putusan ultra petita

26
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM TUGAS KONSENTRASI HUKUM PUTUSAN PENGADILAN PERDATA ULTRA PETITA PUTUSAN PERDATA TERKAIT PETITUM SUBSIDER EX EQUA ET BONO Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah konsentrasi Hukum Putusan Pengadilan Perdata semester ganjil 2014 Dosen : Bpk. B. Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum. Oleh  Nama : Adhi Wicaksana  NIM : 12/339631/HK/19327 Bagian : Hukum Acara  Nomor HP : 0856-717-5504 YOGYAKARTA 2014

description

ultra petita terkait keadilan

Transcript of putusan ultra petita

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS GADJAH MADAFAKULTAS HUKUM

TUGAS KONSENTRASI HUKUM PUTUSAN PENGADILAN PERDATA

ULTRA PETITA PUTUSAN PERDATA TERKAIT PETITUM SUBSIDER EX EQUA ET BONO

Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah konsentrasi Hukum Putusan Pengadilan Perdatasemester ganjil 2014

Dosen: Bpk. B. Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum.

OlehNama: Adhi WicaksanaNIM: 12/339631/HK/19327Bagian: Hukum AcaraNomor HP : 0856-717-5504

YOGYAKARTA2014PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa penulisan paper ini tidak pernah diajukan untuk memenuhi penugasan kuliah apapun atau siapapun, dan sepanjang pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 18 Oktober 2014

Adhi Wicaksana 22

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSisi manusia sebagai makhluk sosial atau zoon politicon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai bentuk hubungan saling membutuhkan antara individu yang satu dengan individu lain sehingga seringkali dalam melaksanakan interaksi ini terjadi hal yang menguntungkan hingga persinggungan yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat, sengketa, dan tidak jarang kerugian baik pada salah satu pihak maupun para pihak. Oleh karena itu dalam tatanan bermasyarakat dibutuhkan hukum sebagai suatu hal yang dapat menciptakan ketertiban, keteraturan, dan kedamaian. Pada praktik terkadang hukum harus berjalan di belakang perkembangan jaman karena begitu cepat laju perkembangan jaman. Hukum ada dalam masyarakat manusia, dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum, ada masyarakat ada hukum: ubi societas ibi jus.[footnoteRef:1] [1: Sudikno Mertokusumo, 2013, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 28.]

Menurut pembagian klasik yang masih digunakan sampai saat ini hukum dibagi menjadi hukum publik dan hukum privat atau perdata. Hukum publik lazimnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain didalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Salah satu dari beberapa tolak ukur yang dapat digunakan untuk dapat membedakan antara hukum publik dan hukum perdata yaitu, dalam hukum publik salah satu pihaknya adalah penguasa, sedangkan dalam hukum perdata kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum perdatapun penguasa yang dapat menjadi pihak juga.[footnoteRef:2] [2: Ibid, hlm. 130.]

Pihak sebagaimana dimaksud dalam penjelasan diatas adalah sesuatu yang padanya dapat dilekati dengan hak dan kewajiban oleh hukum, yang lazimnya disebut sebagai subjek hukum. Dalam sistem hukum Indonesia yang dapat menjadi subjek hukum ialah manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Pada hakekatnya yang dapat memperoleh hak dan kewajiban hanya manusia, namun dalam perkembanganya dibutuhkan subjek hukum selain manusia yaitu badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban.[footnoteRef:3] [3: Ibid, hlm. 74.]

Dalam pergaulan di masyarakat, subuyek hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya saling memiliki kepentingannya masing-masing. Tidak jarang terjadi pembenturan anatara kepentingan yang satu dengan kepeintingan yan lain. Pembenturan atau perselisihan kepentingan atau yang lazim disebut sebagai konflik adalah aktualisasi dari salah satu hasil dari hubungan sosial yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Konflik kepentingan (conflict of interert) bila teraktualisasi kedalam bentuk tindakan maka akan menimbulkan sengketa. Oleh karena itu hukum hadir untuk menyelesaikan sengketa tersebut.Sengketa yang terjadi secara personal yaitu antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain (sengketa perdata), maka penyelesaiannya diselesaikan secara keperdataan atau dengan menggunakan hukum perdata. Hukum perdata digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang sifatnya personal yaitu mengenai orang, keluarga, harta kekayaan dan hukum benda, perikatan dan perjanjian, dan kewarisan.Pelaksanaan dari hukum perdata dapat berlangsung secara diam-diam di antara subyek hukum, tanpa harus melalui instansi resmi. Tidak jarang terjadi hukum perdata itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini maka hukum perdata (materiil) yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan. Untuk melaksanakan hukum perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hhukum perdata materiil dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.[footnoteRef:4] [4: Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 281.]

