Post on 05-Oct-2021
Peran Perempuan dalam Rumah Tangga pada Cerpen Das Brot, Die
Küchenuhr, dan Die Drei Dunklen Könige Karya Wolfgang Borchert
Sopha Mutia Adinda, Lisda Liyanti
Program Studi Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia, Depok 16424, Indonesia
sophaadinda@gmail.com
Abstrak
Wolfgang Borchert adalah salah satu penulis Nachkriegsliteratur yang menulis
cerita keadaan pasca perang, terutama tentang keluarga. Pasca perang keadaan
masyarakat semakin sulit karena hancurnya rumah-rumah, bangunan, dan
keterbatasan persediaan makanan. Dalam cerita pendek Das Brot, Die Küchenuhr,
dan Die Drei Dunklen Könige terdapat gambaran keluarga dengan tokoh
perempuan yang menjadi tokoh penting didalamnya. Tokoh perempuan dalam
ketiga cerpen akan dianalisis karakter dan perannya dalam rumah tangga dengan
menggunakan sudut pandang feminisme, yaitu mitos feminin dan juga “The
Other” dari Simone de Beauvoir. Hal tersebut dilakukan agar mengetahui
penggambaran Borchert mengenai perempuan dalam rumah tangga dan
bagaimana posisi perempuan pada masa setelah perang.
Kata Kunci : Peran perempuan, Mitos feminin, The other, Nachkriegsliteratur,
Wolfgang Borchert
Women’s Roles in The Household on The Short Stories Das Brot, Die
Küchenuhr, and Die Drei Dunklen Könige by Wolfgang Borchert
Abstract
Wolfgang Borchert was the author of Nachkriegsliteratur who wrote stories about
condition after the war, especially about family. Post-war situation has become
very difficult because of the destruction of homes, buildings and the limited
supply of food. In the short story of Das Brot, Die Küchenuhr, Die Drei Dunklen
Könige, there are descriptions of families with a female character who became an
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
important figure in it. Three female characters in these short stories will be
analyze by their roles in the household using the standpoint of feminism, namely
the myth of the feminine and "The Other" of Simone de Beauvoir. This analysis
will determine Borchert’s portrayal of women in the household and know how the
position of women after the war world II is.
Keywords: Women’s roles, Feminine myth, The other, Post-war Literature,
Wolfgang Borchert
Pendahuluan
Nachkriegsliteratur atau Karya Sastra Pasca Perang muncul sekitar tahun
1945-an setelah perang dunia II berakhir. Setelah perang dunia ini banyak penulis
pada masa ini mengangkat tema kehidupan dengan kesulitan yang dialaminya
pasca perang dan juga bagaimana mereka hidup keseharian pasca perang. Penulis
terkenal pada masa ini diantaranya Heinrich Böll, Günther Grass, Wolfdietrich
Schnurre, Wolfgang Borchert, Paul Celan, Günter Eich. Bahkan banyak penulis
penulis terkenal masuk ke dalam Gruppe 47, yakni asosiasi penulis yang khusus
mediskusikan nachkriegsliteratur, kelompok ini dibuat oleh Hans Werner
Richter.1
Nachkriegsliteratur yang akan dibahas adalah karya Wolfgang Borchert
dilihat dengan menggunakan sudut pandang feminis. Tokoh perempuan yang ada
dalam karya Borchert menarik untuk dibahas karena perempuan dalam karya
Borchert meskipun ada yang bukan merupakan tokoh utama di dalam cerita
namun justru perempuan memiliki peranan yang penting dalam cerita. Karya
Borchert banyak mengambarkan sisi psikologis dari tokohnya yang menarik untuk
dibahas2. Wolfgang Borchert lahir pada tanggal 20 Mei 1921 di Hamburg, Jerman
dan meninggal pada tanggal 20 November 1947 di Basel, Swiss. Borchert dikenal
sebagai perintis “Trümmerliteratur” dan telah menghasilkan karya sastra,
diantaranya puisi, cerpen, dan drama. Tema yang diangkat oleh Borchert banyak
1 Die Gruppe 47. Universität Ulm ( http://www.uni-‐ulm.de/LiLL/senior-‐info-‐mobil/module/Lit47.htm diakses pada tanggal 25 September 2016 pukul 19.08 WIB) 2 Doughlas, Thomas Bradley. Words from the rubble: Wolfgang Borchert's representations of the inexpressible The University of Texas at Dallas, ProQuest Dissertations Publishing, 2010. (http://search.proquest.com/docview/851555907 diakses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 15.22 WIB)
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
mengenai kenangan masa kecil dan keluarga. Selain itu juga dalam karyanya,
Borchert banyak menggambarkan dampak perang yang mengingatkannya pada
kampung halamannya yang sudah hancur karena bom3. Pada masa hidupnya,
Borchert pernah diadili karena dianggap mencemari nama baik Nazi dan
mendapat hukuman penjara.4 Beberapa karyanya yang terkenal diantaranya adalah
Drauβen vor der Tür, Das Brot, Die Hundeblume, dan An Diesem Dienstag.
Sebelum menulis Borchert pernah mengikuti kelas akting untuk bermain teater.
Borchert meninggal dikarenakan penyakit hepatitis yang semakin memburuk.
