Institute for

Environmental Studies at the Vrije Universiteit, Amsterdam dengan

menggunakan pantulan energi cahaya dari permukaan pada kanal 555nm

(Dekker and Hoogenboom, 1997). Persamaan empirisnya dapat dijabarkan

sebagai berikut:dimana, adalah pantulan energi cahaya dari permukaan air pada kanal

555nm.

Algoritma TSM ini dikembangkan untuk perairan North Sea, dengan akurasi

555R

MODIS, 28 Juli 2003, 06.10 GMT

Gambar 2.9 Pengamatan semi-lokal: sebaran klorofil-a pada bulan Juni dan Juli 2003memperlihatkan perubahan pola sebaran dipicu oleh fenomena upwelling di selatan Jawa dan Selat

Sunda pada bulan Juli (kandungan klorofil yang tinggi, warna merah).

01.2003

01.2005

04.2003

04.2005

07.2003

07.2005

01.2003

01.2005

04.2003

04.2005

07.2003

07.2005

01.2003

01.2005

04.2003

04.2005

07.2003

07.2005

Gambar 2.10 Pengamatan regional: pola sebaran kekeruhan perairan pada bulan Juli sampaiSeptember. Kekeruhan perairan tinggi ditunjukkan dengan warna kuning-merah.

39Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

40Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 55: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

2003). Validasi dilakukan di 92 stasiun pada perairan Samudra India, Selat

Sunda, Teluk Pelabuhan Ratu, dan perairan pesisir Timur Lampung.

Pada beberapa kondisi, konsentrasi klorofil-a dari citra ocean color tersebut

ditemukan lebih tinggi dari data lapangan, diduga karena kontribusi klorofil

maksimum di kedalaman. Untuk mengurangi efek ini yang bergantung pada

tingkat penyerapan cahaya di kolom air, dimana suatu prosedur dengan

menggunakan konsentrasi permukaan weighted harus diterapkan. Setelah

dilakukan prosedur koreksi weighted tersebut, tingkat ketelitian dari produk

citra klorofil tersebut meningkat 2-6% untuk perairan laut (Hendiarti, 2003).

Gambar 2.8 memperlihatkan citra klorofil-a yang dihasilkan dari data satelit

GAC ocean color SeaWiFS dan MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4-9 km untuk

kajian regional. Hasil pengamatan selama 8 tahun (1998-2005) menunjukkan

bahwa kondisi lingkungan biologi perairan Indonesia pada lapisan paling atas

atau di zona eufotik sangat dinamis, dan fenomena ini juga memiliki korelasi

yang significant dengan potensi perikanan tangkap. Analisis terhadap sebaran

klorofil-a perairan dari menunjukkan kesuburan perairan yang tinggi dengan

konsentrasi klorofil-a tidak kurang dari 0.5 mg/m3 dan penyebarannya yang

lebih luas dijumpai pada bulan Juni-September, puncaknya Agustus terutama di

Samudra Hindia, Laut Jawa, Laut Seram, Laut Banda, Selat Karimata, Selat

Makassar selatan, dan Laut Arafuru. Sedangkan konsentrasi tinggi tersebut di

Laut Aru terjadi sepanjang tahun. Citra satelit klorofil-a secara lengkap dapat

TSS = 005860.0*03040.0

001004.0*5296.0

555

555

R

R

dilihat pada lampiran-A dalam buku ini atau dapat juga didownload di alamat:

http://www.tisda.org/indoo.

Contoh produk citra klorofil dari data LAC yang diterapkan untuk kajian

fenomena semi-lokal dan lokal disajikan dalam Gambar 2.9.

Kekeruhan Perairan (Konsentrasi Endapan Terlarut)Data yang digunakan untuk menghitung konsentrasi endapan terlarut sebagai

salah satu indikator dalam menentukan tingkat kekeruhan perairan adalah juga

data satelit ocean color seperti SeaWiFS dan MODIS. Algoritma yang digunakan untuk menghitung kandungan endapan terlarut (TSM)

dari citra SeaWiFS adalah algoritma yang dikembangkan oleh Institute for

Environmental Studies at the Vrije Universiteit, Amsterdam dengan

menggunakan pantulan energi cahaya dari permukaan pada kanal 555nm

(Dekker and Hoogenboom, 1997). Persamaan empirisnya dapat dijabarkan

sebagai berikut:dimana, adalah pantulan energi cahaya dari permukaan air pada kanal

555nm.

Algoritma TSM ini dikembangkan untuk perairan North Sea, dengan akurasi

555R

MODIS, 28 Juli 2003, 06.10 GMT

Gambar 2.9 Pengamatan semi-lokal: sebaran klorofil-a pada bulan Juni dan Juli 2003memperlihatkan perubahan pola sebaran dipicu oleh fenomena upwelling di selatan Jawa dan Selat

Sunda pada bulan Juli (kandungan klorofil yang tinggi, warna merah).

01.2003

01.2005

04.2003

04.2005

07.2003

07.2005

01.2003

01.2005

04.2003

04.2005

07.2003

07.2005

01.2003

01.2005

04.2003

04.2005

07.2003

07.2005

Gambar 2.10 Pengamatan regional: pola sebaran kekeruhan perairan pada bulan Juli sampaiSeptember. Kekeruhan perairan tinggi ditunjukkan dengan warna kuning-merah.

39Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

40Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 56: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

tidak melebihi 15-20% (Hesselmans dkk., 2000). Pola sebaran TSS yang

dihasilkan akan dibandingkan dengan nilai pengukuran lapangan.

Sedangkan untuk data MODIS Aqua, kekeruhan perairan dilihat dari nilai energi

cahaya yang dipantulkan dari permukaan pada panjang gelombang 510 nm.

Analisis yang dilakukan secara visual pada citra MODIS level 3 tersebut

menghasilkan informasi sebaran material terlarut secara kualitatif seperti

terlihat pada Gambar 2.10.

Parameter lain yang terekam adalah bilangan pokok pengurang menegak atau

disebut dengan attenuation coefficient yang diukur pada panjang gelombang

490 nm (Kd 490). Bilangan ini dihitung dari rata-rata di kedalaman dari

permukaan air hingga kedalaman maksimum dimana sinar matahari dapat

menembus. Bilangan ini mengindikasikan hilangnya cahaya sinar tampak yang

menembus di kedalaman air. Kisaran nilainya dari 0,03 yang mewakili air laut

dimana cahaya matahari dapat menembus sampai kedalaman sekitar 75 m dan

0,5 yang mewakili air di pesisir yang turbid dimana sinar matahari hanya

mencapai kurangdari 5 m. Bilangan pokok ini bisa di interpretasikan menjadi

kecerahan perairan yang biasanya secara manual diukur dengan menggunakan

metoda secchi-disk.

Fenomena Biologi LautBiologi laut sebenarnya bercerita mengenai kehidupan di laut yang sangat

kompleks seperti halnya kehidupan di daratan. Plankton dan sumberdaya ikan

merupakan komponen penting dalam memahami kehidupan di laut dan

ekosistem di pesisir perairan. Nontji (2006) menjabarkan plankton sebagai

makhluk hidup (tumbuhan/ fitoplankton dan hewan/zooplankton) yang

mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan

renangnya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus.

Fitoplankton sebagai rantai dasar makanan di laut sebagian besar tumbuh dan

berkembang biak pada zona eufotik, yaitu lapisan kedalaman dengan intensitas

cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis atau produksi

fitoplankton. Selain itu, untuk tumbuh dan berkembangbiak fitoplankton juga

membutuhkan supply zat hara yang umumnya berasal dari daratan.

Terkait dengan penjelasan di atas, fenomena biologi laut yang dapat dipantau

dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh adalah:1. Limpasan zat hara2. Kesuburan Perairan3. Algae Bloom4. Penentuan zona perikanan tangkap pelagis

Untuk keperluan analisis sebaran partikel dalam air, perlu ditambahkan juga

citra satelit SSH (sea surface height/ tinggi muka laut) dari data TOPEX

POSEIDON untuk menghasilkan informasi mengenai pola arus permukaan.

Riset dan pengembangan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan

fenomena biologi laut Indonesia menjadi penting mengingat luasnya cakupan

perairan Indonesia dan sangat dinamisnya perubahan, serta termanfaatkannya

sumberdaya perikanan laut kita secara optimal dan bijaksana. Selain itu,

kemajuan teknologi penginderaan jauh kelautan menuntut kita untuk

meningkatkan kemampuan terapannya di perairan Indonesia jika kita tidak

menginginkan bangsa lain yang terus menerus memanfaatkan potensi

sumberdaya alam kita

Kesuburan perairan merupakan indikator yang sangat penting bagi

perkembangan perikanan laut kita, bahkan lebih penting dibandingkan dengan

parameter suhu perairan khususnya untuk wilayah perairan berlintang rendah

seperti Perairan Indonesia.

Di masa sekarang dan mendatang, data satelit penginderaan jauh ocean color

dapat diaplikasikan untuk memetakan kesuburan perairan secara spasial dan

rutin dari data sebaran klorofil-a di permukaan (kompas tanggal 27/11/2003).

Dengan pengamatan / pengukuran dalam jangka waktu yang lama dan secara

terus menerus, maka dapat dipantau perubahannya, selanjutnya di masa

mendatang daerah penangkapan ikan pelagis dapat di duga dari data

penginderaan jauh dengan multi-sensor.

Berdasarkan validasi model dengan pengukuran lapangan, informasi yang

diperoleh dari teknologi tersebut cukup baik. Meskipun idealnya, upaya

penerapan teknologi ini perlu didukung dengan program riset untuk validasi

dari keakuratan informasi / produk yang dihasilkan oleh data satelit tersebut

yang sebenarnya didasarkan pada pendekatan model global, dengan melakukan

pengukuran lapangan secara rutin pada beberapa lokasi strategis dan yang

telah ditetapkan sebagai stasiun validasi.

Kandungan material dalam air dari data Landsat 7 ETM+Data satelit resolusi spasial tinggi diperlukan untuk kajian skala lokal ( >100

m). Salah satunya adalah data Landsat yang memiliki resolusi spasial 30 m.

Sensor satelit Landsat ETM memiliki 3 kanal yang merekam pada kisaran

panjang gelombang sinar tampak yaitu pada kanal 1 (450-520 nm), kanal 2

(530-610 nm) dan kanal 3 (630-690 nm). Informasi besarnya radiance/energi

yang terekam pada kanal-kanal tersebut dapat digunakan untuk memetakan

sebaran spasial klorofil-a perairan secara kuantitatif dan sebaran material

endapan terlarut secara kualitatif.

Untuk menghitung konsentrasi klorofil-a, digunakan persamaan matematis

yang diadaptasi dari Chuqun Chen (2003) dimana variable-nya adalah nilai

41Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

42Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 57: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

tidak melebihi 15-20% (Hesselmans dkk., 2000). Pola sebaran TSS yang

dihasilkan akan dibandingkan dengan nilai pengukuran lapangan.

Sedangkan untuk data MODIS Aqua, kekeruhan perairan dilihat dari nilai energi

cahaya yang dipantulkan dari permukaan pada panjang gelombang 510 nm.

Analisis yang dilakukan secara visual pada citra MODIS level 3 tersebut

menghasilkan informasi sebaran material terlarut secara kualitatif seperti

terlihat pada Gambar 2.10.

Parameter lain yang terekam adalah bilangan pokok pengurang menegak atau

disebut dengan attenuation coefficient yang diukur pada panjang gelombang

490 nm (Kd 490). Bilangan ini dihitung dari rata-rata di kedalaman dari

permukaan air hingga kedalaman maksimum dimana sinar matahari dapat

menembus. Bilangan ini mengindikasikan hilangnya cahaya sinar tampak yang

menembus di kedalaman air. Kisaran nilainya dari 0,03 yang mewakili air laut

dimana cahaya matahari dapat menembus sampai kedalaman sekitar 75 m dan

0,5 yang mewakili air di pesisir yang turbid dimana sinar matahari hanya

mencapai kurangdari 5 m. Bilangan pokok ini bisa di interpretasikan menjadi

kecerahan perairan yang biasanya secara manual diukur dengan menggunakan

metoda secchi-disk.

Fenomena Biologi LautBiologi laut sebenarnya bercerita mengenai kehidupan di laut yang sangat

kompleks seperti halnya kehidupan di daratan. Plankton dan sumberdaya ikan

merupakan komponen penting dalam memahami kehidupan di laut dan

ekosistem di pesisir perairan. Nontji (2006) menjabarkan plankton sebagai

makhluk hidup (tumbuhan/ fitoplankton dan hewan/zooplankton) yang

mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan

renangnya sangat terbatas sehingga selalu terbawa hanyut oleh arus.

Fitoplankton sebagai rantai dasar makanan di laut sebagian besar tumbuh dan

berkembang biak pada zona eufotik, yaitu lapisan kedalaman dengan intensitas

cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis atau produksi

fitoplankton. Selain itu, untuk tumbuh dan berkembangbiak fitoplankton juga

membutuhkan supply zat hara yang umumnya berasal dari daratan.

Terkait dengan penjelasan di atas, fenomena biologi laut yang dapat dipantau

dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh adalah:1. Limpasan zat hara2. Kesuburan Perairan3. Algae Bloom4. Penentuan zona perikanan tangkap pelagis

Untuk keperluan analisis sebaran partikel dalam air, perlu ditambahkan juga

citra satelit SSH (sea surface height/ tinggi muka laut) dari data TOPEX

POSEIDON untuk menghasilkan informasi mengenai pola arus permukaan.

Riset dan pengembangan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan

fenomena biologi laut Indonesia menjadi penting mengingat luasnya cakupan

perairan Indonesia dan sangat dinamisnya perubahan, serta termanfaatkannya

sumberdaya perikanan laut kita secara optimal dan bijaksana. Selain itu,

kemajuan teknologi penginderaan jauh kelautan menuntut kita untuk

meningkatkan kemampuan terapannya di perairan Indonesia jika kita tidak

menginginkan bangsa lain yang terus menerus memanfaatkan potensi

sumberdaya alam kita

Kesuburan perairan merupakan indikator yang sangat penting bagi

perkembangan perikanan laut kita, bahkan lebih penting dibandingkan dengan

parameter suhu perairan khususnya untuk wilayah perairan berlintang rendah

seperti Perairan Indonesia.

Di masa sekarang dan mendatang, data satelit penginderaan jauh ocean color

dapat diaplikasikan untuk memetakan kesuburan perairan secara spasial dan

rutin dari data sebaran klorofil-a di permukaan (kompas tanggal 27/11/2003).

Dengan pengamatan / pengukuran dalam jangka waktu yang lama dan secara

terus menerus, maka dapat dipantau perubahannya, selanjutnya di masa

mendatang daerah penangkapan ikan pelagis dapat di duga dari data

penginderaan jauh dengan multi-sensor.

Berdasarkan validasi model dengan pengukuran lapangan, informasi yang

diperoleh dari teknologi tersebut cukup baik. Meskipun idealnya, upaya

penerapan teknologi ini perlu didukung dengan program riset untuk validasi

dari keakuratan informasi / produk yang dihasilkan oleh data satelit tersebut

yang sebenarnya didasarkan pada pendekatan model global, dengan melakukan

pengukuran lapangan secara rutin pada beberapa lokasi strategis dan yang

telah ditetapkan sebagai stasiun validasi.

Kandungan material dalam air dari data Landsat 7 ETM+Data satelit resolusi spasial tinggi diperlukan untuk kajian skala lokal ( >100

m). Salah satunya adalah data Landsat yang memiliki resolusi spasial 30 m.

Sensor satelit Landsat ETM memiliki 3 kanal yang merekam pada kisaran

panjang gelombang sinar tampak yaitu pada kanal 1 (450-520 nm), kanal 2

(530-610 nm) dan kanal 3 (630-690 nm). Informasi besarnya radiance/energi

yang terekam pada kanal-kanal tersebut dapat digunakan untuk memetakan

sebaran spasial klorofil-a perairan secara kuantitatif dan sebaran material

endapan terlarut secara kualitatif.

Untuk menghitung konsentrasi klorofil-a, digunakan persamaan matematis

yang diadaptasi dari Chuqun Chen (2003) dimana variable-nya adalah nilai

41Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

42Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 58: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

pixel pada kanal 1 (gelombang sinar tampak biru) dan kanal 3 (sinar tampak

merah). Berikut adalah rumus persamaan perhitungan klorofil-a:

Chl-a = 86.963*(TM3/TM1) - 24.283

Dimana TM3 dan TM1 adalah nilai pixel kanal 3 dan 1. Dengan rumus

persamaan ini, akurasi rata-rata untuk perairan pesisir di Teluk Daya China

adalah kurang dari 20% (Chuqun Chen, 2003). Nilai akurasi ini lebih kecil jika

dibandingkan dengan akurasi klorofil-a yang dapat diperoleh jika menggunakan

data SeaWiFS yaitu 35% (Hendiarti, 2004) dengan rumus persamaan khusus

untuk data SeaWiFS.Studi pengamatan kandungan klorofil-a di sekitar Pulau Jawa menggunakan

citra Landsat 7 ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2002. Gambar 2.11

menampilkan mosaik dari citra klorofil tersebut.Masing-masing tanggal akusisi citra tertera pada setiap citranya. Warna putih

adalah pulau dan warna ungu diatas pulau menunjukkan sungai. Pada

umumnya citra diakuisisi pada pertengahan hingga akhir tahun, yaitu sekitar

musim Timur.

Terlihat beberapa lokasi di pesisir yang menunjukkan nilai klorofil yang lebih

tinggi dari sekitarnya, misalnya di Jawa barat: sekitar Ujung Kulon sampai

Tanjung Karangtaraja dan sebelah utara di teluk Jakarta, di Jawa Tengah di

sebelah utara Rembang, Laguna Segara Anakan, sebelah selatan Karangbolong

Gambar 2.11 Mosaik citra Klorofil Pulau Jawa dan sekitarnya dari data satelit Landsat ETM 2002

29 Juni ‘02

28 Mei ‘02

23 Agus ‘02

6 Juli ‘0230 Agus ‘02

30 Agus ‘02

6 Sept ‘02

4 Juli ‘02

27 Juli ‘02

12 Agus ‘02

20 Sept ‘02

19 Agus ‘02

23 Juni ‘02

22 Mei ‘02

rendah tinggi

Gambar 2.12 Kiri: Citra klorofil-a menunjukkan sebaran klorofil-a pada 23 Juni 2002 di wilayahpesisir Kabupaten Serang; Abu-abu adalah daratan. Kanan: Citra single band kanal 2 (570 nm)

menunjukkan sebaran partikel anorganik (endapan terlarutTSM) secara kualitatif; sebaran dengankonsentrasi TSM yang relatif tinggi dijumpai pada perairan Teluk Banten.

Gambar 2.13 Desa Tengkurak dan Pedaleman yang terletak disebelah kanan kabupaten Serang.Terlihat di kawasan pesisir ini banyak kegiatan aqua kultur atau tambak. Di muara dua sungaiterlihat pola sebaran sedimen. Dan terlihat juga bahwa air di kedua sungai tersebut banyak

mengandung partikel seperti lumpur.

43Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

44Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 59: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

pixel pada kanal 1 (gelombang sinar tampak biru) dan kanal 3 (sinar tampak

merah). Berikut adalah rumus persamaan perhitungan klorofil-a:

Chl-a = 86.963*(TM3/TM1) - 24.283

Dimana TM3 dan TM1 adalah nilai pixel kanal 3 dan 1. Dengan rumus

persamaan ini, akurasi rata-rata untuk perairan pesisir di Teluk Daya China

adalah kurang dari 20% (Chuqun Chen, 2003). Nilai akurasi ini lebih kecil jika

dibandingkan dengan akurasi klorofil-a yang dapat diperoleh jika menggunakan

data SeaWiFS yaitu 35% (Hendiarti, 2004) dengan rumus persamaan khusus

untuk data SeaWiFS.Studi pengamatan kandungan klorofil-a di sekitar Pulau Jawa menggunakan

citra Landsat 7 ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2002. Gambar 2.11

menampilkan mosaik dari citra klorofil tersebut.Masing-masing tanggal akusisi citra tertera pada setiap citranya. Warna putih

adalah pulau dan warna ungu diatas pulau menunjukkan sungai. Pada

umumnya citra diakuisisi pada pertengahan hingga akhir tahun, yaitu sekitar

musim Timur.

Terlihat beberapa lokasi di pesisir yang menunjukkan nilai klorofil yang lebih

tinggi dari sekitarnya, misalnya di Jawa barat: sekitar Ujung Kulon sampai

Tanjung Karangtaraja dan sebelah utara di teluk Jakarta, di Jawa Tengah di

sebelah utara Rembang, Laguna Segara Anakan, sebelah selatan Karangbolong

Gambar 2.11 Mosaik citra Klorofil Pulau Jawa dan sekitarnya dari data satelit Landsat ETM 2002

29 Juni ‘02

28 Mei ‘02

23 Agus ‘02

6 Juli ‘0230 Agus ‘02

30 Agus ‘02

6 Sept ‘02

4 Juli ‘02

27 Juli ‘02

12 Agus ‘02

20 Sept ‘02

19 Agus ‘02

23 Juni ‘02

22 Mei ‘02

rendah tinggi

Gambar 2.12 Kiri: Citra klorofil-a menunjukkan sebaran klorofil-a pada 23 Juni 2002 di wilayahpesisir Kabupaten Serang; Abu-abu adalah daratan. Kanan: Citra single band kanal 2 (570 nm)

menunjukkan sebaran partikel anorganik (endapan terlarutTSM) secara kualitatif; sebaran dengankonsentrasi TSM yang relatif tinggi dijumpai pada perairan Teluk Banten.

Gambar 2.13 Desa Tengkurak dan Pedaleman yang terletak disebelah kanan kabupaten Serang.Terlihat di kawasan pesisir ini banyak kegiatan aqua kultur atau tambak. Di muara dua sungaiterlihat pola sebaran sedimen. Dan terlihat juga bahwa air di kedua sungai tersebut banyak

mengandung partikel seperti lumpur.

43Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

44Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 60: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dan Yogyakarta, di Jawa Timur: di Tanjung Pangkah hingga Pasuruan dan

Tanjung Panggang dekat Pulau Bali.

Tinjauan lebih rinci tentang sebaran klorofil dan TSM di perairan sekitar Teluk

Banten, ditujukan pada Gambar 2.12. Citra klorofil (kiri) memperlihatkan

sebaran klorofil-a dengan kisaran konsentrasi klorofil-a antara 11 dan

53mg/m3. Gambar 2.12 kanan Sebaran TSM dapat diperlihatkan secara

kualitatif dengan citra single band untuk kanal 2 (570 nm), yaitu gelombang

sinar tampak hijau, dimana citra tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi

sebaran partikel anorganik (endapan terlarut, TSM) secara kualitatif. Sebaran

partikel anorganik tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang relatif lebih

tinggi juga dijumpai pada pesisir Teluk Banten dan sekitarnya.Kedua parameter lingkungan, yaitu klorofil-a dan partikel endapan terlarut

dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekeruhan perairan, yang

selanjutnya hasil tersebut masih perlu diverifikasi dengan menggunakan data

pengukuran lapangan.

Untuk mengetahui pemicu tingginya kandungan partikel endapan terlarut dan

klorofil pada sekitar Desa Tangkurak dan Pedaleman (pesisir timur Provinsi

Banten). Hasil analisis tutupan lahan pesisir menunjukkan pada zona tersebut

terdapat banyak budidaya tambak (Gambar 2.13). Gambar 2.13 menampilkan

citra TERRA-ASTER dengan resolusi spasial 15 meter yang diakuisisi pada

tanggal 2 April 2004. Gambar ini ditampilkan menggunakan kombinasi RGB

dimana warna hijau menunjukkan tanaman/tumbuhan. Hal ini dilakukan

dengan menggunakan persamaan 3*(band1+band3)/4 pada warna hijau (G),

band 2 pada warna merah (R) dan band 1 pada warna biru (B).

DAFTAR PUSTAKAAllan T.D., 1992. The Marine Environment, International Journal of Remote

Sensing, 13 (6-7), hal. 1261-1276.Allan T.D., 1993. Satellite Microwave Remote Sensing, Ellis Horwood Ltd., UK,

526 hal.Chen, C., 2003. Satellite remotely-sensed technique and its application for

monitoring the environment in coastal water, Proceedings the Eleventh

Workshop of OMISAR (WOM-11) on the Application and Networking of

Satellite Data, hal. 11-1.Cracknell, A.P., 1997. AVHRR data applications. Ellis Horword Limited,

England, hal. 182-200.Dekker, A.G. and Hoogenboom H.J., 1997. Operational tools for remote

sensing of water quality: A prototype toolkit. BCSR report NRSP-2, hal. 96-

18.Edward J., 1999. Application of Satellite and Airborne Image Data to Coastal

Management, UNESCO, Paris.Farahidy, I., Hendiarti, N., Wooster, M., Patterson, G., 1996. Validating

remotely sensed estimates of sea surface temperature in support of

marine monitoring programmes in East Java waters. Proceeding of

Workshop on direct reception of satellite data for integrated and

sustainable environmental monitoring in Indonesia, hal. 3.1-3.12.Gordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for

interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 halaman.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian

Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany,

93 halaman.Hendiarti, N., 2003. Satelit Pemantau Fitoplankton. Tulisan di Inspirasi Kompas

Tanggal 27 November 2003.

Hendiarti, N., Frederik, M., Andiastuti, Retno A., 2006, Laporan analisis Data

ASTER dan Landsat ETM+ untuk Studi Tutupan Lahan Wilayah Pesisir,

Sebaran Klorofil-a dan Kekeruhan Perairan Kabupaten SerangHendiarti, N., Frederik, M., Sanjaya, H., Amri, K., Andiastuti, R., 2003.

Laporan Akhir, Pekerjaan Bidang Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh

Untuk Karakterisasi River Discharge Dan Kajian Awal Dampaknya Terhadap

Ekosistem Pesisir Sungai Siak Riau, Kerjasama Indonesia Jerman Untuk

Bidang Kelautan Dan Ilmu Kebumian, P3 TISDA - BPPT, Jakarta, 40

halaman.Hendiarti, N., Lestiana, H., 1999. Validation of SST images derived from

AVHRR of NOAA-12 in Sunda Strait. Proceeding of Workshop on validation

of remote sensing data for fisheries, Jakarta, hal. 3.8- 3.21.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal

processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research

Part II 51 (2004): 85-97.Hesselmans, G.H.F.M., Calkoen, C.J., Wensik, G.J., SAS, M., Trouw, K., 2000.

Monitoring changes to bathymetry and sediment transport regimes caused

by port development (MOCCASSIN), ARGOSS, 49 halaman.Hooker, S.B., Esaias, W., Feldman, E., Gregg, W.W. and McClain, C.R., 1992.

An overview of SeaWiFS and Ocean Color. NASA Tech. Memo 104566, Vol. 1,

edited by S.B. Hooker and E.R. Firestone, NASA Goddard Space Flight

Center, Greenbelt Maryland, 24 halaman. Jones, Ian S.F., Sugimori, Y., Stewart, RW, Kenkyusha, Seibutsu, 1993. Satellite

Remote Sensing of Oceanic Environment, Tokyo, Japan.Mark, R. A., Chelton, D. B., 1991. Advances in Passive Remote Sensing of the

Ocean, Rev. Geophys. Supplement, hal. 571-589.McMillin, L.M., Crosby, D.S., 1984. Theory and validation of the multiple

window sea surface temperature technique. J. Geophys Res (89): 3655-

3661.Nontji, A., 2006. Tiada Kehidupan di Bumi tanpa Keberadaan PLANKTON, LIPI,

Jakarta, 248 halaman.O'Reilly, J.E., and 24 Coauthors, 2000. SeaWiFS Postlaunch Calibration and

45Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

46Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 61: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

dan Yogyakarta, di Jawa Timur: di Tanjung Pangkah hingga Pasuruan dan

Tanjung Panggang dekat Pulau Bali.

Tinjauan lebih rinci tentang sebaran klorofil dan TSM di perairan sekitar Teluk

Banten, ditujukan pada Gambar 2.12. Citra klorofil (kiri) memperlihatkan

sebaran klorofil-a dengan kisaran konsentrasi klorofil-a antara 11 dan

53mg/m3. Gambar 2.12 kanan Sebaran TSM dapat diperlihatkan secara

kualitatif dengan citra single band untuk kanal 2 (570 nm), yaitu gelombang

sinar tampak hijau, dimana citra tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi

sebaran partikel anorganik (endapan terlarut, TSM) secara kualitatif. Sebaran

partikel anorganik tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi yang relatif lebih

tinggi juga dijumpai pada pesisir Teluk Banten dan sekitarnya.Kedua parameter lingkungan, yaitu klorofil-a dan partikel endapan terlarut

dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekeruhan perairan, yang

selanjutnya hasil tersebut masih perlu diverifikasi dengan menggunakan data

pengukuran lapangan.

Untuk mengetahui pemicu tingginya kandungan partikel endapan terlarut dan

klorofil pada sekitar Desa Tangkurak dan Pedaleman (pesisir timur Provinsi

Banten). Hasil analisis tutupan lahan pesisir menunjukkan pada zona tersebut

terdapat banyak budidaya tambak (Gambar 2.13). Gambar 2.13 menampilkan

citra TERRA-ASTER dengan resolusi spasial 15 meter yang diakuisisi pada

tanggal 2 April 2004. Gambar ini ditampilkan menggunakan kombinasi RGB

dimana warna hijau menunjukkan tanaman/tumbuhan. Hal ini dilakukan

dengan menggunakan persamaan 3*(band1+band3)/4 pada warna hijau (G),

band 2 pada warna merah (R) dan band 1 pada warna biru (B).

DAFTAR PUSTAKAAllan T.D., 1992. The Marine Environment, International Journal of Remote

Sensing, 13 (6-7), hal. 1261-1276.Allan T.D., 1993. Satellite Microwave Remote Sensing, Ellis Horwood Ltd., UK,

526 hal.Chen, C., 2003. Satellite remotely-sensed technique and its application for

monitoring the environment in coastal water, Proceedings the Eleventh

Workshop of OMISAR (WOM-11) on the Application and Networking of

Satellite Data, hal. 11-1.Cracknell, A.P., 1997. AVHRR data applications. Ellis Horword Limited,

England, hal. 182-200.Dekker, A.G. and Hoogenboom H.J., 1997. Operational tools for remote

sensing of water quality: A prototype toolkit. BCSR report NRSP-2, hal. 96-

18.Edward J., 1999. Application of Satellite and Airborne Image Data to Coastal

Management, UNESCO, Paris.Farahidy, I., Hendiarti, N., Wooster, M., Patterson, G., 1996. Validating

remotely sensed estimates of sea surface temperature in support of

marine monitoring programmes in East Java waters. Proceeding of

Workshop on direct reception of satellite data for integrated and

sustainable environmental monitoring in Indonesia, hal. 3.1-3.12.Gordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for

interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 halaman.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian

Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany,

93 halaman.Hendiarti, N., 2003. Satelit Pemantau Fitoplankton. Tulisan di Inspirasi Kompas

Tanggal 27 November 2003.

Hendiarti, N., Frederik, M., Andiastuti, Retno A., 2006, Laporan analisis Data

ASTER dan Landsat ETM+ untuk Studi Tutupan Lahan Wilayah Pesisir,

Sebaran Klorofil-a dan Kekeruhan Perairan Kabupaten SerangHendiarti, N., Frederik, M., Sanjaya, H., Amri, K., Andiastuti, R., 2003.