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur sebagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.[footnoteRef:5] [5: Sudikno Mertokusumo, 2013, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 2.]

Pada umumnya tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang baik dan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya suatu putusan hakim yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya.Putusan hakim adalah suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di muka sidang dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak yang bersengketa. Selain diucapkan oleh hakim, hal ini juga harus dituangkan dalam bentuk terulis yang kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan yang dianggap sebagai putusan hakim.[footnoteRef:6] [6: Ibid, hlm. 220.]

Dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang dihadapkan kepadanya, seorang hakim terikat pada asas-asas hukum yang berlaku umum, salah satunya adalah mengenai larangan memutus putusan yang ultra petita. Ultra petita dalam hukum formil Peradilan Indonesia mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut. Pada prakteknya ada sebagian hakim yang memutus perkara yang dihadapkan kepadanya melebihi dari apa yang di tuntut, sehingga muncul perdebatan atas putusan hakim yang ultra petita. Alasan hakim ketika memutuskan melebihi apa yang diminta didasarkan dari permintaan pihak penggugat dimana dalam dalil permohonan selalu mencantumkan supaya hakim dapat memutuskan yang adil dan patut menurut hukum (Ex Aeque Et Bono). Dengan permintaan ini, hakim mengabulkan agar tercapai rasa keadilan. Oleh karena itu Penulis tertarik untuk membahas hal tersebut dalam paper dengan judul Ultra petita Putusan Perdata terkait Petitum Subsider Ex Equa Et Bono.B. Perumusan MasalahBerdasarkan uraian pada latar belakang masalah dibagian sebelumnya, maka penulis memilih beberapa perumusan masalah sebagai fokus penelitian dalam penulisan paper ini antara lain sebagai berikut :1. Bagaimana konsep putusan ultra petita dalam hukum acara perdata?2. Bagaimana kaitan petitum subsider ex equa et bono dengan putusan ultra petita?C. Tujuan PenelitianAdapun tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut :1. Tujuan Obyektifa. Mengetahui konsep putusan ultra petita dalam hukum acara perdata;b. Mengetahui kaitan petitum subsider ex equa et bono dengan putusan ultra petita.2. Tujuan Subyektifa. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang segala hal mengenai putusan pengadilan perdata dalam hukum acara perdata khususnya mengenai kaitan petitum subsider ex equa et bono dengan putusan ultra petita.b. Untuk memenuhi tugas mata kuliah konsentrai Hukum Putusan Pengadilan Perdata.

D. Kegunaan PenelitianBerdasarkan hasil dari penelitian ini, diharapkan berguna untuk kepentingan akademis maupun kepentingan praktis, yaitu:1. Manfaat Akademisa. Menambah wawasan keilmuan di bidang hukum acara khususnya terkait hukum Putusan Pengadilan Perdata;b. Menambah wawasan tentang kaitan petitum subsider ex equa et bono dengan putusan ultra petita; c. Penerapan ilmu yang didapat selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum UGM;

2. Manfaat Praktisa. Memberikan masukan kepada instansi terkait agar dapat memaksimalkan perannya dalam upaya memberi putusan yang seadil-adilnya;b. Memberikan masukan kepada pemangku kebijakan terkait petitum subsider ex equa et bono dengan putusan ultra petita.23

BAB IIPEMBAHASAN

A. KONSEP PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM ACARA PERDATA1. Putusan Pengadilan perdataPutusan merupakan tahap terakhir dalam proses persidangan, dimana berdasarkan seluruh rangkaian persidangan mulai dari proses jawab jinawab, pembuktian, kesimpulan, maka selanjutnya akan bernuara pada penjatuhan putusan. Jika berdasarkan proses pembuktian pihak penggugat dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, maka gugatan akan dikabulkan dengan memberikan amar penghukuman kepada pihak tergugat untuk melaksanakan apa yang dituntut dalam gugatan.Sudikno Mertokusumo mendefinisikan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Mengenai jenis-jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedur dan isinya.[footnoteRef:7] [7: Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal. 220.]