Dalam ketiga cerpen karya Borchert yang dianalisis, ketiganya memiliki tokoh
atau penggambaran perempuan. Berbeda dari karya Heinrich Böll ataupun Bertolt
Brech yang menggambarkan perempuan berbeda dari stereotipe yang ada. Tokoh
perempuan yang ada pada cerpen karya Borchert ini memiliki gambaran seperti
seorang ibu atau istri yang menjadi stereotipe karena dalam cerpen ini
digambarkan bahwa peran perempuan itu adalah melakukan pekerjaan domestik,
sesuatu yang berhubungan dengan bersih-bersih, dapur merupakan tugas dan
tempat perempuan, dan mengurus anak. Untuk meneliti lebih jauh akan digunakan
teori feminisme. Teori feminisme yang akan digunakan pada skripsi ini adalah
teori feminis liberal dari Betty Friedan yang menjelaskan mengenai “impian”
perempuan di Amerika sebagai seorang ibu rumah tangga, selain itu ada istilah
“Angel in the house” untuk perempuan yang digambarkan memiliki peran untuk
mengerjakan tugas domestik, selalu ingin menolong, dan selalu ingin dibutuhkan
yang dikritik oleh Virginia Woolf. Meskipun Betty Friedan menuliskan hal
tersebut berdasarkan penelitiannya di Amerika akan tetapi peran perempuan
seperti yang dijelaskan oleh Betty Friedan ini menjadi stereotipe yang meluas ke
seluruh perempuan di dunia. Selain Betty Friedan, penulis juga akan
menggunakan teori dari Simone de Beauvoir mengenai eksistensi perempuan
yang dipengaruhi oleh pilihan-pilihannya. Pendapat yang dikemukakan oleh Betty
Friedan dan Simone de Beauvoir memiliki keterkaitan karena ketika membahas
3 Ibid. 4 Wolfgang Borchert. Internationale Wolfgang-‐Borchert-‐Gesellschaft e.V., (http://www.borchertgesellschaft.de/start/english/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 18.02 WIB)
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
peran perempuan maka ini akan berhubungan dengan pilihan perempuan yang
diberikan.
Permasalahan Penelitian
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka masalah penelitian yang
didapat yaitu “Bagaimana peran dan posisi perempuan digambarkan oleh
Wolfgang Borchert dalam cerpen Das Brot, Die Küchenuhr, dan Das Drei
Dunklen Könige?”
Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan posisi dan gambaran perempuan
dalam Nachkriegsliteratur yang ditulis oleh Wolfgang Borchert, dalam ketiga
cerpennya yang masing-masing berjudul Das Brot, Die Küchenuhr, dan Die Drei
Dunklen Könige.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni analisis secara
mendalam terhadap teks yang dikaji. Dalam setiap cerpen akan dianalisis dengan
unsur intrinsik, mulai dari tema, judul, latar, tempat, penokohan. Lalu nantinya
akan fokus objek yang dianalisis adalah tokoh perempuan dalam cerpen yang
akan dihubungkan dengan teori feminisme.
Tinjauan Teoritis
Sebelum menganalisis ketiga cerpen Borchert, akan dibahas mengenai teori
feminisme. Feminisme terbagi menjadi tiga gelombang, diantaraya gelombang
pertama yang dimulai pada tahun 1920an sampai 1960, lalu gelombang kedua
dimulai pada tahun 1960 sampai 1980an kemudian gelombang ketiga muncul
pada tahun 1990an sampai saat ini. Gelombang pertama memperjuangkan hak
politik perempuan, hak kesetaraan dalam pendidikan, dan kepemilikan. Lalu pada
gelombang kedua, membahas permasalahan perempuan pada tempat kerja, hak
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
reproduksi perempuan, dan juga mengenai psikis perempuan5. Gelombang ketiga
sudah membahas mengenai perempuan dari dunia ketiga dan mengakui
permasalahan perempuan yang berbeda-beda berdasarkan ras, etnis, budaya, dan
negaranya. Selain itu pada gelombang ini juga mempermasalahkan bahasa sebagai
sistem yang dinilai membuat perempuan tersubordinasikan. Untuk menganalisis
ketiga cerpen akan digunakan teori feminisme, diantaranya adalah mitos feminin
dan perempuan sebagai “The Other.
1. Mitos Feminin
Mitos merupakan sesuatu yang banyak dipercayai orang sebagai
kebenaran namun kenyataan tidak benar6. Dalam kaitannya dengan peran
perempuan mitos feminin biasa digunakan agar dominasi laki-laki tetap berlanjut.
Ada dua hal yang ditekankan oleh Beauvoir (1949) dalam mitos perempuan.
Pertama, apa yang diinginkan laki laki dari perempuan adalah untuk melengkapi
laki-laki. Sebagaimana penafsiran pada penciptaan Adam dan Hawa, Hawa
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dan ditugaskan untuk menemani Adam.
Kedua, perempuan dilihat seperti alam. Perempuan memiliki sifat seperti alam,
yang memberi kebutuhan untuk semua makhluk dan dapat dikuasai atau
ditaklukkan oleh laki-laki. Mitos perempuan juga diberikan dalam peran
perempuan sebagai ibu rumah tangga yang baik itu seperti apa. Seperti seorang
istri harus menuruti perkataan suami, rajin membereskan rumah, berada dirumah
mengurus anak, dan sebagainya. Freud menyebutkan bahwa “Anatomy is destiny”
yang ditolak keras oleh Betty Friedan karena “Anatomy is destiny” artinya peran
reproduksi perempuan, identitas gender, dan preferensi seksual perempuan
ditentukan karena ketidaadan penis. Karena hal tersebut Friedan mengutuk Freud
karena telah mendorong perempuan untuk menjadi reseptif, pasif, ketergantungan,
dan selalu siap untuk "tujuan" dari kehidupan seksual mereka yaitu impregnasi7.