Laporan Akhir, Pekerjaan Bidang Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh

Untuk Karakterisasi River Discharge Dan Kajian Awal Dampaknya Terhadap

Ekosistem Pesisir Sungai Siak Riau, Kerjasama Indonesia Jerman Untuk

Bidang Kelautan Dan Ilmu Kebumian, P3 TISDA - BPPT, Jakarta, 40

halaman.Hendiarti, N., Lestiana, H., 1999. Validation of SST images derived from

AVHRR of NOAA-12 in Sunda Strait. Proceeding of Workshop on validation

of remote sensing data for fisheries, Jakarta, hal. 3.8- 3.21.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal

processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research

Part II 51 (2004): 85-97.Hesselmans, G.H.F.M., Calkoen, C.J., Wensik, G.J., SAS, M., Trouw, K., 2000.

Monitoring changes to bathymetry and sediment transport regimes caused

by port development (MOCCASSIN), ARGOSS, 49 halaman.Hooker, S.B., Esaias, W., Feldman, E., Gregg, W.W. and McClain, C.R., 1992.

An overview of SeaWiFS and Ocean Color. NASA Tech. Memo 104566, Vol. 1,

edited by S.B. Hooker and E.R. Firestone, NASA Goddard Space Flight

Center, Greenbelt Maryland, 24 halaman. Jones, Ian S.F., Sugimori, Y., Stewart, RW, Kenkyusha, Seibutsu, 1993. Satellite

Remote Sensing of Oceanic Environment, Tokyo, Japan.Mark, R. A., Chelton, D. B., 1991. Advances in Passive Remote Sensing of the

Ocean, Rev. Geophys. Supplement, hal. 571-589.McMillin, L.M., Crosby, D.S., 1984. Theory and validation of the multiple

window sea surface temperature technique. J. Geophys Res (89): 3655-

3661.Nontji, A., 2006. Tiada Kehidupan di Bumi tanpa Keberadaan PLANKTON, LIPI,

Jakarta, 248 halaman.O'Reilly, J.E., and 24 Coauthors, 2000. SeaWiFS Postlaunch Calibration and

45Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

46Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 62: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB IIIPenginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, M. Sadly

Potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Indonesia sampai saat ini

masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Dari 6.8 juta ton/tahun

potensi perikanan tangkap Indonesia, hampir 50%nya yaitu sebesar 3.2 juta

ton/tahun adalah potensi ikan pelagis dengan tingkat pemanfaatan 46.6%

sehingga masih ada peluang untuk dikembangkan terutama di wilayah perairan

Indonesia Timur (Tim fish stock nasional, 2001).

Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan nilai pemanfaatan

sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Salah satu caranya yaitu

dengan mengetahui daerah potensi penangkapan ikan pelagis melalui

penerapan teknologi penginderaan jauh, nelayan dapat lebih mengefektifkan

waktu berlayarnya, menghemat biaya dan dapat meningkatkan hasil

tangkapannya. Sejak tahun 1998, teknologi penginderaan jauh kelautan ini

telah diterapkan oleh instansi pemerintah terkait (BPPT: 1998-1999 sebagai

rintisan; LAPAN: 1999-sekarang; BRKP: 2000-sekarang) untuk deteksi zona

penangkapan ikan pelagis. Data satelit yang dipakai adalah citra suhu

permukaan laut, klorofil-a, tinggi muka laut, dan arus permukaan laut.

Informasi lokasi penangkapan ikan dihasilkan dengan cara identifikasi tidak

langsung. Data suhu permukaan laut dari satelit digunakan untuk

mengidentifikasi fenomena pengangkatan massa air (upwelling) ataupun

pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front). Data sebaran kandungan

klorofil-a perairan digunakan menjadi indikator tingkat kesuburan dan

kelimpahan makanan bagi ikan. Data tinggi muka laut digunakan untuk

mendeteksi arus dan menduga arah pergerakan kumpulan ikan pelagis.

Sejalan dengan terus berkembangnya teknologi penginderaan jauh kelautan,

diperlukan upaya untuk meningkatkan akurasi, inovasi, otomatisasi sistem dari

pemanfaatan teknologi tersebut. Pembangunan sistem informasi perikanan

tangkap terpadu yang juga memperhatikan faktor pemanfatan sumberdaya

ikan yang berkelanjutan juga sangat diperlukan.

Secara ilmiah diketahui bahwa perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem

pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi

antara musim. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke

arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang

dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut

Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat

(Wyrtki, K. 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan

terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Chlo

rop

hylla

(mg

/m3)

Selat SundaLaut Jawa

Pesisir S. IndiaSelat Bali

Bulan

25

26

27

28

29

30

31

32

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

SPL(C)

Selat SundaLaut Jawa

Pesisir S. IndiaSelat Bali

Gambar 3.1 (kiri) Citra klorofil dari data MODIS pada 24 Agustus 2004; (bawah) Perubahan rata-ratabulanan dari SPL dan klorofil dari data tahun 1997-2004. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton dipesisir Samudra India disebabkan oleh upwelling dijumpai pada bulan Juni-Oktober. Peningkatan

nilai SPL di Laut Jawa dan Selat Sunda mungkin disebabkan oleh banyaknya limpasan air sungai padamusim transisi (Maret-Mei). (Hendiarti dkk., 2005).

47Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

48Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 63: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB IIIPenginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap Nani Hendiarti, Fadli Syamsudin, M. Sadly

Potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Indonesia sampai saat ini

masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Dari 6.8 juta ton/tahun

potensi perikanan tangkap Indonesia, hampir 50%nya yaitu sebesar 3.2 juta

ton/tahun adalah potensi ikan pelagis dengan tingkat pemanfaatan 46.6%

sehingga masih ada peluang untuk dikembangkan terutama di wilayah perairan

Indonesia Timur (Tim fish stock nasional, 2001).

Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan nilai pemanfaatan

sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Salah satu caranya yaitu

dengan mengetahui daerah potensi penangkapan ikan pelagis melalui

penerapan teknologi penginderaan jauh, nelayan dapat lebih mengefektifkan

waktu berlayarnya, menghemat biaya dan dapat meningkatkan hasil

tangkapannya. Sejak tahun 1998, teknologi penginderaan jauh kelautan ini

telah diterapkan oleh instansi pemerintah terkait (BPPT: 1998-1999 sebagai

rintisan; LAPAN: 1999-sekarang; BRKP: 2000-sekarang) untuk deteksi zona

penangkapan ikan pelagis. Data satelit yang dipakai adalah citra suhu

permukaan laut, klorofil-a, tinggi muka laut, dan arus permukaan laut.

Informasi lokasi penangkapan ikan dihasilkan dengan cara identifikasi tidak

langsung. Data suhu permukaan laut dari satelit digunakan untuk

mengidentifikasi fenomena pengangkatan massa air (upwelling) ataupun

pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front). Data sebaran kandungan

klorofil-a perairan digunakan menjadi indikator tingkat kesuburan dan

kelimpahan makanan bagi ikan. Data tinggi muka laut digunakan untuk

mendeteksi arus dan menduga arah pergerakan kumpulan ikan pelagis.

Sejalan dengan terus berkembangnya teknologi penginderaan jauh kelautan,

diperlukan upaya untuk meningkatkan akurasi, inovasi, otomatisasi sistem dari

pemanfaatan teknologi tersebut. Pembangunan sistem informasi perikanan

tangkap terpadu yang juga memperhatikan faktor pemanfatan sumberdaya

ikan yang berkelanjutan juga sangat diperlukan.

Secara ilmiah diketahui bahwa perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem

pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi

antara musim. Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke

arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang

dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut

Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat

(Wyrtki, K. 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan

terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Chlo

rop

hylla

(mg

/m3)

Selat SundaLaut Jawa

Pesisir S. IndiaSelat Bali

Bulan

25

26

27

28

29

30

31

32

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

SPL(C)

Selat SundaLaut Jawa

Pesisir S. IndiaSelat Bali

Gambar 3.1 (kiri) Citra klorofil dari data MODIS pada 24 Agustus 2004; (bawah) Perubahan rata-ratabulanan dari SPL dan klorofil dari data tahun 1997-2004. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton dipesisir Samudra India disebabkan oleh upwelling dijumpai pada bulan Juni-Oktober. Peningkatan

nilai SPL di Laut Jawa dan Selat Sunda mungkin disebabkan oleh banyaknya limpasan air sungai padamusim transisi (Maret-Mei). (Hendiarti dkk., 2005).

47Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

48Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 64: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

tinggi rendahnya produktivitas perairan. Untuk itu, hubungan antara parameter lingkungan perairan yang dapat

dipantau dengan satelit penginderaan jauh dan keberadaan ikan perlu dikaji

secara lebih komprehesif. Berikut ini adalah contoh dari hasil kajian mengenai

korelasi antara variasi musiman dari sebaran kandungan klorofil-a dan

keberadaan ikan pelagis di perairan. Pengamatan citra satelit selama 8 tahun

menunjukkan bahwa fenomena laut yang terjadi di perairan sekitar Pulau Jawa

turut mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran kandungan klorofil-a

(fitoplankton), lihat gambar 3.1. di Samudra India sebelah selatan Pulau

Jawa, kandungan klorofil yang tinggi (> 0.3 mg/m3) dijumpai pada bulan Juli-

September dan relatif rendah pada bulan Januari-Maret. Kondisi ini terkait

dengan terjadinya fenomena upwelling di sepanjang pantai Selatan Jawa pada

bulan JuniSeptember. Pada saat itu, angin bertiup dari tenggara (Australia) dan

memacu terjadinya transport Ekman ke arah lepas pantai. Meningkatnya

densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan

makanan yang cukup untuk larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan

pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.

Kondisi serupa dijumpai di Selat Bali, dimana meningkatnya kandungan

klorofil-a perairan merupakan respon tidak langsung dari terjadinya fenoma

upwelling di perairan Selatan Jawa.

Keberadaan ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Sunda dipengaruhi oleh

fenomena pergerakan masa air (throughflow) yang juga berperan dalam

penyebaran ikan pelagis. Sebagai contoh di Selat Sunda, rata-rata jumlah

tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan mencapai puncaknya pada musim angin

timur (Juni September). Kondisi ini berkaitan dengan fenomena pergerakan

masa air Laut Jawa menuju Samudra Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan

dengan kandungan klorofil perairan dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda

dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit,

fenomena upwelling dan throughflow dapat terpantau dengan lebih akurat

sehingga lokasi penangkapan ikan dapat dipetakan dengan lebih tepat.

Aplikasi Praktis Satelit Oseanografi Untuk NelayanHal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah

memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang

ditampilkan. Apabila ditemukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek

citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi

yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil

citra.

Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang

direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila

dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi

apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini

diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang

terjadi di laut.

Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit

biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang

berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias

warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk

membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin.

Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit

dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin

oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan

awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif

lebih stabil. Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu

dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua

buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras

(convergence zone atau front) dan upwelling.

Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air

Gambar 3.2 Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dansekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan

GIS, P-TISDA, BPPT).

49Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

50Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 65: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

tinggi rendahnya produktivitas perairan. Untuk itu, hubungan antara parameter lingkungan perairan yang dapat

dipantau dengan satelit penginderaan jauh dan keberadaan ikan perlu dikaji

secara lebih komprehesif. Berikut ini adalah contoh dari hasil kajian mengenai

korelasi antara variasi musiman dari sebaran kandungan klorofil-a dan

keberadaan ikan pelagis di perairan. Pengamatan citra satelit selama 8 tahun

menunjukkan bahwa fenomena laut yang terjadi di perairan sekitar Pulau Jawa

turut mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran kandungan klorofil-a

(fitoplankton), lihat gambar 3.1. di Samudra India sebelah selatan Pulau

Jawa, kandungan klorofil yang tinggi (> 0.3 mg/m3) dijumpai pada bulan Juli-

September dan relatif rendah pada bulan Januari-Maret. Kondisi ini terkait

dengan terjadinya fenomena upwelling di sepanjang pantai Selatan Jawa pada

bulan JuniSeptember. Pada saat itu, angin bertiup dari tenggara (Australia) dan

memacu terjadinya transport Ekman ke arah lepas pantai. Meningkatnya

densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan

makanan yang cukup untuk larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan

pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.

Kondisi serupa dijumpai di Selat Bali, dimana meningkatnya kandungan

klorofil-a perairan merupakan respon tidak langsung dari terjadinya fenoma

upwelling di perairan Selatan Jawa.

Keberadaan ikan pelagis di Laut Jawa dan Selat Sunda dipengaruhi oleh

fenomena pergerakan masa air (throughflow) yang juga berperan dalam

penyebaran ikan pelagis. Sebagai contoh di Selat Sunda, rata-rata jumlah

tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan mencapai puncaknya pada musim angin

timur (Juni September). Kondisi ini berkaitan dengan fenomena pergerakan

masa air Laut Jawa menuju Samudra Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan

dengan kandungan klorofil perairan dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda

dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit,

fenomena upwelling dan throughflow dapat terpantau dengan lebih akurat

sehingga lokasi penangkapan ikan dapat dipetakan dengan lebih tepat.

Aplikasi Praktis Satelit Oseanografi Untuk NelayanHal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah

memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter yang

ditampilkan. Apabila ditemukan koordinat pada peta tidak sesuai dengan objek

citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk mengembalikannya pada posisi

yang benar. Secara visual cukup membuat sebangun antara peta bumi dan hasil

citra.

Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang

direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila

dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya terjadi

apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini

diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis proses fisik yang

terjadi di laut.

Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra satelit

biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah Indonesia yang

berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat intensif sehingga bias

warna pada pengolahan citra sangat mungkin terjadi. Terutama untuk

membedakannya dengan rekaman arus yang membawa massa air dingin.

Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra satelit

dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi massa air dingin

oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s) dibandingkan pergerakan

awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek citra massa air dingin relatif

lebih stabil. Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu

dilakukan sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua

buah arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras

(convergence zone atau front) dan upwelling.

Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa air

Gambar 3.2 Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni 2001 di Selat Sunda dansekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius (Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan

GIS, P-TISDA, BPPT).

49Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

50Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 66: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi

massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat

hara sebagai sumber makanan fitoplankton. Secara visual kelimpahan

fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh

kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau

kesuburan perairan.

Gambar 3.2 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni

2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius.

Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan

pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeastward)

sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur

bergerak ke arah baratlaut (Northwestward). Lingkaran ungu terjadi di

perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini

dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground). Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus

Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus

membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di

permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus

tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil

dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai

makanan.

Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan

mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan

dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh).

DAFTAR PUSTAKAPusat Riset Perikanan tangkap - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2001.

Laporan Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian , E., Amri , K., Andiastuti, RA, Sachoemar, SI,

Wahyono, IB, 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java,

Oceanography: The Indonesian Seas, Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.Wyrtki, K., 1961: Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA

report 2, Scripps Institute of Oceanography, California.

BAB IVPenginderaan Jauh untuk Pemetaan

Karakteristik Perairan Nani Hendiarti

Beberapa proses dapat menimbulkan keberadaan perairan tipe 2, yaitu karena

transpor alami dan material antropogenik dari daratan dan wilyah pesisir.

Tingkat konsentrasi sedimen tersuspensi yang tinggi dari dasar air dan limpasan

sungai serta tingginya terrigenous yellow substances yang sering ditimbulkan

dari aktivitas penduduk, seperti perkotaan dan pengembangan daerah industri

dapat berkontribusi dan mendominasi perairan tipe 2 secara optik (Gordon and

Morel, 1983). Gambar 2.16 memperlihatkan kedua kelas perairan berdasarkan

komposisi dari materi utama yang dikandung dalam air (Sathyendranath,

2000). Karena kondisi perairan tipe 2 lebih kompleks dari tipe 1, algoritma

ocean color yang biasanya berhasil diterapkan untuk perairan tipe 1, sering

tidak cocok untuk perairan tipe 2 (Hu dkk., 2000; Ruddick dkk., 2000). Untuk

Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang

diperoleh dari citra SeaWiFS dengan hasil pengukuran lapangan berkisar 0.65-

0.81 untuk perairan tipe 1 dan hanya 0.26-0.42 untuk perairan tipe 2

(Hendiarti, 2003). Untuk itu, perlu dikembang-kan algoritma lokal ocean acolor

untuk perairan tipe 2 / pesisir.

Perairan Indonesia memiliki karakter yang spesifik dan sangat dinamis, baik

dilihat secara ruang maupun waktu. Keragaman tipe perairan Indonesia banyak

disebabkan oleh proses fisis yang terjadi baik dalam skala regional maupun

lokal. Perubahan kondisi perairan dipengaruhi juga oleh adanya faktor iklim

musiman. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekosistem

pesisir dan laut termasuk sumberdaya hayati lautnya. Maka, penting adanya

upaya untuk memantau perubahan kondisi perairan. Metodologi klasifikasi tipe

perairan ini yang bermanfaat dalam pemantauan lingkungan perairan dilakukan

berdasarkan pada komposisi material yang dikandung oleh air.

Secara umum dalam studi penginderaan jauh, pengklasifikasian perairan ke

dalam tipe 1 dan 2 yang diperkenalkan oleh Morel and Prieur (1977) adalah

berdasarkan komposisi material dalam air, dan kemudian dikembangkan oleh

Gordon dan Morel (1983). Dalam air tipe 1 atau perairan laut

bebas/dalam/jernih, sifat optiknya didominasi dengan penyerapan dan

penyebaran radiasi oleh fitoplankton, turunannya dan air di sekitarnya. Tetapi

untuk air tipe 2 atau perairan pesisir/dangkal/keruh adalah lebih kompleks

dengan adanya material anorganik tersuspensi dan 'substansi kuning' (yellow

substances) serta fitoplankton dan detritus.

51Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

52Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 67: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi diisi

massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen dan zat

hara sebagai sumber makanan fitoplankton. Secara visual kelimpahan

fitoplankton dapat dilihat dari perairan sekitar pantai yang berwarna keruh

kehijauan. Tanda ini dapat dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau

kesuburan perairan.

Gambar 3.2 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tanggal. 28 Juni

2001 di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius.

Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan

pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeastward)

sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang pada Musim Timur

bergerak ke arah baratlaut (Northwestward). Lingkaran ungu terjadi di

perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan barat Sumatra. Kedua lokasi ini

dapat dijadikan barometer tempat penangkapan ikan (fishing ground). Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus

Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan arus

membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di

permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus

tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan kecil

dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam teori rantai

makanan.

Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar dengan

mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak ditemukan

dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai contoh).

DAFTAR PUSTAKAPusat Riset Perikanan tangkap - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2001.

Laporan Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian , E., Amri , K., Andiastuti, RA, Sachoemar, SI,

Wahyono, IB, 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java,

Oceanography: The Indonesian Seas, Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.Wyrtki, K., 1961: Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA

report 2, Scripps Institute of Oceanography, California.

BAB IVPenginderaan Jauh untuk Pemetaan

Karakteristik Perairan Nani Hendiarti

Beberapa proses dapat menimbulkan keberadaan perairan tipe 2, yaitu karena

transpor alami dan material antropogenik dari daratan dan wilyah pesisir.

Tingkat konsentrasi sedimen tersuspensi yang tinggi dari dasar air dan limpasan

sungai serta tingginya terrigenous yellow substances yang sering ditimbulkan

dari aktivitas penduduk, seperti perkotaan dan pengembangan daerah industri

dapat berkontribusi dan mendominasi perairan tipe 2 secara optik (Gordon and

Morel, 1983). Gambar 2.16 memperlihatkan kedua kelas perairan berdasarkan

komposisi dari materi utama yang dikandung dalam air (Sathyendranath,

2000). Karena kondisi perairan tipe 2 lebih kompleks dari tipe 1, algoritma

ocean color yang biasanya berhasil diterapkan untuk perairan tipe 1, sering

tidak cocok untuk perairan tipe 2 (Hu dkk., 2000; Ruddick dkk., 2000). Untuk

Perairan Indonesia, koefisien korelasi antara konsentrasi klorofil-a yang

diperoleh dari citra SeaWiFS dengan hasil pengukuran lapangan berkisar 0.65-

0.81 untuk perairan tipe 1 dan hanya 0.26-0.42 untuk perairan tipe 2

(Hendiarti, 2003). Untuk itu, perlu dikembang-kan algoritma lokal ocean acolor

untuk perairan tipe 2 / pesisir.

Perairan Indonesia memiliki karakter yang spesifik dan sangat dinamis, baik

dilihat secara ruang maupun waktu. Keragaman tipe perairan Indonesia banyak

disebabkan oleh proses fisis yang terjadi baik dalam skala regional maupun

lokal. Perubahan kondisi perairan dipengaruhi juga oleh adanya faktor iklim

musiman. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekosistem

pesisir dan laut termasuk sumberdaya hayati lautnya. Maka, penting adanya

upaya untuk memantau perubahan kondisi perairan. Metodologi klasifikasi tipe

perairan ini yang bermanfaat dalam pemantauan lingkungan perairan dilakukan

berdasarkan pada komposisi material yang dikandung oleh air.

Secara umum dalam studi penginderaan jauh, pengklasifikasian perairan ke

dalam tipe 1 dan 2 yang diperkenalkan oleh Morel and Prieur (1977) adalah

berdasarkan komposisi material dalam air, dan kemudian dikembangkan oleh

Gordon dan Morel (1983). Dalam air tipe 1 atau perairan laut

bebas/dalam/jernih, sifat optiknya didominasi dengan penyerapan dan

penyebaran radiasi oleh fitoplankton, turunannya dan air di sekitarnya. Tetapi

untuk air tipe 2 atau perairan pesisir/dangkal/keruh adalah lebih kompleks

dengan adanya material anorganik tersuspensi dan 'substansi kuning' (yellow

substances) serta fitoplankton dan detritus.

51Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

52Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 68: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 4.1.Diagram menampilkan komposisi perairan tipe (case) 1 dan 2 yang diadaptasi dari Prieurand Sathyendranath (1981) dalam Sathyendranath (2000).

Metoda yang diterapkan untuk deteksi tipe perairan adalah analisis terhadap

variasi perilaku spektral yang terukur berdasarkan komposisi material yang

dikandung oleh air (Siegel dan Brosin, 1986; Siegel dkk., 1997).

Gambar 4.2 memperlihatkan tipe perairan Selat Malaka dan sekitarnya dapat

dibedakan dengan warna perairan dan perilaku spektral (kurva) pada panjang

gelombang sinar tampak yang berbeda.

! Perairan Selat Malaka memiliki perilaku spektral yang serupa dengan air

Sungai Siak yang keruh dan berwarna coklat yang merupakan perairan

tipe 2. Perilaku spektral air Sungai Siak yang diplot dengan garis putus-

putus warna merah menunjukkan kandungan polutan material organik

dan anorganik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Malaka.

Besarnya penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material

organik dan inorganik menyebabkan turunnya besar energi pada panjang

gelombang pendek dan naiknya besar energi pada gelombang panjang.! Perairan Laut Cina Selatan memiliki perilaku spektral yang serupa

dengan Samudra India yang berwarna biru dan merupakan perairan tipe

1. Air Laut Cina Selatan memiliki kandungan fitoplankton yang lebih

tinggi, terlihat dengan adanya penurunan besarnya energi yang

dipantulkan pada panjang gelombang pendek.

! Perairan di Kepulauan Riau merupakan tipe 2 yang memiliki kandungan

partikel endapan terlarut yang sangat tinggi terlihat dengan

peningkatan besar energi pada gelombang panjang akibat

penghamburan oleh material anorganik.

Luasan perairan dengan karakter tipe 1 dan 2 dapat diketahui dengan

menerapkan metoda yang sangat sederhana yaitu dengan citra ocean color

komposit RGB (Red-Green-Blue). Teknik pengamatan ini dapat juga digunakan

untuk melihat perubahan pola sebaran yang spesifik dari tipe perairan yang

berbeda. Sebagai contoh, pengamatan tipe perairan di sekitar pulau Jawa

terpantau lebih beragam (Gambar 4.3). Pada musim angin timur, warna biru

untuk perairan Samudra India dan Selat Makasar bagian selatan yang diduga

merupakan bagian dari 'Arlindo' (dari Samudra Pasifik) merupakan tipe air laut

murni. Laut Jawa yang berwarna putih menggambarkan besarnya penyerapan

dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan anorganik, juga

Gambar 4.2. Beberapa tipe perairan (Selat Malaka yang relatif jernih; Sungai Siak yang keruh olehtingginya kandungan material polutan; perairan Kepulauan Riau yang keruh oleh endapan terlarut)

ditunjukkan dengan warna perairan dan kurva spektral yang berbeda.

53Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

54Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 69: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 4.1.Diagram menampilkan komposisi perairan tipe (case) 1 dan 2 yang diadaptasi dari Prieurand Sathyendranath (1981) dalam Sathyendranath (2000).

Metoda yang diterapkan untuk deteksi tipe perairan adalah analisis terhadap

variasi perilaku spektral yang terukur berdasarkan komposisi material yang

dikandung oleh air (Siegel dan Brosin, 1986; Siegel dkk., 1997).

Gambar 4.2 memperlihatkan tipe perairan Selat Malaka dan sekitarnya dapat

dibedakan dengan warna perairan dan perilaku spektral (kurva) pada panjang

gelombang sinar tampak yang berbeda.

! Perairan Selat Malaka memiliki perilaku spektral yang serupa dengan air

Sungai Siak yang keruh dan berwarna coklat yang merupakan perairan

tipe 2. Perilaku spektral air Sungai Siak yang diplot dengan garis putus-

putus warna merah menunjukkan kandungan polutan material organik

dan anorganik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Malaka.

Besarnya penyerapan dan penghamburan energi cahaya oleh material

organik dan inorganik menyebabkan turunnya besar energi pada panjang

gelombang pendek dan naiknya besar energi pada gelombang panjang.! Perairan Laut Cina Selatan memiliki perilaku spektral yang serupa

dengan Samudra India yang berwarna biru dan merupakan perairan tipe

1. Air Laut Cina Selatan memiliki kandungan fitoplankton yang lebih

tinggi, terlihat dengan adanya penurunan besarnya energi yang

dipantulkan pada panjang gelombang pendek.

! Perairan di Kepulauan Riau merupakan tipe 2 yang memiliki kandungan

partikel endapan terlarut yang sangat tinggi terlihat dengan

peningkatan besar energi pada gelombang panjang akibat

penghamburan oleh material anorganik.

Luasan perairan dengan karakter tipe 1 dan 2 dapat diketahui dengan

menerapkan metoda yang sangat sederhana yaitu dengan citra ocean color

komposit RGB (Red-Green-Blue). Teknik pengamatan ini dapat juga digunakan

untuk melihat perubahan pola sebaran yang spesifik dari tipe perairan yang

berbeda. Sebagai contoh, pengamatan tipe perairan di sekitar pulau Jawa

terpantau lebih beragam (Gambar 4.3). Pada musim angin timur, warna biru

untuk perairan Samudra India dan Selat Makasar bagian selatan yang diduga

merupakan bagian dari 'Arlindo' (dari Samudra Pasifik) merupakan tipe air laut

murni. Laut Jawa yang berwarna putih menggambarkan besarnya penyerapan

dan penghamburan energi cahaya oleh material organik dan anorganik, juga

Gambar 4.2. Beberapa tipe perairan (Selat Malaka yang relatif jernih; Sungai Siak yang keruh olehtingginya kandungan material polutan; perairan Kepulauan Riau yang keruh oleh endapan terlarut)

ditunjukkan dengan warna perairan dan kurva spektral yang berbeda.

53Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

54Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 70: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

terlihat dipengaruhi oleh Arlindo. Fenomena upwelling di perairan Selatan

Jawa dan Selat Sunda yang memiliki kandungan fitoplankton yang tinggi

MODIS RGB 28.07.2003

Gambar 4.3 Produk dari data Aqua MODIS pada 28 Juli 2003: Citra komposit RGB (551-531-443 nm).Tipe perairan ditunjukkan dengan warna perairan pada citra yang berbeda. Abu-abu adalah

daratan, dan hitam adalah awan. Perairan laut jernih yang berwarna biru: Samudra India danSelat Makasar bagian selatan yang diduga bagian dari 'Arlindo' (Samudra Pasifik). Warna

kecoklatan menunjukkan perairan dengan fenomena upwelling. Perairan Laut Jawa yang berwarnaputih merupakan perairan tipe 2 dengan kandungan material organik dan anorganik yang tinggi.

Gambar 4.4 Produk dari data SeaWiFS pada 19 September 1999. Kiri: Citra komposit RGB(555, 510, 443 nm); kanan: variasi kandungan klorofil dan TSM dari beberapa tipe perairan

yang dijumpai di perairan Selat Sunda dan sekitarnya. Warna hitam adalah awan, dan abu-abuadalah daratan. (Hendiarti dkk., 2002)

teridentifikasi dengan warna merah kecoklatan. Komposisi dari kandungan material organik (klorofil) dan anorganik (endapan

tersuspensi) yang dimiliki oleh masing-masing tipe perairan dapat diketahui,

seperti pengamatan yang dilakukan untuk perairan Selat Sunda dan sekitarnya

(Hendiarti dkk., 2002), lihat Gambar 4.4.

Data penginderaan jauh telah terbukti dapat digunakan untuk pengamatan

klasifikasi tipe perairan. Tipe perairan laut jernih dan pesisir keruh sangat

mudah untuk dibedakan. Teknik pengamatan ini akan bermanfaat khususnya

untuk pemantauan kondisi lingkungan perairan pesisir. Namun demikian,

dukungan data pengukuran lapangan akan sangat membantu dalam

menjabarkan karakteristik tipe perairan tersebut secara lebih rinci.

DAFTAR PUSTAKAGordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for

interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 hal.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2002. Distinction of different water masses

in and around the Sunda Strait: satellite observations and in-situ

measurements. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing

Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 674-679.Hu, C., Carder, K.L., and Muller-Karger, F.E., 2000. Atmospheric Correction of

SeaWiFS Imagery over Turbid Coastal Waters: A Practical Method, Remote

Sensing of Environment, 74, 195-206.Morel, A., Prieur, L., 1977. Analysis of variations in ocean color. Limnol.

Oceanogr. 22(4), 709-722.Ruddick, K.G., Ovidio, F., and Rijkeboer, M., 2000. Atmospheric correction of

SeaWiFS imagery for turbid coastal and inland waters. Applied Optics, Vol.

39, No. 6, 897-912.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other

optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., H.J. Brosin, 1986. Regional differences in the spectral reflectance

of sea water. Beitr. Meereskd., 55, 71-77. Siegel, H., M. Gerth, M. Beckert, 1997. Variation of specific optical properties

and their influence on measured and modelled spectral reflectances in

the Baltic Sea. In Ocean Optics XIII, S.G. Ackleson, R. Frouin, Editors,

Proc. SPIE 2963, 526-531.

55Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

56Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 71: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

terlihat dipengaruhi oleh Arlindo. Fenomena upwelling di perairan Selatan

Jawa dan Selat Sunda yang memiliki kandungan fitoplankton yang tinggi

MODIS RGB 28.07.2003

Gambar 4.3 Produk dari data Aqua MODIS pada 28 Juli 2003: Citra komposit RGB (551-531-443 nm).Tipe perairan ditunjukkan dengan warna perairan pada citra yang berbeda. Abu-abu adalah

daratan, dan hitam adalah awan. Perairan laut jernih yang berwarna biru: Samudra India danSelat Makasar bagian selatan yang diduga bagian dari 'Arlindo' (Samudra Pasifik). Warna

kecoklatan menunjukkan perairan dengan fenomena upwelling. Perairan Laut Jawa yang berwarnaputih merupakan perairan tipe 2 dengan kandungan material organik dan anorganik yang tinggi.