Dilihat dari segi prosedurnya, putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir (Pasal 185 (1) HIR/196 (1) RBg)Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat tertentu. Menurut sifatnya, putusan akhir dalam amarnya dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu:[footnoteRef:8] [8: Ibid, hlm. 240.]

a. Condemnatoir, yakni yang amarnya berbunyi menghukum dan seterusnya, misalnya putusan yang menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat, untuk menyerahkan suatu barang atau mengosongkan suatu tempat, memerintahkan atau melarang tergugat melakukan suatu perbuatan/keadaan tertentu.b. Declaratoir, yakni yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum, seperti misalnya putusan yang menyatakan penggugat sebagai pemilik sah atas tanah sengketa, atau menyatakan penggugat adalah ahli waris.c. Constituitief, yaitu yang amarnya meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru, misalnya putusan yang membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan perkawinan dan sebagainya.Putusan bukan akhir disebut juga putusan sela atau putusan antara, ialah putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara. HIR/Rbg membedakan putusan akhir dan putusan bukan akhir, Rv mengenal pembedaan beberapa jenis putusan yang dapat digolongkan sebagai putusan bukan akhir, yaitu:[footnoteRef:9] [9: Ibid, hlm. 241.]

a. Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan persidangan.b. Interlocutoir, ialah putusan yang memuat perintah untuk melakukan pembuktian yang dapat mempengaruhi materi perkara atau bunyi putusan akhir.c. Insidentil, ialah putusan yang dijatuhkan berhubungan adanya insiden, yaitu adanya kejadian yang menunda proses perkarad. Provisionil, ialah putusan yang berkenaan dengan tuntutan provisionil, yaitu permohonan agar sebelum hakim menjatuhkan putusan, atau proses pemeriksaan perkara berjalan, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan atau untuk melakukan tindakan tertentu mengenai hal yang bersifat mendesak.Dilihat dari segi isinya putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan yang mengabulkan gugatan penggugat, gugatan tidak diterima dan gugatan ditolak. Gugatan dikabulkan jika gugatan beralasan ataupun tidak melawan hak, misalnya gugatan telah memenuhi syarat formil maupun materiil. Gugatan ditolak jika gugatan tidak beralasan, misalnya alasan atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya. Sedangkan gugatan tidak diterima jika gugatan melawan hak atau melawan hukum.[footnoteRef:10] [10: Sri wardah, op.cit., hlm. 215.]

2. Asas-asas Putusan Pengadilan PerdataDalam sebuah putusan pengadilan harus memenuhi asas-asas sebagai berikut (Vide Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG dan UU No. 48 Tahun 2009):[footnoteRef:11] [11: Heikhal A.S Panen, 2010, Penerapan putusan uitvoerbar bij voorraad, skripsi, FH UI, hlm. 14-15.]

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan RinciMenurut asas ini, putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan (Vide Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 178 ayat (1) HIR):1) pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan;2) hukum kebiasaan;3) yurisprudensi;4) doktrin hukum. b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian GugatanAsas ini ditentukan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuan ini, putusan yang dijatuhkan pengadilan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi TuntutanAsas ini ditentukan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuan ini, putusan yang dijatuhkan pengadilan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan (ultra petitum partium). Hakim yang memutus melebihi tuntutan merupakan tindakan melampaui batas kewenangan (beyond the powers of this authority), sehingga putusannya cacat hukum. Larangan hakim menjatuhkan putusan melampaui batas wewenangnya ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 1001 K/Sip/1972. Dalam putusan mengatakan bahwa hakim dilarang mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang diminta. d. Diucapkan di Sidang Terbuka Untuk Umum Menurut Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tujuan dari ketentuan ini untuk menghindari putusan pengadilan yang anfair trial. Selain itu, menurut SEMA No. 04 Tahun 1974, pemeriksaan dan pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam sidang pengadilan.

3. Ultra petita[footnoteRef:12] [12: Hartini, pengecualian terhadap penerapan asas ultra petitum partium dalam beracara di pengadilan agama, Mimbar Hukum, volume 21, nomor 2 Juni 2009.]

Ultra petita sebagai salah satu asas yang harus dipenuhi dalam suatu putusan pengadilan menyatakan bahwa hakim dalam memberikan putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Pada prakteknya ada sebagian hakim yang memutus perkara yang dihadapkan kepadanya melebihi dari apa yang di tuntut, sehingga muncul perdebatan atas putusan hakim yang ultra petita.Menurut Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).Sementara menurut Mertokusumo, dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, Pengadilan Negeri boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya. Dalam hal ini Pasal 178 ayat 3 HIR tidak berlaku secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Didukung pula dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1972 yang berpendapat bahwa mengabulkan hal yang lebih dari yang digugat masih diijinkan sepanjang masih sesuai dengan kejadian materiilnya.Putusan judex facti yang didasarkan pada petitum subsider yang berbentuk ex aequo et bono dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. Akan tetapi, sesuai Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal 189 ayat 3 RBg) tersebut, kebebasan hakim sangat dibatasi oleh tuntutan atau kepentingan pihak penggugat. Oleh karenanya, pengabulan terhadap sesuatu yang sama sekali tidak diajukan dalam petitum, nyata-nyata melanggar asas ultra petitum partium dan terhadap putusan seperti itu harus dibatalkan. Putusan semacam ini seperti dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 77 K/Sip/1973 tanggal 19 September 1973 harus dibatalkan, karena Pengadilan Tinggi mengabulkan ganti rugi yang tidak dituntut dalam gugatan. Begitu juga dengan putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan, menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971, harus dibatalkan.4. Contoh Kasus Putusan Ultra petita[footnoteRef:13] [13: Isnaldi Utih, Tinjauan Teori Hukum Progresif terhadap Putusan yang Ultra Petita, http://isnaldiutih.blogspot.com/2013/01/tinjauan-teori-hukum-progresif-terhadap.html, permasalahan hukum, 20 Oktober 2014.]

Dalam praktik peradilan di Indonesia telah terjadi bebebrapa kasus yang dalam putusannya hakim memutus ultra petita. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah kasus pembebasan lahan Kedung Ombo.Berikut ini adalah kasus posisi dari kasus Kedung Ombo, Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini. Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m, sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m. Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No. 650.PK/Pdt/1994 Tahun 2001. Pembatalan putusan kasasi Mahkamah Agung oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (PK MA) adalah dilatarbelakangi adanya perbedaan paradigma yang dianut antara majelis hakim kasasi MA dan majelis hakim PK MA. Hal ini terlihat dalam pertimbangan pembatalan putusan kasasi MA dengan mendasarkan pada Pasal 178 ayat (3) HIR yang berisi ketentuan bahwa hakim dilarang untuk memutuskan melebihi tuntutan atau memutus apa yang tidak dituntut. Sedangkan hakim kasasi MA mempunyai pandangan memberikan penafsiran yang sifatnya sosiologis tarhadap tuntutan subsider yang memohon putusan seadil-adilnya. Adanya ganti rugi immaterial dan putusan yang melebihi tuntutan.Pada tingkat kasasi yang dipimpin oleh Hakim Agung Z. Asikin Kusumah Atmadja, memutuskan jumlah ganti rugi menjadi berlipat-lipat yang mana pada tingkat pertama, ganti rugi yang dituntut oleh penduduk hanya RP. 1000,- (seribu rupiah) permeter persegi. Namun dalam tingkat kasasi, Asikin memutuskan jumlah ganti rugi menjadi Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) permeter persegi.

B. KAITAN PETITUM SUBSIDER EX EQUA ET BONO DENGAN PUTUSAN ULTRA PETITA1. Petitum SubsiderPetitum subsider atau tuntutan pengganti adalah tuntutan yang fungsinya untuk mengganti tuntutan pokok, apabila tuntutan pokok ditolak pengadilan. Jadi tuntutan pengganti ini sebagai tuntutan cadangan. Menurut Mahkamah Agung, petitum subsider dapat dikabulkan asal masih dalam kerangka yang serasi dengan petitum primair. Pada umumnya tuntutan pengganti berupa permohonan kepada hakim agar dijatuhkan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya.[footnoteRef:14] [14: Sriwardah, op.cit., hlm. 40.]

Hakim di dalam hukum acara perdata menurut HIR harus bersikap aktif dan harus menjatuhkan putusan seadil-adilnya sesuai dengan kebenaran dan sungguh-sungguh menyelesaikan perkara secara tuntas. Putusan judex facti yang didasarkan pada petitum subsider yang berbentuk ex aequo et bono dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. Akan tetapi, apabila petitum primair dan subsider masing-masing dirinci satu per satu, tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum primair dan sebagian lagi petitum subsider, maka tindakan yang demikian dianggap melampaui batas wewenang dan karenanya tidak dibenarkan. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 882 K/Sip/1974 tanggal 24 April 1976. Apabila dalam gugatan dicantumkan petitum primair dan subsider, pengadilan hanya dibenarkan memilih satu di antaranya yaitu mengabulkan petitum primair atau subsider. Hakim tidak dibenarkan menggunakan kebebasan cara mengadili dengan jalan mengabulkan petitum primair atau mengambil sebagian dari petitum subsidair.2. Contoh Kasus Putusan yang Mengabulkan Petitum Subsider[footnoteRef:15] [15: Hokum online, Putusan Ex Aequo et Bono Untuk Pedagang Yang Kehilangan Kios, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20035/putusan--ex-aequo-et-bono-untuk-pedagang-yang-kehilangan-kios, Hukum Online, 25 Oktober 2014.]

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memerintahkan PD Pasar Djaya dan Pemda DKI Jakarta agar memprioritaskan dan memudahkan hak beli pedagang yang kiosnya dibongkar paksa kepada pemilik kios di Blok C dan sebagian Blok E Pasar Tanah Abang yang dibongkar paksa pada November 2007, dengan demikian para pedagang tersebut memiliki peluang memiliki kembali kios tersebut. Pengembalian tersebut tidak gratis para pedagang tersebut dapat membelinya dengan harga khusus yaitu diskon 75 persen.Perintah itu lahir dari putusan ex aequo et bono oleh majelis hakim yang diketuai Eli Marliana dan beranggotakan Reno Listowo dan Makassau. Putusan dalam perkara gugatan ganti rugi yang diajukan oleh 12 pedagang Pasar Tanah Abang melawan PD Pasar Djaya dan Pemda DKI Jakarta ini dibacakan hari Kamis (28/8) di PN Jakarta Pusat.Kasus ini bermula saat kios milik para penggugat telah yang berjualan selama puluhan tahun di Blok C dan sebagian Blok E di Pasar Tanah Abang dibongkar paksa. Alasannya kios-kios tersebut sudah tidak layak. PD Pasar Djaya bahkan telah menunjuk Badan Lelang Negara (BLN) untuk melakukan pelelangan pembangunan pasar.Dalam gugatan yang diajukan bulan Februari 2008 lalu, penggugat menilai pelelangan dan pembongkaran yang dilakukan oleh PD Pasar Djaya dan BLN salah prosedur. Sebab tergugat telah bertindak sepihak tanpa melakukan komunikasi dengan sejumlah pedagang. Akibat pembongkaran paksa itu para penggugat menderita kerugian sebesar Rp1,5 miliar. Para tergugat dituntut untuk membayar ganti rugi tersebut lantaran hilangnya kesempatan untuk berusaha.Tanpa kesepakatan jumlah ganti rugi, PD Pasar Djaya malah menawarkan penempatan kios baru dengan harga yang melambung sekitar Rp450-Rp458 juta per meter. Padahal Pasar Tanah Abang yang menjadi pusat barang grosir yang berdiri sejak tahun 1973, kemudian direnovasi tahun 1972 menggunakan dana para pedagang.Bahkan saat gugatan ini diajukan, pelelangan yang awalnya direncanakan 14 Januari 2008 dipercepat oleh BLN menjadi tanggal 8 Januari 2008. Pembongkaran Blok C dan sebagian Blok E dipercepat.Meski memenangkan para penggugat, majelis hakim menilai pembongkaran paksa itu tidak termasuk perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Hal itu mengacu pada PERDA No. 16/1992 tentang Pengurusan Pasar di Provinsi DKI Jakarta. Majelis menilai pembongkaran itu telah sesuai dengan kewenangan para tergugat untuk mengelola pasar. Lagipula, berdasarkan kondisi obyektif Pasar Tanah Abang sudah tidak layak dan membahayakan bagi pedangan maupun pengunjung pasar. Demi kepentingan umum, pelelangan dan pembongkaran harus dilakukan, kata hakim Eli.Putusan ex aequo et bono lahir karena majelis hakim menilai para penggugat adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar. Hal ini dibuktikan dari surat izin pemakaian tempat usaha yang dipegang para penggugat. Selain itu, para penggugat telah membayar pengelolaan pasar pada PD Pasar Djaya dan pajak. Dengan demikian kepemilikan kios terbukti bukan berdasarkan sewa menyewa.Karena itu pemilik harus tetap mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan usahanya. Jalan tengahnya adalah dengan memberikan diskon untuk membeli kembali kiosnya kepada pedagang. Sebab terbukti bahwa Pasar Tanah Abang adalah milik Pemda DKI Jakarta.Kuasa hukum para penggugat Andi Asmoro Putro menyatakan puas dengan putusan hakim. Kami memberikan apresiasi pada majelis karena memperhatikan rasa keadilan masyarakat, katanya usai bersidang. Menurutnya, meskipun gugatan pokok perkara tidak dikabulkan majelis, pertimbangan majelis hakim yang memberikan diskon 75 persen pada pedagang yang kehilangan kiosnya merupakan keberanian majelis untuk melihat rasa keadilan.

BAB IIIPENUTUPA. KeimpulanBerdasarkan pembahasan materi diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut yaitu :1. hakim dalam menyelesaikan perakara harus dapat memberikan putusan yang baik dan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya suatu putusan hakim yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi. Untuk mencapai putusan yang baik dan berkekuatan hukum tetap hakim harus mendasarkan putusan kepada asas-asas putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG dan UU No. 48 Tahun 2009. Salah satu asas yang sering menmbulkan perdabatan adalah asas yang menyatakan hakim tidak boleh memutus melebihi dari yang dimintakan para pihak ultra petita. Pendapat berbeda menyatakan bahwa hakim dapat memutus ultra petita dengan alasan demi keadailan yang didasarkan pada petitum subsider ex equa et bono.2. Putusan judex facti yang didasarkan pada petitum subsider yang berbentuk ex aequo et bono dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. Akan tetapi, apabila petitum primair dan subsider masing-masing dirinci satu per satu, tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum primair dan sebagian lagi petitum subsider, maka tindakan yang demikian dianggap melampaui batas wewenang dan karenanya tidak dibenarkan. Dengan demikian hakim tidak bisa sembarangan memutus ultra petita dengan dasar petitum subsider karena petitum subsider sendiri memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam penerapannya.B. Saran1. Perlu adanya keseragaman pemahan mengenai konsep ultra petita di lingkungan peradilan khususnya hakim sebagai pemutus atau penyelesai perkara, agar tidak terjadi ketidak pastian hukum yang terjadi pada masyarakat.2. Perlu dilakukan pemahaman mendalam mengenai konsep petitum subsider ex equa et bono, untuk mewujudkan keadilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang harus ditegakkan. 3. DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Mertokusumo, Sudikno, 2013, Mengenal hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2013, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

Soeroso, R., 2010, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Soeroso, R., 2012, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta

Wardah, S. dan Sutiyoso, B., 2007, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Jurnal dan karya ilmiah:Hartini, pengecualian terhadap penerapan asas ultra petitum partium dalam beracara di pengadilan agama, Mimbar Hukum, volume 21, nomor 2 Juni 2009.

Heikhal A.S Panen, 2010, Penerapan putusan uitvoerbar bij voorraad, skripsi, FH UI, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan:Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 amandemen keempat (IV).Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Herziene Inlandsch Reglement (HIR).Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 nomor 157, Tambahan Lembar Negara nomor 5076).

Internet:Isnaldi Utih, Tinjauan Teori Hukum Progresif terhadap Putusan yang Ultra Petita, http://isnaldiutih.blogspot.com/2013/01/tinjauan-teori-hukum-progresif-terhadap.html, permasalahan hukum, 20 Oktober 2014.Hukum online, Putusan Ex Aequo et Bono Untuk Pedagang Yang Kehilangan Kios, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20035/putusan--ex-aequo-et-bono-untuk-pedagang-yang-kehilangan-kios, Hukum Online, 25 Oktober 2014.