Dalam penelitiannya, Friedan (1963) pun memandang bahwa penyebab 5 Dorey-‐Stein, Caroline. (2015, September 22). A Brief History : The Three Waves of Feminism (https://www.progressivewomensleadership.com/a-‐brief-‐history-‐the-‐three-‐waves-‐of-‐feminism/ diakses pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 19.52 WIB) 6 Myth : A widely held but false belief or idea/ A misrepresentation of the truth. (https://en.oxforddictionaries.com/definition/myth diakses pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 20.23 WIB) 7 Tong, R. 2009. Feminist Thought: A More Comprehensive.
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
perempuan menetapkan tujuannya untuk menikah, salah satunya dikarenakan
majalah perempuan yang beredar di Amerika, ia menyatakan bahwa majalah
hanya membahas bagaimana caranya menarik perhatian laki-laki, bagaimana cara
menyusui bayi, memanggang kue, dan sebagainya. Tidak ada majalah yang
mengulas mengenai politik atau hal yang diluar rumah dan keluarga (hal.15-16).
Peran perempuan dalam rumah tangga, seperti menuruti perkataan suami,
mengurus anak di rumah, dan membersihkan rumah membuat perempuan
digambarkan selayaknya “malaikat” atau dalam istilah feminisme “Angel in the
House”. “Angel in The House” berasal dari karya Conventy Patmore, yakni
seorang sastrawan Inggris pada masa Victoria8. Patmore menuliskan puisi yang
berisi tentang istrinya yang dianggap seperti malaikat, akhirnya pun “Angel in
The House” menjadi contoh ideal seorang perempuan dalam masyarakat Inggris
dan lama kelamaan peran perempuan untuk menjadi “malaikat” pun dianggap
sebagai kodratnya. Malaikat” sendiri digambarkan memiliki sifat pasif, tidak
berdaya, lemah lembut, menawan, anggun, simpatik, selalu mengorbankan
dirinya, alim, dan murni. Virgiana Woolf dalam essainya The Profession for
Women (1931) sangat menentang istilah “Angel in The House”. Woolf melihat
bahwa perempuan dicirikan sebagai sosok yang sangat simpatik, menawan, dan
tidak mementingkan diri sendiri, dan rela berkorban untuk orang lain. Dalam
esainya tersebut, Woolf mengakatan bahwa pekerjaan yang harus dilakukan oleh
penulis perempuan pada saat itu adalah dengan membunuh “Angel in the house”
pada tulisan yang dibuat. Ia mengharapkan agar nantinya penulis perempuan
dapat mengubah gambaran mengenai perempuan.
2. Perempuan sebagai “The Other”
Karena adanya peran perempuan yang selalu dihubungkan dengan
pekerjaan domestik membuat posisi dirinya tersubordinasi. Dalam The Second
Sex (1949), Simone de Beauvoir melihat bahwa perempuan hanya dilihat saja 8 https://www.britannica.com/biography/Coventry-‐Patmore diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 17.22 WIB
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
tanpa ada esensinya. Baginya selama ini perempuan selalu didesak menjadi
perempuan, tetap menjadi perempuan, dan menjadi perempuan. Hal ini membuat
seolah-olah menjadi seorang perempuan itu sudah ditentukan harus seperti apa
nantinya dan hal ini mengakibatkan perempuan kehilangan pilihannya sebagai
seorang individu. Namun sifat feminin ini malah membuat perempuan memiliki
ruang untuk berkembang yang kecil. Laki-laki melihat bahwa perempuan tidak
memiliki eksistensi dalam dan untuk dirinya sendiri dan laki-laki hanya melihat
perempuan berdasarkan fungsinya dalam dunianya. Hal ini menjelaskan bahwa
perempuan “ada” bukan bersama orang lain melainkan perempuan “ada” untuk
orang lain. Karena hal tersebutlah perempuan dianggap hanya sebagai mahkluk
yang relatif dan tidak mempunyai otonom. Hal ini membuat laki-laki bermakna
Subjek dan ia Mutlak, sedangkan perempuan adalah “The Other”. Perempuan
sebagai “The Other” akhirnya menempatkan posisi perempuan sebagai
surbordinat. “The Other” merupakan bentuk penindasan, dimana otoritas laki-laki
dianggap wajar.9Penindasan ini dapat berupa fisik ataupun mental. Perempuan
didefinisikan dengan referensi terhadap laki-laki, bukan referensi terhadap dirinya
sendiri. Beauvoir berusaha melihat perempuan sebagai subjek (menjadi manusia
bebas), dimana perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam
segala bidang kehidupan.
Analisis Teks
Setelah memamparkan teori feminisme, terutama mitos feminin dan perempuan
sebagai “The Other”. Maka berikut ini adalah analisis yang dikerjakan dilihat dari
ketiga cerpen karya Wolfgang Borchert,
- Das Brot
Das Brot menceritakan seorang istri yang melihat suaminya mengambil roti di
dapur pada malam hari dan suaminya tidak mengatakan yang sebenarnya kalau ia
telah mengambil roti tersebut. Tokoh Suami dan Istri sama-sama tidak berbicara
jujur dalam cerita ini. Tokoh Istri tidak jujur dalam mengungkapkan apa yang ia
9 Siwi Handayani, Christina dkk. “Subyek yang Dikekang”. (http://salihara.org/sites/default/files/Halaman%20Isi_SYDK_rev%201g.pdf diakses pada tanggal 28 Oktober 2016 pukul 19.21 WIB)
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
rasakan. Sampai keesokkan harinya, tokoh Istri memberikan jatah roti miliknya
untuk suaminya.