Gambar 4.4 Produk dari data SeaWiFS pada 19 September 1999. Kiri: Citra komposit RGB(555, 510, 443 nm); kanan: variasi kandungan klorofil dan TSM dari beberapa tipe perairan

yang dijumpai di perairan Selat Sunda dan sekitarnya. Warna hitam adalah awan, dan abu-abuadalah daratan. (Hendiarti dkk., 2002)

teridentifikasi dengan warna merah kecoklatan. Komposisi dari kandungan material organik (klorofil) dan anorganik (endapan

tersuspensi) yang dimiliki oleh masing-masing tipe perairan dapat diketahui,

seperti pengamatan yang dilakukan untuk perairan Selat Sunda dan sekitarnya

(Hendiarti dkk., 2002), lihat Gambar 4.4.

Data penginderaan jauh telah terbukti dapat digunakan untuk pengamatan

klasifikasi tipe perairan. Tipe perairan laut jernih dan pesisir keruh sangat

mudah untuk dibedakan. Teknik pengamatan ini akan bermanfaat khususnya

untuk pemantauan kondisi lingkungan perairan pesisir. Namun demikian,

dukungan data pengukuran lapangan akan sangat membantu dalam

menjabarkan karakteristik tipe perairan tersebut secara lebih rinci.

DAFTAR PUSTAKAGordon, H. R., and Morel, A.Y., 1983. Remote assessment of ocean colour for

interpretation of satellite visible imagery. Springer-verlag, 114 hal.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2002. Distinction of different water masses

in and around the Sunda Strait: satellite observations and in-situ

measurements. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing

Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 674-679.Hu, C., Carder, K.L., and Muller-Karger, F.E., 2000. Atmospheric Correction of

SeaWiFS Imagery over Turbid Coastal Waters: A Practical Method, Remote

Sensing of Environment, 74, 195-206.Morel, A., Prieur, L., 1977. Analysis of variations in ocean color. Limnol.

Oceanogr. 22(4), 709-722.Ruddick, K.G., Ovidio, F., and Rijkeboer, M., 2000. Atmospheric correction of

SeaWiFS imagery for turbid coastal and inland waters. Applied Optics, Vol.

39, No. 6, 897-912.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other

optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., H.J. Brosin, 1986. Regional differences in the spectral reflectance

of sea water. Beitr. Meereskd., 55, 71-77. Siegel, H., M. Gerth, M. Beckert, 1997. Variation of specific optical properties

and their influence on measured and modelled spectral reflectances in

the Baltic Sea. In Ocean Optics XIII, S.G. Ackleson, R. Frouin, Editors,

Proc. SPIE 2963, 526-531.

55Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

56Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 72: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VPenginderaan Jauh untuk Pemantauan

Fenomena Laut Dan PesisirNani Hendiarti, Frederik, MCG, Ambarini, RA

Satelit penginderaan jauh merupakan alat yang cocok untuk mengkaji proses

pesisir dan kelautan secara global, regional, dan skala lokal. Data satelit di

panjang gelombang tampak dan infra merah dengan resolusi spasial berbeda

telah digunakan dalam berbagai topik penelitian kelautan, seperti: observasi

proses dinamika laut dan pesisir, yaitu upwelling dan eddies (Solanki dkk.,

2001, Hendiarti dkk., 2004), algae bloom (Sathyendranath, 2000), limpasan

sungai dan pesisir (Siegel dkk., 1996; Hardman-mountford, 2000), dan

penelitian perikanan (Liu dkk., 2002). Citra ini diinterpretasi berdasarkan fitur

fisik yang dipengaruhi oleh proses-proses dinamik, dan karakteristik biologi

dari kandungan fitoplankton laut. Di perairan Indonesia, aplikasi satelit

penginderaan jauh dimulai dengan penggunaan suhu permukaan laut.

Selanjutnya, data satelit ocean color memberikan perspektif baru dalam

penelitian ini walaupun memiliki kendala mengenai tutupan awannya yang

tinggi terutama pada perioda musim hujan.

Pendekatan umum dari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk

pengamatan fenomena laut dan pesisir dapat dilihat pada Gambar 5.1. Metode

penelitian ini memperlihatkan juga hubungan antara metodologi pengamatan

dan aplikasinya. Kesemuanya memberikan kontribusi pada aplikasi data satelit

untuk meneliti proses oseanografi yang spesifik. Dalam hal ini, proses

dinamika laut Indonesia yang utama yaitu upwelling dan arus lintas Indonesia

(Arlindo) dapat diamati perubahannya dalam perioda mingguan-bulanan

menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk skala regional dengan

resolusi spasial <= 1 km. Pemantauan fenomena laut tersebut dapat

dimanfaatkan untuk aplikasi dalam bidang perikanan. Sedangkan proses

dinamika pesisir yang memberikan dampak langsung terhadap perkembangan

ekosistem pesisir yaitu pelimpasan material daratan (coastal discharge), baik

yang berasal dari sungai maupun lahan basah seperti tambak dan aktifitas

pertanian, dapat diamati perubahannya dalam perioda harian-mingguan

dengan menggunakan data satelit untuk skala semi-lokal dan lokal dengan

resolusi spasial > 1 km (resolusi 0.25-1 km untuk data open source hingga 3-30

m untuk data komersial). Pengamatan terhadap dinamika pelimpasan material

daratan tersebut bermanfaat untuk aplikasi dalam bidang lingkungan perairan

pesisir dan laut. Melalui pendekatan ini, pengamatan proses secara individu

dapat dilakukan secara lebih tepat baik dari tinjauan ruang maupun waktu.

Dalam dekade mendatang, selain fokus pada peningkatan kajian terapan

teknologi tersebut, diharapkan dapat ditingkatkan juga kegiatan riset dalam

aspek pengembangan metodologi pemantauan terutama untuk optimasi produk

satelit kelautan. Kegiatan optimasi ini meliputi validasi citra sebaran

kandungan material (organik dan anorganik) dalam air untuk tipe perairan yang

berbeda. Oleh sebab itu, klasifikasi tipe perairan perlu dilakukan untuk

membuat strategi pemantauan termasuk dalam menentukan lokasi stasiun

validasi. Berikut adalah penjabaran lebih rinci untuk karakterisasi dan pemantauan

fenomena upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan yang merupakan

bagian dari 'Arlindo' dan limpasan material dari daratan pesisir. Selain itu,

dikaji pula mengenai pengaruh fenomena laut tersebut terhadap pertumbuhan

fitoplankton dan distribusi ikan pelagis. Penelitian difokuskan di perairan

sekitar Pulau Jawa. Samudra Hindia, terutama sepanjang pesisir selatan Pulau

Gambar 5.1 Skema pendekatan umum untuk pengamatan fenomena laut dan pesisir.

57Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

58Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 73: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VPenginderaan Jauh untuk Pemantauan

Fenomena Laut Dan PesisirNani Hendiarti, Frederik, MCG, Ambarini, RA

Satelit penginderaan jauh merupakan alat yang cocok untuk mengkaji proses

pesisir dan kelautan secara global, regional, dan skala lokal. Data satelit di

panjang gelombang tampak dan infra merah dengan resolusi spasial berbeda

telah digunakan dalam berbagai topik penelitian kelautan, seperti: observasi

proses dinamika laut dan pesisir, yaitu upwelling dan eddies (Solanki dkk.,

2001, Hendiarti dkk., 2004), algae bloom (Sathyendranath, 2000), limpasan

sungai dan pesisir (Siegel dkk., 1996; Hardman-mountford, 2000), dan

penelitian perikanan (Liu dkk., 2002). Citra ini diinterpretasi berdasarkan fitur

fisik yang dipengaruhi oleh proses-proses dinamik, dan karakteristik biologi

dari kandungan fitoplankton laut. Di perairan Indonesia, aplikasi satelit

penginderaan jauh dimulai dengan penggunaan suhu permukaan laut.

Selanjutnya, data satelit ocean color memberikan perspektif baru dalam

penelitian ini walaupun memiliki kendala mengenai tutupan awannya yang

tinggi terutama pada perioda musim hujan.

Pendekatan umum dari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk

pengamatan fenomena laut dan pesisir dapat dilihat pada Gambar 5.1. Metode

penelitian ini memperlihatkan juga hubungan antara metodologi pengamatan

dan aplikasinya. Kesemuanya memberikan kontribusi pada aplikasi data satelit

untuk meneliti proses oseanografi yang spesifik. Dalam hal ini, proses

dinamika laut Indonesia yang utama yaitu upwelling dan arus lintas Indonesia

(Arlindo) dapat diamati perubahannya dalam perioda mingguan-bulanan

menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk skala regional dengan

resolusi spasial <= 1 km. Pemantauan fenomena laut tersebut dapat

dimanfaatkan untuk aplikasi dalam bidang perikanan. Sedangkan proses

dinamika pesisir yang memberikan dampak langsung terhadap perkembangan

ekosistem pesisir yaitu pelimpasan material daratan (coastal discharge), baik

yang berasal dari sungai maupun lahan basah seperti tambak dan aktifitas

pertanian, dapat diamati perubahannya dalam perioda harian-mingguan

dengan menggunakan data satelit untuk skala semi-lokal dan lokal dengan

resolusi spasial > 1 km (resolusi 0.25-1 km untuk data open source hingga 3-30

m untuk data komersial). Pengamatan terhadap dinamika pelimpasan material

daratan tersebut bermanfaat untuk aplikasi dalam bidang lingkungan perairan

pesisir dan laut. Melalui pendekatan ini, pengamatan proses secara individu

dapat dilakukan secara lebih tepat baik dari tinjauan ruang maupun waktu.

Dalam dekade mendatang, selain fokus pada peningkatan kajian terapan

teknologi tersebut, diharapkan dapat ditingkatkan juga kegiatan riset dalam

aspek pengembangan metodologi pemantauan terutama untuk optimasi produk

satelit kelautan. Kegiatan optimasi ini meliputi validasi citra sebaran

kandungan material (organik dan anorganik) dalam air untuk tipe perairan yang

berbeda. Oleh sebab itu, klasifikasi tipe perairan perlu dilakukan untuk

membuat strategi pemantauan termasuk dalam menentukan lokasi stasiun

validasi. Berikut adalah penjabaran lebih rinci untuk karakterisasi dan pemantauan

fenomena upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan yang merupakan

bagian dari 'Arlindo' dan limpasan material dari daratan pesisir. Selain itu,

dikaji pula mengenai pengaruh fenomena laut tersebut terhadap pertumbuhan

fitoplankton dan distribusi ikan pelagis. Penelitian difokuskan di perairan

sekitar Pulau Jawa. Samudra Hindia, terutama sepanjang pesisir selatan Pulau

Gambar 5.1 Skema pendekatan umum untuk pengamatan fenomena laut dan pesisir.

57Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

58Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 74: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Jawa, dipelajari karena adanya upwelling. Selat Sunda dan Selat Lombok

merupakan tempat studi yang baik mengenai pergerakan masa air dekat

permukaan yang juga merupakan dampak dari sistem iklim musiman dan

fenomena 'Arlindo'. Laut Jawa memiliki karakteristik perairan laut dangkal (<

200m) dan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh fenomena limpasan material

daratan pesisir dan 'Arlindo'.

Dalam kajian proses yang terjadi di pesisir dan perairan laut berikut ini,

aplikasi dari data satelit ocean color dikombinasikan dengan data SPL dan data

lapangan. Keberadaan upwelling, limpasan pesisir dan arus lintas di perairan

sekitar Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan data satelit SeaWiFS LAC

dan GAC, MODIS-Aqua LAC dan GAC, NOAA-AVHRR LAC yang diakuisisi pada

bulan September 1997 hingga Desember 2005.

UpwellingFenomena upwelling yaitu proses naiknya masa air yang lebih dingin dan kaya

akan zat hara dari kedalaman tertentu ke zona dekat permukaan dimana

Gambar 5.2 Atas: Zona upwelling ditunjukkan dengan citra satelit klorofil (warna merah) danSPL (warna biru); Bawah: pertumbuhan upwelling (arsir hitam) berbeda dalam perioda Tahun

2000 dan 2001.

(mW cm-2 um-1 sr-1)

14

19

nLw-555

Jawa

Sumatra

Months

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

nLw

-555

nm

(mW

cm-2m

-1sr

-1)

Station 19Station 14

J F M A M J J A S O N D

Laut Jawa

Mixed water

cahaya matahari masih dapat menembus, sehingga fitoplankton dapat tumbuh

dan berkembang dengan baik. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada

perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup untuk

larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti

tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.

oPerairan upwelling dicirikan dengan nilai SPL di bawah 28 C dan diikuti dengan

naiknya kandungan klorofil-a (0.6 - 2.0 mg/m3). Melalui analisis citra klorofil

dan SPL, di tahun rata-rata, fenomena upwelling terjadi di sepanjang pantai

Selatan Pulau Jawa pada musim Timur (Juni-September). Pada saat itu, angin

bertiup dari tenggara (Australia) dan memacu terjadinya transport Ekman ke

arah lepas pantai. Pada bulan September menunjukkan sebaran upwelling lebih

besar dari bulan lainnya. Luasan daerah upwelling bervariasi setiap tahunnya,

seperti ditunjukkan pada Gambar 5.2. Sementara itu, jumlah tangkapan ikan

pelagis dari TPI Banyuwangi yang tinggi dijumpai pada perioda terjadinya

upwelling yaitu pada triwulan ke-3 (Juni - September).

Pergerakan Masa AirFenomena pergerakan masa air (throughflow) yang disebabkan oleh perubahan

iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran ikan pelagis. Di

perairan Selat Sunda, rata-rata jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan

mencapai puncaknya pada musim angin timur (Juni September). Kondisi ini

Gambar 5.3 Kiri: Citra nLw 555 nm pada bulan Juli 2001, (b) Variasi bulanan nilai nLw 555 nmyang menggambarkan perioda pergerakan masa air dari Laut Jawa menuju Samudra India lewat

Selat Sunda terutama terjadi pada bulan Juni-Agustus.

59Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

60Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 75: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Jawa, dipelajari karena adanya upwelling. Selat Sunda dan Selat Lombok

merupakan tempat studi yang baik mengenai pergerakan masa air dekat

permukaan yang juga merupakan dampak dari sistem iklim musiman dan

fenomena 'Arlindo'. Laut Jawa memiliki karakteristik perairan laut dangkal (<

200m) dan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh fenomena limpasan material

daratan pesisir dan 'Arlindo'.

Dalam kajian proses yang terjadi di pesisir dan perairan laut berikut ini,

aplikasi dari data satelit ocean color dikombinasikan dengan data SPL dan data

lapangan. Keberadaan upwelling, limpasan pesisir dan arus lintas di perairan

sekitar Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan data satelit SeaWiFS LAC

dan GAC, MODIS-Aqua LAC dan GAC, NOAA-AVHRR LAC yang diakuisisi pada

bulan September 1997 hingga Desember 2005.

UpwellingFenomena upwelling yaitu proses naiknya masa air yang lebih dingin dan kaya

akan zat hara dari kedalaman tertentu ke zona dekat permukaan dimana

Gambar 5.2 Atas: Zona upwelling ditunjukkan dengan citra satelit klorofil (warna merah) danSPL (warna biru); Bawah: pertumbuhan upwelling (arsir hitam) berbeda dalam perioda Tahun

2000 dan 2001.

(mW cm-2 um-1 sr-1)

14

19

nLw-555

Jawa

Sumatra

Months

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

nLw

-555

nm

(mW

cm-2m

-1sr

-1)

Station 19Station 14

J F M A M J J A S O N D

Laut Jawa

Mixed water

cahaya matahari masih dapat menembus, sehingga fitoplankton dapat tumbuh

dan berkembang dengan baik. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada

perairan upwelling disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup untuk

larva dan ikan-ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti

tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling.

oPerairan upwelling dicirikan dengan nilai SPL di bawah 28 C dan diikuti dengan

naiknya kandungan klorofil-a (0.6 - 2.0 mg/m3). Melalui analisis citra klorofil

dan SPL, di tahun rata-rata, fenomena upwelling terjadi di sepanjang pantai

Selatan Pulau Jawa pada musim Timur (Juni-September). Pada saat itu, angin

bertiup dari tenggara (Australia) dan memacu terjadinya transport Ekman ke

arah lepas pantai. Pada bulan September menunjukkan sebaran upwelling lebih

besar dari bulan lainnya. Luasan daerah upwelling bervariasi setiap tahunnya,

seperti ditunjukkan pada Gambar 5.2. Sementara itu, jumlah tangkapan ikan

pelagis dari TPI Banyuwangi yang tinggi dijumpai pada perioda terjadinya

upwelling yaitu pada triwulan ke-3 (Juni - September).

Pergerakan Masa AirFenomena pergerakan masa air (throughflow) yang disebabkan oleh perubahan

iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran ikan pelagis. Di

perairan Selat Sunda, rata-rata jumlah tangkapan ikan pelagis dari TPI Labuan

mencapai puncaknya pada musim angin timur (Juni September). Kondisi ini

Gambar 5.3 Kiri: Citra nLw 555 nm pada bulan Juli 2001, (b) Variasi bulanan nilai nLw 555 nmyang menggambarkan perioda pergerakan masa air dari Laut Jawa menuju Samudra India lewat

Selat Sunda terutama terjadi pada bulan Juni-Agustus.

59Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

60Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 76: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

berkaitan dengan fenomena pergerakan masa air Laut Jawa menuju Samudra

Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan dengan kandungan klorofil perairan

dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda (di atas 29.5C dan 0.8 mg/m3)

dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit ocean

color, fenomena upwelling dan throughflow di Selat Sunda dapat terpantau

dengan lebih akurat. Gambar 5.3 memperlihatkan transport masa air dekat

permukaan dari Laut Jawa menuju Samudra India melalui Selat Sunda terjadi

pada bulan Juni-Agustus. Keberadaan masa air Laut Jawa di Selat Sunda

dicirikan dengan nilai reflektansi cahaya yang tinggi (>1 mW cm-2 m-1 sr-1)

karena tingginya hamburan cahaya oleh material anorganik pada pada panjang

gelombang 555 nm. Material tersebut bisa berasal dari fenomena limpasan

daratan.

Pelimpasan Material Daratan (Kasus: Teluk Jakarta)

Gambar 5.4 (a) Citra Landsat TM RGB 3 Agustus 2002 dengan resolusi spasial 30 m.;(b) Variasi bulanan konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta dan Laut Jawa pada periodapengamatan 1999-2002; (c-d) Peta sebaran klorofil dan TSM dari data Aqua MODIS 24

September 2005; (e-f) Kelimpahan fitoplankton dari pengukuran lapangan di CBL dan Cisadane.

Proses pelepasan material yang beragam dari pantai ke laut merupakan

fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air dan

dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan ekosistem pesisir serta potensi

sumberdaya perikanan laut, seperti yang terjadi di perairan Teluk Jakarta.

Dengan mengetahui pola penyebaran limpasan tersebut, upaya antisipasi dapat

lebih difokuskan pada perioda musim rawan dimana dampaknya terjadi pada

wilayah perairan yang lebih luas.

Perubahan warna air laut yang dijumpai di Teluk Jakarta dan dapat

mengakibatkan kematian massal ikan seperti yang terjadi pada pertengahan

Kisaran Nilai Parameter

CBL (permukaan) Cisadane (permukaan) Unit

Amonia (NH3-N) 0.025 – 0.089 0.026 – 0.318 mg/L

Nitrit (NO2-N) 0.009 – 0.042 <0.0002 – 0.055 mg/L

Nitrat (NO3) 0.916 – 1.028 <0.0005 – 2.511 mg/L

Orthophosphat <0.001 – 0.028 <0.001 – 0.052 mg/L

Silikat 41.62 – 23.863 3.346 – 53.303 mg/L

Klorofil-a 10.17 – 15.78 4.48 – 14.22 mg/m3

Fitoplankton Kelimpahan : 76.071.885

Kelimpahan : 840.719.330

individu/m3

Spesies Fito-

Diatom: Bacillario-phyceae (8 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (2 sp.)

Diatom: Bacillario- phyceae (9 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (1 sp.)

Zooplankton Kelimpahan : 251.570

Kelimpahan : 1.590.294

individu/m3

Spesies Zoo-

Protozoa : 2 sp. Rotifera : 1 sp. Copepoda : 2 sp.

Rotifera : 1 sp. Copepoda : 3 sp. Copelata : 1 sp. Polycaheta : 1 sp.

TSS 18.27 – 24.22 16.76 – 49.42 mg/l

Salinity 28.75 – 30.25 30 PSU

SST 30 – 31 30 – 32.9 der C

Kecerahan 30 - 130 cm

DO 5.17 – 6.26 3.37 – 7.82 ml/L PH 7.5 – 7.95 6.88 - 8

Warna Air VI / Hijau XVII / Coklat Muda

Tabel 5.1 Kualitas perairan di stasiun pengamatan.

61Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

62Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 77: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

berkaitan dengan fenomena pergerakan masa air Laut Jawa menuju Samudra

Hindia melalui Selat Sunda, yang dicirikan dengan kandungan klorofil perairan

dan SPL yang relatif tinggi di Selat Sunda (di atas 29.5C dan 0.8 mg/m3)

dibandingkan dengan Samudra Hindia. Dengan menggunakan data satelit ocean

color, fenomena upwelling dan throughflow di Selat Sunda dapat terpantau

dengan lebih akurat. Gambar 5.3 memperlihatkan transport masa air dekat

permukaan dari Laut Jawa menuju Samudra India melalui Selat Sunda terjadi

pada bulan Juni-Agustus. Keberadaan masa air Laut Jawa di Selat Sunda

dicirikan dengan nilai reflektansi cahaya yang tinggi (>1 mW cm-2 m-1 sr-1)

karena tingginya hamburan cahaya oleh material anorganik pada pada panjang

gelombang 555 nm. Material tersebut bisa berasal dari fenomena limpasan

daratan.

Pelimpasan Material Daratan (Kasus: Teluk Jakarta)

Gambar 5.4 (a) Citra Landsat TM RGB 3 Agustus 2002 dengan resolusi spasial 30 m.;(b) Variasi bulanan konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta dan Laut Jawa pada periodapengamatan 1999-2002; (c-d) Peta sebaran klorofil dan TSM dari data Aqua MODIS 24

September 2005; (e-f) Kelimpahan fitoplankton dari pengukuran lapangan di CBL dan Cisadane.

Proses pelepasan material yang beragam dari pantai ke laut merupakan

fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air dan

dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan ekosistem pesisir serta potensi

sumberdaya perikanan laut, seperti yang terjadi di perairan Teluk Jakarta.

Dengan mengetahui pola penyebaran limpasan tersebut, upaya antisipasi dapat

lebih difokuskan pada perioda musim rawan dimana dampaknya terjadi pada

wilayah perairan yang lebih luas.

Perubahan warna air laut yang dijumpai di Teluk Jakarta dan dapat

mengakibatkan kematian massal ikan seperti yang terjadi pada pertengahan

Kisaran Nilai Parameter

CBL (permukaan) Cisadane (permukaan) Unit

Amonia (NH3-N) 0.025 – 0.089 0.026 – 0.318 mg/L

Nitrit (NO2-N) 0.009 – 0.042 <0.0002 – 0.055 mg/L

Nitrat (NO3) 0.916 – 1.028 <0.0005 – 2.511 mg/L

Orthophosphat <0.001 – 0.028 <0.001 – 0.052 mg/L

Silikat 41.62 – 23.863 3.346 – 53.303 mg/L

Klorofil-a 10.17 – 15.78 4.48 – 14.22 mg/m3

Fitoplankton Kelimpahan : 76.071.885

Kelimpahan : 840.719.330

individu/m3

Spesies Fito-

Diatom: Bacillario-phyceae (8 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (2 sp.)

Diatom: Bacillario- phyceae (9 sp.) Non Diatom : Cyanophyceae (1 sp.) Dinophyceae (1 sp.)

Zooplankton Kelimpahan : 251.570

Kelimpahan : 1.590.294

individu/m3

Spesies Zoo-

Protozoa : 2 sp. Rotifera : 1 sp. Copepoda : 2 sp.

Rotifera : 1 sp. Copepoda : 3 sp. Copelata : 1 sp. Polycaheta : 1 sp.

TSS 18.27 – 24.22 16.76 – 49.42 mg/l

Salinity 28.75 – 30.25 30 PSU

SST 30 – 31 30 – 32.9 der C

Kecerahan 30 - 130 cm

DO 5.17 – 6.26 3.37 – 7.82 ml/L PH 7.5 – 7.95 6.88 - 8

Warna Air VI / Hijau XVII / Coklat Muda

Tabel 5.1 Kualitas perairan di stasiun pengamatan.

61Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

62Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 78: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Mei 2004 (Kompas, 2004) diduga antara lain dipicu oleh pelimpasan material

dari daratan. Limpasan material tersebut dapat berasal dari muara sungai,

abrasi pantai dan kawasan lahan basah. Pertumbuhan fitoplankton dipacu oleh

tingginya limpasan zat hara pada musim hujan, cahaya matahari yang cukup

serta kecepatan angin yang tidak terlalu kencang. Populasi fitoplankton

perairan yang berlebih dapat mengakibatkan kematian ikan. Untuk itu, perlu

dikaji pola penyebaran fitoplankton (klorofil-a) dan variasi besaran nilai

konsentrasinya. Hasil penelitian terdahulu berdasarkan pengamatan citra

satelit ocean color selama perioda 1999-2002 diketahui bahwa konsentrasi

klorofil-a yang tinggi di Teluk Jakarta yaitu diatas 3,5 mg/m3 dijumpai pada

akhir musim hujan atau memasuki masa peralihan dari musim hujan ke musim

kemarau (Maret April). Pada perioda tersebut, umumnya masih didomisansi

oleh angin barat; dimana pada kondisi normal tanpa penyimpangan cuaca dan

iklim, puncak musim hujan biasanya terjadi pada sekitar bulan Januari-

Februari. Dimana, limpasan material anorganik terbesar terjadi beberapa hari

setelah puncak musim hujan ditunjukkan oleh citra TSM dengan penyebaran

endapan terlarut di atas 20 mg/l.

Tingginya konsentrasi klorofil-a dapat menyebabkan terjadinya eutrophication

dan blooming. Sedangkan tingginya konsentrasi endapan partikel terlarut

menyebabkan kekeruhan perairan bertambah sehingga cahaya matahari tidak

dapat menembus kedalam air dan penurunan konsentrasi fitoplankton. Dampak

dari blooming atau kekeruhan perairan yang tinggi adalah menurunnya kadar

oksigen dalam air sehingga sulit bagi ikan untuk bertahan hidup.

Fenomena: Karakteristik Perioda Skala

cakupan

Upwelling

Klorofil: > 0.8mg/m3 0.06

mg/m3

SPL: < 28 C 0.8C

June -September Regional

Pergerakan masa air

Klorofil: > 0.5 mg/m3 0.2

mg/m3

SPL: > 29.5 C 0.8C

June-September Regional

Sungai

Klorofil: > 2.5 mg/m3

TSM: > 8 mg/l SST: >30.5C0.8C

Maret, April,

November. Lokal

Pelimpasan

material

daratan Lahan

basah

Klorofil: > 3 mg/m3 1.3

mg/m3

TSM: > 10 mg/l SST: >30.5C0.8C

Desember-Maret

Lokal

Perikanan tangkap

pelagis

Klorofil: > 0.5 mg/m3

SST frontier zone

June-September Regional

Tabel 5.2 Karakteristik, perioda dan luasan zona upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan

dan pelimpasan material serta perikanan tangkap pelagis.

Untuk mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh satelit, kegiatan

validasi (survei lapangan) dilakukan di hilir dan muara sungai Cisadane, dan

hilir CBL (Canal Bekasi Laut) pada bulan September 2005. Lokasi survei

diperlihatkan pada citra komposit Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)

yang direkam pada tanggal 22 September 2002 (Gambar 5.4). Kondisi perairan

pesisir di muara Sungai Cisadane dan CBL terlihat berbeda antara musim

peralihan dan musim kemarau, dimana pada musim peralihan intensitas

limpasan material dari sungai terlihat relatif lebih besar dibandingkan dengan

kondisi pada musim kemarau.

Hasil survei validasi mendukung analisis citra yaitu kondisi kualitas perairan

Teluk Jakarta terutama pada zona muara Sungai Cisadane dan CBL dapat

dikatakan kurang baik (lihat Tabel 5.1), yang diduga dampak dari limpasan

sungai.

Dari penjabaran di atas, data satelit penginderaan jauh terbukti dapat

diterapkan untuk mengkaji karakteristik dari fenomena laut dan pesisir; serta

pengaruhnya terhadap pertumbuhan fitoplankton dan distribusi ikan pelagis.

Untuk perairan sekitar Pulau Jawa, proses dinamika laut yang teridentifikasi

meliputi upwelling di Selatan Pulau Jawa dan Selat Sunda; serta pergerakan

masa air dekat permukaan dari Laut Jawa ke Samudra India melalui Selat

Sunda dan Selat Bali. Sedangkan fenomena pesisir mencakup proses

pelimpasan material daratan ke laut. Karakteristik dari masing-masing

fenomena tersebut yang ditinjau dari skala ruang (lokasi dan penyebarannya)

dan skala waktu (perioda terjadinya), dijabarkan dalam Tabel 5.2.

DAFTAR PUSTAKAHardman-Mountford, N.J., 2000. Environmental variability in the Gulf of

Guinea large marine ecosystem. A thesis of Doctor of Philosophy,

Department of Biological Sciences, University of Warwick.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian

Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany, 93

halaman.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal

processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research Part

II 51 (2004): 85-97.Kompas, 2004. Fitoplankton berlebih picu kematian massal ikan, 13 Mei 2004. Liu, C., Nan, C., Ho, C., Kuo, N., Hsu, M., 2002: Tuna catch and satellite

remote sensing. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing

Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 442-444.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other

optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., Gerth, M., Schmidt, T., 1996: Water exchange in the Pomeranian

Bight investigated by satellite data and shipborne measurement.

Continental Shelf Research, Vol. 16, No. 14, 1793-1817.

63Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

64Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 79: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Mei 2004 (Kompas, 2004) diduga antara lain dipicu oleh pelimpasan material

dari daratan. Limpasan material tersebut dapat berasal dari muara sungai,

abrasi pantai dan kawasan lahan basah. Pertumbuhan fitoplankton dipacu oleh

tingginya limpasan zat hara pada musim hujan, cahaya matahari yang cukup

serta kecepatan angin yang tidak terlalu kencang. Populasi fitoplankton

perairan yang berlebih dapat mengakibatkan kematian ikan. Untuk itu, perlu

dikaji pola penyebaran fitoplankton (klorofil-a) dan variasi besaran nilai

konsentrasinya. Hasil penelitian terdahulu berdasarkan pengamatan citra

satelit ocean color selama perioda 1999-2002 diketahui bahwa konsentrasi

klorofil-a yang tinggi di Teluk Jakarta yaitu diatas 3,5 mg/m3 dijumpai pada

akhir musim hujan atau memasuki masa peralihan dari musim hujan ke musim

kemarau (Maret April). Pada perioda tersebut, umumnya masih didomisansi

oleh angin barat; dimana pada kondisi normal tanpa penyimpangan cuaca dan

iklim, puncak musim hujan biasanya terjadi pada sekitar bulan Januari-

Februari. Dimana, limpasan material anorganik terbesar terjadi beberapa hari

setelah puncak musim hujan ditunjukkan oleh citra TSM dengan penyebaran

endapan terlarut di atas 20 mg/l.

Tingginya konsentrasi klorofil-a dapat menyebabkan terjadinya eutrophication

dan blooming. Sedangkan tingginya konsentrasi endapan partikel terlarut

menyebabkan kekeruhan perairan bertambah sehingga cahaya matahari tidak

dapat menembus kedalam air dan penurunan konsentrasi fitoplankton. Dampak

dari blooming atau kekeruhan perairan yang tinggi adalah menurunnya kadar

oksigen dalam air sehingga sulit bagi ikan untuk bertahan hidup.

Fenomena: Karakteristik Perioda Skala

cakupan

Upwelling

Klorofil: > 0.8mg/m3 0.06

mg/m3

SPL: < 28 C 0.8C

June -September Regional

Pergerakan masa air

Klorofil: > 0.5 mg/m3 0.2

mg/m3

SPL: > 29.5 C 0.8C

June-September Regional

Sungai

Klorofil: > 2.5 mg/m3

TSM: > 8 mg/l SST: >30.5C0.8C

Maret, April,

November. Lokal

Pelimpasan

material

daratan Lahan

basah

Klorofil: > 3 mg/m3 1.3

mg/m3

TSM: > 10 mg/l SST: >30.5C0.8C

Desember-Maret

Lokal

Perikanan tangkap

pelagis

Klorofil: > 0.5 mg/m3

SST frontier zone

June-September Regional

Tabel 5.2 Karakteristik, perioda dan luasan zona upwelling, pergerakan masa air dekat permukaan

dan pelimpasan material serta perikanan tangkap pelagis.

Untuk mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh satelit, kegiatan

validasi (survei lapangan) dilakukan di hilir dan muara sungai Cisadane, dan

hilir CBL (Canal Bekasi Laut) pada bulan September 2005. Lokasi survei

diperlihatkan pada citra komposit Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)

yang direkam pada tanggal 22 September 2002 (Gambar 5.4). Kondisi perairan

pesisir di muara Sungai Cisadane dan CBL terlihat berbeda antara musim

peralihan dan musim kemarau, dimana pada musim peralihan intensitas

limpasan material dari sungai terlihat relatif lebih besar dibandingkan dengan

kondisi pada musim kemarau.

Hasil survei validasi mendukung analisis citra yaitu kondisi kualitas perairan

Teluk Jakarta terutama pada zona muara Sungai Cisadane dan CBL dapat

dikatakan kurang baik (lihat Tabel 5.1), yang diduga dampak dari limpasan

sungai.

Dari penjabaran di atas, data satelit penginderaan jauh terbukti dapat

diterapkan untuk mengkaji karakteristik dari fenomena laut dan pesisir; serta

pengaruhnya terhadap pertumbuhan fitoplankton dan distribusi ikan pelagis.

Untuk perairan sekitar Pulau Jawa, proses dinamika laut yang teridentifikasi

meliputi upwelling di Selatan Pulau Jawa dan Selat Sunda; serta pergerakan

masa air dekat permukaan dari Laut Jawa ke Samudra India melalui Selat

Sunda dan Selat Bali. Sedangkan fenomena pesisir mencakup proses

pelimpasan material daratan ke laut. Karakteristik dari masing-masing

fenomena tersebut yang ditinjau dari skala ruang (lokasi dan penyebarannya)

dan skala waktu (perioda terjadinya), dijabarkan dalam Tabel 5.2.

DAFTAR PUSTAKAHardman-Mountford, N.J., 2000. Environmental variability in the Gulf of

Guinea large marine ecosystem. A thesis of Doctor of Philosophy,

Department of Biological Sciences, University of Warwick.Hendiarti, N., 2003. Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian

Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany, 93

halaman.Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal

processes in Indonesian waters using SeaWiFS data, Deep Sea Research Part

II 51 (2004): 85-97.Kompas, 2004. Fitoplankton berlebih picu kematian massal ikan, 13 Mei 2004. Liu, C., Nan, C., Ho, C., Kuo, N., Hsu, M., 2002: Tuna catch and satellite

remote sensing. Proceeding of The Sixth Pan Ocean Remote Sensing

Conference (PORSEC) 2002, volume 2, 442-444.Sathyendranath, S., 2000. Remote sensing of ocean color in coastal, and other

optically-complex, waters. IOCCG report number 3, 139 hal.Siegel, H., Gerth, M., Schmidt, T., 1996: Water exchange in the Pomeranian

Bight investigated by satellite data and shipborne measurement.

Continental Shelf Research, Vol. 16, No. 14, 1793-1817.

63Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

64Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 80: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

SPOT 1987

SPOT 1995

SPOT 1998

SPOT 1995

terkoreksi

Vektor

Geokoreksi

Geokoreksi

SPOT 1998

terkoreksi

SPOT 1987

terkoreksi

Interpretasi visual

Interpretasi visual

SPOT 1998

15 kelas SPOT 1987

14 kelas

Informasi survey

lapangan

Deteksi

perubahan

Geokoreksi

BAB VIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan

Perubahan Tutupan Lahan Laguna Segara AnakanMarina C G Frederik

Kawasan estuari memiliki peran penting di daerah tropis seperti Indonesia.

Mangove adalah salah satu tempat dimana ikan dan kepiting hidup dan

berkembang biak. Tetapi kawsan mangrove sering mengalami perubahan

drastis. Contohnya, Laguna Segara Anakan. Laguna ini terletak di sebelah

selatan Propinsi Jawa Tengah dengan koordinat geografis 7o 35' 7o 45' LS dan

108o 45' 108o 55' BT. Pulau Nusa Kambangan terletak di sebelah selatan laguna

ini dan melindungi laguna dari Samudra Indonesia.

Laguna Segara Anakan mengalami dampak seperti pendangkalan air dan

berkurangnya luas vegetasi mangrove akibat kegiatan perambahan hutan di

bagian utara serta penebangan hutan mangrove di sekitar laguna tersebut.

Akibat dari kegiatan ini adalah terjadinya penumpukan sedimen di laguna

sehingga luas permukaannya semakin kecil, airnya semakin keruh dan dangkal

yang mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan serta pendapatan penduduk

setempat yang merupakan nelayan tradisional. Agar dapat memelihara dan

mengembangkan ekosistem mangrove, diperlukan suatu metode

pengembangan yang di dasari oleh data yang baik. Salah satunya adalah

menggunakan citra penginderaan jauh. Studi perubahan tutupan lahan

mangrove dilakukan menggunakan citra satelit penginderaan jauh SPOT

multitemporal dengan kurun waktu 11 tahun, yaitu SPOT 2 tahun 1987, SPOT 3

tahun 1995, dan SPOT 1 tahun 1998.

Gambar 6.1 memperlihatkan proses alur dalam studi ini dan tabel 6.1

memperlihatkan hasil perubahan tutupan lahan. Terlihat bahwa perubahan

terbesar adalah kawasan perkotaan. Untuk perubahan lahan mangrove,

perubahan luasnya berkurang sekitar 35%, lahan persawahan bertambah sekitar

43%, dan lahan yang digunakan untuk aquakultur bertambah pada tahun 1998.

Hal ini sesuai dengan perubahan yang diamati.

Gambar 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan perubahan dimana citra SPOT

tahun 1998 digunakan sebagai citra latar belakangnya. Terlihat warna hijau

yang menunjukkan tidak ada perubahan, warna kuning dan orange yang

menunjukkan perubahan dari mangrove ke air keruh dan sawah. Hasil

penelitian ini perlu diverifikasi kembali pada keadaan sesungguhnya untuk

melihat keakurasian proses klasifikasi dan interpretasinya.

No. Tipe Tutupan La han Luas th

1987 (ha)

Luas th

1998 (ha) % perubahan

1 Tambang 45.5 64.7 42.2

2 Awan 3 230.5 408.8 -87.3

3 Perkebunan 1 941.2 1 819.1 -6.3

4 Hutan 546.6 513.5 -6.1

5 Sedimen 1 080.7 320.8 -70.3

6 Aquakultur 0.0 729.9 -

7 Mangrove 14388.8 9300.4 -35.4

8 Air bersedimen 2 322.1 3 132.8 34.9

9 Laut 4 815.6 4 092.7 -15.0

12 Sawah 7 856.7 11 255.7 43.3

14 Perumahan dengan kebun 6 163.7 6 154.6 -0.1

15 Perkotaan 1 085.7 2 265.4 108.7

16 Hutan primer 5 250.8 7 279.7 38.6

20 Non kelas 1 660.2 3 050.0 83.7

Tabel 6.1 Perubahan lahan antara 1987-1998 dari interpretasi citra SPOT

Gambar 6.1 Metode pengolahan perubahan lahan mangrove.

65Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

66Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 81: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

SPOT 1987

SPOT 1995

SPOT 1998

SPOT 1995

terkoreksi

Vektor

Geokoreksi

Geokoreksi

SPOT 1998

terkoreksi

SPOT 1987

terkoreksi

Interpretasi visual

Interpretasi visual

SPOT 1998

15 kelas SPOT 1987

14 kelas

Informasi survey

lapangan

Deteksi

perubahan

Geokoreksi

BAB VIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan

Perubahan Tutupan Lahan Laguna Segara AnakanMarina C G Frederik

Kawasan estuari memiliki peran penting di daerah tropis seperti Indonesia.

Mangove adalah salah satu tempat dimana ikan dan kepiting hidup dan

berkembang biak. Tetapi kawsan mangrove sering mengalami perubahan

drastis. Contohnya, Laguna Segara Anakan. Laguna ini terletak di sebelah

selatan Propinsi Jawa Tengah dengan koordinat geografis 7o 35' 7o 45' LS dan

108o 45' 108o 55' BT. Pulau Nusa Kambangan terletak di sebelah selatan laguna

ini dan melindungi laguna dari Samudra Indonesia.

Laguna Segara Anakan mengalami dampak seperti pendangkalan air dan

berkurangnya luas vegetasi mangrove akibat kegiatan perambahan hutan di

bagian utara serta penebangan hutan mangrove di sekitar laguna tersebut.

Akibat dari kegiatan ini adalah terjadinya penumpukan sedimen di laguna

sehingga luas permukaannya semakin kecil, airnya semakin keruh dan dangkal

yang mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan serta pendapatan penduduk

setempat yang merupakan nelayan tradisional. Agar dapat memelihara dan

mengembangkan ekosistem mangrove, diperlukan suatu metode

pengembangan yang di dasari oleh data yang baik. Salah satunya adalah

menggunakan citra penginderaan jauh. Studi perubahan tutupan lahan

mangrove dilakukan menggunakan citra satelit penginderaan jauh SPOT

multitemporal dengan kurun waktu 11 tahun, yaitu SPOT 2 tahun 1987, SPOT 3

tahun 1995, dan SPOT 1 tahun 1998.

Gambar 6.1 memperlihatkan proses alur dalam studi ini dan tabel 6.1

memperlihatkan hasil perubahan tutupan lahan. Terlihat bahwa perubahan

terbesar adalah kawasan perkotaan. Untuk perubahan lahan mangrove,

perubahan luasnya berkurang sekitar 35%, lahan persawahan bertambah sekitar

43%, dan lahan yang digunakan untuk aquakultur bertambah pada tahun 1998.

Hal ini sesuai dengan perubahan yang diamati.

Gambar 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan perubahan dimana citra SPOT

tahun 1998 digunakan sebagai citra latar belakangnya. Terlihat warna hijau

yang menunjukkan tidak ada perubahan, warna kuning dan orange yang

menunjukkan perubahan dari mangrove ke air keruh dan sawah. Hasil

penelitian ini perlu diverifikasi kembali pada keadaan sesungguhnya untuk

melihat keakurasian proses klasifikasi dan interpretasinya.

No. Tipe Tutupan La han Luas th

1987 (ha)

Luas th

1998 (ha) % perubahan

1 Tambang 45.5 64.7 42.2

2 Awan 3 230.5 408.8 -87.3

3 Perkebunan 1 941.2 1 819.1 -6.3

4 Hutan 546.6 513.5 -6.1

5 Sedimen 1 080.7 320.8 -70.3

6 Aquakultur 0.0 729.9 -

7 Mangrove 14388.8 9300.4 -35.4

8 Air bersedimen 2 322.1 3 132.8 34.9

9 Laut 4 815.6 4 092.7 -15.0

12 Sawah 7 856.7 11 255.7 43.3

14 Perumahan dengan kebun 6 163.7 6 154.6 -0.1

15 Perkotaan 1 085.7 2 265.4 108.7

16 Hutan primer 5 250.8 7 279.7 38.6

20 Non kelas 1 660.2 3 050.0 83.7

Tabel 6.1 Perubahan lahan antara 1987-1998 dari interpretasi citra SPOT

Gambar 6.1 Metode pengolahan perubahan lahan mangrove.

65Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

66Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 82: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Tidak berubah antara tahun 1987-1998

Mangrove menjadi sedimen

Mangrove menjadi aquakultur

Mangrove menjadi sawah

Mangrove menjadi rumah + kebun

Mangrove menjadi perkebunan

Mangrove baru antara tahuin 1987-1998

Gambar 6.3. Citra SPOT 1998 ditampilkan dengan vektor perubahan tutupan lahan mangorve

DAFTAR PUSTAKABCEOM in association with PT Ardes Perdana & PT Bhawana Prasasta, 1997,

Segara Anakan Conservation and Development Project, Package 2 parts B & C, Technical proposal, Vol. 2 ; General Approach & Methodology, workplan, comments on TOR, section D, Jakarta, 50p

Bruzzone, L et S.B. Serpico, 1997, Detection of changes in remotely-sensed images by the selective use of multi-spectral information, Int. J. Remote Sensing, Vol. 18, No. 18, P. 3883-3888.

Chavaud, S., C. Bouchon et R. Maniere, 1998, Remote sensing techniques adapted to high resolution mapping of tropical coastal marine ecosystems (coral reefs, seagrass beds and mangrove), Int. J. Remote Sensing, Vol. 19, No. 18, p. 3625-3639.

Dewanti, R. et T., Maulana, 1998, Monitoring the changes of lagoon Segara Anakan, Central Java by using multitemporal Landsat data , Warta Inderaja, Vol. X, No. 1, p. 34-38.

Frederik, MCG., 2001, Detection of Land Cover Changes of Segara Anakan Lagoon, Indonesia, RS & GIS Yearbook 2000, p. 224-238.

Green, E.P., C.D. Clark, P.J. Mumby, A.J. Edwards, et Ellis, A.C., 1998, Remote sensing techniques for mangrove mapping, Vol. 19, No. 5, p. 935-956.

Hartono, 1991, Etude des mangroves de Java, 279p, Ecologie et Télédétection, Toulouse, France.

Singh, A., 1989, Digital change detection techniques using remotely-sensed data, Int. J. Remote Sensing, Vol. 10, No. 6, p. 989-1003.

67Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

68Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 83: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Tidak berubah antara tahun 1987-1998

Mangrove menjadi sedimen

Mangrove menjadi aquakultur

Mangrove menjadi sawah

Mangrove menjadi rumah + kebun

Mangrove menjadi perkebunan

Mangrove baru antara tahuin 1987-1998

Gambar 6.3. Citra SPOT 1998 ditampilkan dengan vektor perubahan tutupan lahan mangorve

DAFTAR PUSTAKABCEOM in association with PT Ardes Perdana & PT Bhawana Prasasta, 1997,

Segara Anakan Conservation and Development Project, Package 2 parts B & C, Technical proposal, Vol. 2 ; General Approach & Methodology, workplan, comments on TOR, section D, Jakarta, 50p

Bruzzone, L et S.B. Serpico, 1997, Detection of changes in remotely-sensed images by the selective use of multi-spectral information, Int. J. Remote Sensing, Vol. 18, No. 18, P. 3883-3888.

Chavaud, S., C. Bouchon et R. Maniere, 1998, Remote sensing techniques adapted to high resolution mapping of tropical coastal marine ecosystems (coral reefs, seagrass beds and mangrove), Int. J. Remote Sensing, Vol. 19, No. 18, p. 3625-3639.

Dewanti, R. et T., Maulana, 1998, Monitoring the changes of lagoon Segara Anakan, Central Java by using multitemporal Landsat data , Warta Inderaja, Vol. X, No. 1, p. 34-38.

Frederik, MCG., 2001, Detection of Land Cover Changes of Segara Anakan Lagoon, Indonesia, RS & GIS Yearbook 2000, p. 224-238.

Green, E.P., C.D. Clark, P.J. Mumby, A.J. Edwards, et Ellis, A.C., 1998, Remote sensing techniques for mangrove mapping, Vol. 19, No. 5, p. 935-956.

Hartono, 1991, Etude des mangroves de Java, 279p, Ecologie et Télédétection, Toulouse, France.

Singh, A., 1989, Digital change detection techniques using remotely-sensed data, Int. J. Remote Sensing, Vol. 10, No. 6, p. 989-1003.

67Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

68Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 84: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VIIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan

Gelombang Internal Albert Sulaiman

Gelombang internal adalah gelombang yang menjalar di dalam lautan (dibadan

air). Gelombang ini dapat terjadi jika di badan air terdapat beda densitas

dimana beda densitas ini muncul apabila dilapisan air terdapat beda

temperatur ataupun beda salinitas. Gelombang internal ini mempunyai variasi

panjang gelombang dari beberapa meter sampai ke puluhan kilometer,

sedangkan amplitudenya dapat mencapai 50m. Periodenya mempunyai rank

antara menit sampai jam. Gelombang soliton internal adalah suatu gelombang

internal yang dalam penjalarannya mempertahankan bentuk akibat

keseimbangan yang terjadi dari efek nonlinier dan efek dispersi. Efek nonlinier

akan cenderung membuat gelombang memipih (steepening) sedangkan efek

dispersi membuat gelombang melebar. Keseimbangan antara kedua efek ini

akan membantu gelombang internal mempertahankan bentuknya pada saat dia

menjalar ataupun jika dia bertubrukan dengan sesamanya (Grimshaw,R 2000).

Gelombang soliton internal mempunyai restoring force gaya gravitasi dan

terjadi biasanya akibat aliran fluida melewati suatu gundukan (sill), pungungan

(bank) atau suatu perubahan batimetri yang tajam (continental slope) di dasar

perairan. (Brandt,P et al 1997; Holloway,P et al 1997).Tidak ada mekanisme

yang unik dan tertentu untuk menjelaskan bagaimana gelombang ini terbentuk

(Farmer,D & L. Armi 1998, Bogucki,D; 1997, Bogucki,D; 1998).

Gelombang internal dapat dideteksi keberadaanya secar langsung (insitu) dan

secara tak langsung. Pengukuran secara langsung dapat menggunakan ADCP

atau thermocouple baik dengan kapal atau system mooring. Pengukuran insitu

jarang dilakukan. Sedangkan pengukuran tak langsung memalui satelit.

Beberapa jenis satelit yang dpat mendeteksi gelombang internal soliter adalah

satelit dengan sensor radar missal ERS, Radarsat atau beberapa satelit lain

seperti MODIS dan SPOT. Dari citra satelit dapat diketahui kemunculan

gelombang internal soliter (yang merupakan fenomena mesoscale) muncul di

daerah: selat Lombok, selat Makasar, laut Flores, laut Seram, laut Maluku, laut

Banda dan laut Sawu. Paling banyak muncul ada di selat Lombok. Berikut

berepa citra satelit yang memerikan gelombang internal soliter.

Diselat Lombok mempunyai pola sirkular dengan gelombang menjalar dikedua

arah yaitu ke utara dan ke selatan. Pada umumnya gelombang yang bergerak

ke utara (ke laut Flores) akan mempunyai crest gelombang yang lebih lebar

jangkauannya sedangkan di selatan lebih sempit. Disebelah utara mempunyai

pola seperti soliton “periodik” sedangkan di selatan dalam bentuk paket

gelombang dimana dalam satu paket terdiri dari beberapa soliton tunggal. Pola

b)

a)

Gambar 7.1 a) Gelombang Internal soliter di selat Lombok (5-11-1997)Citra ERS-2. b) Gelombang Internal soliter di selat Makasar (1-11-1997)Citra ERS-2

69Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

70Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 85: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VIIPenginderaan Jauh untuk Pengamatan

Gelombang Internal Albert Sulaiman

Gelombang internal adalah gelombang yang menjalar di dalam lautan (dibadan

air). Gelombang ini dapat terjadi jika di badan air terdapat beda densitas

dimana beda densitas ini muncul apabila dilapisan air terdapat beda

temperatur ataupun beda salinitas. Gelombang internal ini mempunyai variasi

panjang gelombang dari beberapa meter sampai ke puluhan kilometer,

sedangkan amplitudenya dapat mencapai 50m. Periodenya mempunyai rank

antara menit sampai jam. Gelombang soliton internal adalah suatu gelombang

internal yang dalam penjalarannya mempertahankan bentuk akibat

keseimbangan yang terjadi dari efek nonlinier dan efek dispersi. Efek nonlinier

akan cenderung membuat gelombang memipih (steepening) sedangkan efek

dispersi membuat gelombang melebar. Keseimbangan antara kedua efek ini

akan membantu gelombang internal mempertahankan bentuknya pada saat dia

menjalar ataupun jika dia bertubrukan dengan sesamanya (Grimshaw,R 2000).

Gelombang soliton internal mempunyai restoring force gaya gravitasi dan

terjadi biasanya akibat aliran fluida melewati suatu gundukan (sill), pungungan

(bank) atau suatu perubahan batimetri yang tajam (continental slope) di dasar

perairan. (Brandt,P et al 1997; Holloway,P et al 1997).Tidak ada mekanisme

yang unik dan tertentu untuk menjelaskan bagaimana gelombang ini terbentuk

(Farmer,D & L. Armi 1998, Bogucki,D; 1997, Bogucki,D; 1998).

Gelombang internal dapat dideteksi keberadaanya secar langsung (insitu) dan

secara tak langsung. Pengukuran secara langsung dapat menggunakan ADCP

atau thermocouple baik dengan kapal atau system mooring. Pengukuran insitu

jarang dilakukan. Sedangkan pengukuran tak langsung memalui satelit.

Beberapa jenis satelit yang dpat mendeteksi gelombang internal soliter adalah

satelit dengan sensor radar missal ERS, Radarsat atau beberapa satelit lain

seperti MODIS dan SPOT. Dari citra satelit dapat diketahui kemunculan

gelombang internal soliter (yang merupakan fenomena mesoscale) muncul di

daerah: selat Lombok, selat Makasar, laut Flores, laut Seram, laut Maluku, laut

Banda dan laut Sawu. Paling banyak muncul ada di selat Lombok. Berikut

berepa citra satelit yang memerikan gelombang internal soliter.

Diselat Lombok mempunyai pola sirkular dengan gelombang menjalar dikedua

arah yaitu ke utara dan ke selatan. Pada umumnya gelombang yang bergerak

ke utara (ke laut Flores) akan mempunyai crest gelombang yang lebih lebar

jangkauannya sedangkan di selatan lebih sempit. Disebelah utara mempunyai

pola seperti soliton “periodik” sedangkan di selatan dalam bentuk paket

gelombang dimana dalam satu paket terdiri dari beberapa soliton tunggal. Pola

b)

a)

Gambar 7.1 a) Gelombang Internal soliter di selat Lombok (5-11-1997)Citra ERS-2. b) Gelombang Internal soliter di selat Makasar (1-11-1997)Citra ERS-2

69Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

70Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 86: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

seperti ini biasanya dibangkitkan oleh arus yang menabrak suatu gundukan

(Brandt,P et al 1997). Sedangkan diselat Makasar mempunyai pola 3-4 soliton

yang menjalar dari laut lepas menuju pantai. Seperti juga pada gelombang

permukaan, gelombang internal ini terlihat akan cenderung bergerak sejajar

dengan garis pantai. Berikut karakteristik gelombang internal soliter yang

berhasil diketahui dari citra satelit.Amplitude soliton dapat dicari dengan bantuan model matematika. Umumnya

model matematika untuk mempelajari gelombang internal soliton dari data

obeservasi menggunakan teori gelombang nonlinier lemah yang diperikan

melalui persamaan Korteweg & de Vrie (KdV) (Holloway,P; E. Pelinovsky & T.

Talipova 1999, Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997, Grimshaw,R

2000). Persaman KdV memerikan evolusi dari gelombang soliton internal

dengan amplitude kecil yang menjalar di perairan dangkal. Jika kita

aproksimasi fluida dua lapis maka untuk orde pertama kita dapatkan

(Grimshaw, R ., 2000):

(1)

dimana amplitude A( , ) akan memenuhi persamaan Korteweg & de Vris (KdV)

sbb:

dimana koefisien c (kecepatan fase gelombang panjang linier), α (koefisien

Daerah

bulan:

J F M A M J J A S O N D Catatan

Selat Makasar

1

3-4 soliton

Delta Mahakam

2

1

3-4 soliton

Laut Flores

1

1

2

2

“periodik”

Selat Lombok

1

1

1

2

2

1

1

2

2

2

4

Paket soliton

Tabel 7.1 Karakteristik gelombang internal soliter di jalur Arlindo.

03

3

x

A

x

AA

x

Ac

t

A

θ τ

txAH

HHtx ,,

21

2

1221)1(

nonlinier) dan β (koefisien dispersi) akan diberikan oleh:

Gambar 7.3 Koefisien KdV dan geometri gelombang internal fluida dua lapis.

Arus internal dalam arah horisontal diberikan oleh persamaan kontinuitas.

Propagasi gelombang soliton internal (amplitude, kecepatan, energi dll) dapat

di ketahui dengan mencari solusi persamaan KdV, Persamaan KdV tersebut

mempunyai banyak solusi seperti solusi satu soliton, solusi dua soliton, solusi N

soliton serta solusi 'periodik' soliton yang dinyatakan dalam bentuk fungsi

elliptik jacobi. Solusi soliton tunggal (atau sering disebut solusi gelombang

jalan) dari persamaan KdV didapat dengan mengambil solusi dalam bentuk

f=f(x-ct) sehingga hasilnya adalah (Sulaiman,A 2004):

(3)

dimana Ao adalah amplitude maksimum dan λs adalah panjang gelombang

soliton. V kecepatan fase soliton dan panjang gelombang soliton diberikan

sebagai berikut:

(4)

Dengan data kedalaman dan data CTD (untuk mengetahui densitas air laut)

maka profil gelombang internal soliton dapat diketahui. Misal di selat lombok

dapat dilihat pada gambar 7.4.

Hasil menunjukkan bahwa gelombang internal menjalar dengan kecepatan

rambat V = 2.1779 m/s dan amplitude mencapai 13 m. Energi gelombang

(2)

2112

2112

HH

HHgc

2112

221

212

21 HH

HH

HH

c

2

3

2112

221121

HH

HH

6

HcH

H1ρ1

H2ρ2

V

L

1hsecA,A2

o

3;

12

o

o

AcV

AL

71Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

72Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 87: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

seperti ini biasanya dibangkitkan oleh arus yang menabrak suatu gundukan

(Brandt,P et al 1997). Sedangkan diselat Makasar mempunyai pola 3-4 soliton

yang menjalar dari laut lepas menuju pantai. Seperti juga pada gelombang

permukaan, gelombang internal ini terlihat akan cenderung bergerak sejajar

dengan garis pantai. Berikut karakteristik gelombang internal soliter yang

berhasil diketahui dari citra satelit.Amplitude soliton dapat dicari dengan bantuan model matematika. Umumnya

model matematika untuk mempelajari gelombang internal soliton dari data

obeservasi menggunakan teori gelombang nonlinier lemah yang diperikan

melalui persamaan Korteweg & de Vrie (KdV) (Holloway,P; E. Pelinovsky & T.

Talipova 1999, Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997, Grimshaw,R

2000). Persaman KdV memerikan evolusi dari gelombang soliton internal

dengan amplitude kecil yang menjalar di perairan dangkal. Jika kita

aproksimasi fluida dua lapis maka untuk orde pertama kita dapatkan

(Grimshaw, R ., 2000):

(1)

dimana amplitude A( , ) akan memenuhi persamaan Korteweg & de Vris (KdV)

sbb:

dimana koefisien c (kecepatan fase gelombang panjang linier), α (koefisien

Daerah

bulan:

J F M A M J J A S O N D Catatan

Selat Makasar

1

3-4 soliton

Delta Mahakam

2

1

3-4 soliton

Laut Flores

1

1

2

2

“periodik”

Selat Lombok

1

1

1

2

2

1

1

2

2

2

4

Paket soliton

Tabel 7.1 Karakteristik gelombang internal soliter di jalur Arlindo.

03

3

x

A

x

AA

x

Ac

t

A

θ τ

txAH

HHtx ,,

21

2

1221)1(

nonlinier) dan β (koefisien dispersi) akan diberikan oleh:

Gambar 7.3 Koefisien KdV dan geometri gelombang internal fluida dua lapis.

Arus internal dalam arah horisontal diberikan oleh persamaan kontinuitas.

Propagasi gelombang soliton internal (amplitude, kecepatan, energi dll) dapat

di ketahui dengan mencari solusi persamaan KdV, Persamaan KdV tersebut

mempunyai banyak solusi seperti solusi satu soliton, solusi dua soliton, solusi N

soliton serta solusi 'periodik' soliton yang dinyatakan dalam bentuk fungsi

elliptik jacobi. Solusi soliton tunggal (atau sering disebut solusi gelombang

jalan) dari persamaan KdV didapat dengan mengambil solusi dalam bentuk

f=f(x-ct) sehingga hasilnya adalah (Sulaiman,A 2004):

(3)

dimana Ao adalah amplitude maksimum dan λs adalah panjang gelombang

soliton. V kecepatan fase soliton dan panjang gelombang soliton diberikan

sebagai berikut:

(4)

Dengan data kedalaman dan data CTD (untuk mengetahui densitas air laut)

maka profil gelombang internal soliton dapat diketahui. Misal di selat lombok

dapat dilihat pada gambar 7.4.

Hasil menunjukkan bahwa gelombang internal menjalar dengan kecepatan

rambat V = 2.1779 m/s dan amplitude mencapai 13 m. Energi gelombang

(2)

2112

2112

HH

HHgc

2112

221

212

21 HH

HH

HH

c

2

3

2112

221121

HH

HH

6

HcH

H1ρ1

H2ρ2

V

L

1hsecA,A2

o

3;

12

o

o

AcV

AL

71Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

72Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 88: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

sebesar E= 1.2658e+007 J/m. Arus orbital permukaan sebesar 0.14 m/s, dan

arus inilah yang akan memberikan harga intensitas yang tertangkap pada citra

SAR. Untuk gelombang internal di delta Mahakam dengan panjang gelombang

sekitar 2 km mempunyai amplitude sebesar 25m dan kecepatan fase sebesar

1.74m/s. Sedangkan di utara selat Lombok dengan panjang gelombang 2.6 km

akan mempunyai amplitude 25m dan kecepatan fase sebesar 1.5m/s.

Sedangkan disebelah selatan dengan panjang gelombang 2.5km akan

mempunyai amplitude sebesar 20m dengan kecepatan fase 1.4 m/s.

Gelombang internal soliter yang terjadi mempunyai amplitude dalam orde 20m

dan kecepatan fase dalam orde 2m/s akan mempunyai dampak yang sangat

berarti pada bangunan lepas pantai (misal anjungan minyak), jalur pipa bawah

air serta dampak lingkungan seperti resuspensi sedimen (Bogucki,D et al 1997).

Bagaimana pengaruh gelombang internal ini pada sirkulasi Arlindo? Apakah dia

akan mempengauhi transport massa air (seperti pada penjalaran gelombang

Kelvin yang datang dari samudra India)?. Bagaimanapun juga pengukuran in

situ sangat diperlukan untuk menentukan amplitude dan kecapatan fase

gelombang internal ini. Apa yang didapat dari citra SAR adalah estimasi

berdasarkan persamaan KdV. Soliton yang dibahas ini hanya yang terdapat di

jalur utama Arlindo. Studi gelombang ini masih merupakan buku yang terbuka

lebar.