Tema yang telihat pada cerpen ini adalah mengenai masalah kelaparan dan
‘konflik’ dalam sebuah hubungan antara suami-istri. Das Brot digunakan sebagai
judul karena roti dalam cerpen ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan
menjadi sebuah bukti betapa berharganya makanan terutama setelah perang
berakhir. Kemudian alur pada cerpen ini adalah alur maju, latar yang terlihat
dalam cerpen ini adalah di dapur dan di kamar tidur, terlihat pada “Nachts. Um
halb drei. In der Küche.” (Z.7) yang artinya malam (baris 7). Pukul setengah tiga
di dapur dan pada kalimat ketika istrinya mengajak suaminya untuk tidur kembali
(baris 27)“Sie kam ihm zu Hilfe: "Komm man. Das war wohl draußen. Komm
man zu Bett..” (Z.27). Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga (Er-
Erzähler). Pada Das Brot, tokoh suami (Er) memiliki sifat tidak jujur karena
meskipun ia telah memakan roti yang ada di dapur, ia tidak mengakuinya bahkan
berusaha untuk menutup-nutupinya. Meskipun begitu tokoh suami juga
digambarkan telah menyesal dan merasa malu dengan perbuatannya yang
mengambil roti diam-diam ketika tokoh Istri (Sie) memberikan rotinya untuknya.
Selanjutnya tokoh Istri memiliki sifat yang pasrah, pemaaf, dan rela berkorban
untuk suaminya.
• Mitos Feminin dalam cerpen Das Brot
Dalam penggambaran tokoh suami terlihat seperti tokoh ‘penjahat’ karena dia
melakukan perbuatan negatif seperti berbohong dan ‘mencuri’. Sedangkan tokoh
istri terlihat seperti tokoh penolong bahkan penyelamat untuk suaminya.
Sebelumnya sudah ada beberapa artikel yang menganalisis cerpen Das Brot dan
menyatakan bahwa tokoh perempuan dalam cerpen ini berperan sebagai sosok
heroik, seperti interpretasi yang ditulis oleh Hans-Gerd Winter10. Namun penulis
melihat bahwa meskipun memang tokoh istri berperan seperti pahlawan, namun
hal tersebut sebenarnya masih berhubungan dengan mitos feminin yang melekat
10 Winter, Hans-‐Gerd. 2007. Wolfgang Borchert : Das Brot. (http://api.vlb.de/api/v1/asset/mmo/file/37789e69-‐35ee-‐4ff5-‐b8ee-‐d0d9a0ac86dc?access_token=0ee60029-‐d4b6-‐4215-‐9a20-‐295720a1031b diakses pada 27 November 2016 pada pukul 16.55 WIB)
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
pada perempuan, yakni konsep “malaikat” atau “Angel in the House” yang
menjadi tolak ukur perempuan seberapa baiknya ia menjalani kehidupan rumah
tangganya dan menjalankan perannya sebagai seorang istri.11. “Wenn sie abends
zu Bett gingen, machte sie immer das Tischtuch sauber. Jeden Abend. Aber nun
lagen Krümel auf dem Tuch.” (Z.9-10 ) Dari kalimat tersebut terlihat bahwa peran
perempuan selalu dikaitkan dengan pekerjaan domestik, terutama dalam hal
bersih-bersih. Kemudian seperti yang dicirikan oleh Virginia Woolf dalam essai
nya “Profession for Women” (1931), perempuan memiliki sifat simpatik dan
tidak mementingkan dirinya sendiri, tokoh Istri digambarkan sebagai sosok yang
lebih mementingkan suaminya dibandingkan dirinya sendiri terlihat dari ketika
tokoh Istri rela untuk membagikan rotinya kepada suaminya. Tokoh Istri juga
cenderung untuk tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di dalam
hatinya. Meskipun begitu dalam cerpen ini, tokoh perempuan yang pada awalnya
memiliki sifat “malaikat” mencoba untuk keluar dari posisinya tersebut dan
membuat pilihan sendiri untuk memberikan jatah roti kepada suaminya dengan
langsung menawarkan roti miliknya. Sehingga ia tidak perlu merasa dibohongi
ataupun pasrah ketika suaminya mengambil roti tersebut.
• Perempuan sebagai “The Other” dalam cerpen Das Brot
Dalam kehidupan rumah tangga pada cerpen Das Brot, tokoh suami telah
membohongi istrinya, kebohongan yang dibuat oleh suami dapat dijadikan
sebagai tanda dari posisinya yang superior. Sikap diam tokoh istri menunjukkan
sifat perempuan yang selalu berpasrah terhadap keadaan, dalam cerpen ini
meskipun tokoh Istri kecewa dengan suaminya yang berbohong namun ia tetap
bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pada bagian terakhir dikesankan bahwa
peran perempuan dalam rumah tangga selain melakukan pekerjaan domestik
adalah rela berkorban demi pasangannya. Pemberian satu potong roti yang
diberikan tokoh istri untuk suaminya juga menandakan bahwa apa yang dimaksud
dengan “perempuan bukan ‘ada’ bersama orang lain melainkan ‘ada’ untuk orang
11 Cole, Amanda.2010. Sensational Women : Gender and Domestic Morality in East Lynne and The Woman in White. (hlm.5) (http://repository.cmu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1074&context=hsshonors diakses pada tanggal 22 Oktober 2016 pukul 20.12 WIB)
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
lain” ada dalam cerpen Das Brot. Dalam hal ini perempuan hadir karena memiliki
tugas untuk menolong orang lain dan membuat esensi dari dirinya menjadi tidak
lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang memiliki peran dalam menentukan
sesuatu dan bebas untuk memilih. Namun sekali lagi, Simone de Beauvoir (1949)
menekankan bahwa jika pilihan perempuan dipilih karena kesadarannya, maka
posisi perempuan bukan lagi menjadi yang tersubordinasi.