Hasil analisis citra menunjukkan bahwa pola propagasi soliton di selat Makasar

berupa penjalaran 3-4 soliton tunggal sedangakan di selat Lombok mempunyai

pola “periodik” soliton di utara dan paket soliton di selatan. Pada umunya

panjang gelombang internal antara 2km-5km dengan kecepatan rambat dalam

orde 1m/s dan amplitude rata-rata sekitar 20m. Gelombang internal di selat

Lombok diduga dibangkitkan oleh arus pasut internal yang menabrak sill,

sedangkan di selat Makasar diduga dibangkitkan oleh perubahan batimetri yang

tajam (continental slope).DAFTAR PUSTAKABogucki,D; T. Dickey & L.G. Redekopp 1997 “Sediment Resuspension and

Mixing by Resonantly Generated Internal Solitary Waves” J. Phys.Osean.

Vol: 27, 1181-1195.Bougucki,D.J & L. Redekopp 1998 ”A Mechanism for Sediment Resuspendsion

by Internal Solitary Waves” Int.Solitary waves Workshop,Dunsmuir Lodge.Brandt,P; A. Rubino; W. Alpers & J. Backhaus 1997 “Internal Waves in the

Strait of Messina Studied by a Numerical Model and Synthetic Aperture

Radar Images from the ERS1/2 Satellites” J. Phys. Oceanogr Vol: 27, 648-

663.Farmer,D & L. Armi 1998 ” Solitary waves Formed Over Topography” Int.

Solitary waves Workshop,Dunsmuir LodgeGrimshaw,R 2000 “Internal Solitary Wave” Preprint No:00/33 Dept.

Mathematical Science, Loughborough University.Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997 “The Modified KdV Equation in

the Theory of Large Amplitude Internal Waves” Nonlinear Processes in

Geophysics 4:237-250.Holloway,P; E. Pelinovsky; T. Talipova & B. Barnes 1997 “A Nonlinear Model of

Internal Tide Transformation on The Australian North West Shelf” J. Phys.

Ocean. Vol:27, 871-892.Sulaiman,A and M. Sadli 2004 “Study of Nonlinear Internal Waves in the

Indonesian Troughflow using SAR images” Proceding PIT MAPIN 04, Jakarta.

Gambar 7.4 Profil soliton, kecepatan orbital tiap lapisan dan arus orbital permukaan.

73Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

74Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 89: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

sebesar E= 1.2658e+007 J/m. Arus orbital permukaan sebesar 0.14 m/s, dan

arus inilah yang akan memberikan harga intensitas yang tertangkap pada citra

SAR. Untuk gelombang internal di delta Mahakam dengan panjang gelombang

sekitar 2 km mempunyai amplitude sebesar 25m dan kecepatan fase sebesar

1.74m/s. Sedangkan di utara selat Lombok dengan panjang gelombang 2.6 km

akan mempunyai amplitude 25m dan kecepatan fase sebesar 1.5m/s.

Sedangkan disebelah selatan dengan panjang gelombang 2.5km akan

mempunyai amplitude sebesar 20m dengan kecepatan fase 1.4 m/s.

Gelombang internal soliter yang terjadi mempunyai amplitude dalam orde 20m

dan kecepatan fase dalam orde 2m/s akan mempunyai dampak yang sangat

berarti pada bangunan lepas pantai (misal anjungan minyak), jalur pipa bawah

air serta dampak lingkungan seperti resuspensi sedimen (Bogucki,D et al 1997).

Bagaimana pengaruh gelombang internal ini pada sirkulasi Arlindo? Apakah dia

akan mempengauhi transport massa air (seperti pada penjalaran gelombang

Kelvin yang datang dari samudra India)?. Bagaimanapun juga pengukuran in

situ sangat diperlukan untuk menentukan amplitude dan kecapatan fase

gelombang internal ini. Apa yang didapat dari citra SAR adalah estimasi

berdasarkan persamaan KdV. Soliton yang dibahas ini hanya yang terdapat di

jalur utama Arlindo. Studi gelombang ini masih merupakan buku yang terbuka

lebar.

Hasil analisis citra menunjukkan bahwa pola propagasi soliton di selat Makasar

berupa penjalaran 3-4 soliton tunggal sedangakan di selat Lombok mempunyai

pola “periodik” soliton di utara dan paket soliton di selatan. Pada umunya

panjang gelombang internal antara 2km-5km dengan kecepatan rambat dalam

orde 1m/s dan amplitude rata-rata sekitar 20m. Gelombang internal di selat

Lombok diduga dibangkitkan oleh arus pasut internal yang menabrak sill,

sedangkan di selat Makasar diduga dibangkitkan oleh perubahan batimetri yang

tajam (continental slope).DAFTAR PUSTAKABogucki,D; T. Dickey & L.G. Redekopp 1997 “Sediment Resuspension and

Mixing by Resonantly Generated Internal Solitary Waves” J. Phys.Osean.

Vol: 27, 1181-1195.Bougucki,D.J & L. Redekopp 1998 ”A Mechanism for Sediment Resuspendsion

by Internal Solitary Waves” Int.Solitary waves Workshop,Dunsmuir Lodge.Brandt,P; A. Rubino; W. Alpers & J. Backhaus 1997 “Internal Waves in the

Strait of Messina Studied by a Numerical Model and Synthetic Aperture

Radar Images from the ERS1/2 Satellites” J. Phys. Oceanogr Vol: 27, 648-

663.Farmer,D & L. Armi 1998 ” Solitary waves Formed Over Topography” Int.

Solitary waves Workshop,Dunsmuir LodgeGrimshaw,R 2000 “Internal Solitary Wave” Preprint No:00/33 Dept.

Mathematical Science, Loughborough University.Grimshaw,R; E. Pelinovsky & T. Talipova 1997 “The Modified KdV Equation in

the Theory of Large Amplitude Internal Waves” Nonlinear Processes in

Geophysics 4:237-250.Holloway,P; E. Pelinovsky; T. Talipova & B. Barnes 1997 “A Nonlinear Model of

Internal Tide Transformation on The Australian North West Shelf” J. Phys.

Ocean. Vol:27, 871-892.Sulaiman,A and M. Sadli 2004 “Study of Nonlinear Internal Waves in the

Indonesian Troughflow using SAR images” Proceding PIT MAPIN 04, Jakarta.

Gambar 7.4 Profil soliton, kecepatan orbital tiap lapisan dan arus orbital permukaan.

73Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

74Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 90: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VIIIMetoda Numerik Dinamika Laut Albert Sulaiman

Dinamika perairan Indonesia dapat dibagi menjadi dua skala yaitu dinamika

skala regional dan dinmaika skala local. Dinmaika skala regional meliputi

dinamika samufra pasifik barat, dinamiak arus lintas Indonesia, dinamika

samudra India timur dan paparan. Sedangkan skala local umummya terdiri

system teluk dan pantai. Perbedaan antara mereka dalam pemodelan

ditentukan oleh factor skaling dan gaya pengeraknnya. Pemerian keduanya

dapat dilihat sebagai berikut:

Model regional mempunyai gaya pembangkit angina dengan skala ruang yang

luas (orde puluhan km) dan skala temporal yang lebih lama (hari-bulan). Gaya

pengerak utama adalah angin dan beda tekanan. Model ini didasarkan pada

persamaan kekekalan momentum dan persamaan kekekalan massa yang dapat

dinyatakan dalam persamaan berikut:

(1)

(2)

Dimana u=(u,v) adalah kecepatan zonal and meridional, h adalah ketebalan

lapisan atas, H kedalaman kondisi setimbang, elevasi muka laut, f parameter

Koriolis, g' adalah reduced gravity, koefisien drag dasar, viskositas lateral

dan adalah densitas air laut. Persamaan tersebut mempunyai kondisi batas

dirichlet untuk kecepatan u dan kondisi Newmann.(pembahasan detail menyusul)

Model sirkulasi laut skala local meliputi sirkulasi di pantai, teluk dan estuaria.

Ada banyak sekali model hidrodinamika yang telah dikembangkan untuk

memerikan sirkulasi diderah tersebut. Pada umumnya ada dua fenomena dasar

untuk studi dinamika skala local yaitu model hidrodinamika dan model adveksi

difusi yang diperikan secara ringkas sebagai berikut

0'

uh

hu

hgufuu

t

u

0

uh

t

Model HidrodinamikaModel ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tinggi muka air yang terjadi

jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang horisontalnya sehingga

besaran kecepatan dirata-ratakan terhadap kedalaman. Dengan asumsi ini

maka sirkulasi yang terjadi hanya dalam arah horisontal. Model hidrodinamika

terdiri dari persamaan kekekalan massa atau persamaan kontinuitas dan

persamaan kekekalan momentum atau persamaan gerak. Persamaan

kontinuitas dinyatakan sebagai berikut:

(1)

dimana adalah variasi tinggi muka air (water level variation) (catatan: variasi

tinggi muka air dapat disebabkan oleh gelombang dan pasang surut), t adalah

waktu (detik), U dan V adalah komponen kecepatan pada arah x dan y pada

suatu kedalaman tertentu (m/s), H adalah kedalaman total dari kolom air (m),

Q adalah banyaknya air yang diinjeksi (masukan dari sungai yang dinyatakan

dalam debit m3/s). Sedangkan untuk persamaan momentum pada diberikan

oleh:

(2)

(3)

dimana f adalah parameter Coriolisdengan kecepatan angular dari rotasi bumi dan adalah besarnya lintang

bumi, g adalah percepatan gravitasi bumi, adalah parameter stress geser

angin , adalah densitas dari perairan, adalah densitas

udara, C adalah koefisien drag angin, W dan W adalah komponen kecepatan x yangin pada arah x dan y, adalah wind speed, c adalah faktor gesekan Chezy.

Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan dua macam kondisi batas yaitu:- Variasi muka air terhadap waktu.- Tak ada kondisi batas arus.

Kondisi batas (a) dapat berupa data arus yang dinyatakan dalam file tersendiri

serta fungsi sinusoidal yang telah diberikan dalam model dengan memasukkan

amplitude, frekuensi dan beda fasenya.

k

a

D

Q

y

VH

x

UH

t

)(||)(

2/1222 ox uu

H

QWW

H

kuvu

HC

gfv

xg

y

uv

x

uu

t

u

)(||)(2/122

2 oy vvH

QWW

H

kvvu

HC

gfu

yg

y

vv

x

vu

t

v

sin2f

)(

DaCk

75Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

76Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 91: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB VIIIMetoda Numerik Dinamika Laut Albert Sulaiman

Dinamika perairan Indonesia dapat dibagi menjadi dua skala yaitu dinamika

skala regional dan dinmaika skala local. Dinmaika skala regional meliputi

dinamika samufra pasifik barat, dinamiak arus lintas Indonesia, dinamika

samudra India timur dan paparan. Sedangkan skala local umummya terdiri

system teluk dan pantai. Perbedaan antara mereka dalam pemodelan

ditentukan oleh factor skaling dan gaya pengeraknnya. Pemerian keduanya

dapat dilihat sebagai berikut:

Model regional mempunyai gaya pembangkit angina dengan skala ruang yang

luas (orde puluhan km) dan skala temporal yang lebih lama (hari-bulan). Gaya

pengerak utama adalah angin dan beda tekanan. Model ini didasarkan pada

persamaan kekekalan momentum dan persamaan kekekalan massa yang dapat

dinyatakan dalam persamaan berikut:

(1)

(2)

Dimana u=(u,v) adalah kecepatan zonal and meridional, h adalah ketebalan

lapisan atas, H kedalaman kondisi setimbang, elevasi muka laut, f parameter

Koriolis, g' adalah reduced gravity, koefisien drag dasar, viskositas lateral

dan adalah densitas air laut. Persamaan tersebut mempunyai kondisi batas

dirichlet untuk kecepatan u dan kondisi Newmann.(pembahasan detail menyusul)

Model sirkulasi laut skala local meliputi sirkulasi di pantai, teluk dan estuaria.

Ada banyak sekali model hidrodinamika yang telah dikembangkan untuk

memerikan sirkulasi diderah tersebut. Pada umumnya ada dua fenomena dasar

untuk studi dinamika skala local yaitu model hidrodinamika dan model adveksi

difusi yang diperikan secara ringkas sebagai berikut

0'

uh

hu

hgufuu

t

u

0

uh

t

Model HidrodinamikaModel ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tinggi muka air yang terjadi

jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang horisontalnya sehingga

besaran kecepatan dirata-ratakan terhadap kedalaman. Dengan asumsi ini

maka sirkulasi yang terjadi hanya dalam arah horisontal. Model hidrodinamika

terdiri dari persamaan kekekalan massa atau persamaan kontinuitas dan

persamaan kekekalan momentum atau persamaan gerak. Persamaan

kontinuitas dinyatakan sebagai berikut:

(1)

dimana adalah variasi tinggi muka air (water level variation) (catatan: variasi

tinggi muka air dapat disebabkan oleh gelombang dan pasang surut), t adalah

waktu (detik), U dan V adalah komponen kecepatan pada arah x dan y pada

suatu kedalaman tertentu (m/s), H adalah kedalaman total dari kolom air (m),

Q adalah banyaknya air yang diinjeksi (masukan dari sungai yang dinyatakan

dalam debit m3/s). Sedangkan untuk persamaan momentum pada diberikan

oleh:

(2)

(3)

dimana f adalah parameter Coriolisdengan kecepatan angular dari rotasi bumi dan adalah besarnya lintang

bumi, g adalah percepatan gravitasi bumi, adalah parameter stress geser

angin , adalah densitas dari perairan, adalah densitas

udara, C adalah koefisien drag angin, W dan W adalah komponen kecepatan x yangin pada arah x dan y, adalah wind speed, c adalah faktor gesekan Chezy.

Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan dua macam kondisi batas yaitu:- Variasi muka air terhadap waktu.- Tak ada kondisi batas arus.

Kondisi batas (a) dapat berupa data arus yang dinyatakan dalam file tersendiri

serta fungsi sinusoidal yang telah diberikan dalam model dengan memasukkan

amplitude, frekuensi dan beda fasenya.

k

a

D

Q

y

VH

x

UH

t

)(||)(

2/1222 ox uu

H

QWW

H

kuvu

HC

gfv

xg

y

uv

x

uu

t

u

)(||)(2/122

2 oy vvH

QWW

H

kvvu

HC

gfu

yg

y

vv

x

vu

t

v

sin2f

)(

DaCk

75Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

76Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 92: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Model Adveksi-DifusiModel adveksi-dispersi memerikan sebaran suatu partikel polutan dalam kolom

air, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan vertikal tersebut

terkait dengan pengaruh arus (proses adveksi), sedangkan pergerakan

horizontal berhubungan dengan proses dispersi (termasuk difusi turbulensi).

Partikel S dapat berupa beberapa jenis polutan, termasuk polutan terlarut

maupun tersuspensi. Sebagai dasar perhitungan untuk kualitas perairan,

model akan menghitung salinitas dan temperatur perairan. Beberapa variabel

yang dapat dimodelkan adalah oksigen terlarut (DO), biological oxygen demand

(BOD), ammonia (NH3), nitrat (NO3), phospat (PO4), dan polutan yang lain,

seperti sisa pakan dan faeces. Bentuk umum dari persamaan adveksi-dispersi

untuk sembarang padatan S adalah sebagai berikut:

(4)

atau sebagai alternatif, dapat ditulis

(5)

dimana c adalah konsentrasi berupa limpahan yang disebabkan oleh

penambahan sedimen atau pengaruh temperatur, u adalah kecepatan yang

diberikan pada setiap elemen yang diberikan oleh persamaan hidrodinamika,

Dx adalah koefisien dispersi longitudinal, Dy adalah koefisien dispersi

transversal, S adalah bentuk fluks massa, Q adalah air yang diinjeksikan, co

adalah konsentrasi berupa limpahan konsentrasi sedimen/temperatur dari

aliran yang masuk (dari debit sungai dll).

DAFTAR PUSTAKADoneker,R et al “Pollutant Transport and Mixing Zone Simulation of

SedimentDensity Currents” JOURNAL OF HYDRAULIC ENGINEERING © ASCE /

APRIL 2004Officer,B 1978 “Physical Oceanography of Estuaries” John Willey & Son, New

York.Rijn,L.C 1993 “Principles of Sedimen Transport in Rivers, Estuaries and Coastal

Waters“ Aqua Pubh. Amsterdam.

oyx QcSHc

tHcu

xy

cHD

yx

cHD

x

oyx QcS

t

cH

x

cHu

y

cHD

yx

cHD

x

BAB IXModel Spektral Elemen Hingga di Selat Makassar Fadli Syamsudin

Salah satu skema penyelesaian persamaan model regional adalah dengan

Spectral Element Ocean Model (SEOM) yang dikembangkan oleh Rutgers

University. SEOM adalah sebuah tipe h-p model dari elemen hingga (finite

element) yaitu mendekati solusi dengan apa yang disebut dengan unstructured

grid of quadrilateral elements. SEOM secara akurat dapat mensimulasi

dinamika gelombang dan arus dalam batimetri yang kompleks termasuk garis

pantai yang rumit dan pulau (Syamsudin, 2001).

Salah satu hal yang menarik dari penerapan model ini adalah melihat dinamika

propagasi gelombang Kelvin dari samudra India ke perairan Indonesia. Langkah

pertama adalah dengan membangun grid elemen hingga dari samudra India

timur sampai laut Sulawesi. Beberapa pengambaran elemen dapat dilihat pada

gambar 9.1.

Hasil simulasi dengan SEOM untuk propagasi gelombang Kelvin dengan periode

50 hari yang menjalar dari samudra India menyusur pantai Sumatra, Jawa dan

masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat Lombok dapat dilihat pada

gambar 9.2.

Gambar 9.1 289 elemen hingga di SelatMakassar dan Laut Sulawesi.

77Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

78Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 93: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Model Adveksi-DifusiModel adveksi-dispersi memerikan sebaran suatu partikel polutan dalam kolom

air, baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan vertikal tersebut

terkait dengan pengaruh arus (proses adveksi), sedangkan pergerakan

horizontal berhubungan dengan proses dispersi (termasuk difusi turbulensi).

Partikel S dapat berupa beberapa jenis polutan, termasuk polutan terlarut

maupun tersuspensi. Sebagai dasar perhitungan untuk kualitas perairan,

model akan menghitung salinitas dan temperatur perairan. Beberapa variabel

yang dapat dimodelkan adalah oksigen terlarut (DO), biological oxygen demand

(BOD), ammonia (NH3), nitrat (NO3), phospat (PO4), dan polutan yang lain,

seperti sisa pakan dan faeces. Bentuk umum dari persamaan adveksi-dispersi

untuk sembarang padatan S adalah sebagai berikut:

(4)

atau sebagai alternatif, dapat ditulis

(5)

dimana c adalah konsentrasi berupa limpahan yang disebabkan oleh

penambahan sedimen atau pengaruh temperatur, u adalah kecepatan yang

diberikan pada setiap elemen yang diberikan oleh persamaan hidrodinamika,

Dx adalah koefisien dispersi longitudinal, Dy adalah koefisien dispersi

transversal, S adalah bentuk fluks massa, Q adalah air yang diinjeksikan, co

adalah konsentrasi berupa limpahan konsentrasi sedimen/temperatur dari

aliran yang masuk (dari debit sungai dll).

DAFTAR PUSTAKADoneker,R et al “Pollutant Transport and Mixing Zone Simulation of

SedimentDensity Currents” JOURNAL OF HYDRAULIC ENGINEERING © ASCE /

APRIL 2004Officer,B 1978 “Physical Oceanography of Estuaries” John Willey & Son, New

York.Rijn,L.C 1993 “Principles of Sedimen Transport in Rivers, Estuaries and Coastal

Waters“ Aqua Pubh. Amsterdam.

oyx QcSHc

tHcu

xy

cHD

yx

cHD

x

oyx QcS

t

cH

x

cHu

y

cHD

yx

cHD

x

BAB IXModel Spektral Elemen Hingga di Selat Makassar Fadli Syamsudin

Salah satu skema penyelesaian persamaan model regional adalah dengan

Spectral Element Ocean Model (SEOM) yang dikembangkan oleh Rutgers

University. SEOM adalah sebuah tipe h-p model dari elemen hingga (finite

element) yaitu mendekati solusi dengan apa yang disebut dengan unstructured

grid of quadrilateral elements. SEOM secara akurat dapat mensimulasi

dinamika gelombang dan arus dalam batimetri yang kompleks termasuk garis

pantai yang rumit dan pulau (Syamsudin, 2001).

Salah satu hal yang menarik dari penerapan model ini adalah melihat dinamika

propagasi gelombang Kelvin dari samudra India ke perairan Indonesia. Langkah

pertama adalah dengan membangun grid elemen hingga dari samudra India

timur sampai laut Sulawesi. Beberapa pengambaran elemen dapat dilihat pada

gambar 9.1.

Hasil simulasi dengan SEOM untuk propagasi gelombang Kelvin dengan periode

50 hari yang menjalar dari samudra India menyusur pantai Sumatra, Jawa dan

masuk ke perairan dalam Indonesia melalui selat Lombok dapat dilihat pada

gambar 9.2.

Gambar 9.1 289 elemen hingga di SelatMakassar dan Laut Sulawesi.

77Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

78Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 94: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Sistem arus dan amplituda gelombang Kelvin pada eksperimen model ini sesuai

dengan hasil observasi di Selat Makassar (Syamsudin, 2001). Simulasi juga

menunjukkan bahwa gelombang Keli yang masuk ke perairan Indonesia dapat

mereduksi transport arus lintas.

DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F., “On Kelvin Wave Propagation Effects on Indonesian

Throughflow in Makassar Strait”, Thesis Master di Rutgers University, 2001.

Gambar 9.2 Propagasi gelombang Kelvin masuk ke perairan dalam Indonesia. atas) amplitudgelombang; bawah) sistem arus.

BAB XModel Sebaran Zat Hara untuk Hidro-Ekologi

Perairan Teluk Albert Sulaiman

Dalam praktek hanya kasus yang sangat sederhana saja persamaan 4.1-4.5

dapat dipecahkan secara analitik. Karena kesulitan mencari solusi analitik

maka digunakan metode numeric. Metode yang paling banyak di pakai adalah

metode beda hingga dan metode elemen hingga. Banyak perangkat lunak telah

dikembangkan orang misalnya AquaSea, Mike21, SMS, Princeton Ocean Model

(POM) dan lain sebagainya. Pada umunya setiap model mensyaratkan data

batimetri perairan. Data lain yang sangat di perlukan adalah data pasang surut

karena pada skala ini salah satu gaya yang paling dominant adalah pasang

surut. Data yang lain yang cukup signifikan untuk sirkulasi arus skala local

adalah data angin. Beberapa data pendukung seperti discharge dari sungai,

sumber polutan dan lain sebagainya juga diperlukan. Berikut akan diberikan

contoh penerapan sirkulasi skala local di daerah teluk Hurun Lampung. Data

batimetri teluk Hurun dapat dilihat pada gambar 10.1.

Kedalaman dasar laut perairan teluk yang terdalam adalah 23,5 m yang

dijumpai di timur laut yaitu mulut teluk bagian selatan. Pada umumnya

perairan bagian mulut teluk mempunyai kedalaman dasar laut lebih besar dari

20,0 m. Garis pantai yang tertera dalam peta batimetri merupakan hasil

interpolasi terhadap data kedalaman yang terdekat dengan garis pantai. Untuk

mendapatkan peta batimetri perairan teluk, data titik-titik kedalaman dasar

laut tersebut diplot kedalam peta skala 1: 5000. Berdasarkan peta titik

kedalaman dasar laut tersebut kemudian dibuat peta batimetri dengan cara

menghubungkan titik-titik kedalaman yang sama, dengan interval garis kontur

2m. Peta batimetri yang dihasilkan menunjukkan pola garis kontur sampai

dengan kedalaman 10 m, mengikuti bentuk garis pantai teluk Hurun Hanura.

Kedalaman dasar laut lebih dari 18 m pada umumnya relatif datar dan

menempati bagian tengah daerah penyelidikan. Dasar perairan yang relatif

terjal hanya dijumpai di bagian pantai utara dan selatan yang pada bagian

daratnya umumnya berupa perbukitan. Dari peta terlihat bahwa bila dilihat

dari pola garis konturnya, daerah yang diduga tingkat sedimentasinya cukup

rendah adalah pada garis kontur lebih dari 16 m. Pengukuran pasang surut

79Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

80Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 95: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Sistem arus dan amplituda gelombang Kelvin pada eksperimen model ini sesuai

dengan hasil observasi di Selat Makassar (Syamsudin, 2001). Simulasi juga

menunjukkan bahwa gelombang Keli yang masuk ke perairan Indonesia dapat

mereduksi transport arus lintas.

DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F., “On Kelvin Wave Propagation Effects on Indonesian

Throughflow in Makassar Strait”, Thesis Master di Rutgers University, 2001.

Gambar 9.2 Propagasi gelombang Kelvin masuk ke perairan dalam Indonesia. atas) amplitudgelombang; bawah) sistem arus.

BAB XModel Sebaran Zat Hara untuk Hidro-Ekologi

Perairan Teluk Albert Sulaiman

Dalam praktek hanya kasus yang sangat sederhana saja persamaan 4.1-4.5

dapat dipecahkan secara analitik. Karena kesulitan mencari solusi analitik

maka digunakan metode numeric. Metode yang paling banyak di pakai adalah

metode beda hingga dan metode elemen hingga. Banyak perangkat lunak telah

dikembangkan orang misalnya AquaSea, Mike21, SMS, Princeton Ocean Model

(POM) dan lain sebagainya. Pada umunya setiap model mensyaratkan data

batimetri perairan. Data lain yang sangat di perlukan adalah data pasang surut

karena pada skala ini salah satu gaya yang paling dominant adalah pasang

surut. Data yang lain yang cukup signifikan untuk sirkulasi arus skala local

adalah data angin. Beberapa data pendukung seperti discharge dari sungai,

sumber polutan dan lain sebagainya juga diperlukan. Berikut akan diberikan

contoh penerapan sirkulasi skala local di daerah teluk Hurun Lampung. Data

batimetri teluk Hurun dapat dilihat pada gambar 10.1.

Kedalaman dasar laut perairan teluk yang terdalam adalah 23,5 m yang

dijumpai di timur laut yaitu mulut teluk bagian selatan. Pada umumnya

perairan bagian mulut teluk mempunyai kedalaman dasar laut lebih besar dari

20,0 m. Garis pantai yang tertera dalam peta batimetri merupakan hasil

interpolasi terhadap data kedalaman yang terdekat dengan garis pantai. Untuk

mendapatkan peta batimetri perairan teluk, data titik-titik kedalaman dasar

laut tersebut diplot kedalam peta skala 1: 5000. Berdasarkan peta titik

kedalaman dasar laut tersebut kemudian dibuat peta batimetri dengan cara

menghubungkan titik-titik kedalaman yang sama, dengan interval garis kontur

2m. Peta batimetri yang dihasilkan menunjukkan pola garis kontur sampai

dengan kedalaman 10 m, mengikuti bentuk garis pantai teluk Hurun Hanura.

Kedalaman dasar laut lebih dari 18 m pada umumnya relatif datar dan

menempati bagian tengah daerah penyelidikan. Dasar perairan yang relatif

terjal hanya dijumpai di bagian pantai utara dan selatan yang pada bagian

daratnya umumnya berupa perbukitan. Dari peta terlihat bahwa bila dilihat

dari pola garis konturnya, daerah yang diduga tingkat sedimentasinya cukup

rendah adalah pada garis kontur lebih dari 16 m. Pengukuran pasang surut

79Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

80Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 96: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

menunjukkan bahwa tipe pasang surut yang terjadi bertipe campuran, condong

ke harian. Periode dominan adalah 12 jam (semi-diurnal). Ketinggian

maksimum adalah 1 m. Berdasarkan data barimetri dan data pasang surut

maka model hirdodinamika dapat dijalankan dengan hasil pada gambar 10.2.

Dari gambar 10.2 dan 10.3 terlihat bahwa pada sirkulasi arus pada saat pasang

dan surut mempunyai pola yang sedikit berbeda. Pada saat pasang secara

umum arus akan masuk ke pantai dan pada saat surut arus akan menuju ke laut

lepas. Pada daerah dengan kedalaman sekitar 15m dimana daerah tersebut

berbentuk semacam cekungan, maka pola sirkulasi baik saat pasang dan surut

terdapat semacam eddy (putaran/gyre) dimana pada saat surut eddy berputar

searah jarum jam dan pada saat pasang eddy berputar berlawanan arah jarum

jam. Model adveksi-difusi dijalankan setelah mendapat masukan dari model

hidrodinamika (lihat gambar 10.4 dan 10.5).

Simulasi diatas menggunakan perangkat lunak Mike-21. Hasil menunjukkan

bahwa pada saat muka air surut terkeonsentrasi pada kisaran 2x10-4 3x10-4

Gambar 10.1 Kondisi batimetri teluk Hurun.Perangkat lunak yang digunakan adalah AquaSeayang dikembangkan oleh Vatnaskil Consulting Engineering.

Gambar 10.2 (atas) Kondisi arus pada saat surutGambar 10.3 (bawah) Kondisi sirkulasi arus pada saat pasang.

81Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

82Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 97: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

menunjukkan bahwa tipe pasang surut yang terjadi bertipe campuran, condong

ke harian. Periode dominan adalah 12 jam (semi-diurnal). Ketinggian

maksimum adalah 1 m. Berdasarkan data barimetri dan data pasang surut

maka model hirdodinamika dapat dijalankan dengan hasil pada gambar 10.2.

Dari gambar 10.2 dan 10.3 terlihat bahwa pada sirkulasi arus pada saat pasang

dan surut mempunyai pola yang sedikit berbeda. Pada saat pasang secara

umum arus akan masuk ke pantai dan pada saat surut arus akan menuju ke laut

lepas. Pada daerah dengan kedalaman sekitar 15m dimana daerah tersebut

berbentuk semacam cekungan, maka pola sirkulasi baik saat pasang dan surut

terdapat semacam eddy (putaran/gyre) dimana pada saat surut eddy berputar

searah jarum jam dan pada saat pasang eddy berputar berlawanan arah jarum

jam. Model adveksi-difusi dijalankan setelah mendapat masukan dari model

hidrodinamika (lihat gambar 10.4 dan 10.5).

Simulasi diatas menggunakan perangkat lunak Mike-21. Hasil menunjukkan

bahwa pada saat muka air surut terkeonsentrasi pada kisaran 2x10-4 3x10-4

Gambar 10.1 Kondisi batimetri teluk Hurun.Perangkat lunak yang digunakan adalah AquaSeayang dikembangkan oleh Vatnaskil Consulting Engineering.

Gambar 10.2 (atas) Kondisi arus pada saat surutGambar 10.3 (bawah) Kondisi sirkulasi arus pada saat pasang.

81Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

82Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 98: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 10.4 Simulasi Phospat ada saat surut rendah.

Gambar 10.5 Simulasi Phospat a) pada saat air mulai pasang, b) pada saat air pasang tinggi.

mg/l. Sedangkan pada air pasang tinggi kandungan phopat menurun menjadi

sekitar 1.6x10-5 mg/l.

DAFTAR PUSTAKABowden,K 1985 “Physical Oceanography of Coastal Waters” Ellis Horwood, New

York.Subandar,A; Lukiyanto & A. Sulaiman 2005 “Penentuan Daya Dukung

Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung” KMNRT, Jakarta.Suhardi,I & A. Sulaiman “Pendahuluan Geomorfologi Pantai Indonesia” under

construction.Velasco,G & C. Winant 2003 “Wind and Density Driven Circulation in a Well-

Mixed Estuary” J. Phys. Ocean Vol 34,1103-1116

83Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

84Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 99: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 10.4 Simulasi Phospat ada saat surut rendah.

Gambar 10.5 Simulasi Phospat a) pada saat air mulai pasang, b) pada saat air pasang tinggi.

mg/l. Sedangkan pada air pasang tinggi kandungan phopat menurun menjadi

sekitar 1.6x10-5 mg/l.

DAFTAR PUSTAKABowden,K 1985 “Physical Oceanography of Coastal Waters” Ellis Horwood, New

York.Subandar,A; Lukiyanto & A. Sulaiman 2005 “Penentuan Daya Dukung

Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung” KMNRT, Jakarta.Suhardi,I & A. Sulaiman “Pendahuluan Geomorfologi Pantai Indonesia” under

construction.Velasco,G & C. Winant 2003 “Wind and Density Driven Circulation in a Well-

Mixed Estuary” J. Phys. Ocean Vol 34,1103-1116

83Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

84Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 100: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB XIPengembangan Sistem Pemantauan Dinamika

Laut Indonesia Fadli Syamsudin

Potensi Bencana Alam dari Atmosfer dan LautSecara periodik 3-5 tahunan seluruh wilayah Indonesia terkena dampak

fenomena ENSO yang menyebabkan Indonesia mengalami kemarau yang

panjang pada saat El Nino dan musim hujan yang lama pada saat La Nina.

Fenomena ENSO ini tekah diketahui berasal dari mekanisme laut yang terjadi

di Samudera Pasifik, yaitu ketika kolam panas yang biasanya terkonsentrasi di

wilayah sekitar ekuatorial Pasifik Barat berpindah ke wilayah Pasifik Tengah

dan Timur akibat penjalaran gelombang Kelvin.

Kekosongan massa air hangat yang menjadi sumber panas konveksi (curah

hujan yang cukup di wilayah Indonesia), digantikan oleh naiknya massa air

dingin oleh proses upwelling dari kedalaman di wilayah ekuatorial Pasifik Barat

yang menyebabkan wilayah Indonesia kehilangan sumber panas konveksi dan

menjadikan wilayah ini kekeringan. Hal yang sebaliknya terjadi pada saat La

Nina berlangsung.

Disisi lain, proses internal dinamika Samudera Hindia menyebabkan fenomena

serupa seperti yang terjadi di Samudera Pasifik, yaitu fenomena Indian Ocean

Dipole (IOD). Fenomena ini belum banyak diketahui masyarakat Indonesia,

namun fenomena ini telah membuat musim kemarau semakin panjang pada

tahun 1997, ketika IOD datang secara bersamaan saat terjadinya El Nino dari

Samudera Pasifik dan menyebabkan tahun 1997 seluruh Indonesia mengalami

musim kering yang diikuti dengan kebakaran hutan. Musim kering pada tahun

1997 tercatat sebagai yang terbesar selama ini. IOD tercatat juga terjadi pada

tahun 1994.

Selain fenomena regional di atas, wilayah Indonesia juga sangat intens

dipengaruhi badai tropis yang terjadi di sekitar Laut China Selatan, perairan

Teluk Benggala, Laut Timor dan Samudera Hindia bagian timur. Badai tropis ini

selain menyebabkan suatu wilayah mengalami curah hujan yang tinggi dalam

durasi yang panjang juga menimbulkan badai pasang akibat meningkatnya

tinggi muka laut di perairan yang dilaluinya. Hal itu berbahaya pada bangunan

dan pemukiman sekitar pantai apabila gelombang pasang mencapai wilayah

tersebut.

Dengan kondisi seperti itu, wilayah Indonesia memerlukan sebuah sistem

peringatan dini yang dapat memberitahukan informasi akurat sejak dini

kedatangan bencana yang disebabkan interaksi laut dan atmosfer. Hal itu

dapat dilakukan dengan memantau perubahan lingkungan laut dan atmosfer di

sekitar wilayah Indonesia sejak sebelum terjadinya bencana alam tersebut.

Parameter Oseanografi Untuk Proxy Prediksi El Nino dan La Nina Fase awal El Nino terjadi karena melemahnya sistem angin pasat timur

(easterly trade wind) di ekuator Pasifik, kemudian dilanjutkan dengan

menguatnya sistem angin pasat barat (westerly trade wind) yang memindahkan

konsentrasi massa air hangat lebih besar atau sama dengan 29 derajat C di

kolam panas Samudera Pasifik barat ke bagian tengah dan timur. Kekosongan

massa air hangat tersebut di Samudera Pasifik barat kemudian diisi massa air

dingin melalui proses upwelling (taikan air).

Dengan nilai Indeks NINO3 (yaitu wilayah di Pasifik Tengah dan Timur) sebesar

2 dan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) -10, maka fenomena

El Nino dapat didefinisikan telah berlangsung. Khusus perairan Indonesia, kami

Gambar 11.1 Rekaman data arus kedalaman 225 m pada mooring yang ditambatkan di SelatMakassar (panel atas) dan perbandingan data arus hasil filter 30 hari dengan indek osilasi

selatan (panel bawah) [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit Pelaksana Teknis Baruna Jaya].

85Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

86Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 101: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB XIPengembangan Sistem Pemantauan Dinamika

Laut Indonesia Fadli Syamsudin

Potensi Bencana Alam dari Atmosfer dan LautSecara periodik 3-5 tahunan seluruh wilayah Indonesia terkena dampak

fenomena ENSO yang menyebabkan Indonesia mengalami kemarau yang

panjang pada saat El Nino dan musim hujan yang lama pada saat La Nina.

Fenomena ENSO ini tekah diketahui berasal dari mekanisme laut yang terjadi

di Samudera Pasifik, yaitu ketika kolam panas yang biasanya terkonsentrasi di

wilayah sekitar ekuatorial Pasifik Barat berpindah ke wilayah Pasifik Tengah

dan Timur akibat penjalaran gelombang Kelvin.

Kekosongan massa air hangat yang menjadi sumber panas konveksi (curah

hujan yang cukup di wilayah Indonesia), digantikan oleh naiknya massa air

dingin oleh proses upwelling dari kedalaman di wilayah ekuatorial Pasifik Barat

yang menyebabkan wilayah Indonesia kehilangan sumber panas konveksi dan

menjadikan wilayah ini kekeringan. Hal yang sebaliknya terjadi pada saat La

Nina berlangsung.

Disisi lain, proses internal dinamika Samudera Hindia menyebabkan fenomena

serupa seperti yang terjadi di Samudera Pasifik, yaitu fenomena Indian Ocean

Dipole (IOD). Fenomena ini belum banyak diketahui masyarakat Indonesia,

namun fenomena ini telah membuat musim kemarau semakin panjang pada

tahun 1997, ketika IOD datang secara bersamaan saat terjadinya El Nino dari

Samudera Pasifik dan menyebabkan tahun 1997 seluruh Indonesia mengalami

musim kering yang diikuti dengan kebakaran hutan. Musim kering pada tahun

1997 tercatat sebagai yang terbesar selama ini. IOD tercatat juga terjadi pada

tahun 1994.

Selain fenomena regional di atas, wilayah Indonesia juga sangat intens

dipengaruhi badai tropis yang terjadi di sekitar Laut China Selatan, perairan

Teluk Benggala, Laut Timor dan Samudera Hindia bagian timur. Badai tropis ini

selain menyebabkan suatu wilayah mengalami curah hujan yang tinggi dalam

durasi yang panjang juga menimbulkan badai pasang akibat meningkatnya

tinggi muka laut di perairan yang dilaluinya. Hal itu berbahaya pada bangunan

dan pemukiman sekitar pantai apabila gelombang pasang mencapai wilayah

tersebut.

Dengan kondisi seperti itu, wilayah Indonesia memerlukan sebuah sistem

peringatan dini yang dapat memberitahukan informasi akurat sejak dini

kedatangan bencana yang disebabkan interaksi laut dan atmosfer. Hal itu

dapat dilakukan dengan memantau perubahan lingkungan laut dan atmosfer di

sekitar wilayah Indonesia sejak sebelum terjadinya bencana alam tersebut.

Parameter Oseanografi Untuk Proxy Prediksi El Nino dan La Nina Fase awal El Nino terjadi karena melemahnya sistem angin pasat timur

(easterly trade wind) di ekuator Pasifik, kemudian dilanjutkan dengan

menguatnya sistem angin pasat barat (westerly trade wind) yang memindahkan

konsentrasi massa air hangat lebih besar atau sama dengan 29 derajat C di

kolam panas Samudera Pasifik barat ke bagian tengah dan timur. Kekosongan

massa air hangat tersebut di Samudera Pasifik barat kemudian diisi massa air

dingin melalui proses upwelling (taikan air).

Dengan nilai Indeks NINO3 (yaitu wilayah di Pasifik Tengah dan Timur) sebesar

2 dan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) -10, maka fenomena

El Nino dapat didefinisikan telah berlangsung. Khusus perairan Indonesia, kami

Gambar 11.1 Rekaman data arus kedalaman 225 m pada mooring yang ditambatkan di SelatMakassar (panel atas) dan perbandingan data arus hasil filter 30 hari dengan indek osilasi

selatan (panel bawah) [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit Pelaksana Teknis Baruna Jaya].

85Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

86Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 102: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 11.2. Perbedaan Indeks Osilasi Selatan dan Anomali Suhu Permukaan Laut (STA)serta Tinggi Muka Laut (SLA) di Selat Lombok [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit

Pelaksana Teknis Baruna Jaya].

melakukan analisis deret waktu data arus, suhu, dan pasang surut (pasut) di

Selat Makassar dan Lombok, kemudian dibandingkan dengan Indeks Osilasi

Selatan (Southern Oscillation Index).

Gambar 11.1 dan 11.2 menunjukkan dengan jelas Indek Osilasi selatan

mempunyai korelasi yang signifikan dengan phase tertinggal (phase lag) sekitar

1,5-3 bulan, terhadap data arus 225 m hasil filter 30 harian di Selat Makassar

(gambar 11.1), dan juga dengan suhu dan pasut di Selat Lombok (gambar

11.2).

Fakta ini menunjukkan bahwa sinyal akan terjadinya El Nino telah terdeteksi di

perairan Indonesia sejak 1,5 sampai 3 bulan sebelumnya. Hal ini dapat menjadi

proxy prediksi datangnya ENSO sejak awal dengan mengamati perubahan

parameter Oseanografi yang terjadi di perairan Indonesia.

Fenomena IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) dan Perubahan Iklim Regional Indian Ocean Dipole (IOD) adalah perbedaan anomali dua kutub Suhu

Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur (perairan Indonesia

sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia bagian tengah sampai barat

(perairan pantai timur benua Afrika) (Saji dkk., 1999). Evolusi terjadinya IOD dimulai dengan menguatnya angin tenggara di Samudera

Hindia sepanjang pantai di perairan selatan Jawa dan Sumatera, kemudian

diikuti dengan perubahan angin baratan (kondisi normal) menjadi angin

timuran sepanjang ekuator Samudera Hindia. IOD terbentuk apabila ada

indikasi terjadi anomali negatif SPL di Samudera Hindia bagian timur diikuti

anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian tengah sampai barat.

Indikasi awal sinyal IOD dapat dilacak dengan melihat data anomali angin

timuran dari ECMWF (European Center for Medium-Range Weather Forecast)

satelit NOAA dan meningkatnya anomali positif SPL (1.5-2 derajat celsius) di

Samudera Hindia tengah dan barat.

Demikian juga analisis data satelit anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR)

yang dapat dipantau langsung dari hasil rekaman Pusat Diagnostik Iklim

(Climate Diagnostic Center), National Oceanic and Atmospheric Administration

(NOAA), apabila menunjukkan anomali positif OLR 70-90 Watt/m2 (sedikit

konveksi mengakibatkan curah hujan menurun) ditandai dengan kontur warna

biru gelap di Samudera Hindia bagian timur, terfokus di perairan selatan Jawa

dan Sumatera, dan anomali negatif OLR 50-70 Watt/m2 (banyak konveksi

mengakibatkan curah hujan meningkat) ditandai dengan kontur warna merah

muda di Samudera Hindia bagian tengah.

Disamping itu dapat diketahui dengan semakin menguatnya angin tenggara

sepanjang pesisir pantai Jawa dan Sumatera yang akan meningkatkan

konsentrasi massa air dingin (anomaly SPL negatif) di wilayah tersebut, akibat

intensitas upwellig yang meningkat.

Semua fenomena yang dipaparkan di atas adalah untuk menjelaskan IOD fase

positif yang berdampak pada kekeringan seperti halnya El Nino. Selain itu ada

proses fisik yang berlawanan dengan mekanisme di atas, yaitu IOD fase negatif

yang berdampak pada peningkatan intensitas hujan seperti halnya La Nina. IOD dengan fase positif pernah terjadi pada tahun 1982, 1994 dan 1997,

sedangkan fase negatif DME pada tahun 1984-1954 dan 1996. Fase positif

(negatif) mempunyai karakteristik memanasnya (mendinginnya) Suhu

Permukaan Laut (SPL) di bagian barat Samudera Hindia (perairan sekitar pantai

timur Afrika), sedangkan di bagian timur Samudera Hindia (perairan sekitar

Sumatra dan Jawa) terjadi pendinginan (pemanasan) yang berlebihan dari

kondisi normalnya.

Demikian juga kecepatan Wyrtki jet (system arus dengan kecepatan tinggi yang

bergerak ke timur sepanjang ekuator Samudera Hindia dan umumnya terjadi

dua kali setahun pada bulan April-Mei dan Oktober-November) mengalami

penurunan (kenaikan) selama fase positif (negatif) IOD dan diikuti dengan

87Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

88Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 103: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 11.2. Perbedaan Indeks Osilasi Selatan dan Anomali Suhu Permukaan Laut (STA)serta Tinggi Muka Laut (SLA) di Selat Lombok [Sumber gambar: Bambang Herunadi, Unit

Pelaksana Teknis Baruna Jaya].

melakukan analisis deret waktu data arus, suhu, dan pasang surut (pasut) di

Selat Makassar dan Lombok, kemudian dibandingkan dengan Indeks Osilasi

Selatan (Southern Oscillation Index).

Gambar 11.1 dan 11.2 menunjukkan dengan jelas Indek Osilasi selatan

mempunyai korelasi yang signifikan dengan phase tertinggal (phase lag) sekitar

1,5-3 bulan, terhadap data arus 225 m hasil filter 30 harian di Selat Makassar

(gambar 11.1), dan juga dengan suhu dan pasut di Selat Lombok (gambar

11.2).

Fakta ini menunjukkan bahwa sinyal akan terjadinya El Nino telah terdeteksi di

perairan Indonesia sejak 1,5 sampai 3 bulan sebelumnya. Hal ini dapat menjadi

proxy prediksi datangnya ENSO sejak awal dengan mengamati perubahan

parameter Oseanografi yang terjadi di perairan Indonesia.

Fenomena IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) dan Perubahan Iklim Regional Indian Ocean Dipole (IOD) adalah perbedaan anomali dua kutub Suhu

Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur (perairan Indonesia

sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia bagian tengah sampai barat

(perairan pantai timur benua Afrika) (Saji dkk., 1999). Evolusi terjadinya IOD dimulai dengan menguatnya angin tenggara di Samudera

Hindia sepanjang pantai di perairan selatan Jawa dan Sumatera, kemudian

diikuti dengan perubahan angin baratan (kondisi normal) menjadi angin

timuran sepanjang ekuator Samudera Hindia. IOD terbentuk apabila ada

indikasi terjadi anomali negatif SPL di Samudera Hindia bagian timur diikuti

anomali positif SPL di Samudera Hindia bagian tengah sampai barat.

Indikasi awal sinyal IOD dapat dilacak dengan melihat data anomali angin

timuran dari ECMWF (European Center for Medium-Range Weather Forecast)

satelit NOAA dan meningkatnya anomali positif SPL (1.5-2 derajat celsius) di

Samudera Hindia tengah dan barat.

Demikian juga analisis data satelit anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR)

yang dapat dipantau langsung dari hasil rekaman Pusat Diagnostik Iklim

(Climate Diagnostic Center), National Oceanic and Atmospheric Administration

(NOAA), apabila menunjukkan anomali positif OLR 70-90 Watt/m2 (sedikit

konveksi mengakibatkan curah hujan menurun) ditandai dengan kontur warna

biru gelap di Samudera Hindia bagian timur, terfokus di perairan selatan Jawa

dan Sumatera, dan anomali negatif OLR 50-70 Watt/m2 (banyak konveksi

mengakibatkan curah hujan meningkat) ditandai dengan kontur warna merah

muda di Samudera Hindia bagian tengah.

Disamping itu dapat diketahui dengan semakin menguatnya angin tenggara

sepanjang pesisir pantai Jawa dan Sumatera yang akan meningkatkan

konsentrasi massa air dingin (anomaly SPL negatif) di wilayah tersebut, akibat

intensitas upwellig yang meningkat.

Semua fenomena yang dipaparkan di atas adalah untuk menjelaskan IOD fase

positif yang berdampak pada kekeringan seperti halnya El Nino. Selain itu ada

proses fisik yang berlawanan dengan mekanisme di atas, yaitu IOD fase negatif

yang berdampak pada peningkatan intensitas hujan seperti halnya La Nina. IOD dengan fase positif pernah terjadi pada tahun 1982, 1994 dan 1997,

sedangkan fase negatif DME pada tahun 1984-1954 dan 1996. Fase positif

(negatif) mempunyai karakteristik memanasnya (mendinginnya) Suhu

Permukaan Laut (SPL) di bagian barat Samudera Hindia (perairan sekitar pantai

timur Afrika), sedangkan di bagian timur Samudera Hindia (perairan sekitar

Sumatra dan Jawa) terjadi pendinginan (pemanasan) yang berlebihan dari

kondisi normalnya.

Demikian juga kecepatan Wyrtki jet (system arus dengan kecepatan tinggi yang

bergerak ke timur sepanjang ekuator Samudera Hindia dan umumnya terjadi

dua kali setahun pada bulan April-Mei dan Oktober-November) mengalami

penurunan (kenaikan) selama fase positif (negatif) IOD dan diikuti dengan

87Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

88Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 104: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

menebalnya (menipisnya) lapisan termoklin (perubahan suhu secara drastis

pada suatu kedalaman tertentu di laut) dari kondisi normalnya di Samudera

Hindia bagian timur dan sebaliknya menipis (menebal) di Samudera Hindia

bagian barat.

Dampak dari perubahan kondisi Oseanografi di atas menyebabkan hujan

(kemarau) yang berkepanjangan di Kenya dan negara di pantai timur Afrika

serta beberapa daerah di India bagian barat, sedangkan Indonesia dan negara

sekitarnya, dimana kolam dingin (panas) berada di Samudera Hindia bagian

barat, akan mengalami kemarau (hujan) pada saat terjadinya fase positif

(negatif) IOD.

Gambar 11.3 Penampang menegak suhu secara melintang pada 900 BT;4 LU 4 LS, yang diambil dari Kapal Riset Mirai (JAMSTEC, Jepang) pada bulan Oktober 2001.

Kami sajikan hasil pengukuran suhu laut yang diambil pada pelayaran Kapal

Riset Mirai (Jepang) saat melintas perairan di ekuator Samudera Hindia bagian

barat pada bulan Oktober 2001 yang lalu untuk melihat perubahan parameter

Oseanografi yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur pada saat IOD fase

negative terjadi pada akhir tahun 2001 dan menyebabkan Indonesia mengalami

musim hujan yang berkepanjangan hingga bulan Maret 2002.

Gambar 11.3 adalah penampang menegak suhu di sekitar ekuator dari 4 LU 4

LS sepanjang lintasan yang dilalui K/R Mirai. Terlihat tertekan/menebalnya

lapisan termoklin sebagai akibat menguatnya arus Wyrtki jet. Kedalaman

lapisan homogen (ditandai dengan warna merah pada suhu 280C) sekitar 100-

120m adalah lebih tinggi dari kondisi normalnya yang berkisar 60-80m.

Indikasi di atas memberikan sinyal kuat terjadinya fase negatif IOD. Apabila

akumulasi panas yang terkumpul cukup besar dan diikuti juga dengan semakin

menebalnya lapisan termoklin, maka dapat diperkirakan besarnya transfer

panas (bahang) ke atmosfer sebagai akibat proses konveksi yang terjadi. Dan

laut adalah reservoar alam terbesar, maka konveksi panas tersebut sangat

signifikan menyebabkan hujan dalam skala regional.

Gambar 11.4 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 pada tanggal

05 LS

07 LS

09 LS

08 LS

06 LS

105

106

112

113

114

107

108

109

11

111

Gambar 11.4. Suhu Permukaan Laut satelit NOAA 12, yang diambil pada tangal28 Februari, 2002, pukul 05:01 WIB

(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA, BPPT).

89Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

90Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 105: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

menebalnya (menipisnya) lapisan termoklin (perubahan suhu secara drastis

pada suatu kedalaman tertentu di laut) dari kondisi normalnya di Samudera

Hindia bagian timur dan sebaliknya menipis (menebal) di Samudera Hindia

bagian barat.

Dampak dari perubahan kondisi Oseanografi di atas menyebabkan hujan

(kemarau) yang berkepanjangan di Kenya dan negara di pantai timur Afrika

serta beberapa daerah di India bagian barat, sedangkan Indonesia dan negara

sekitarnya, dimana kolam dingin (panas) berada di Samudera Hindia bagian

barat, akan mengalami kemarau (hujan) pada saat terjadinya fase positif

(negatif) IOD.

Gambar 11.3 Penampang menegak suhu secara melintang pada 900 BT;4 LU 4 LS, yang diambil dari Kapal Riset Mirai (JAMSTEC, Jepang) pada bulan Oktober 2001.

Kami sajikan hasil pengukuran suhu laut yang diambil pada pelayaran Kapal

Riset Mirai (Jepang) saat melintas perairan di ekuator Samudera Hindia bagian

barat pada bulan Oktober 2001 yang lalu untuk melihat perubahan parameter

Oseanografi yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur pada saat IOD fase

negative terjadi pada akhir tahun 2001 dan menyebabkan Indonesia mengalami

musim hujan yang berkepanjangan hingga bulan Maret 2002.

Gambar 11.3 adalah penampang menegak suhu di sekitar ekuator dari 4 LU 4

LS sepanjang lintasan yang dilalui K/R Mirai. Terlihat tertekan/menebalnya

lapisan termoklin sebagai akibat menguatnya arus Wyrtki jet. Kedalaman

lapisan homogen (ditandai dengan warna merah pada suhu 280C) sekitar 100-

120m adalah lebih tinggi dari kondisi normalnya yang berkisar 60-80m.

Indikasi di atas memberikan sinyal kuat terjadinya fase negatif IOD. Apabila

akumulasi panas yang terkumpul cukup besar dan diikuti juga dengan semakin

menebalnya lapisan termoklin, maka dapat diperkirakan besarnya transfer

panas (bahang) ke atmosfer sebagai akibat proses konveksi yang terjadi. Dan

laut adalah reservoar alam terbesar, maka konveksi panas tersebut sangat

signifikan menyebabkan hujan dalam skala regional.

Gambar 11.4 adalah citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 pada tanggal

05 LS

07 LS

09 LS

08 LS

06 LS

105

106

112

113

114

107

108

109

11

111

Gambar 11.4. Suhu Permukaan Laut satelit NOAA 12, yang diambil pada tangal28 Februari, 2002, pukul 05:01 WIB

(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA, BPPT).

89Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

90Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 106: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

28 Februari, 2002 yang diolah laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA di

sekitar perairan selatan Jawa dan Barat Sumatra. Analisis citra SPL satelit NOAA-12 menunjukkan dominasi suhu tinggi dalam

kisaran 28-320C (warna merah menunjukkan kontras suhu yang tinggi,

sedangkan putih adalah wilayah yang tertutup awan) di sekitar Samudera

Hindia bagian timur yang berkorelasi positif dengan pengamatan hidrologi K/R

Mirai (gambar 11.3).

Melihat kondisi di atas, dapat dimengerti mengapa intensitas hujan pada bulan

Februari dan Maret 2002 sangat intens terjadi di wilayah sekitar P. Jawa dan

Sumatra. Khusus untuk Jakarta telah terjadi musibah nasional dengan bencana

banjir.

Sistem Informasi Data Laut dan Atmosfer IndonesiaData lapangan yang telah dibentangkan di atas menunjukkan bahwa parameter

Oseanografi dapat dijadikan parameter dasar untuk memantau datangnya

fenomena ENSO yang dipicu di Samudera Pasifik dan IOD dari Samudera Hindia.

Disamping itu dengan menggunakan analisis citra satelit Oseanografi dan

Meteorologi secara bersama-sama dapat juga dipantau sejak awal terjadinya

kedua fenomena perubahan iklim tersebut.

Dengan demikian analisis yang kredibel untuk prediksi datangnya ENSO dan IOD

dapat dilakukan dengan menggunakan data laut dan atmosfer yang

representatif.

Untuk membangun sistem monitoring perubahan iklim regional yang andal kita

harus membangun sistem informasi data laut dan atmosfer untuk wilayah

Indonesia yang dapat diperoleh secara terus menerus dan langsung (real time). Beberapa pelampung yang dilengkapi sensor untuk mengukur parameter

standar Oseanografi (suhu, salinitas, perubahan muka laut) dan Stasiun

Meteorologi (suhu, tekanan, arah, kecepatan angin, dan kelembaban)

sebaiknya dipasang di sepanjang Paparan Sunda Samudera Hindia untuk

menyidik sinyal Indian Ocean Dipole.

Untuk Samudera Pasifik, prasarana tersebut sudah tersedia melalui program

Tropical Atmosphere-Ocean (TAO)/TRITON berupa penambatan 70 buah stasiun

Oseanografi dan Meteorologi di sepanjang ekuator Samudera Pasifik. Program

ini merupakan kerja sama Pemerintah Amerika, Jepang, dan Perancis untuk

memonitor perkembangan ENSO.

Indonesia telah berperan aktif dalam program ini melalui kerjasama antara

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Marine Science

and Technology Center (JAMSTEC), Jepang.

Apabila prasarana standar sistem monitoring ini telah terpenuhi, ditambah lagi

dengan melimpahnya data satelit oseanografi laut (NOAA, TOPEX/POSEIDON)

dan meteorologi (NOAA, GMS, METEOSAT) yang dapat diakses dari berbagai

situs, maka prediksi perubahan iklim regional yang terjadi dapat dibuat sedini

dan setepat mungkin.

Sebagai penutup, kami ingin menunjukkan sensitivitas perairan bagian timur

Samudera Hindia, khususnya sekitar paparan Sunda dan Laut Jawa terhadap

perubahan iklim regional yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD.

Gambar 11.5 adalah lokasi transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra

satelit TOPEX/ERS-2 di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B)

[panel atas] dan Hoevmoller diagram ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel

bawah].

ATPL positif menunjukkan massa air hangat dan ATPL negatif untuk massa air

dingin. Massa air hangat selanjutnya berkolerasi dengan penguapan yang

intensif yang berakibat pada curah hujan tinggi, sebaliknya untuk massa air

dingin dengan terjadinya kekeringan, sebagai akibat konveksi panas yang

sedikit.

Analisis ATPL selama tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan Samudera Hindia

sangat sensitive terhadap perubahan iklim regional dibandingkan Laut Jawa.

Hal ini dapat dianalisis bahwa perubahan parameter Oseanografi di Samudera

Hindia, khususnya paparan Sunda sangat memegang peranan penting dalam

perubahan iklim regional.

Dari analisis ATPL pada gambar 11.5 dengan jelas kita dapat melihat curah

hujan tinggi yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia, khususnya

Indonesia bagian barat dilanda banjir seperti yang terjadi di Jakarta pada

bulan Januari dan mencapai puncaknya pada Februari pada tahun 2000 dan

2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan konsentrasi ATPL tinggi yang terjadi

dari bulan Januari s/d April selama tahun 2000 dan 2001.

Sebaliknya memasuki bulan Agustus s/d Oktober 2000, 2001, dan 2002

konsentrasi massa air dingin (ATPL negatif) mendominasi perairan paparan

Sunda dan hal ini berkorelasi dengan kekeringan yang datang berbarengan

dengan puncak musim kemarau.

Dengan demikian secara sederhana, kita dapat memantau perairan paparan

Sunda dan sekitarnya untuk prediksi musim kering dan musim basah di wilayah

Indonesia, khususnya Indonesia bagian Barat dan Tengah yang lebih didominasi

91Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

92Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 107: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

28 Februari, 2002 yang diolah laboratorium Remote Sensing dan GIS, P-TISDA di

sekitar perairan selatan Jawa dan Barat Sumatra. Analisis citra SPL satelit NOAA-12 menunjukkan dominasi suhu tinggi dalam

kisaran 28-320C (warna merah menunjukkan kontras suhu yang tinggi,

sedangkan putih adalah wilayah yang tertutup awan) di sekitar Samudera

Hindia bagian timur yang berkorelasi positif dengan pengamatan hidrologi K/R

Mirai (gambar 11.3).

Melihat kondisi di atas, dapat dimengerti mengapa intensitas hujan pada bulan

Februari dan Maret 2002 sangat intens terjadi di wilayah sekitar P. Jawa dan

Sumatra. Khusus untuk Jakarta telah terjadi musibah nasional dengan bencana

banjir.

Sistem Informasi Data Laut dan Atmosfer IndonesiaData lapangan yang telah dibentangkan di atas menunjukkan bahwa parameter

Oseanografi dapat dijadikan parameter dasar untuk memantau datangnya

fenomena ENSO yang dipicu di Samudera Pasifik dan IOD dari Samudera Hindia.

Disamping itu dengan menggunakan analisis citra satelit Oseanografi dan

Meteorologi secara bersama-sama dapat juga dipantau sejak awal terjadinya

kedua fenomena perubahan iklim tersebut.

Dengan demikian analisis yang kredibel untuk prediksi datangnya ENSO dan IOD

dapat dilakukan dengan menggunakan data laut dan atmosfer yang

representatif.

Untuk membangun sistem monitoring perubahan iklim regional yang andal kita

harus membangun sistem informasi data laut dan atmosfer untuk wilayah

Indonesia yang dapat diperoleh secara terus menerus dan langsung (real time). Beberapa pelampung yang dilengkapi sensor untuk mengukur parameter

standar Oseanografi (suhu, salinitas, perubahan muka laut) dan Stasiun

Meteorologi (suhu, tekanan, arah, kecepatan angin, dan kelembaban)

sebaiknya dipasang di sepanjang Paparan Sunda Samudera Hindia untuk

menyidik sinyal Indian Ocean Dipole.

Untuk Samudera Pasifik, prasarana tersebut sudah tersedia melalui program

Tropical Atmosphere-Ocean (TAO)/TRITON berupa penambatan 70 buah stasiun

Oseanografi dan Meteorologi di sepanjang ekuator Samudera Pasifik. Program

ini merupakan kerja sama Pemerintah Amerika, Jepang, dan Perancis untuk

memonitor perkembangan ENSO.

Indonesia telah berperan aktif dalam program ini melalui kerjasama antara

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Marine Science

and Technology Center (JAMSTEC), Jepang.

Apabila prasarana standar sistem monitoring ini telah terpenuhi, ditambah lagi

dengan melimpahnya data satelit oseanografi laut (NOAA, TOPEX/POSEIDON)

dan meteorologi (NOAA, GMS, METEOSAT) yang dapat diakses dari berbagai

situs, maka prediksi perubahan iklim regional yang terjadi dapat dibuat sedini

dan setepat mungkin.

Sebagai penutup, kami ingin menunjukkan sensitivitas perairan bagian timur

Samudera Hindia, khususnya sekitar paparan Sunda dan Laut Jawa terhadap

perubahan iklim regional yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD.

Gambar 11.5 adalah lokasi transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra

satelit TOPEX/ERS-2 di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B)

[panel atas] dan Hoevmoller diagram ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel

bawah].

ATPL positif menunjukkan massa air hangat dan ATPL negatif untuk massa air

dingin. Massa air hangat selanjutnya berkolerasi dengan penguapan yang

intensif yang berakibat pada curah hujan tinggi, sebaliknya untuk massa air

dingin dengan terjadinya kekeringan, sebagai akibat konveksi panas yang

sedikit.