- Die Küchenuhr
Die Küchenuhr menceritakan seorang pemuda yang bercerita mengenai
ibunya yang sangat dirindukannya kepada dua orang asing yang sedang
bersamanya. Pada cerpen ini digambarkan bahwa pemuda tersebut sedang
membawa jam dapur miliknya yang mengingatkan dia pada ibunya. Ibunya yang
selalu terbangun ketika ia pulang pada pukul 02.30 malam dan meyiapkan
makanan untuknya. Pada akhir cerita tokoh utama hanya dapat berkata bahwa apa
yang telah ia rasakan dengan ibunya adalah surga.
Jam dapur dalam cerpen ini merupakan benda berharga yang dibicarakan oleh
tokoh utama karena adanya kenangan dalam jam tersebut. Tidak heran jika
akhirnya Borchert memilih judul Die Küchenuhr karena memang jam dapur ini
menjadi hal yang memiliki sensitivitas bagi tokoh utama dalam cerpen ini. Tema
yang diangkat dari cerpen Die Küchenuhr adalah mengenai perasaan kehilangan
seseorang yang sangat dekat dengan kita dan mengenai perang itu sendiri karena
dalam cerpen ini diungkapkan bahwa karena bom tokoh utama telah kehilangan
segalanya, termasuk keluarganya. Alur cerpen ini adalah maju-mundur karena di
tengah cerita tokoh utama menceritakan masa lalunya yang ia rindukan hingga
sekarang sehingga ada cerita flashback. Kemudian gaya bahasa yang digunakan
dalam cerpen Die Küchenuhr adalah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan
sehingga mudah untuk dipahami. Lalu latar pada cerpen ini tidak disebutkan,
namun hanya dijelaskan diluar ruangan disebuah kursi. Dan Sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang orang ketiga (Er-Erzähler). Tokoh yang ada
pada cerpen ini berjumlah tiga orang, diantaranya Tokoh laki-laki muda yang
membawa jam, tokoh perempuan dengan kereta bayinya, tokoh laki-laki, dan
tokoh ibu. Tokoh laki-laki muda digambarkan sebagai seorang yang berwajah tua,
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
terdapat pada kalimat “Er hatte ein ganz altes Gesicht, aber wie er ging, daran
sah man, daß er erst zwanzig war.” (Z.1-2 ). Dalam kalimat tersebut
menunjukkan bahwa tokoh utama memiliki wajah yang tua namun dari caranya
berjalan, orang-orang akan tahu kalau ia masih berumur 20 tahun. Sifat tokoh
utama, kedua orang asing (perempuan dan laki-laki) tidak dijelaskan secara
spesifik, namun tokoh ibu memiliki sifat yang sangat peduli terhadap anaknya dan
tidak kenal lelah karena harus menyiapkan makanan pada jam tidur.
• Mitos Feminin dalam cerpen Die Küchenuhr
Tokoh ibu dalam cerpen ini memiliki sifat “Angel in The House” karena
memiliki sifat yang mengurus segalanya, seperti rumah dan anaknya yang sudah
cukup dewasa. Tugas domestik yang dijalankan tokoh ibu dapat dilihat pada
kalimat:
“Und dann hörte ich sie noch die Teller wegsetzen, wenn ich in meinem
Zimmer schon das Licht ausgemacht hatte. Jede Nacht war es so. Und
meistens immer um halb drei. Das war ganz selbstverständlich, fand ich,
daß sie mir nachts um halb drei in der Küche das Essen machte.” (Z.46-
49)
Kalimat diatas menyatakan bahwa tokoh utama selalu mendengar ibunya
membereskan piring ketika ia pergi tidur dan juga menyiapkan makanan untuknya
yang dilakukan setiap malam. Tokoh ibu dalam cerpen ini juga memiliki sifat
penolong dan selalu ada untuk anaknya tanpa anaknya meminta. Tokoh utama
juga melihat apa yang dilakukan ibunya sebagai sesuatu yang otomatis akan
dilakukannya ketika ia pulang pukul 02.30, maka peran ibu sebagai pengurus dan
bekerja dalam wilayah domestik semakin melekat. Bagian akhir dari cerpen Die
Küchenuhr, tokoh utama mengatakan bahwa “Da sagte er der Uhr leise ins
weißblaue runde Gesicht: Jetzt, jetzt weiß ich, daß es das Paradies war.” (Z.64-
65) yang menjelaskan bahwa hal yang biasa terjadi ketika ia pulang pukul 02.30
malam itu adalah surga baginya. Ketika perempuan menjalankan peran feminin
nya maka untuk laki-laki itu adalah hal yang paling indah karena peran yang
dilakukan oleh ibu membuat tokoh utama merasakan sebuah “Paradies” atau
surga. Pada akhir cerita ini dapat dikatakan bahwa peran ibu yang dijalankan
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
dilihat sebagai sesuatu yang besar dan tidak dapat tergantikan untuk anaknya,
sehingga anak (tokoh utama) menyebut hal tersebut sebagai sebuah surga.
• Perempuan sebagai “The Other” dalam cerpen Die Küchenuhr
Tokoh ibu yang ada pada cerpen ini memiliki sifat yang tidak banyak berbicara
ketika melihat anaknya pulang, ia hanya mengatakan “terlambat lagi” (so spät
wieder). Jika dikaitkan dengan masa sesudah perang, dapat dipahami bahwa
mungkin tokoh ibu sudah mengalami situasi yang melelahkan dengan apa yang
terjadi ketika perang sehingga ia mencoba untuk memahami anaknya yang pulang
larut. Dari cerita ini diperlihatkan bahwa tempat perempuan hanya di dalam
rumah saja sedangkan anaknya (tokoh utama) dapat berpergian keluar. Contohnya
adalah tokoh utama baru pulang pada pukul 02.30 malam yang artinya laki-laki
memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan dengan perempuan yang hanya
terikat pada perannya di dalam rumah. Tokoh utama memilih untuk tidak
membantu ibunya ketika melihat ibunya membersihkan dapur memberikan
penggambaran bahwa tokoh utama merasa kalau apa yang dikerjakan ibunya itu
adalah sesuatu yang memang seharusnya dilakukan seorang ibu atau perempuan.
Subordinasi perempuan yang terlihat lainnya adalah ketika perempuan selalu
dikaitkan dengan perannya di dalam rumah yang pada akhirnya selalu membuat
perempuan menunggu kedatangan suaminya atau anaknya sama seperti cerpen
Das Brot, dapur menjadi tempat perempuan. Dapur sebagai simbol dari
penempatan perempuan dalam keluarga, yang artinya hanya memiliki tugas di
dalam rumah. Namun jika dikaitakan dengan hubungan ibu dan anak, maka sifat
tokoh ibu yang pasrah dan terlihat “tersubordinat” pun menjadikan posisi
perempuan tidak tersubordinat. Seperti yang dikatakan Simone de Beauvoir
bahwa jika perempuan dapat memilih dengan bebas atas keinginannya sendiri
maka ia sudah terlepas dari subordinasinya.
- Die Drei Dunklen Könige
Die Drei Dunklen Könige menceritakan sebuah keluarga yang kedatangan tiga
orang asing dengan seragam yang sudah lama. Keluarga tersebut terdiri dari ibu,
ayah, dan seorang anak yang baru saja lahir. Mereka hidup dalam keadaan yang
serba sulit, seperti kesulitan untuk mencari makanan dan kedinginan. Namun
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
keluarga tersebut kedatangan tiga orang asing yang ingin beristirahat sebentar,
dan ketiga orang tersebut memiliki ciri khasnya, ada yang kakinya diperban, yang
satu kehilangan tangannya dan ada juga yang memiliki tremor karena terdapat
saraf yang rusak.
Judul cerpen Die Drei Dunklen Könige dipilih karena dalam cerpen ini
terdapat tiga orang asing yang mendatangi rumah keluarga kecil. Tiga orang asing
ini dapat disebut sebagai Dunklen Könige dan merepresentasikan korban perang.
Dunklen atau yang merupakan kata sifat yang artinya gelap memiliki makna
negatif dalam cerpen ini. Ketiga tokoh ini dapat melambangkan para tentara yang
berjuang ketika perang berlangsung karena pada cerpen ini dijelaskan kalau ketiga
tokoh asing itu memakai seragam tua. Könige sendiri diambil dari kisah natal
yang menceritakan tiga raja yang memberikan hadiah untuk Yesus, kisah natal
tersebut menyebut raja dengan Heiligen Könige namun pada cerpen ini Borchert
menggantinya dengan Dunklen Könige. Jika ketiga “raja” dalam kisah natal
sesungguhnya disimbolkan sebagai pembawa harapan, maka dalam cerita
Borchert ini ketiga “raja” justru dilihat sebagai sosok yang gagal dalam
menunjukkan pengharapan terhadap keluarga tersebut. Ketiga “raja” tersebut
memiliki kondisi fisik yang menyedihkan dan hanya dapat berharap pada seorang
anak dalam keluarga tersebut. Tema yang diangkat adalah isu kelaparan dan
harapan kepada generasi baru. Alur dalam cerpen ini adalah maju dan
menggunakan bahasa sehari-hari. Kemudian latar yang ditampilkan adalah di
dalam rumah keluarga tersebut dan sudut pandang yang digunakan adalah orang
ketiga (Er-Erzähler).
Tokoh yang mucul pada cerita ini diantaranya, tokoh suami (Er), tokoh istri (Sie),
tokoh anak (das Kind), dan ketiga orang asing. Tokoh suami memiliki kekesalan
dan kemarahan yang tidak dapat ia keluarkan. Hal ini ditunjukkan dari
keinginannya untuk memukul seseorang dan kalimat tersebut muncul berkali-kali
dalam cerpen ini. Selain itu juga tokoh suami sudah tidak memiliki harapan untuk
kehidupannya yang lebih baik, ia pesimis terhadap apa yang terjadi padanya.
Meskipun begitu tokoh suami memiliki sifat yang peduli dengan istrinya dan
mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Hal tersebut terlihat pada saat
tokoh suami berusaha mencari kayu untuk menghangatkan istrinya dan ia juga
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
tidak merokok di dalam rumah. Kemudian tokoh istri dijelaskan bahwa ia baru
melahirkan seorang bayi laki-laki, terlihat pada kalimat “Das Gesicht war erst
eine Stunde alt, aber es hatte schon alles, was dazu gehört: Ohren, Nase, Mund
und Augen” (Z.12-13). Tokoh istri memiliki kesenangan tersendiri pada anaknya
dan ia menunjukkan sifat yang optimis ketika anaknya baru saja lahir, ia sangat
bersyukur bahwa anaknya masih hidup dalam keadaan dingin seperti itu. Tokoh
istri terlihat sangat protektif terhadap anaknya, terutama ketika tiga orang asing itu
mendekati anaknya. Ketiga tokoh tersebut dapat disebut sebagai tamu yang baik
karena mereka memberikan hadiah untuk tokoh Er, Die Frau, dan anaknya. Dan
simbol tokoh das Kind ini merupakan simbol dari lahirnya sesuatu yang postif dan
memberikan harapan baru untuk generasi yang akan datang.
• Mitos Feminin dalam cerpen Die Drei Dunklen Könige
Tokoh istri memiliki sifat penyayang yang menonjol dibandingkan suaminya.
Sifat penyayang ini ditunjukkan pada saat tokoh istri besikap protektif terhadap
anaknya jika dibandingkan dengan suaminya. Ketakutan dan kekhawatiran
terhadap anak digambarkan melalui tokoh istri sedangkan tokoh suami
digambarkan memiliki kemarahan atas keadaanya dan tidak menampakkan
kebahagian dari kelahiran anaknya. Sifat “Angel in the House” yang muncul pada
tokoh istri lebih ditunjukkan untuk anaknya dibadingkan dengan suaminya. Sifat
penyayang seperti itu menciptakan stereotipe bahwa perempuan disebut sebagai
mahkluk yang emosional karena selalu bertindak impulsif. Dalam peran ataupun
sifat perempuan dan laki-laki, keduanya diatur dalam oposisi biner. Contohnya
adalah perempuan disebut sebagai makhluk yang emosional, sedangkan laki-laki
akan disebut rasional. Padahal emosi adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua
orang dan menunjukkan emosi merupakan sesuatu yang manusiawi. Kemudian
pada tokoh suami ditunjukkan bahwa ia merasa gagal untuk membahagiakan
keluarganya secara implisit yang membuat ia kesal dan ingin memukul wajah
seseorang. Melakukan sesuatu yang bersifat kekerasan adalah bagian dari laki-
laki. Sebagai seorang laki-laki, tokoh suami merasa jika ia tidak dapat
memberikan sesuatu hal yang bersifat materi maka ia gagal menjadi seorang
suami yang baik.
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
• Perempuan sebagai “The Other” dalam cerpen Die Drei Dunklen Könige
Pada judul “Die Drei Dunklen Könige” terlihat bahwa peranan laki-laki
adalah pergi ke luar rumah atau berada di ruang publik karena digambarkan dalam
cerita ini ia adalah sosok tentara perang yang sudah terluka. Hal ini tentu menjadi
ironi bahwa jika biasanya raja selalu direpresentasikan dengan sosok yang kuat,
namun pada cerita ini Borchert menggambarkannya sebagai korban perang yang
telah kehilangan kaki, tangan, dan kerusakan saraf. Kemudian tokoh istri
diberikan dua permen oleh salah satu tokoh dari ketiga orang asing sedangkan
tokoh suami diberikan tembakau untuk merokok. Merokok biasa disebut sebagai
bentuk dari maskulinitas dan sudah melekat dengan identitas laki-laki. Sedangkan
pemberian dua permen untuk tokoh istri menunjukkan bahwa perempuan masih
terikat dalam hal untuk memenuhi kebutuhan untuk makan berbeda dengan laki-
laki yang memberi materi, misalnya bahan makanan maka perempuan bertugas
untuk memasak. Selain itu alasan mengapa permen yang diberikan adalah karena
permen memiliki rasa manis dan rasa manis ini diidentifikasi sebagai hal yang
feminin. Jumlah permen yang diberikan pun dapat diartikan bahwa perempuan
harus berbagi dengan anak atau pun pasagannya. Dalam melihat tembakau
sebagai simbol dari maskulinitas mencerminkan bahwa hanya laki-laki yang dapat
merokok dan menjadi pembeda antara kegiatan atau barang mana yang
dikhususkan untuk perempuan dan yang mana untuk laki-laki. Tentunya
pembedaan seperti ini membuat perempuan menempatkan dirinya sebagai “The
Other”.
Kesimpulan
Tokoh perempuan yang ada pada ketiga cerpen Borchert memiliki
peranannya sebagai seorang istri sesuai dengan mitos feminin yang ada, seperti
memiliki keterikatan terhadap wilayah domestik dan juga sifat “malaikat”.
Keterikatan ketiga tokoh terhadap wilayah domestik digambarkan dengan bentuk
dapur dan makanan sedangkan sifat “malaikat” tercermin dari rasa simpatik
sehingga menjadi penolong, pasrah, penyayang, sabar dan peduli. Karena
perannya yang sesuai dengan mitos feminin maka posisi perempuan dalam ketiga
cerpen ini memiliki posisi sebagai subordinat atau “The Other”. Dan ketiga tokoh
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
laki-laki memiliki sifat yang berhubungan dengan yang dikonstruksikan
masyarakat sebagai maskulin. Tokoh laki-laki menggambarkan superioritas,
mengagumi peran perempuan yang ada untuk melayaninya dan sifat yang
menunjukkan maskulinitasnya, seperti ingin melakukan kekerasan kepada orang
lain (meskipun tidak dilakukan secara nyata).
Dapat dikatakan bahwa Borchert melihat perempuan sebagai makhluk
yang berperan besar dalam menjaga dan melayani keluarganya bahkan disaat
keadaan yang terpuruk. Borchert juga menggambarkan sosok perempuan dengan
peran femininnya seperti bekerja dalam ranah domestik dan mengurus anak yang
sesuai dengan “Angel in The House”. Posisi perempuan yang ditunjukkan dalam
ketiga karya Borchert ini adalah sebagai “The Other”, meskipun pada kasus
tertentu seperti memilih pilihannya sendiri ataupun dalam hubungan anak dan ibu,
tokoh perempuan dapat menjadi tidak tersubordinasi. Dalam cerpen Das Brot
tokoh perempuan yang pada awalnya terlihat sebagai “The Other” dan “malaikat”
yang pasrah dengan situasi dapat menjadi subjek dengan memberikan jatah
rotinya untuk tokoh suami. Die Küchenuhr pun juga menggambarkan
pengorbanan seorang ibu dan kasih sayang itu sebagai surga. Kedua cerpen yang
telah dianalisis peran dari tokoh perempuan sangat besar dan berarti, sedangkan
pada Die Drei Dunklen Könige perempuan dilihat sebagai sosok yang optimis
dalam melihat keadaan.
Daftar Referensi
Borchert, W. (1964). Draussen vor der Tür Und Ausgewählte Erzählungen. Hamburg: Rowohlt Verlages GmbH.
Cole, A. (2010). Sensational Women : Gender and Domestic Morality in East Lynne and The Woman in White. April 30, 2010. Carneige Mellon University, Dietrich College of Humanities and Social Sciences. Diakses dari http://repository.cmu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1074&context=hsshonors pada tanggal 22 Oktober 2016
De Beauvoir, S. (2016). Second Sex: Fakta dan Mitos. (Toni B. Febriantono, Penerjemah). Yogyakarta : Narasi-Pustaka Promethea.
Dittmann, U. (2016, Mei 30). Trümmerliteratur. Historisches Lexikon Bayerns. Diakses dari https://www.historisches-lexikon-bayerns.de/Lexikon/Tr%C3%BCmmerliteratur pada tanggal 8 Desember 2016
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017
Dorey-Stein, C. (2015, September 22). A Brief History:The Three Waves of Feminism. Diakses dari https://www.progressivewomensleadership.com/a-brief-history-the-three-waves-of-feminism/ pada tanggal 26 Oktober 2016
Douglas, T.B. (2010). Words from the rubble: Wolfgang Borchert's representations of the inexpressible. (Disertasi, The University of Texas, 2010). ProQuest Dissertations Publishing. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/851555907 pada tanggal 12 Januari 2017
Friedan, B. (1963). The Feminine Mystique [Versi Elektronik]. New York : The Vail-Ballou Press, inc.
Koepke, W. “German Writers after 1945: Wolfgang Borchert.” German Studies Review, vol. 2, no. 1, 1979, pp. 49–62. Diakses dari www.jstor.org/stable/1428705 pada tanggal 13 Januari 2017
Langland, E. "Nobody's Angels: Domestic Ideology and Middle-Class Women in the Victorian Novel". PMLA, vol.107, no.2, 1992, pp. 290-304. Diakses dari www.jstor.org/stable/462641 pada tanggal 18 Oktober 2016
Tong, R. (2009). The Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction [Versi Elektronik]. United States : Westview Press.
Siwi Handayani, Christina dkk. “Subyek yang Dikekang”. Seluruh tulisan dalam buku ini telah dipresentasikan dalam Seri Kuliah Umum “Tentang Seksualitas” di Teater Salihara, 05, 12, 19, 26 Juni 2010, 16:00 WIB. Diakses dari http://salihara.org/sites/default/files/Halaman%20Isi_SYDK_rev%201g.pdf pada tanggal 28 Oktober 2016
Snodgrass, C. (2013). The “Angel in The House”. Diakses dari http://users.clas.ufl.edu/snod/AngelInHouseIntroductionNB.pdf pada tanggal 20 November 2016
The Editors of Encyclopædi Britannica. (2012, Desember 11). Coventy Patmore. Encyclopædi Britannica inc. Diakses dari https://www.britannica.com/biography/Coventry-Patmore pada tanggal 20 Oktober 2016
Wecker, A. Die Gruppe 47. Universität Ulm. Diakses dari http://www.uni-ulm.de/LiLL/senior-info-mobil/module/Lit47.htm pada tanggal 25 September 2016
Winter, H.-G. (2007). Wolfgang Borchert : Das Brot. Diakses dari http://api.vlb.de/api/v1/asset/mmo/file/37789e69-35ee-4ff5-b8ee-d0d9a0ac86dc?access_token=0ee60029-d4b6-4215-9a20-295720a1031b pada tanggal 27 November 2016
Peran Perempuan ..., Sopha Mutia Adinda, FIB UI, 2017