Analisis ATPL selama tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan Samudera Hindia

sangat sensitive terhadap perubahan iklim regional dibandingkan Laut Jawa.

Hal ini dapat dianalisis bahwa perubahan parameter Oseanografi di Samudera

Hindia, khususnya paparan Sunda sangat memegang peranan penting dalam

perubahan iklim regional.

Dari analisis ATPL pada gambar 11.5 dengan jelas kita dapat melihat curah

hujan tinggi yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia, khususnya

Indonesia bagian barat dilanda banjir seperti yang terjadi di Jakarta pada

bulan Januari dan mencapai puncaknya pada Februari pada tahun 2000 dan

2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan konsentrasi ATPL tinggi yang terjadi

dari bulan Januari s/d April selama tahun 2000 dan 2001.

Sebaliknya memasuki bulan Agustus s/d Oktober 2000, 2001, dan 2002

konsentrasi massa air dingin (ATPL negatif) mendominasi perairan paparan

Sunda dan hal ini berkorelasi dengan kekeringan yang datang berbarengan

dengan puncak musim kemarau.

Dengan demikian secara sederhana, kita dapat memantau perairan paparan

Sunda dan sekitarnya untuk prediksi musim kering dan musim basah di wilayah

Indonesia, khususnya Indonesia bagian Barat dan Tengah yang lebih didominasi

91Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

92Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 108: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

B

A

Gambar 11.5 Lokasi Transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra satelit TOPEX/ERS-2di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B) [panel atas] dan Hoevmoller diagram

ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel bawah]. Satuan skala gambar dalam cm.

A B

S. Sunda S. Ombai L. Jawa S. Makassar

oleh perubahan internal parameter dinamika oseanografi Samudera Hindia

bagian timur.Sedangkan untuk gambar 11.6 adalah rekomendasi untuk sebuah sistem

peringatan dini bencana alam yang disebabkan oleh interaksi laut dan atmosfer

di Samudera Hindia.

Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorologi di garis katulistiwa, X1

(Kota Tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk

dibangun); tanda bulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu

permukaan laut dan parameter meteorology laut; sedangkan huruf P (hijau)

adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di wilayah Indonesia sepanjang

pantai paparan Sunda.

Posisi stasiun meteorologi di garis katulistiwa diusulkan dipasang di Sulawesi

Tengah untuk memperkuan analisis yang telah dimiliki sebelumnya oleh BPPT

di Kota Tabang, Sumatra Barat. Data meteorology di kedua stasiun ini akan

memberikan informasi penjalaran gelombang antar musiman seperti Madden-

Julian Oscillation yang berkorelasi positif dengan pembentukan badai tropis di

sekitar wilayah Samudera Hindia.

X1

X2

O2

O1

O3

P

P

P

P

P

P

Gambar 11.6 Sistem Monitoring Untuk Respon Bencana Alam Dari Laut dan Atmosfer di WilayahIndonesia. Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorology di garis katulistiwa, X1

(kota tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk dibangun); tandabulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu permukaan laut dan parametermeteorology laut; sedangkan huruf P (hijau) adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di

wilayah Indonesia sepanjang pantai paparan Sunda.

93Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

94Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 109: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

B

A

Gambar 11.5 Lokasi Transek Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) citra satelit TOPEX/ERS-2di Samudera Hindia Bagian Timur (A) dan Laut Jawa (B) [panel atas] dan Hoevmoller diagram

ATPL di kedua perairan (A) dan (B) [panel bawah]. Satuan skala gambar dalam cm.

A B

S. Sunda S. Ombai L. Jawa S. Makassar

oleh perubahan internal parameter dinamika oseanografi Samudera Hindia

bagian timur.Sedangkan untuk gambar 11.6 adalah rekomendasi untuk sebuah sistem

peringatan dini bencana alam yang disebabkan oleh interaksi laut dan atmosfer

di Samudera Hindia.

Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorologi di garis katulistiwa, X1

(Kota Tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk

dibangun); tanda bulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu

permukaan laut dan parameter meteorology laut; sedangkan huruf P (hijau)

adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di wilayah Indonesia sepanjang

pantai paparan Sunda.

Posisi stasiun meteorologi di garis katulistiwa diusulkan dipasang di Sulawesi

Tengah untuk memperkuan analisis yang telah dimiliki sebelumnya oleh BPPT

di Kota Tabang, Sumatra Barat. Data meteorology di kedua stasiun ini akan

memberikan informasi penjalaran gelombang antar musiman seperti Madden-

Julian Oscillation yang berkorelasi positif dengan pembentukan badai tropis di

sekitar wilayah Samudera Hindia.

X1

X2

O2

O1

O3

P

P

P

P

P

P

Gambar 11.6 Sistem Monitoring Untuk Respon Bencana Alam Dari Laut dan Atmosfer di WilayahIndonesia. Tanda silang (merah) adalah lokasi stasiun meteorology di garis katulistiwa, X1

(kota tabang, Sumatra Barat) dan X2 di Sulawesi Tengah (diusulkan untuk dibangun); tandabulat (biru) adalah lokasi 3 buah pelampung pengukur suhu permukaan laut dan parametermeteorology laut; sedangkan huruf P (hijau) adalah stasiun pasut yang sudah terpasang di

wilayah Indonesia sepanjang pantai paparan Sunda.

93Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

94Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 110: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Banyak lagi fenomena lapisan batas atmosfer di katulistiwa yang

mempengaruhi pola iklim secara regional. Perubahan parameter yang dapat

kita pantau sejak awal seperti meningkatnya arus konveksi di katulistiwa dapat

memberikan informasi sejak awal pembentukan awan-awan konveksi yang

menyebabkan wilayah Indonesia mengalami curah hujan tinggi atau akan

datangnya bencana banjir.

Kami merekomendasikan dipasangnya 3 (tiga) buah pelampung di perairan

paparan Sunda untuk mengukur parameter dasar Oseanografi (suhu permukaan

laut) dan Meteorologi (tekanan, arah dan magnitude angin, tekanan udara) di

permukaan laut. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak perubahan

suhu, arah dan kekuatan angin serta tekanan udara di Samudera Hindia yang

berkorelasi dengan indikasi awal terjadinya fenomena IOD, sedangkan ENSO

dapat dilacak 1,5 -2 bulan sebelumnya dengan memanfaatkan data pasang

surut yang tersedia di sekitar perairan Selat Makassar dan Lombok, seperti

yang telah ditunjukkan dalam pembahasan pada sub. bab sebelumnya.

Selain itu, studi yang dilakukan Syamsudin dkk. (2003) menunjukkan bahwa

fenomena El Nino dan IOD berkorelasi dengan kedatangan gelombang Kelvin

dan Rossby di perairan paparan Sunda.

Formasi pelampung O1 dan O2 (lihat gambar 11.6) dapat mendeteksi sejak dini

kedatangan gelombang Kelvin yang menjalar ke timur sepanjang pantai selatan

P. Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok, sedangkan O3 (lihat gambar 11.6) dapat

mendeteksi penjalaran gelombang Rossby ke arah barat sepanjang 10-12

Lintang Selatan (LS).

Penggunaan stasiun pasut demikian juga stasiun meteorologi yang telah

dimiliki Bakosurtanal (Badan Koordinasi Suvei dan Pemetaan Nasional) dan

Dishidros (Dinas Hidro-OSeanografi)-TNI AL serta Badan Meteorologi dan

Geofisika (BMG) semakin mendukung analisis deteksi awal indikasi terjadinya

perubahan parameter Oseanografi dan Meteorologi yang berkorelasi positif

dengan bencana alam yang akan terjadi.

Demikian juga pemanfaatan analisis citra satelit penginderaan jauh sangat

mendukung kinerja sistem monitoring peringatan dini bencana alam dari laut

dan atmosfer ini. Lebih detil bagaimana satelit penginderaan jauh dapat

digunakan untuk antisipasi banjir di wilayah Indonesia dapat dilihat pada

laporan teknis intern kami pada bulan Maret 2004, dengan judul: “Antisipasi

Banjir Dengan Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Dan

TOPEX/ERS-2 Di Wilayah Indonesia” yang disampaikan direktur Pusat

Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA)

kepada kepala bidang teknologi akuntasi sumberdaya alam, P-TISDA, BPPT.

Pemerintah sudah saatnya menerapkan sistem ini dengan memanfaatkan

teknologi telemetri yang memungkinkan semua data tersebut dapat dikirimkan

secara real time dan terus menerus pada analis yang berada di pusat informasi

dan pengolahan data sistem peringatan dini bencana nasional.

DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F. dan A. Kaneko. 2003. On Kelvin and Rossby Waves Propagation in

the Indo-Australian Bight. Proceedings of Japan Oceanographic Society

Meeting on Fall Season. Nagasaki University, 23-27 September 2003.Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A Dipole

Mode in The Tropical Indian Ocean. Nature 401, 360-363.

95Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

96Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 111: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Banyak lagi fenomena lapisan batas atmosfer di katulistiwa yang

mempengaruhi pola iklim secara regional. Perubahan parameter yang dapat

kita pantau sejak awal seperti meningkatnya arus konveksi di katulistiwa dapat

memberikan informasi sejak awal pembentukan awan-awan konveksi yang

menyebabkan wilayah Indonesia mengalami curah hujan tinggi atau akan

datangnya bencana banjir.

Kami merekomendasikan dipasangnya 3 (tiga) buah pelampung di perairan

paparan Sunda untuk mengukur parameter dasar Oseanografi (suhu permukaan

laut) dan Meteorologi (tekanan, arah dan magnitude angin, tekanan udara) di

permukaan laut. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak perubahan

suhu, arah dan kekuatan angin serta tekanan udara di Samudera Hindia yang

berkorelasi dengan indikasi awal terjadinya fenomena IOD, sedangkan ENSO

dapat dilacak 1,5 -2 bulan sebelumnya dengan memanfaatkan data pasang

surut yang tersedia di sekitar perairan Selat Makassar dan Lombok, seperti

yang telah ditunjukkan dalam pembahasan pada sub. bab sebelumnya.

Selain itu, studi yang dilakukan Syamsudin dkk. (2003) menunjukkan bahwa

fenomena El Nino dan IOD berkorelasi dengan kedatangan gelombang Kelvin

dan Rossby di perairan paparan Sunda.

Formasi pelampung O1 dan O2 (lihat gambar 11.6) dapat mendeteksi sejak dini

kedatangan gelombang Kelvin yang menjalar ke timur sepanjang pantai selatan

P. Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok, sedangkan O3 (lihat gambar 11.6) dapat

mendeteksi penjalaran gelombang Rossby ke arah barat sepanjang 10-12

Lintang Selatan (LS).

Penggunaan stasiun pasut demikian juga stasiun meteorologi yang telah

dimiliki Bakosurtanal (Badan Koordinasi Suvei dan Pemetaan Nasional) dan

Dishidros (Dinas Hidro-OSeanografi)-TNI AL serta Badan Meteorologi dan

Geofisika (BMG) semakin mendukung analisis deteksi awal indikasi terjadinya

perubahan parameter Oseanografi dan Meteorologi yang berkorelasi positif

dengan bencana alam yang akan terjadi.

Demikian juga pemanfaatan analisis citra satelit penginderaan jauh sangat

mendukung kinerja sistem monitoring peringatan dini bencana alam dari laut

dan atmosfer ini. Lebih detil bagaimana satelit penginderaan jauh dapat

digunakan untuk antisipasi banjir di wilayah Indonesia dapat dilihat pada

laporan teknis intern kami pada bulan Maret 2004, dengan judul: “Antisipasi

Banjir Dengan Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Dan

TOPEX/ERS-2 Di Wilayah Indonesia” yang disampaikan direktur Pusat

Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA)

kepada kepala bidang teknologi akuntasi sumberdaya alam, P-TISDA, BPPT.

Pemerintah sudah saatnya menerapkan sistem ini dengan memanfaatkan

teknologi telemetri yang memungkinkan semua data tersebut dapat dikirimkan

secara real time dan terus menerus pada analis yang berada di pusat informasi

dan pengolahan data sistem peringatan dini bencana nasional.

DAFTAR PUSTAKASyamsudin, F. dan A. Kaneko. 2003. On Kelvin and Rossby Waves Propagation in

the Indo-Australian Bight. Proceedings of Japan Oceanographic Society

Meeting on Fall Season. Nagasaki University, 23-27 September 2003.Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A Dipole

Mode in The Tropical Indian Ocean. Nature 401, 360-363.

95Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

96Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 112: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

97Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

98Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB XIIRiset Kelautan Terpadu: 'PotRets' NipahN. Hendiarti, M.C.G. Frederik, A. Purwandani, Agustan, D. Nugroho, Y.

Wahyudi, G. F. Suryono, Afla Ridlo

Pulau Nipah terletak di antara Selat Phillip dan Selat Main pada koordinat

103 39'04.68” - 103 39'39.38 BT dan 1 08'26.88” - 1 09'12.20” LU. Pulau ini

merupakan salah satu pulau yang terletak di dekat perbatasan antar Indonesia

dan negara tetangga. Secara administratif termasuk di dalam Desa Pemping,

Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Propisi Kepulauan Riau.

Oleh karena posisi pulau Nipah yang berhadapan langsung dengan Singapura

dan terletak pada jalur lintas pelayaran internasional, maka pulau ini menjadi

penting dan strategis secara politis. P-TISDA bekerjasama dengan Balai

Teknologi Survey Laut telah melaksanakan ekspedisi PotRets (Potential

Resources Investigation surrounding) Pulau Nipah dan sekitarnya dengan

menggunakan K/R Baruna Jaya I. Kegiatan survey pulau tersebut dilakukan

pada tanggal 29 Juli - 7 Agustus 2004. Maksud kegiatan ini adalah mengkaji

º º º º

P. Nipah

Gambar 12.1 Lokasi Pulau Nipah

potensi sumber daya alam secara terintegrasi, baik hayati dan non-hayati, dan

mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan pulau tersebut. Dengan

tersedianya data dasar dan informasi tentang pulau Nipah, diharapkan akan

dapat dijadikan bahan dalam memberi masukan pemanfaatan dan pengambilan

kebijaksanaan pengelolaan, serta pengembangan dan pemanfaatan kawasan

ini.

Kegiatan yang dilakukan adalah: studi penginderaan jauh, biologi-fisika-kimia

laut, geologi laut, terumbu karang, akustik perikanan, eksplorasi potensi

mikroba laut, topografi, pasang surut, serta geologi dan geomorfologi pulau.

Berikut adalah diskusi sekilas kegiatan dan hasil studi yang dilakukan P-TISDA

untuk pulau Nipah dan perairan sekitarnya. Penginderaan JauhPada program Pulau Nipah untuk pemantauan kondisi pulau serta perairan di

sekitarnya citra satelit penginderaan jauh dipakai sebagai masukan dalam

penentuan rute survey, kondisi awal dan juga untuk melengkapi analisis data

survey lapangan. Analisis penginderaan jauh meliputi karakterisasi parameter

biologi laut (fitoplankton/klorofil-a), fisika laut (suhu permukaan laut dan pola

transport masa air dekat permukaan), dan kekeruhan perairan sekitar pulau

Nipah. Dimulai dengan satelit yang mengindera dengan sensor global seperti

Aqua-MODIS dan NOAA-AVHRR, ke sensor detil dengan Terra-ASTER dan SPOT-

XS.

Gambar 12.2 Tim survei ekspedisi PotRets berpose bersama para pejabat BPPT yang meninjaukegiatan ini.

Page 113: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

97Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

98Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

BAB XIIRiset Kelautan Terpadu: 'PotRets' NipahN. Hendiarti, M.C.G. Frederik, A. Purwandani, Agustan, D. Nugroho, Y.

Wahyudi, G. F. Suryono, Afla Ridlo

Pulau Nipah terletak di antara Selat Phillip dan Selat Main pada koordinat

103 39'04.68” - 103 39'39.38 BT dan 1 08'26.88” - 1 09'12.20” LU. Pulau ini

merupakan salah satu pulau yang terletak di dekat perbatasan antar Indonesia

dan negara tetangga. Secara administratif termasuk di dalam Desa Pemping,

Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Propisi Kepulauan Riau.

Oleh karena posisi pulau Nipah yang berhadapan langsung dengan Singapura

dan terletak pada jalur lintas pelayaran internasional, maka pulau ini menjadi

penting dan strategis secara politis. P-TISDA bekerjasama dengan Balai

Teknologi Survey Laut telah melaksanakan ekspedisi PotRets (Potential

Resources Investigation surrounding) Pulau Nipah dan sekitarnya dengan

menggunakan K/R Baruna Jaya I. Kegiatan survey pulau tersebut dilakukan

pada tanggal 29 Juli - 7 Agustus 2004. Maksud kegiatan ini adalah mengkaji

º º º º

P. Nipah

Gambar 12.1 Lokasi Pulau Nipah

potensi sumber daya alam secara terintegrasi, baik hayati dan non-hayati, dan

mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan pulau tersebut. Dengan

tersedianya data dasar dan informasi tentang pulau Nipah, diharapkan akan

dapat dijadikan bahan dalam memberi masukan pemanfaatan dan pengambilan

kebijaksanaan pengelolaan, serta pengembangan dan pemanfaatan kawasan

ini.

Kegiatan yang dilakukan adalah: studi penginderaan jauh, biologi-fisika-kimia

laut, geologi laut, terumbu karang, akustik perikanan, eksplorasi potensi

mikroba laut, topografi, pasang surut, serta geologi dan geomorfologi pulau.

Berikut adalah diskusi sekilas kegiatan dan hasil studi yang dilakukan P-TISDA

untuk pulau Nipah dan perairan sekitarnya. Penginderaan JauhPada program Pulau Nipah untuk pemantauan kondisi pulau serta perairan di

sekitarnya citra satelit penginderaan jauh dipakai sebagai masukan dalam

penentuan rute survey, kondisi awal dan juga untuk melengkapi analisis data

survey lapangan. Analisis penginderaan jauh meliputi karakterisasi parameter

biologi laut (fitoplankton/klorofil-a), fisika laut (suhu permukaan laut dan pola

transport masa air dekat permukaan), dan kekeruhan perairan sekitar pulau

Nipah. Dimulai dengan satelit yang mengindera dengan sensor global seperti

Aqua-MODIS dan NOAA-AVHRR, ke sensor detil dengan Terra-ASTER dan SPOT-

XS.

Gambar 12.2 Tim survei ekspedisi PotRets berpose bersama para pejabat BPPT yang meninjaukegiatan ini.

Page 114: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 12.3 Batimetri daerah survei dan plot stasiun pengukuran.

Citra satelit Aqua-MODIS yang dipilih untuk studi ini diakuisisi pada tanggal 12

Juni 2004, jam 06 :15 GMT, digunakan untuk menentukan kandungan

konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). Untuk perhitungan

konsentrasi klorofil-a, digunakan algoritma OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band,

O'Reilly, dkk, 2000). Dari analisa citra selama lebih dari satu tahun, perairan

'zona aman' atau zona di luar alur transportasi kapal, memiliki konsentrasi

klorofil-a yang relatif lebih tinggi terutama pada bulan Mei November dengan

nilai di atas 3 mg/m3. Secara umum, perairan bagian barat memiliki

konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari bagian timur. Kondisi ini diduga

disebabkan oleh limpasan material daratan melalui sungai-sungai dari pantai

timur Pulau Sumatra.

Gambar 12.2 memperlihatkan citra konsentrasi klorofil-a pada tanggal 12 Juni

2004. Citra sebelah kanan adalah pembesaran kotak pada citra sebelah kiri.

Terlihat di gambar ini bahwa kisaran konsentrasi klorofil antara 2.4-2.8

mg/m3. Gambar 12.3 menunjukkan citra SPL, terlihat kisaran suhu sekitar

pulau Nipah adalah 3132°C. Perhitungan SPL menggunakan rumus persamaan

khusus untuk citra terakuisisi siang hari dengan memakai band 31 dan 32.Citra ASTER dapat digunakan untuk perhitungan suhu permukaan laut (SPL)

dengan menggunakan ke lima band termalnya (band 10 hingga 14) yang

beresolusi spasial 90 meter. Perhitungan ini mempergunakan rumus SPL khusus

untuk citra ASTER (Friedrich dan Kosloswsky, 2002). Citra ASTER yang

digunakan dalam kegiatan ini diakuisisi pada tanggal 23 April 2004, jam 3:34

GMT. Gambar 4 menunjukkan citra SPL, terlihat perairan sekitar pulau Nipah

suhunya berkisar antara 28 dan 29 derajat celsius. Suhu perairan sekitar P.

Batam relatif lebih tinggi diduga diakibatkan oleh adanya proses limpasan

Gambar 12.4. Citra Klorofil-a, 12 Juni 2004

Gambar 12.4 Citra Suhu Permukaan Laut (12 Juni 2004, kiri)dan Suhu Permukaan Laut (23 April 2004, kanan)

99Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

100Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 115: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Gambar 12.3 Batimetri daerah survei dan plot stasiun pengukuran.

Citra satelit Aqua-MODIS yang dipilih untuk studi ini diakuisisi pada tanggal 12

Juni 2004, jam 06 :15 GMT, digunakan untuk menentukan kandungan

konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). Untuk perhitungan

konsentrasi klorofil-a, digunakan algoritma OC4 (Ocean Chlorophyll 4-band,

O'Reilly, dkk, 2000). Dari analisa citra selama lebih dari satu tahun, perairan

'zona aman' atau zona di luar alur transportasi kapal, memiliki konsentrasi

klorofil-a yang relatif lebih tinggi terutama pada bulan Mei November dengan

nilai di atas 3 mg/m3. Secara umum, perairan bagian barat memiliki

konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari bagian timur. Kondisi ini diduga

disebabkan oleh limpasan material daratan melalui sungai-sungai dari pantai

timur Pulau Sumatra.

Gambar 12.2 memperlihatkan citra konsentrasi klorofil-a pada tanggal 12 Juni

2004. Citra sebelah kanan adalah pembesaran kotak pada citra sebelah kiri.

Terlihat di gambar ini bahwa kisaran konsentrasi klorofil antara 2.4-2.8

mg/m3. Gambar 12.3 menunjukkan citra SPL, terlihat kisaran suhu sekitar

pulau Nipah adalah 3132°C. Perhitungan SPL menggunakan rumus persamaan

khusus untuk citra terakuisisi siang hari dengan memakai band 31 dan 32.Citra ASTER dapat digunakan untuk perhitungan suhu permukaan laut (SPL)

dengan menggunakan ke lima band termalnya (band 10 hingga 14) yang

beresolusi spasial 90 meter. Perhitungan ini mempergunakan rumus SPL khusus

untuk citra ASTER (Friedrich dan Kosloswsky, 2002). Citra ASTER yang

digunakan dalam kegiatan ini diakuisisi pada tanggal 23 April 2004, jam 3:34

GMT. Gambar 4 menunjukkan citra SPL, terlihat perairan sekitar pulau Nipah

suhunya berkisar antara 28 dan 29 derajat celsius. Suhu perairan sekitar P.

Batam relatif lebih tinggi diduga diakibatkan oleh adanya proses limpasan

Gambar 12.4. Citra Klorofil-a, 12 Juni 2004

Gambar 12.4 Citra Suhu Permukaan Laut (12 Juni 2004, kiri)dan Suhu Permukaan Laut (23 April 2004, kanan)

99Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

100Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 116: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

material daratan.Citra komposit warna semu RGB dari data SPOT 5 (Gambar 12.4, atas) yang

diakuisisi pada tanggal 25 Agustus 2000 menampilkan fenomena oseanografi,

yaitu adanya pola sirkulasi arus permukaan sekitar pulau Nipah (Gambar 12.4,

bawah). Juga, aktifitas transportasi laut dengan banyaknya kapal besar dan

kecil yang melintasi perairan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena

fenomena oseanografi ini termasuk aktifitas transportasi yang diduga turut

mempengaruhi kondisi lingkungan perairan.

Secara umum, kondisi kualitas perairan di sekitar Pulau Nipah dapat dikatakan

kurang baik, hal ini diduga berasal dari limpasan atau buangan material

daratan, eksploitasi pasir laut dan aktifitas pelayaran. Melihat kondisi perairan

sekitar Pulau Nipah yang bervariasi antara lain disebabkan oleh adanya

perubahan musim, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi lingkungan

perairan. Salah satu metoda yang efisien adalah menggunakan teknologi

penginderaan jauh.

Biologi-Kimia-Fisika Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah karakterisasi kondisi biologi,

kimia dan fisika perairan dengan melakukan pengukuran lapangan yang juga

digunakan untuk validasi data penginderaan jauh.

Hasil studi menunjukkan bahwa kualitas perairan di sekitar pulau Nipah tidak

cukup baik untuk mendukung pengembangan ekosistem pesisir dan lautnya.

Kondisi ini terjadi karena limpasan pesisir, eksploitasi penambangan pasir, dan

aktivitas transportasi laut.

Konsentrasi tertinggi materi dalam air dan nilai salinitas terendah ditemukan

di pesisir Pulau Karimun. Kondisi ini ditermukan juga dari citra klorofil-a dan

TSM (Total Suspended Matter) yang dihasilkan dari data satelit Aqua-MODIS dan

citra suhu permukaan laut dari data satelit Terra-ASTER dan NOAA-AVHRR.

Kondisi ini diduga karena pengaruh limpasan sungai dari pulau-pulau yang

mengandung banyak materi organik dan nutrien.

Limpasan sungai membawa nutrien ke laut yang mengakibatkan tingginya

konsentarsi klorofil-a dan banyaknya fitoplankton. Spesies fitoplankton yang

ditemukan didominasi oleh gourp Diatom Bacillariophyceae, yang ditermukan

lebih banyak jumlahnya dari zooplankton. Menurunnya jumlah zooplankton

diperkirakan karena tingginya konsentrasi materi tersuspensi, keadaan ini juga

berakibatkan berkurangnya densitas ikan.

Kecepatan arus yang direkam selama survey menunjukkan kearah barat pada

kedalaman 2-5 meter dengan kecepatan 0.14-0.20 m/s dan ke arah barat pada

kedalaman 12-15 meter dengan kecepatan 0.35-0.40 m/s, dan ke arah selatan

pada bagian barat pulau. Hasil simulasi model material transport menunjukkan

materi akan memperngaruhi lingkungan Pulau Nipah terutama pada bagian

timur dimana terdapat arus lebih keras/cepat.

Gambar 12.6 menampilkan grafik hasil pengukuran lapangan untuk kelimpahan

fitoplankton (< 250,000 ind/m3), tidak ditampilkan, dan zooplankton (<10,000

ind/m3). Penurunan jumlah zooplankton diduga akibat kondisi perairan yang

keruh.

Selama perioda berlayar antara 29 Juil dan 7 gustus 2004, nilai kisaran nutrien

Transport massa air

P. Nipah

Kapal

Citra SPOT, 25 Agustus 2000

Gambar 12.5 Citra SPOT Komposit RGB (321) untuk Perairan PulauNipah dan sekitarnya. Memperlihatkan pola arus permukaan dan deteksi kapal.

101Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

102Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 117: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

material daratan.Citra komposit warna semu RGB dari data SPOT 5 (Gambar 12.4, atas) yang

diakuisisi pada tanggal 25 Agustus 2000 menampilkan fenomena oseanografi,

yaitu adanya pola sirkulasi arus permukaan sekitar pulau Nipah (Gambar 12.4,

bawah). Juga, aktifitas transportasi laut dengan banyaknya kapal besar dan

kecil yang melintasi perairan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena

fenomena oseanografi ini termasuk aktifitas transportasi yang diduga turut

mempengaruhi kondisi lingkungan perairan.

Secara umum, kondisi kualitas perairan di sekitar Pulau Nipah dapat dikatakan

kurang baik, hal ini diduga berasal dari limpasan atau buangan material

daratan, eksploitasi pasir laut dan aktifitas pelayaran. Melihat kondisi perairan

sekitar Pulau Nipah yang bervariasi antara lain disebabkan oleh adanya

perubahan musim, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi lingkungan

perairan. Salah satu metoda yang efisien adalah menggunakan teknologi

penginderaan jauh.

Biologi-Kimia-Fisika Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah karakterisasi kondisi biologi,

kimia dan fisika perairan dengan melakukan pengukuran lapangan yang juga

digunakan untuk validasi data penginderaan jauh.

Hasil studi menunjukkan bahwa kualitas perairan di sekitar pulau Nipah tidak

cukup baik untuk mendukung pengembangan ekosistem pesisir dan lautnya.

Kondisi ini terjadi karena limpasan pesisir, eksploitasi penambangan pasir, dan

aktivitas transportasi laut.

Konsentrasi tertinggi materi dalam air dan nilai salinitas terendah ditemukan

di pesisir Pulau Karimun. Kondisi ini ditermukan juga dari citra klorofil-a dan

TSM (Total Suspended Matter) yang dihasilkan dari data satelit Aqua-MODIS dan

citra suhu permukaan laut dari data satelit Terra-ASTER dan NOAA-AVHRR.

Kondisi ini diduga karena pengaruh limpasan sungai dari pulau-pulau yang

mengandung banyak materi organik dan nutrien.

Limpasan sungai membawa nutrien ke laut yang mengakibatkan tingginya

konsentarsi klorofil-a dan banyaknya fitoplankton. Spesies fitoplankton yang

ditemukan didominasi oleh gourp Diatom Bacillariophyceae, yang ditermukan

lebih banyak jumlahnya dari zooplankton. Menurunnya jumlah zooplankton

diperkirakan karena tingginya konsentrasi materi tersuspensi, keadaan ini juga

berakibatkan berkurangnya densitas ikan.

Kecepatan arus yang direkam selama survey menunjukkan kearah barat pada

kedalaman 2-5 meter dengan kecepatan 0.14-0.20 m/s dan ke arah barat pada

kedalaman 12-15 meter dengan kecepatan 0.35-0.40 m/s, dan ke arah selatan

pada bagian barat pulau. Hasil simulasi model material transport menunjukkan

materi akan memperngaruhi lingkungan Pulau Nipah terutama pada bagian

timur dimana terdapat arus lebih keras/cepat.

Gambar 12.6 menampilkan grafik hasil pengukuran lapangan untuk kelimpahan

fitoplankton (< 250,000 ind/m3), tidak ditampilkan, dan zooplankton (<10,000

ind/m3). Penurunan jumlah zooplankton diduga akibat kondisi perairan yang

keruh.

Selama perioda berlayar antara 29 Juil dan 7 gustus 2004, nilai kisaran nutrien

Transport massa air

P. Nipah

Kapal

Citra SPOT, 25 Agustus 2000

Gambar 12.5 Citra SPOT Komposit RGB (321) untuk Perairan PulauNipah dan sekitarnya. Memperlihatkan pola arus permukaan dan deteksi kapal.

101Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

102Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 118: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

(nitrat dan silikat), klorofil-a dan konsentrasi Total Suspended Matter serta

suhu dan salinitas air permukaan ditampilkan di tabel 12.1. Konsentrasi nitrat

dan silikat yang tinggi ditemukan di sebelah barat daerah studi. Ini

dikarenakan pengaruh limpasan air sungai dari pulau-pulau yang mengandung

banyak materi terrigeneous (seperti materi organik dan anorganik). Konsentrasi silikat yang tinggi dekat lapisan dasar ditemukan di dekat pesisir

Pulau Karimun. Silikat adalah nutrien penting yang diperlukan fitoplankton

terutama grup diatom untuk tumbuh. Konsentrasi klorofil di daerah ini cukup

Gambar 12.6 Kelimpahan zooplankton di perairan sekitar pulau Nipah.

Kisaran Nilai Parameter Dekat

permukaan

Dekat dasar Unit

Nitrat (NO3) 0.060

- 0.879

0.005-0.121

M

Silikat 0.224 - 0.958

0.170-1.301

M

Orthophosphat

0.001 - 0.248

0.001-0.126

M

Chlorophyll a 1.20 - 8.24

1.20 - 7.89

mg/m3

Phytoplankton

1,272 - 111,936 (abundance)

cell/m3

Phyto- species

Diatom: Bacillariophyceae (29 sp.),

Non-diatom: Dinophyceae,Cyanophyceae (4 sp.)

TSM 4.47 - 107.0 8.47 - 215.4 mg/l

Turbidity 2.6 - 70 2.95 - 174 NTU Secchi depth 25 - 250 cm Disolved Oxygen 5.06 - 8.57 4.36 – 8.31 ml/L PH 7.83 - 8.12

7.99 – 8.13

Zooplankton 479 – 2,925 (abundance)

cell/m3

Zoo- species Protozoa (3 sp.) and Copepode (5 sp.)

Water Color V/green XVI/light brown

Tabel 12.1 Karakteristik air dari pengukuran lapangan.

tinggi dengan nilai lebih dari 1 mg/m3. Konsentrasi tertinggi ditemukandi

dekat pesisir Pulau Karimun dengan nilai lebih dari 5.5 mg/m3. Sedangkan

kisaran nilai yang didapat dari citra klorofil rata-rata bulanan adalah 1.5-5.5

mg/m3.

Identifikasi Kerusakan Terumbu Karang Tujuan penelitian terumbu karang adalah: mengidentifikasi kondisi ekosistem

terumbu karang dan mengidentifikasi potensi ekosistem pesisir pulau Nipah,

seperti: flora dan fauna terumbu karang, padang lamun, dan mangrove,

sponge, kelimpahan dan tutupan.

Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang secara umum telah

mengalami kerusakan berat, terutama pada sisi timur, barat laut dan utara

pulau Nipah. Kerusakan diduga diakibatkan oleh 2 aktivitas manusia secara

langsung (penangkapan ikan dan labuh jangkar) dan tidak langsung seperti

penggalian pasir, tumpahan minyak dari kapal-kapal besar yang melalui

perairan ini, serta akibat alam seperti arus dan hempasan gelombang.

Ekosistem terumbu karang yang ditemukan pada sisi barat daya pulau Nipah

tidak berbentuk hamparan, tetapi membentuk ekosistem baru pada dinding

bukit luar bekas terumbu karang mati. Terumbu karang mulai ditemukan pada

kedalaman 3 meter sampai kedalaman 7 meter.

Flora dan fauna yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berhasil

diindentifikasi di perairan pulau Nipah antara lain adalah:1. Fungia sp, Coral Encrusting2. Fauna lainnya: Soft coral (Nephea sp, Sacrophyton sp), Sponge, Ascidian,

Zoanthids, Anemon laut, dan gorgonians3. Teripang gajah, Ikan karang seperti angel fish dan ikan karang lainnya.4. Macroalga (sargassum sp, gracillaria sp)

Pada sisi barat laut pulau Nipah diketemukan juga bentukan baru ekosistem

padang lamun dan gosong pasir yang memiliki biota unik seperti kerang kapak,

seagrass, dan teripang laut. Studi geologi laut

Studi ini memberikan informasi geologi di perairan pulau Nipah melalui

pengambilan sampel lapisan sedimen dasar permukaan laut sekitar pulau dan

kajian penyebaran sedimen permukaan serta keberadaan mineral ekonomis.

Pengambilan sample di dasar permukaan laut sekitar pulau Nipah dilakukan

dengan metode grab dan core sampling.

Hasil studi menyimpulkan bahwa endapan lempung yang penyebarannya

103Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

104Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 119: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

(nitrat dan silikat), klorofil-a dan konsentrasi Total Suspended Matter serta

suhu dan salinitas air permukaan ditampilkan di tabel 12.1. Konsentrasi nitrat

dan silikat yang tinggi ditemukan di sebelah barat daerah studi. Ini

dikarenakan pengaruh limpasan air sungai dari pulau-pulau yang mengandung

banyak materi terrigeneous (seperti materi organik dan anorganik). Konsentrasi silikat yang tinggi dekat lapisan dasar ditemukan di dekat pesisir

Pulau Karimun. Silikat adalah nutrien penting yang diperlukan fitoplankton

terutama grup diatom untuk tumbuh. Konsentrasi klorofil di daerah ini cukup

Gambar 12.6 Kelimpahan zooplankton di perairan sekitar pulau Nipah.

Kisaran Nilai Parameter Dekat

permukaan

Dekat dasar Unit

Nitrat (NO3) 0.060

- 0.879

0.005-0.121

M

Silikat 0.224 - 0.958

0.170-1.301

M

Orthophosphat

0.001 - 0.248

0.001-0.126

M

Chlorophyll a 1.20 - 8.24

1.20 - 7.89

mg/m3

Phytoplankton

1,272 - 111,936 (abundance)

cell/m3

Phyto- species

Diatom: Bacillariophyceae (29 sp.),

Non-diatom: Dinophyceae,Cyanophyceae (4 sp.)

TSM 4.47 - 107.0 8.47 - 215.4 mg/l

Turbidity 2.6 - 70 2.95 - 174 NTU Secchi depth 25 - 250 cm Disolved Oxygen 5.06 - 8.57 4.36 – 8.31 ml/L PH 7.83 - 8.12

7.99 – 8.13

Zooplankton 479 – 2,925 (abundance)

cell/m3

Zoo- species Protozoa (3 sp.) and Copepode (5 sp.)

Water Color V/green XVI/light brown

Tabel 12.1 Karakteristik air dari pengukuran lapangan.

tinggi dengan nilai lebih dari 1 mg/m3. Konsentrasi tertinggi ditemukandi

dekat pesisir Pulau Karimun dengan nilai lebih dari 5.5 mg/m3. Sedangkan

kisaran nilai yang didapat dari citra klorofil rata-rata bulanan adalah 1.5-5.5

mg/m3.

Identifikasi Kerusakan Terumbu Karang Tujuan penelitian terumbu karang adalah: mengidentifikasi kondisi ekosistem

terumbu karang dan mengidentifikasi potensi ekosistem pesisir pulau Nipah,

seperti: flora dan fauna terumbu karang, padang lamun, dan mangrove,

sponge, kelimpahan dan tutupan.

Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang secara umum telah

mengalami kerusakan berat, terutama pada sisi timur, barat laut dan utara

pulau Nipah. Kerusakan diduga diakibatkan oleh 2 aktivitas manusia secara

langsung (penangkapan ikan dan labuh jangkar) dan tidak langsung seperti

penggalian pasir, tumpahan minyak dari kapal-kapal besar yang melalui

perairan ini, serta akibat alam seperti arus dan hempasan gelombang.

Ekosistem terumbu karang yang ditemukan pada sisi barat daya pulau Nipah

tidak berbentuk hamparan, tetapi membentuk ekosistem baru pada dinding

bukit luar bekas terumbu karang mati. Terumbu karang mulai ditemukan pada

kedalaman 3 meter sampai kedalaman 7 meter.

Flora dan fauna yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berhasil

diindentifikasi di perairan pulau Nipah antara lain adalah:1. Fungia sp, Coral Encrusting2. Fauna lainnya: Soft coral (Nephea sp, Sacrophyton sp), Sponge, Ascidian,

Zoanthids, Anemon laut, dan gorgonians3. Teripang gajah, Ikan karang seperti angel fish dan ikan karang lainnya.4. Macroalga (sargassum sp, gracillaria sp)

Pada sisi barat laut pulau Nipah diketemukan juga bentukan baru ekosistem

padang lamun dan gosong pasir yang memiliki biota unik seperti kerang kapak,

seagrass, dan teripang laut. Studi geologi laut

Studi ini memberikan informasi geologi di perairan pulau Nipah melalui

pengambilan sampel lapisan sedimen dasar permukaan laut sekitar pulau dan

kajian penyebaran sedimen permukaan serta keberadaan mineral ekonomis.

Pengambilan sample di dasar permukaan laut sekitar pulau Nipah dilakukan

dengan metode grab dan core sampling.

Hasil studi menyimpulkan bahwa endapan lempung yang penyebarannya

103Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

104Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 120: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

berada di timur pulau Karimun merupakan endapan yang mengandung mineral

kaolin dan kuarsa yang dapat digunakan dalam industri keramik. Namun hasil

analisis laboratorium tidak tercantum secara kuantitas untuk masing-masing

mineral tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah endapan itu dapat

bersifat ekonomis atau tidak.Penyebaran endapan pasir dari hasil grab di daerah kaijan mengandung kurang

lebih sebesar 50-65% dan sisanya merupakan fraksi halus seperti lanau dan

lempung. Dari hasil coring, ketebalan pasir sekitar 10-15 cm, kemudian

dibawahnya merupakan endapan lempung yang tidak padu.

Dari fraksi pasirnya saja, sekitar 19% merupakan mineral kuarsa sebagai ineral

industri, dan sebagian besar merupakan fragmen batuan yang berkomposisi

silika.

Berdasarkan analisa data coring dan grab, maka eksploitasi pasir laut perlu

dihentikan, khususnya di daerah sekitar pulau Nipah karena dapat berakibat:

Lapisn pasir semakin tipis atau bahkan habis dalam sekali atau dua kalo

penyedotan; penyedotan akan mengakibatkan tersedotnya material halus

berupa lempung yang berlebihan, karena lempung dibawah pasir belum

terkonsolidasi sehingga air laut di sekitarnya akan semakin keruh dengan

dibuangnya kembali material lempung tke laut; kekeruhan tersebut akan

mengganggu aspek sumberdaya lainnya, seperti lingkungan, perikanan laut,

dan pariwisata.

Dari sebaran konsentrasi mineral kuarsa dan fragmen batuan, diduga bahwa

sumber dari material sedimen tersebut dengan komposisi mimia seperti

tersebut diatas, berasal dari sebelah utara barat (UB) pulau Nipah.

Eksplorasi potensi mikroba laut Studi ini menginventarisasi dan mengidentifikasi sumberdaya alam pesisir dan

laut di pulau Nipah. Satu diantaranya mengeksplorasi potensi mikroba laut

yang ada diperairan sebagai antibiotik

Hasil studi ini menunjukkan bahwa sumberdaya alam laut yang terdapat di

Pulau Nipah sebagian besar berupa alga coklat sargassum yang tumbuh pada

substrat karang mati. Sargassum ini bisa dijumpai di daerah pasang surut

(intertidal) dari kedalaman 0.5 m hingga 3 m dengan ketinggian hingga 2 m.

Sehingga mikroba yang diambil (diisolasi) adalah mikroba yang ada di

sargassum (endofit), air laut dan sedimen. Hasil yang telah diperoleh di 21 titik

pengambilan sampel air permukaan terdapat 34 isolat kapang laut, yang

sebagian besar diindikasikan sebagai black mold (15) dan kelas Ascomycetes,

yaitu 11 Penicillium dan 8 Aspergillus. Sedangkan, sampel sedimen sedang

dalam tahapan penumbuhan. Sementara, mikroba yang ada di sargassum

(endofit) terdapat 4 isolat kapang laut yang keseluruhannya masuk dalam kelas

Ascomycetes, yakni Aspergillus.

Pemodelan pasang surut dan topografi Pada kegiatan ini dilakukan penentuan koordinat pulau Nipah, penentuan

konstanta pasut dengan menggunakan fasilitas yang tersedia di Onsala Space

Observatory, dan menghitung nilai pasut berdasarkan waktu dengan

menggunakan fasilitas di Intenational Earth Rotation and Reference Systems

Service (IERS), the Global Geophysics Fluids Center (GGFC).

Dari hasil perhitungan menggunakan beberapa model pasut, maka disimpulkan

bahwa sifat pasut di sekitar pulau Nipah adalah tipe pasut campuran berganda

(mixed predominantly semi-diurnal). Hasil pemodelan juga memperlihatkan

bahwa tunggang pasut terkecil adalah 2 meter yang diperoleh dari model

FES99 (Finite Element Solution 1999), sedang yang terbesar adalah 3.5 meter

Gambar 12.7 Tampilan saat pasang dan surut pulau Nipah dan lokasi reklamasi.

105Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

106Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 121: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

berada di timur pulau Karimun merupakan endapan yang mengandung mineral

kaolin dan kuarsa yang dapat digunakan dalam industri keramik. Namun hasil

analisis laboratorium tidak tercantum secara kuantitas untuk masing-masing

mineral tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah endapan itu dapat

bersifat ekonomis atau tidak.Penyebaran endapan pasir dari hasil grab di daerah kaijan mengandung kurang

lebih sebesar 50-65% dan sisanya merupakan fraksi halus seperti lanau dan

lempung. Dari hasil coring, ketebalan pasir sekitar 10-15 cm, kemudian

dibawahnya merupakan endapan lempung yang tidak padu.

Dari fraksi pasirnya saja, sekitar 19% merupakan mineral kuarsa sebagai ineral

industri, dan sebagian besar merupakan fragmen batuan yang berkomposisi

silika.

Berdasarkan analisa data coring dan grab, maka eksploitasi pasir laut perlu

dihentikan, khususnya di daerah sekitar pulau Nipah karena dapat berakibat:

Lapisn pasir semakin tipis atau bahkan habis dalam sekali atau dua kalo

penyedotan; penyedotan akan mengakibatkan tersedotnya material halus

berupa lempung yang berlebihan, karena lempung dibawah pasir belum

terkonsolidasi sehingga air laut di sekitarnya akan semakin keruh dengan

dibuangnya kembali material lempung tke laut; kekeruhan tersebut akan

mengganggu aspek sumberdaya lainnya, seperti lingkungan, perikanan laut,

dan pariwisata.

Dari sebaran konsentrasi mineral kuarsa dan fragmen batuan, diduga bahwa

sumber dari material sedimen tersebut dengan komposisi mimia seperti

tersebut diatas, berasal dari sebelah utara barat (UB) pulau Nipah.

Eksplorasi potensi mikroba laut Studi ini menginventarisasi dan mengidentifikasi sumberdaya alam pesisir dan

laut di pulau Nipah. Satu diantaranya mengeksplorasi potensi mikroba laut

yang ada diperairan sebagai antibiotik

Hasil studi ini menunjukkan bahwa sumberdaya alam laut yang terdapat di

Pulau Nipah sebagian besar berupa alga coklat sargassum yang tumbuh pada

substrat karang mati. Sargassum ini bisa dijumpai di daerah pasang surut

(intertidal) dari kedalaman 0.5 m hingga 3 m dengan ketinggian hingga 2 m.

Sehingga mikroba yang diambil (diisolasi) adalah mikroba yang ada di

sargassum (endofit), air laut dan sedimen. Hasil yang telah diperoleh di 21 titik

pengambilan sampel air permukaan terdapat 34 isolat kapang laut, yang

sebagian besar diindikasikan sebagai black mold (15) dan kelas Ascomycetes,

yaitu 11 Penicillium dan 8 Aspergillus. Sedangkan, sampel sedimen sedang

dalam tahapan penumbuhan. Sementara, mikroba yang ada di sargassum

(endofit) terdapat 4 isolat kapang laut yang keseluruhannya masuk dalam kelas

Ascomycetes, yakni Aspergillus.

Pemodelan pasang surut dan topografi Pada kegiatan ini dilakukan penentuan koordinat pulau Nipah, penentuan

konstanta pasut dengan menggunakan fasilitas yang tersedia di Onsala Space

Observatory, dan menghitung nilai pasut berdasarkan waktu dengan

menggunakan fasilitas di Intenational Earth Rotation and Reference Systems

Service (IERS), the Global Geophysics Fluids Center (GGFC).

Dari hasil perhitungan menggunakan beberapa model pasut, maka disimpulkan

bahwa sifat pasut di sekitar pulau Nipah adalah tipe pasut campuran berganda

(mixed predominantly semi-diurnal). Hasil pemodelan juga memperlihatkan

bahwa tunggang pasut terkecil adalah 2 meter yang diperoleh dari model

FES99 (Finite Element Solution 1999), sedang yang terbesar adalah 3.5 meter

Gambar 12.7 Tampilan saat pasang dan surut pulau Nipah dan lokasi reklamasi.

105Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

106Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 122: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

yang diperoleh dari model TPXO (Topex/Poseidon grid 0.5 derajat).

Studi topografi ini memberikan informasi yang benar mengenai luas dan kondisi

pulau Nipah melalui pengukuran titik kontrol dengan menggunakan metode

pengamatan GPS. Metode pengukuran adalah Static observation dengan

minimal pengamatan 2 jam dengan interval pengamatan setiap 10 detik. Survai

topografi menggunakan metode radial untuk pemetaan situasi.Hasil studi menyimpulkan bahwa luas pulau Nipah pada saat pasang tertinggi

adalah sama dengan lahan reklamasi yang telah dilakukan oleh Depkimpraswil

(per tanggal 4 Agustus 2004), yaitu seluas 1.82 HA. Luas pulau Nipah pada saat

surut terendah per tanggal 4 Agustus 2004 adalah 73.57 Ha.

Studi geologi dan geomorfologi Studi ini meneliti kondisi geologi dan geomorfologi seperti jenis litologi,

struktur geologi, stratigrafi, proses geomorfologi yang terjadi, dan umur

batuan penyusun pulau Nipah. Selain itu juga untu mengetahui kandungan

mineral berat dan ringan, khususnya yang bernilai ekonomis.

Hasil studi menyimpulkan bahwa pulau Nipah tersusun atas batuan dasar

metasedimen, berupa batupasir, batulanau, dan konglomerat yang secara fisik

sangat keras dan padat. Pada batuan metasedimen dijumpai adanya indikasi

struktur sesar (patahan) mendatar. Pulau Nipah terletak pada bagian dari

paparan Sunda yang secara teroritis sejak zaman tersier akhir sudah stabil dari

kegiatn tektonisme. Proses geomorfologi muda yang terjadi di Pulau Nipah

meliputi: denundasi (pendatasan) dan proses pesisir lainnya: abrasi yang

diakibatkan oleh adanya fenomena oseanografi dari perairan sekitarnya,

seperti pola arus, gelombang, dan pasang surut. Dengan adanya proses

geomorfologi muda ini, maka sangat dimungkinkan pualu ini akan terendam

pada pasang tertinggi apabila telah terkikis dan mengalami pendataran. Tetapi

dilihat dari kondisi fisik batuan penyusun pulau Nipah dan tingkat kegempaan

yang relatif kecil, maka pulau ini tidak akan pengalami penenggelaman

(subsidence).

Pendugaan Biomassa Ikan di Perairan Sekitar P. Nipah dengan Metoda

Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System)Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan estimasi stok di wilayah perairan

sekitar P. Nipah dengan menggunakan metoda akustik, khususnya metoda

akustik bim terbagi.

Seperti terlihat pada gambar-gambar diatas bahwa target strength (TS) ikan-

ikan pelagis selama akusisi pengamatan baik daerah alur pelayan maupun

bebas di perairan sekitar P. Nipah pada bulan Agustus 2004 sangat sedikit dan

tidak dapat di gunakan untuk perhitungan kepadatan stok di daerah ini.

Nilai dugaan biomassa sebesar 272 ton atau 1,310 ton/km² untuk perairan

sekitar P. Nipah secara total didominasi oleh ikan-ikan demersal yang

tertangkap bulan Agustus 2004.

Biomassa ikan demersal di perairan sekitar P. Nipah baik di alur pelayaran

ataupun tidak, didominasi ikan-ikan dengan ukuran dugaan panjang 3,94 cm.

(25,91 %).

Saran! Untuk menjaga eksistensi pulau Nipah, agar tidak terendam air pada saat

pasang tertinggi, maka daratan pulau Nipah perlu direklamasi untuk

menaikkan ketinggiannya menjadi lebih tinggi dari selisih antara surut

terendah dan pasang tertinggi.! Untuk melindungi kawasan pantai pulau Nipah dari proses abrasi dan

pengikisan yang berlangsung intensif, perlu dibuat bangunan pengaman

pantai atau sejenisnya, baik secara fisik maupun vegetatif, pada lokasi

pantai yang rawan abrasi.! Perlu diusulkan dalam master plan penanganan pulau Nipah berupa

pembentukan suatu kawasan khusus untuk zonasi ekosistem pesisir pulau

Nipah (ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem

mangrove)! Penting untuk memfokuskan kegiatan daerah rehabilitasi mangrove di

Pulau Nipah selain kegiatan konservasi terumbu karang di sebelah barat

pulau.! Untuk kegiatan transportasi lintas laut dan penambangan pasir, perlu

dibangun suatu stasiun observasi untuk pasang-surut dan pengukuran

Gambar 12.8 Echogram file Data Treshold (DT) pada akusisi target ikan pelagisdi daerah bebas alur pelayaran.

107Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

108Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 123: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

yang diperoleh dari model TPXO (Topex/Poseidon grid 0.5 derajat).

Studi topografi ini memberikan informasi yang benar mengenai luas dan kondisi

pulau Nipah melalui pengukuran titik kontrol dengan menggunakan metode

pengamatan GPS. Metode pengukuran adalah Static observation dengan

minimal pengamatan 2 jam dengan interval pengamatan setiap 10 detik. Survai

topografi menggunakan metode radial untuk pemetaan situasi.Hasil studi menyimpulkan bahwa luas pulau Nipah pada saat pasang tertinggi

adalah sama dengan lahan reklamasi yang telah dilakukan oleh Depkimpraswil

(per tanggal 4 Agustus 2004), yaitu seluas 1.82 HA. Luas pulau Nipah pada saat

surut terendah per tanggal 4 Agustus 2004 adalah 73.57 Ha.

Studi geologi dan geomorfologi Studi ini meneliti kondisi geologi dan geomorfologi seperti jenis litologi,

struktur geologi, stratigrafi, proses geomorfologi yang terjadi, dan umur

batuan penyusun pulau Nipah. Selain itu juga untu mengetahui kandungan

mineral berat dan ringan, khususnya yang bernilai ekonomis.

Hasil studi menyimpulkan bahwa pulau Nipah tersusun atas batuan dasar

metasedimen, berupa batupasir, batulanau, dan konglomerat yang secara fisik

sangat keras dan padat. Pada batuan metasedimen dijumpai adanya indikasi

struktur sesar (patahan) mendatar. Pulau Nipah terletak pada bagian dari

paparan Sunda yang secara teroritis sejak zaman tersier akhir sudah stabil dari

kegiatn tektonisme. Proses geomorfologi muda yang terjadi di Pulau Nipah

meliputi: denundasi (pendatasan) dan proses pesisir lainnya: abrasi yang

diakibatkan oleh adanya fenomena oseanografi dari perairan sekitarnya,

seperti pola arus, gelombang, dan pasang surut. Dengan adanya proses

geomorfologi muda ini, maka sangat dimungkinkan pualu ini akan terendam

pada pasang tertinggi apabila telah terkikis dan mengalami pendataran. Tetapi

dilihat dari kondisi fisik batuan penyusun pulau Nipah dan tingkat kegempaan

yang relatif kecil, maka pulau ini tidak akan pengalami penenggelaman

(subsidence).

Pendugaan Biomassa Ikan di Perairan Sekitar P. Nipah dengan Metoda

Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System)Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan estimasi stok di wilayah perairan

sekitar P. Nipah dengan menggunakan metoda akustik, khususnya metoda

akustik bim terbagi.

Seperti terlihat pada gambar-gambar diatas bahwa target strength (TS) ikan-

ikan pelagis selama akusisi pengamatan baik daerah alur pelayan maupun

bebas di perairan sekitar P. Nipah pada bulan Agustus 2004 sangat sedikit dan

tidak dapat di gunakan untuk perhitungan kepadatan stok di daerah ini.

Nilai dugaan biomassa sebesar 272 ton atau 1,310 ton/km² untuk perairan

sekitar P. Nipah secara total didominasi oleh ikan-ikan demersal yang

tertangkap bulan Agustus 2004.

Biomassa ikan demersal di perairan sekitar P. Nipah baik di alur pelayaran

ataupun tidak, didominasi ikan-ikan dengan ukuran dugaan panjang 3,94 cm.

(25,91 %).

Saran! Untuk menjaga eksistensi pulau Nipah, agar tidak terendam air pada saat

pasang tertinggi, maka daratan pulau Nipah perlu direklamasi untuk

menaikkan ketinggiannya menjadi lebih tinggi dari selisih antara surut

terendah dan pasang tertinggi.! Untuk melindungi kawasan pantai pulau Nipah dari proses abrasi dan

pengikisan yang berlangsung intensif, perlu dibuat bangunan pengaman

pantai atau sejenisnya, baik secara fisik maupun vegetatif, pada lokasi

pantai yang rawan abrasi.! Perlu diusulkan dalam master plan penanganan pulau Nipah berupa

pembentukan suatu kawasan khusus untuk zonasi ekosistem pesisir pulau

Nipah (ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem

mangrove)! Penting untuk memfokuskan kegiatan daerah rehabilitasi mangrove di

Pulau Nipah selain kegiatan konservasi terumbu karang di sebelah barat

pulau.! Untuk kegiatan transportasi lintas laut dan penambangan pasir, perlu

dibangun suatu stasiun observasi untuk pasang-surut dan pengukuran

Gambar 12.8 Echogram file Data Treshold (DT) pada akusisi target ikan pelagisdi daerah bebas alur pelayaran.

107Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

108Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 124: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

kualitas air. Pengukuran ini akan membantu akurasi pemodelan

hidrodinamik, transport sedimen, dan penginderaan jauh yang dapat

dipakai untuk memonitor kondisi lingkungan perairan disekitar Pulau

Nipah.

Daftar PustakaFriedrich, K. dan Kosloswsky, D., 2002. Sea Surface Temperature, INFORMUS,

hal. 91-94.Hendiarti, N., Purwandani, A., Frederik, M C G, Ambarini, R A, 2004.

Investigation of Oceanographic and Marine Environmental Condition

surrounding Nipah Island: in situ Measurements and Satellite

Observations, Proceedings of WOM-13 on Validation and Application of

Satellite Data for Marine Resources Conservation, 5-9 Oktober 2004, Bali,

Indonesia.Tim ekspedisi PotRets Pulau Nipah, 2004, Laporan Kegiatan Sinergi P-TISDA

2004.

Lampiran A.Sebaran Kandungan Klorofil-a Tahun 1998-2005

109Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

110Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 125: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

kualitas air. Pengukuran ini akan membantu akurasi pemodelan

hidrodinamik, transport sedimen, dan penginderaan jauh yang dapat

dipakai untuk memonitor kondisi lingkungan perairan disekitar Pulau

Nipah.

Daftar PustakaFriedrich, K. dan Kosloswsky, D., 2002. Sea Surface Temperature, INFORMUS,

hal. 91-94.Hendiarti, N., Purwandani, A., Frederik, M C G, Ambarini, R A, 2004.

Investigation of Oceanographic and Marine Environmental Condition

surrounding Nipah Island: in situ Measurements and Satellite

Observations, Proceedings of WOM-13 on Validation and Application of

Satellite Data for Marine Resources Conservation, 5-9 Oktober 2004, Bali,

Indonesia.Tim ekspedisi PotRets Pulau Nipah, 2004, Laporan Kegiatan Sinergi P-TISDA

2004.

Lampiran A.Sebaran Kandungan Klorofil-a Tahun 1998-2005

109Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

110Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 126: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

111Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

112Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 127: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

111Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

112Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 128: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

113Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

114Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 129: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

113Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

114Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 130: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

115Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

116Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 131: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

115Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

116Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 132: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lampiran B.Sebaran Kandungan Endapan Terlarut Tahun 2003

117Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

118Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 133: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lampiran B.Sebaran Kandungan Endapan Terlarut Tahun 2003

117Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

118Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 134: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lampiran C.Dokumentasi kegiatan INDOO 2005

Pertemuan dimulainya Proyek INDOO (Indonesian Operational Ocean

Observing System) di Perancak, Bali, 10 November 2005Proyek INDOO adalah kerjasama antara Indonesia dan Italia dalam

mengembangkan design sistem operasional pemantauan fenomena laut

Indonesia. Kerjasama ini dimulai pada bulan Juli 2005 hingga Mei 2006.

Institusi Indonesia yang terlibat adalah BRKP-DKP dan P-TISDA BPPT. Institusi

Italia yang terlibat adalah ESA-ESRIN, ENEA,dan IMC. Buku 'Riset dan Teknologi

Pemantauan Dinamika Laut Indonesia' ini adalah salah satu hasil kegiatan

INDOO. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.tisda.org/indoo.

Pertemuan perdana tim INDOO

Tim INDOO di SEACORM, Perancak

SEACORM, perancak

119Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

120Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 135: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lampiran C.Dokumentasi kegiatan INDOO 2005

Pertemuan dimulainya Proyek INDOO (Indonesian Operational Ocean

Observing System) di Perancak, Bali, 10 November 2005Proyek INDOO adalah kerjasama antara Indonesia dan Italia dalam

mengembangkan design sistem operasional pemantauan fenomena laut

Indonesia. Kerjasama ini dimulai pada bulan Juli 2005 hingga Mei 2006.

Institusi Indonesia yang terlibat adalah BRKP-DKP dan P-TISDA BPPT. Institusi

Italia yang terlibat adalah ESA-ESRIN, ENEA,dan IMC. Buku 'Riset dan Teknologi

Pemantauan Dinamika Laut Indonesia' ini adalah salah satu hasil kegiatan

INDOO. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.tisda.org/indoo.

Pertemuan perdana tim INDOO

Tim INDOO di SEACORM, Perancak

SEACORM, perancak

119Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

120Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 136: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lokasi budidaya tambak SEACORM

Pertemuan User Requirement di BPPT, Jakarta,15 November 2005

121Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

122Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 137: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lokasi budidaya tambak SEACORM

Pertemuan User Requirement di BPPT, Jakarta,15 November 2005

121Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

122Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 138: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Kantor Proyek INDOO di BPPT, Jakarta

Pertemuan di Italia, tanggal 20-24 Maret 2006

123Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

124Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 139: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Kantor Proyek INDOO di BPPT, Jakarta

Pertemuan di Italia, tanggal 20-24 Maret 2006

123Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

124Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 140: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lampiran DInformasi Alamat Penulis

Alamat kantor:Direktorat P-TISDA, Deputi TPSA - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,lantai 19 Gedung II BPPT, Jl. MH Thamrin no. 8, Jakarta 10340

Alamat website P-TISDA:www.tisda.org, www.bppt.go.id

Alamat website proyek INDOO:www.tisda.org/indoo

Albert Sulaiman, MSi, telp: (021) 316 9711,e-mail: [email protected]

Dr. Fadli Syamsudin, telp: 316 9739,e-mail: [email protected]

Dr. M. Sadly, telp: 316 9732,email: [email protected]

Marina CG Frederik, MSc, telp: 316 8914,e-mail: [email protected]

Dr. Nani Hendiarti, telp: 316 9732,e-mail: [email protected]

Retno Andiastuti A, SSi telp: 316 8914,e-mail: [email protected]

Dr. Yusuf S. [email protected]

125Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

126Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Page 141: Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

Lampiran DInformasi Alamat Penulis

Alamat kantor:Direktorat P-TISDA, Deputi TPSA - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,lantai 19 Gedung II BPPT, Jl. MH Thamrin no. 8, Jakarta 10340

Alamat website P-TISDA:www.tisda.org, www.bppt.go.id

Alamat website proyek INDOO:www.tisda.org/indoo

Albert Sulaiman, MSi, telp: (021) 316 9711,e-mail: [email protected]

Dr. Fadli Syamsudin, telp: 316 9739,e-mail: [email protected]

Dr. M. Sadly, telp: 316 9732,email: [email protected]

Marina CG Frederik, MSc, telp: 316 8914,e-mail: [email protected]

Dr. Nani Hendiarti, telp: 316 9732,e-mail: [email protected]

Retno Andiastuti A, SSi telp: 316 8914,e-mail: [email protected]

Dr. Yusuf S. [email protected]

125Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia

126Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia