perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
NOVEL DALAM MIHRAB CINTA
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)
SKRIPSI
Oleh:
USWATUN SIWI P.
K1208125
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini.
Nama : Uswatun Siwi P
NIM : K1208125
Jurusan/Program Studi : PBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ”NOVEL DALAM MIHRAB CINTA
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (KAJIAN SOSIOLOGI
SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)” ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
Uswatun Siwi P.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
NOVEL DALAM MIHRAB CINTA
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)
Oleh :
USWATUN SIWI P.
K1208125
Skripsi
Ditulis dan Disajikan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
“Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit
kembali setiap kali kita jatuh”
(Confusius)
“When there is a will, There is a way”
(Alm. Ayahanda)
“Jangan merusak apa yang kau miliki sekarang dengan mengejar sesuatu yang
tidak mungkin kau miliki. Sebab, apa yang ada padamu saat ini bisa jadi
merupakan salah satu dari banyak hal yang paling kau impikan”
(USP “Penulis”)
“Pintere Butuh Sregep, Sinaune Butuh Greget”
(Zakkiy Nanang Al Rasyid, S.E.)
“Jangan pernah menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan,
yakinlah suatu saat hal itu akan terwujud karena doa dan usahamu”
(Niken Eka Cahyani, S.Pd.)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Ya Rabb, dengan segala rasa syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini sebagai
salah satu wujud cinta dan terima kasihku untuk:
Alm.Ayah & Bunda tercinta “Suparman Manduro & Kasih Manduro”
Alm.Ayah adalah ayah yang luar biasa yang dulu tak pernah henti memberiku
nasihat, motivasi, menyayangiku, dan memanjakanku. Bunda yang tak pernah jemu
mendoakan dan menyayangiku, atas semua pengorbanan yang telah diberikan
untukku selama ini dan mengantarku sampai kini. Tak pernah cukup ku membalas
cinta dan kasih sayang kalian. Aku bangga dan bahagia punya kalian.
Abangku tersayang Zakkiy Nanang Al Rasyid dan kakakku Niken Eka C.
Terimakasih abang kau selalu belajar menjadi pengganti Ayah untuk selalu
menasihati dan memotivasiku. Kak Niken terimakasih untuk selalu mendukung
hatiku ketika semua tak memihak saat hatiku telah memilih.
Fandri Minandar
Terimakasih sudah mau mengisi hatiku untuk mengikuti alur hidupku. Aku
berharap semoga cerita indah pada akhirnya.
Sahabatku Five Bamboe (Rina, Nadin, Nita, dan Winda)
Terimakasih kalian telah menemaniku selama ini, kalian adalah hal terindah yang
aku miliki. Semua kenangan kita selama ini tak akan pernah aku lupakan.
Teman-teman Bastind angkatan‟08
Terimakasih atas kerja sama dan dukungan kalian selama ini.
Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRAK
Uswatun Siwi P.. K1208125. NOVEL DALAM MIHRAB CINTA KARYA
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN
NILAI PENDIDIKAN). Skripsi: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) unsur intrinsik yang
terdapat dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Sirazhy, (2)
faktor yang melatarbelakangi penciptaan novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Sirazhy, (3) nilai pendidikan dalam novel Dalam Mihrab Cinta
karya Habiburrahman El Shirazy, (4) tanggapan pembaca mengenai novel Dalam
Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif, dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah novel
Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan informan. Pengumpulan
data dilakukan dengan analisis dokumen yang berupa novel, langkah-langkahnya:
(1) membaca novel Dalam Mihrab Cinta secara berulang-ulang, (2) mencatat
kutipan kalimat-kalimat yang menggambarkan objek yang dianalisis. Validitas data
yang diperoleh melalui triangulasi teori. Teknik analisis data menggunakan teknik
analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi: reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Simpulan penelitian ini adalah: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam
novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy; penokohan (tokoh
utama: Syamsul; tokoh protagonis: Silvie dan Zizi; tokoh antagonis: Burhan, tokoh
tambahan: Ayub, Pak Broto, Pak Heru, Zaim, Bu Bambang, Nadia, Della, Dody
Alpad, Kiai Miftah, Kiai Baejuri), plot/ alurnya maju, latar/ setting di pesantren,
sudut pandangnya persona ketiga “Dia” jenis mahatahu, temanya tentang lika-liku
kehidupan yang harus dilalui oleh seorang, (2) faktor yang melatarbelakangi
penciptaan novel Dalam Mihrab Cinta, yaitu adanya becik ketitik ala kethara
bahwa yang baik akan terlihat dan yang tidak baik akan tampak nantinya, (3) nilai
pendidikan (nilai agama: ketakwaan pada Tuhan; nilai sosial: tolong menolong,
menyadari keterbatasan diri, musyawarah; nilai moral: kejujuran, kedisiplinan,
kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, tanggung jawab, larangan memfitnah,
optimis, husnudzon, menepati janji, dermawan; nilai estetis: penggunaan kata dari
bahasa jawa, berhubungan dengan kasih sayang/ romantisme), (4) tanggapan
pembaca mengenai novel Dalam Mihrab Cinta, pada umumnya mereka merasa
terbawa suasana ketika membaca novel tersebut.
Kata Kunci: novel, sosiologi sastra, nilai pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan judul ”NOVEL DALAM MIHRAB CINTA KARYA
HABUBURRAHMAN EL SHIRAZY (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN
NILAI PENDIDIKAN)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penulis menyadari bahwa
terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan
dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Muhammad Rohmadi, S.S.,M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni yang telah memberikan persetujuan dalam skripsi ini.
3. Dr. Kundharu Saddhono, S.S.,M.Hum., selaku Ketua Program Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga memberikan persetujuan dalam skripsi
ini.
4. Almh. Dra. Suharyanti, M.Hum., selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan motivasi sejak penyusunan, penelitian, hingga skripsi
ini selesai.
5. Dr. Suyitno, M.Pd., selaku pengganti pembiming I yang telah mengarahkan
saya dalam penyelesaian ujian skripsi hingga akhir.
6. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., selaku pembimbing II yang memberikan bimbingan,
arahan, dan motivasi sejak penyusunan, penelitian, hingga skripsi ini selesai.
7. Dra. Sumarwati, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik yang selama ini turut
memantau, dan menyemangati peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
8. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan beragam ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
9. Keluarga tercinta yang telah membiayai dan menyediakan sarana prasarana selama
kuliah dan selalu memberi doa serta semangat setiap saat.
10. Teman-teman Bastind angkatan‟08 dan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan selama penelitian.
Semoga kebaikan dan bantuan dari semua pihak tersebut mendapat pahala
dan imbalan dari Allah SWT. Peneliti berharap semoga karya ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan menambah khasanah keilmuan dan pengajaran Bahasa
Indonesia.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ ii
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ v
HALAMAN MOTTO ........................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. vii
ABSTRAK ............................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii
DAFTAR TABEL .................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan ................................ 5
B. Kerangka Berpikir ..................................................................... 20
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 21
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................... 21
C. Data dan Sumber Data .............................................................. 22
D. Teknik Pengambilan Sampel .................................................... 22
E. Pengumpulan Data .................................................................... 22
F. Uji Validitas Data ..................................................................... 22
G. Analisis Data ............................................................................. 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
H. Prosedur Penelitian ................................................................... 24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ........................................................................... 25
B. Analisis Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El
Shirazy ...................................................................................... 26
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ................................................................................... 94
B. Implikasi ................................................................................... 97
C. Saran ......................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Kerangka Berpikir ......................................................................... 20
2. Model Analisis Jalinan atau Mengalir ........................................... 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ............................... 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Biografi Pengarang ........................................................................ 102
2. Sinopsis Novel Dalam Mihrab Cinta ............................................ 105
3. Hasil Wawancara dengan Pembaca I ............................................. 110
4. Hasil Wawancara dengan Pembaca II ........................................... 111
5. Hasil Wawancara dengan Pembaca III .......................................... 113
6. Hasil Wawancara dengan Pembaca IV .......................................... 115
7. Hasil Wawancara dengan Pembaca V ........................................... 117
8. Surat Permohonan Izi Menyusun Skripsi ...................................... 119
9. Surat Izin Menyusun Skripsi ......................................................... 120
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan seni dan karya yang berkaitan dengan ekspresi dan
kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra
sangat banyak mengandung unsur kemanusiaan, antara lain seperti perasaan,
semangat, kepercayaan, dan keyakinan sehingga mampu membangkitkan
kekaguman.
Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik
sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan
konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan
“kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra
juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. (dalam Warren & Wellek, 1990:
109).
Sastra adalah bagian hidup dari sebagian besar pencipta dan penikmat
karya sastra. Oleh sebab itu, pada zaman ini kedudukan sastra dianggap
mempunyai peran penting. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan bahasa sebagai media
penyampaiannya. Hasil dari sastra berupa karya sastra. Karya sastra merupakan
bentuk cerminan atau gambaran kehidupan masyarakat yang kreatif dan produktif
dalam menghasilkan sebuah karya. Melalui karya sastra pengarang berusaha
mengungkapkan kehidupan masyarakat yang mereka alami atau yang mereka
rasakan dalam bentuk sebuah tulisan.
Sebuah karya sastra dikatakan baik bukan hanya terlihat dari keberhasilan
karya tersebut dalam merangkai kata-kata yang indah, tetapi juga dari
kemanfaatan karya tersebut memahami pola-pola kehidupan manusia pada
umumnya dan juga memahami adanya nilai-nilai pendidikan dalam suatu karya
tersebut.
Karya sastra baik itu novel, cerpen, puisi, dan drama merupakan dokumen
sosial, karena di dalamnya terdapat berbagai permasalahan kehidupan manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
yang menyangkut moral, sosial, psikologi, agama, kasih sayang, nafsu, dan cinta
yang dialami manusia, juga lukisan penderitaan manusia. Hal tersebut terkadang
terasa sangat nyata dan hidup karena jalinan hubungan tokoh, tempat, dan
peristiwa-peristiwa yang benar-benar ada atau pernah terjadi pada masyarakat
pada kurun waktu tertentu.
Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema
kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra
menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai
karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah
anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak
dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan
sekaligus membentuknya.
Karya sastra bersifat dulce et utile yang artinya bahwa karya sastra itu
harus indah dan berguna. Kata indah dapat diartikan bahwa sastra harus dapat
menjadi hiburan, sedangkan kata berguna diartikan bahwa sastra mampu
memberikan nilai tambah terhadap pembacanya.
Pengarang dalam menciptakan suatu karyanya selalu mengaitkan cerita
dengan kehidupan sehari-hari pengarang ataupun masyarakat di sekitarnya.
Tinjauan sosiologi sastra berhubungan langsung dengan stabilitas sosial yang
menghubungkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini merupakan
tinjauan mengenai proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat. Sosiologi juga
berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-
angsur maupun secara revosioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
perubahan tersebut.
Sosiologi mempelajari permasalahan manusia dalam kehidupannya.
Sosiologi menggambarkan mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural,
yang dengannya individu dialokasikan pada penerimaan peran-peran tertentu
dalam struktur sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul “Dalam Mihrab
Cinta” merupakan novel pembangun jiwa untuk memukau penggemar sastra agar
bisa dijadikan pedoman hidup. Pembaca novel ini bisa menumbuhkan rasa
cintanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan membekali hidupnya yang
bermanfaat, karena novel ini mengisahkan seorang pemuda yang memiliki cita-
cita menjadi seorang ulama, tetapi dikarenakan ulah fitnah dari seorang temannya
maka nasib pemuda itu terabaikan sehingga ia dikeluarkan dari pesantren, dengan
memilih hidupnya merantau ke daerah lain sehingga nasibnya yang malang itu
berubah menjadi lebih baik dan cita-citanya tercapai pula dengan ia hidup
mandiri.
Novel Dalam Mihrab Cinta ini banyak diminati pembaca dari semua
kalangan, selain ceritanya yang membangun jiwa, novel ini juga merupakan novel
terbaru dari Kang Abik dan laris di pasaran. Dalam cerita novel ini terdapat
banyak konflik dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh utama dalam
novel ini. Selain itu, terdapat juga nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut,
maka dengan itu semua saya selaku peneliti tertarik untuk menganalisis novel
tersebut dengan judul “Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habibburrahman EI
Shirazy (Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Dalam Mihrab
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?
2. Faktor apa yang melatarbelakangi penciptaan novel Dalam Mihrab Cinta
karya Habiburrahman El Sirazhy?
3. Bagaimanakah nilai pendidikan dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy?
4. Bagaimanakah tanggapan pembaca terhadap novel Dalam Mihrab Cinta
karya Habiburrahman El Shirazy?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan:
1. Unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy.
2. Faktor yang melatarbelakangi penciptaan novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy.
3. Nilai pendidikan dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy.
4. Tanggapan pembaca mengenai novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini dapat menambah khazanah secara teoretis
kepada pembaca dalam hal telaah karya sastra, khususnya untuk kajian
sosiologi sastra.
2. Manfaat praktis
a. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan dan minat baca khususnya bagi mahasiswa agar lebih
memahami karya sastra, dan dapat mengambil nilai positif terhadap
karya yang disajikan.
b. Bagi guru/ dosen Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan acuan dalam pembelajaran sastra dan dapat
dipraktikkan dalam pengajaran sastra tentang nilai-nilai yang ada dalam
karya sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan dari kata
novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan
jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis
novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1991: 164).
Burhan Murgiyantoro (2005: 4) dalam bukunya yang berjudul Teori
Pengkajian Fiksi mengungkapkan bahwa novel sebagai suatu karya fiksi
yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang
diidealkan, dunia imajiner, yang dibandingkan melalui berbagai unsur
intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.
Dalam “The American College Dictionary” dapat dijumpai keterangan
bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif serta adegan kehidupan
nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak
kacau atau kusut. Selain itu, dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of
Current English” dapat kita jumpai keterangan bahasa novel adalah suatu
cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang
menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif (dalam
Tarigan, 1991: 164).
Novel menyajikan kehidupan itu sendiri. Sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan kehidupan
subyektivitas manusia (Wellek dan Warren, 1990: 109).
Dari beberapa pendapat di atas mengenai pengertian novel, dapat
disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu wujud cerita rekaan yang
mengisahkan salah satu bagian nyata dari kehidupan orang-orang dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
segala pergolakan jiwa dan melahirkan suatu konflik yang pada akhirnya
dapat mengalihkan jalan kehidupan mereka atau nasib hidup mereka.
b. Jenis-jenis Novel
Mochtar Lubis yang dikutip dalam Henry Guntur Tarigan
menyebutkan berpendapat bahwa jenis novel seperti: 1) novel avontur, 2)
novel psikologis, 3) novel detektif, 4) novel sosial, 5) novel kolektif (1984:
167).
Novel avontur adalah novel lakon atau hero utama. Pengalaman
pertama dimulai pada awal cerita, melalui pengalaman-pengalaman lain
hingga ke akhir cerita. Dalam novel avontur tersebut juga terdapat tokoh
yang mempunyai sifat-sifat romantis, yaitu heroisme atau lakon wanita.
Pengalaman-pengalaman itu sering merupakan rintangan-rintangan bagi
lakon untuk mencapai tujuan. Novel psikologis mengutamakan pemeriksaan
seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku atau tokoh. Novel detektif
merupakan novel yang menceritakan cara membongkar rahasia kejahatan
pelaku. Dalam novel detektif dibutuhkan bukti-bukti kejahatan yang kuat
agar dapat menangkap si pelaku kejahatan. Dalam novel sosial pelaku pria
dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelas atau golongannya.
Tiap-tiap golongan suatu waktu akan bentrok, berbenturan, pemogokan, dan
revolusi. Fiksi gotik menceritakan cerita-cerita horor fakta-fakta disajikan
sedemikian rupa sehingga memancing dan melahirkan mimpi yang
menakutkan.
c. Unsur-unsur Novel
Dalam sebuah karya sastra terdapat unsur-unsur yang membangun di
dalamnya, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Adanya unsur-unsur
tersebut merupakan keharusan untuk dimasukkan dalam suatu karya sastra
baik novel, cerpen, puisi, dan drama.
1) Unsur Intrinsik
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 23) unsur intrinsik adalah
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang
dimaksud ada tujuh, yaitu: plot/ alur cerita, tema, penokohan, latar/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
setting, sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana cerita. Ketujuh unsur
intrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Plot/ Alur cerita
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit
orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara
berbagai unsur fiksi yang lain.
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113)
mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur
peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam
pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk
mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Lebih lanjut H.G Tarigan (1991: 126) mengemukakan bahwa
pada prinsipnya seperti bentuk sastra lainnya, suatu fiksi haruslah
bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui suatu
pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending) yang dalam
dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan
resolusi (atau denouement).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa plot/ alur adalah salah satu unsur intrinsik yang
merupakan rangkaian kejadian atau peristiwa yang berurutan dan
membangun suatu cerita di mana peristiwa yang satu dapat
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain sehingga membuat
seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang
selanjutnya.
b) Tema
Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna
(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang
menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk
melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman)
kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu
sebagaimana ia memandangnya (Nurgiyantoro, 2005: 71).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 70) mengartikan tema
sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan
sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema,
menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama
(central idea) dan tujuan utama (central purpose).
Shipley mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik
umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita.
Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam lima
tingkatan. Tingkatan tersebut pertama didasarkan tingkatan
pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling
sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang
paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia (dalam
Nurgiyantoro, 2005: 80)
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
tema adalah makna khusus atau gagasan umum dari sebuah cerita
yang dipergunakan oleh penulis untuk mengembangkan cerita.
c) Penokohan
Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165), penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:
165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya
naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 176-194) tokoh-tokoh
dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.
Adapun beberapa tokoh cerita tersebut antara lain:
1. Tokoh utama dan tokoh tambahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu
pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005:
178) mengatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang
kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut
hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,
nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis juga disebut
tokoh baik yang dapat mendatangkan simpati para
pembacanya. Tokoh antagonis dapat disebut sebagai tokoh
jahat, yaitu yang menimbulkan perasaan antipati dan benci
pada para tokoh pembacanya.
3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah
tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu
sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana boleh saja
melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu
akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang memiliki dan
yang diformulakan itu.
Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh
sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya
dan jati dirinya.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 183)
dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih
menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di
samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan,
ia juga sering memberikan kejutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
4. Tokoh statis dan tokoh berkembang
Alterbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 188)
mengatakan bahwa tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara
esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan
perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa. Tokoh
berkembang, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan
dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan
(dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh
berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya,
baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lainnya, yang
kesemuanya itu akan memengaruhi sikap, watak, dan tingkah
laku.
5. Tokoh tipikal dan tokoh netral
Alterbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 190)
mengatakan bahwa tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya
sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih
banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya,
atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili.
Tokoh netral merupakan tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan
tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinteraksi dalam dunia
fiksi. Tokoh netral hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi
cerita atau bahkan tokoh inilah yang sebenarnya mempunyai
cerita, pelaku cerita dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak
berprestensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu
yang di luar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa penokohan merupakan penentuan tokoh-
tokoh dalam suatu cerita yang terlibat dalam berbagai peristiwa
dalam cerita atau karya naratif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
d) Latar/ Setting
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 216). Selanjutnya,
Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke
dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan
dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita
fiksi.
Menurut H.J Waluyo dan Nugraheni (2009: 34) setting
adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat
berkaitan dengan aspek fisik aspek sosiologis, dan aspek psikis.
Namun, setting juga dapat diartikan dengan tempat dan waktu.
Hudson (dalam H.J Waluyo dan Nugraheni, 2009: 34) menyatakan
bahwa setting adalah keseluruhan lingkungan cerita yang di
dalamnya meliputi adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup
tokoh.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
latar atau setting adalah suatu keadaan atau suasana yang
menggambarkan suatu tempat, ruang, dan waktu di mana peristiwa
itu terjadi.
e) Sudut pandang
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan
bahwa point of view atau sudut pandang merupakan cara dan atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Point of view atau sudut pandang adalah teknik yang
digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu (H.J
Waluyo dan Nugraheni, 2009: 37).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Menurut Genette (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 250)
pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tak hanya
berhubungan dengan masalah gaya saja, waktu tak disangkal
bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga
penting dan berpengaruh. Namun, biasanya pemilihan bentuk-
bentuk tersebut bersifat sederhana, di samping hal itu merupakan
konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang tertentu.
Sudut pandang banyak macamnya tergantung dari sudut
mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Nurgiyantoro
(2005: 256-269) membedakan sudut pandang menjadi tiga bagian,
yaitu sudut pandang persona ketiga “dia”, sudut pandang persona
pertama “aku”, dan sudut pandang campuran.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara
pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut
mana pengarang memandang ceritanya, yang terdiri dari tiga
bagian, yaitu sudut pandang orang pertama “aku”, sudut pandang
orang ketiga “dia”, dan sudut pandang campuran.
f) Gaya bahasa
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 276-277)
stile (style, gaya bahasa) adalah cara mengucapkan bahasa dalam
prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu
yang akan dikemukakan. Lebih lanjut, Nurgiyantoro
mengungkapkan bahwa pada hakikatnya style merupakan teknik,
teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili
sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri di pihak lain,
juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat
pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam
sebuah karya.
g) Suasana cerita
Forster (dalam Nurgiyantoro, 2005: 91) mengartikan cerita
sebagai narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
urutan waktu. Sebuah cerita merupakan hal yang fundamental
dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak
mungkin terwujud. Sebab, cerita merupakan inti sebuah karya fiksi
yang sendiri. Bagus tidaknya cerita yang disajikan, di samping
akan memotivasi seseorang untuk membacanya, juga akan
memengaruhi unsur-unsur pembangun lainnya.
Seperti halnya Forster, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:
91) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan
kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, dan Kenny
mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi
berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Jadi, dalam cerita peristiwa yang satu berlangsung sesudah
terjadinya peristiwa yang lain.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa suasana
cerita adalah cara yang digunakan pengarang untuk
menggambarkan atau melukiskan secara keseluruhan cerita dalam
suatu karya fiksi berdasarkan urutan waktu.
2) Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat
dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita karya
sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau
demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun
cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel
haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 24) menyatakan
bahwa unsur ekstrinsik terdiri dari sejumlah unsur, di dalamnya
terdapat keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan
memengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya.
Unsur ekstrinsik selanjutnya adalah psikologi, baik psikologi
pengarang, psikologi pembaca, maupun psikologi dalam karya.
Keadaan lingkungan pengarang, ekonomi, politik, dan sosial juga akan
sangat berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal tersebut termasuk
juga ke dalam unsur ekstrinsik.
2. Pendekatan Sosiologi Sastra
a. Hakikat Sosiologi Sastra
Secara harfiah sosiologi berasal dari kata Latin “socius” yang berarti
“sahabat, kawan atau masyarakat” dan kata Yunani “logos” yang berarti
“ilmu”. Jadi, sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat atau ilmu tentang
cara bergaul yang baik dalam masyarakat.
Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama,
ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa
yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga
yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur
sosial. Sosiologi dikatakan memeroleh gambaran mengenai cara-cara
menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat
tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara
kultural yang dengannya individu-individu dialokasikannya pada dan
menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
Menurut Ratna (2009: 332-333) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat
dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat,
sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga
difungsikan oleh masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui
kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan
tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan
juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga
aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat
intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu
karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra
dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra,
artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan
masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis, yaitu peneliti
menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan
kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga,
perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat
terhadap teks sastra.
b. Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi menganalisis manusia dalam masyarakat,
dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Sosiologi
sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta,
namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan
pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat
hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup
luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu
oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada
aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra
merupakan gambaran atau potret fenomena sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi
sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas
hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek
kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra
dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara
sastra dengan masyarakat.
Dalam bukunya A Glossary of Literarye Terms (1981: 178).
Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat
dilakukan oleh kritikus atau peneliti, yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audiens atau pembaca.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak
terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra
sebagai objek yang dibicarakan.
3. Hakikat Nilai Pendidikan
Nilai merupakan sesuatu yang menjadi faktor kelayakan/ kepatuhan bagi
suatu benda, makhluk atau apapun yang ditunjuknya. Istilah pendidikan secara
etimologi berasal dari bahasa Inggris to educate yang berarti mendidik dan
kemudian berkembang menjadi education yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia yang berarti pendidikan.
Redja Mudyaharjo (2001: 45-46) mengartikan pendidikan sebagai
pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
hidup. Segala situasi hidup yang memengaruhi perkembangan individu dapat
disebut sebagai pendidikan.
Menurut UU No. 20 th 2003 (dalam Hasbullah, 2005: 4) pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat nilai
pendidikan adalah suatu kegiatan pengamatan belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup yang secara sadar, disengaja, terencana,
dan penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada peserta
didik untuk mewujudkan suasana belajar sehingga peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya dalam segala hal.
4. Nilai Pendidikan dalam Sastra
Hubungan antara sastra dan pendidikan sengatlah erat dan tidak
terpisahkan. Hubungan ini disebabkan oleh kandungan nilai didik di dalam karya
sastra. Nilai pendidikan di dalam karya sastra tidak selalu berupa nasehat atau
petuah pembaca, tetapi dapat pula berupa kritikan yang pedas maupun yang
membangun bagi seseorang, sekelompok orang atau struktur sosial yang tidak
sesuai dengan harapan pengarang di dalam kehidupan nyata.
Berbagai jenis nilai sastra secara garis besar nilai pendidikan dalam sastra
dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu nilai agama, nilai sosial, dan
nilai moral, dan nilai estetis.
a. Nilai Agama dalam Sastra
Nilai agama adalah nilai yang mendasari dan menuntun tindakan
hidup ketuhanan manusia, dalam mempertahankan dan mengembangkan
ketuhanan manusia dengan cara dan tujuan yang benar. Atar Semi (1993:
22) memberikan uraian mengenai hubungan agama dengan karya sastra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
bahwa agama merupakan dorongan penciptaan sastra, sebagai sumber ilham
sekaligus karya sastra bermuara pada agama.
Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 2005: 327) juga berpendapat
bahwa kehadiran unsur religious dan keagamaan dalam sastra adalah
keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang
bersifat religious.
Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih
baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai
religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat
karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan
yang bersumber pada nilai-nilai agama.
b. Nilai Sosial dalam Sastra
Nilai pendidikan sosial adalah tata sosial tertentu yang
mengungkapkan sesuatu hal yang bisa direnungkan. Dalam karya sastra
dengan ekspresi pengungkapan nilai sosial pada akhirnya dapat dijadikan
cermin sikap para pembacanya. Karya sastra dapat berfungsi sebagai daya
penggoncang nilai-nilai sosial yang sudah mapan (Suyitno, 1986: 5).
c. Nilai Moral dalam Sastra
Moral memang sulit dipisahkan dari masalah agama dan sosial.
Dalam moral ada unsur moral agama, sosial, dan moral-moral yang lain,
sehingga moral ini merupakan sesuatu yang kompleks yang selalu dihadapi
seseorang. Budi pekerti teladan seringkali dihubungkan dengan masalah
moral. Berkaitan dengan karya sastra yang diibaratkan dengan itikad baik
tidak sunyi dari untaian hikmah di antara seru derunya konflik/ peristiwa
akan lebih memberikan kekayaan nilai didik bagi pembacanya.
d. Nilai Estetis dalam Sastra
Pada hakikatnya manusia sebagai makhluk estetis, makhluk yang
dapat merasakan dan menghayati keindahan, maksudnya adalah mendidik
agar seseorang dapat merasakan dan mencintai segala sesuatu yang indah
dan selalu menurut norma-norma keindahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Atar Semi (1993: 56) berpendapat bahwa fungsi estetika sastra
adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan
keindahan bagi pembacanya. Suyitno (1989: 11) berpendapat bahwa sastra
tidak hanya sekedar memberi kesenangan, tetapi juga memberi pengetahuan
serta pencernaan yang menghayat tentang hakikat kehidupan bernilai.
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Ana Fitria Vivi
S (2011), mahasiswa Program Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan
judul Kehidupan Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khaleqy
(Kajian Sosiologi Sastra). Hasil dari penelian tersebut dapat disimpulkan
bahwa dalam novel Geni Jora Karya Abidah El Khaleqy membahas tentang
sosiologi sastra yang mempelajari tentang hubungan sosial antara sesama
individu, antara individu dengan kelompok dan masyarakat.
2. Penelitian yeng dilakukan oleh Susilowati (2004), mahasiswa Program
Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Kumpulan Cerpen
Mereka Bilang Saya Monyet Karya Djenar Mahesa Ayu (Tinjauan Sosiologi
Sastra)”. Berkesimpulan: 1) keterjalinan unsur intrinsik dalam membangun
makna totalitas dalam cerita; 2) pandangan dunia pengarang merupakan
gambaran nyata dari realitas sosial yang ada dalam masyarakat; 3) nilai
edukatif yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut.
3. Penelitian yang relevan juga dilakukan oleh Hamdan Nugroho (2011),
mahasiswa Program Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Analisis Sosiologi Sastra
Antara Religiusitas Pengarang dengan Karyanya: Sebuah Studi Literatur
Terhadap Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy”. Hasil
dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa novel tersebut membahas
hubungan latar belakang sosial pengarang dengan karyanya dan adanya nilai
edukatif dalam novel tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
C. Kerangka Berfikir
Sastra merupakan realita sosial dan juga lembaga sosial yang tidak lepas
dari situasi sosial di luarnya, yaitu masyarakat. Novel sebagai salah satu kajian
karya sastra yang merupakan hasil rekaan yang mengutamakan perasaan dan
kehidupan. Walaupun rekaan tetapi novel tidak lepas dari kenyataan sosial, baik
yang dilihat maupun yang dialami sendiri oleh pengarang.
Melalui novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy,
penulis mengkaji dengan kajian sosiologi sastra. Pendeskripsian bagaimana cara
pengarang mengangkat masalah dalam novel dan dihubungkan dengan keadaan
sosial setempat. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
pemahaman pembaca terhadap unsur intrinsik apa yang terdapat dalam novel
Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, latar belakang pengarang
dalam menciptakan novel tersebut mengenai apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang lewat karyanya, dan tanggapan pembaca mengenai novel Dalam
Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, sehingga dapat diketahui
eksistensi Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy sebagai novel.
Gambar 1. Alur Kerangka Berfikir
Karya Sastra
Eksistensi
Dalam Mihrab
Cinta karya
Habiburrahman
El Shirazy
sebagai novel
Sosiologi Sastra
Novel Dalam
Mihrab Cinta
karya
Habiburrahman El
Shirazy
Unsur
Intrinsik
Latar
Belakang
Pengarang
Tanggapan
Pembaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian mengenai kesusastraan, sehingga tidak
ada pembatasan khusus terhadap tempat dan waktu karena objek yang dikaji
berupa naskah (teks) sastra. Objek penelitian ini adalah novel Dalam Mihrab
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Pelaksanaan ini dilakukan pada bulan
Januari 2012 sampai dengan bulan Juli 2012. Dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Bulan/ Tahun 2012
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
1. Pengajuan Judul X
2. Pengajuan Proposal X X
3. Perizinan Penelitian X
4. Pengumpulan Data X X
5. Analisis Data X X
6. Penyusunan Laporan X X
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan
dalam menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan untuk mengetahui makna totalitas suatu karya sastra.
Metode atau jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Dalam hal ini peneliti mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang ada
berupa pencatatan dokumen terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk
angka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
C. Data dan Sumber Data
1. Dokumen, yaitu kutipan kalimat-kalimat dari novel Dalam Mihrab Cinta
karya Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan oleh Ihwah Publishing
(Jakarta).
2. Informan, yaitu melakukan wawancara dengan pengamat sastra/ dosen dan
pembaca umum.
D. Teknik Sampling (Cuplikan)
Teknik yang digunakan untuk pengambilan data penelitian ini, yaitu
dengan menggunakan purposive sampling, yaitu pengambilan data yang
didasarkan pada pertimbangan tertentu (Sutopo, 2002: 56). Pertimbangan tertentu
artinya disesuaikan dengan tujuan penelitian, peneliti tidak memilih data secara
acak melainkan memilih data yang relevan dengan tujuan penelitian. Sampel
dalam penelitian ini adalah Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy.
E. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen yang
berupa novel. Langkah-langkah pengumpulan datanya sebagai berikut: 1)
membaca novel Dalam Mihrab Cinta secara berulang-ulang; 2) mencatat kutipan
kalimat-kalimat yang menggambarkan unsur intrinsik, latar belakang penciptaan
novel, dan nilai pendidikan dalam novel Dalam Mihrab Cinta.
F. Uji Validitas Data
Dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan penulis adalah
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekkan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut (Lexy J Moleong, 2001: 178)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Triangulasi yang digunakan penulis adalah:
1. Triangulasi teori, yaitu melakukan penelitian terhadap topik yang sama dan
datanya dianalisis dengan menggunakan teori yang berbeda-beda.
2. Teori sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh. Hal ini dilakukan dengan membandingkan
data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. Dari data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis.
G. Analisis Data
Untuk menganalisis data dalam novel Dalam Miharab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy ini ada tiga komponen pokok, yaitu 1) reduksi data; 2)
penyajian data; dan 3) penarikan kesimpulan. Adapun keterangannya sebagai
berikut:
1. Reduksi Data (data reduction)
Reduksi data merupakan kegiatan memlih-milih data yang penting dan
membuang data yang kurang penting. Data yang dipilih kemudian difokuskan
dan disesuaikan menurut kebutuhan penelitian, sehingga peneliti dapat
menyajikan data secara sistematis.
2. Penyajian Data (data display)
Langkah ini berupa kegiatan merakit informasi atau data secara teratur
dan terperinci supaya mudah dimengerti dan dianalisis.
3. Penarikan Kesimpulan (conclusing drawing)
Kegiatan yang sudah memasuki tahap membuat kesimpulan dari data
yang telah diperoleh sejak awal penelitian dan sampai akhir penelitian. Untuk
lebih jelas dilihat pada gambar di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Masa Pengumpulan Data
------------------------------------------------------
Reduksi Data
Antisipasi Selama Pasca
Penyajian Data = Analisis
Selama Pasca
Penarikan Kesimpulan
Selama Pasca
Gambar 2: Model Analisis Jalinan atau Mengalir (Mattew B. Miles dan
A. Michael Huberman, 1992: 18)
H. Prosedur Penelitian
Prosedur ini melalui beberapa tahap antara lain:
1. Pengumpulan data yang berupa kutipan dari novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy.
2. Menyeleksi serta memilah data yang berupa kutipan yang telah berdasarkan
objek yang akan dianalisis, yaitu tentang unsur intrinsik, latar belakang
penciptaan novel, dan nilai pendidikan.
3. Menganalisis data yang telah diseleksi.
4. Menarik kesimpulan.
5. Membuat laporan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dikaji
dengan kajian sosiologi sastra yang mendeskripsikan tentang unsur intrinsik
pada novel ini yang dilihat dari segi penokohan dengan pembagian beberapa
tokoh, yaitu tokoh utama (main character) dan tokoh tambahan (peripheral
character), tokoh protagonis dan antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat,
tokoh statis dan tokoh berkembang, dan tokoh tipikal dan tokoh netral. Latar
dalam novel Dalam Mihrab Cinta dilihat dari latar tempat, latar waktu, dan
latar sosial. Alur dalam novel ini dikembangkan sangat beragam, secara garis
besar dalam pembentukannya alurnya bersifat linear namun ada beberapa
peristiwa kecil yang menjadikan pola alur berubah, misalnya, dengan
memakai pola alur bawahan. Novel ini memiliki titik fokus pada tema.
Pendeskripsian faktor yang melatarbelakangi novel Dalam Mihrab
Cinta karya Habiburrahman El Sirazy adalah tentang perjalanan hidup
seorang pemuda yang penuh liku-liku dan dengan optimis melangkah
mencapai kesuksesan, baik soal ketakwaan pada Tuhan maupun mengenai
kisah percintaannya.
Pendeskripsian nilai pendidikan dalam novel ini memuat nilai agama,
sosial, moral, dan estetis. Pemahaman mengenai nilai agama melalui data
ucapan maupun perbuatan tokoh yang berhubungan dengan Tuhan. Nilai
sosial ditunjukkan melalui hubungan baik keluarga, masyarakat, dan
persahatan. Nilai moral berhubungan dengan sifat baik atau buruk para
tokohnya. Nilai estetis berkaitan dengan gaya bahasa atau majas yang
digunakan pengarang pada kedua novel tersebut dan nilai estetis yang bersifat
abstrak, misalnya percintaan/ romantisme, persahabatam, maupun kesetiaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
B. Analisis Novel Dalam Mihrab Cinta
Karya Habiburrahman El Shirazy
1. Unsur Intrinsik Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy
Analisis unsur intrinsik novel merupakan sebuah penelitian yang
mendasarkan objeknya pada unsur-unsur internal karya sastra. Unsur-unsur
instrinsik yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: penokohan, alur,
latar, sudut pandang, dan tema.
a. Penokohan
Dalam novel Dalam Mpihrab Cinta ini, penokohan sangat beragam
dan berkembang, maka penulis akan menarasikan dan menganalisis
penokohan yang ada dalam novel Dalam Mihrab Cinta sesuai dengan
kriteria dan jenis tokohnya yang belum tentu dari jumlah tokoh yang tidak
termasuk pada beberapa jenis tipikal tokoh.
1) Tokoh Utama (Main Character)
Tokoh utama novel Dalam Mihrab Cinta adalah Syamsul.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas tokoh utama adalah tokoh yang
mendominasi dalam keseluruhan cerita. Tokoh Syamsul merupakan
tokoh yang selalu ada dalam cerita novel ini. Dari awal cerita sampai
akhir cerita Syamsul selalu ada dan merupakan sudut pandang
penceritaan.
Dalam cerita ini, Syamsul adalah tokoh keras kepala (dalam
hal menentukan jalan hidupnya), berani, nekat, jujur, sopan, tanggung
jawab dan amanah. Di awal cerita diceritakan Syamsul merupakan
tokoh yang kontradiktif dengan keluarganya. Dia keras kepala dalam
menentukan jalan hidupnya. Keluarganya menginginkan dia menjadi
seseorang pengusaha batik yang sukses namun Syamsul berkeinginan
lain. Dia memilih menjadi santri di Kediri sebagaimana saran dari
imam Masjid Agung Pekalongan. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
“Saat ia mengutarakan niatnya ke pesantren, ayah dan kedua
kakaknya terang-terangan tidak setuju. Tetapi ibu dan adik
perempuan satu-satunya mendukungnya.
“Ke pesantren? Mau jadi santri gudig?” Sinis kakak sulungnya.
“Kalau Cuma santri gudig mending, hla kalau nanti jadi teroris
bagaimana?” Sengit kakak keduanya.
“Kalian ini kok berpikiran buruk seperti itu. Ibumu ini dulu
juga pernah nyantri di Kaliwungu Kendal, pernah hidup di
pesantren lho. Apa kalian melihat ibumu ini seperti yang kalian
katakan itu? Gudigen atau teroris? Kalau adikmu ini mau ke
pesantren malah bagus. Di antara anggota keluarga ini nanti
ada yang benar-benar ngerti agama.”
Pembelaan ibunya itu semakin membulatkan tekadnya. Ia telah
menentukan jalannya. Bersama restu ibu ia takkan ragu
melangkah....” (DMC: 13)
“Ia genggam baik-baik pesan sang Imam. Ia semakin tahu jalan
mana yang harus ia tempuh. Restu ibu pun telah ia genggam.
Ia tersenyum dalam diam., ia semakin mantap untuk
melangkah maju. “Bismillah! Aku melangkah karenaMu, ya
Allah!” teriaknya dalam hati. Teriakan yang mantap sekali.
Teriakan yang menggema hingga ke tujuh petala langit dan
bumi. (DMC: 14)
Dalam sekuen yang lain, sikap Syamsul yang keras kepala
tetapi tetap selalu beralasan ketika dia meminta untuk melompat kelas
sandainya dia merasa sudah menguasai kitab yang sedang
dipelajarinya, yang secara peraturan tidak sesuai dengan sistem
pendidikan yang ada di pesantren Al Furqan. Seperti dalam kutipan
berikut:
“Begini, saya ini katakanlah masih nol. Maka begitu masuk
kitab Mabadi‟ul Fiqhiyyah. Kelas paling dasar. Nahwunya ya
Jurumiyyah. Katakanlah kurikulum kelas itu adalah enam
bulan. Saya masuk dan saya belajar sendiri kepada para senior
di luar jam resmi. Akhirnya dalam waktu tiga bulan saya bisa
menguasai seluruh materi kelas itu, saya minta ijin untuk
melompat ke kelas atasnya. Begitu bagaiman? Sebab jika saya
ikut waktu yang ditentukan, maka untuk sampai kelas Ihya‟
Ulumuddin saya umur berapa?” Jelas Syamsul secara terbuka.
(DMC: 37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Keinginan Syamsul yang terkesan memaksa itu membuat
pengurus pesantren merasa tidak dihargai. Namun setelah
musyawarah, dan melihat kesungguh-sungguhannya, permintaan
Syamsul diterima.
Tidak hanya keras kepala, namun Syamsul memiliki
keberanian dan kejujuran yang luar biasa. Keberanian yang sangat luar
biasa ketika Syamsul pertama kali bertemu Zizi, dia menyelamatkan
Zizi dari seorang pencuri. Yang kedua ketika dia mencoba
mempertahankan keyakinannya ketika dia dituduh mencuri. Dia
berani bersumpah atas nama Allah dan berani menyumpahi Kiai
Miftah terhadap keputusannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
“Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya
tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan
dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah
mengantarnya pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat
Allah menimpa saya jika saya berdusta!” Syamsul bersumpah
dengan suara lantang. Kedua matanya menyala seperti mata
elang. (DMC: 77-78)
“Pak Kiai, Panjenengan belum melakukann tabayun yang
sesungguhnya pada saya.” Ia lalu memandangi wajah pengurus
pesantren yang ada di ruangan itu satu per satu, “Kalian
memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena. Ini
kezaliman! Suatu saat kalian akan tahu siapa sebenarnya rayap
itu. Saya tak akan memaafkan dosa Pak Kiai dan dosa kalian
sebelum kalian mencium kaki saya. (DMC: 82-83)
Di samping Syamsul adalah tokoh yang nekat dalam
menempuh alur ceritanya. Setelah ia dikeluarkan dari pesantren
karena difitnah mencuri, dia pergi ke Semarang dan ke Jakarta.
Karena kondisi yang sedang kepepet dia melakukan pencurian yang
sebenarnya, dia mencopet seorang perempuan muda yang
membawanya ke penjara. Seperti dalam kutipan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
“Dan...naas!”
“Korbannya, seorang perempuan muda yang sangat waspada.
Ia ketahuan. Perempuan itu meneriakinya, “Copet! Tolong!”
Seketika itu juga langsung lompat dari bis dan lari sekencang-
kencangnya. Bis berhenti. Semua orang berteriak-teriak,
Copet, copet!” Orang mendengar hal itu langsung berlarian
mengejarnya. Ia lari ke arah Ngaliyan. Terus berlari.
Sesungguhnya ia adalah pelari yang cepat. Tetapi tubuhnya
yang lemas karena belum makan tidak bisa diajak kompromi.
Sampai dekat kampus dua IAIN Walisongo, ia tertangkap. Ia
babak belur dihakimi massa. Untung ada patroli polisi.
Nyawanya diselamatkan oleh polisi. (DMC: 105)
Selanjutnya, kenekatan Syamsul ketika dia menjadi guru ngaji
Della.
Syamsul nekat datang menawarkan diri menjadi guru ngajinya
Della berdasarkan informasi dari Satpam, sementara dia sedang
melakukan observasi (menyamar).
“Lalu dengan mantap ia memakir sepeda motornya di depan
rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencet bel dan
mengucapkan salam. Seorang pembantu wanita agak tua dan
seorang anak muda membuka pintu garasi.
“Oh pak ustadz. Mau ketemu siapa?” Tanya anak muda.
“Pak Broto ada?”
“Ada. Silakan masuk Pak Ustadz.”
Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk
bersarung dan berbaju koko keluar.
“Oh Udtadz. Di mana kita pernah ketemu ya Pak Ustadz?” Pak
Broto merasa kenal.
Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Begini
Pak Broto langsung saja, ada yang memberi tahu saya katanya
Pak Broto perlu guru Privat ngaji untuk si kecil Della. Apa
betul?” Ujar Syamsul dengan tenang. (DMC: 132-133)
Selanjutnya, di samping kenekatan-kenekatan yang dilakukan
Syamsul namun dia juga tokoh yang tanggung jawab dan amanah. Hal
ini bisa dilihat ketika Syamsul akan diberi hadiah umroh oleh keluarga
Silvie namun dia menolaknya karena telah dipercaya sebagai
pelaksana kegiatan Ramadhan di tempat dia tinggal. Seperti dalam
kutipan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
“Ini Ustadz sebagai tanda terimakasih. Saya ingin memberikan
hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini dibidang travel.
Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan
akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini.”
Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia teringat dengan
program Ramadhan untuk remaja masjid yang telah ia rancang
bersama Pak Abbas. Ia tidak mau meninggalkannya. Dengan
hati berat ia menjawab,
“Bukannya saya menolak Bu. Sungguh saya ingin umroh.
Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab penuh
mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan tempat
saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa.” (DMC: 177)
Syamsul sebagai tokoh yang bertanggung jawab dan amanah,
bisa tercermin pada alur peristiwa-peristiwa yang dilaluinya. Pada
permulaan cerita Syamsul diceritakan ingin menjadi ahli agama yang
tidak sesuai dengan keinginan keluarganya. Meskipun perjalanan
menempuh itu banyak rintangan, namun Syamsul bisa
membuktikannya dengan dia menjadi seorang mubalig terkenal. Hal
ini terlihat dalam kutipan berikut:
“Sejak Syamsul mengisi ceramah dengan sangat mengesankan
di Masjid Baitul Makmur, Villa Gracia, namanya mulai banyak
dibicarakan orang, terutama dikalangan ibu-ibu majelis taklim.
Promosi dari mulut ke mulut membuat Syamsul nyaris
kewalahan memenhui undangan yang terus berdatangan
datang.
Syamsul mulai laris sibuk ceramah di banyak tempat di daerah
Parung dan sekitarnya. Kini, selain mengajar Della, aktif
kuliah, dan mengisi ceramah, Syamsul juga memiliki jadwal
rutin untuk syuting di studio sebuah televisi swasta.” (DMC:
211)
2) Tokoh Protagonis
Jika dilihat dari peran-peran dalam pengembangan plot, dapat
dibedakan adanya protagonis. Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta,
tokoh protagonis ditampilkan secara dominan dan menampilkan
banyak tokoh. Misalnya, Syamsul sebagai tokoh utama, Silvie
tunangan samsul, dan Zizi putri Kiai Baejuri, atau adik Kiai Miftah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Untuk penjelasan mengenai tokoh protagonis Syamsul, bisa
dilihat dalam penjelasan di atas dalam penjelasan tokoh utama,
bagaimana Syamsul disebutkan sebagai tokoh utama yang
bertanggung jawab, pintar, jujur, dan amanah. Sementara untuk Silvie
dan Zizi kita akan bahas lebih pada yang disebut pengejawantahan
norma-norma dan nilai-nilai yang kita harapkan.
Tokoh Zizi bisa dilihat pada penjelasan atau pemaparan Zizi
seorang gadis cantik, santriwati, salehah, dan hafal Al Quran. Seperti
kutipan berikut:
“... Yang sedikit menghiburnya adalah bahwa ia khatam
menghafal Al Quran. Dan ia telah memenuhi permintaan
ayahnya untuk hafal 30 juz dengan lancar. Ayahandanya
bahkan sempat menghadiri saat ia diwisuda sebagai penghafal
Al Quran terbaik di Pesantren Manabi‟ul Qur‟an, Pakis Putih,
Pekalongan.” (DMC: 3)
Pengejawantahan Zizi, sebagai tokoh yang terhormat,
berwibawa, dan bermoral/ berakhlak mulia, bisa tergambar ketika
Syamsul mendengarkan informasi mengenai anak-anak Kiai Baejuri
dari lelaki tua penjual mie godog. Seperti dalam kutipan berikut:
“... Dan anak bungsunya adalah seorang gadis jelita, kembang
desa ini. Tutur katanya halus dan manis mewarisi wibawa sang
ayah. Dia baru saja hafal Al Quran tiga puluh juz di
Pekalongan. Namanya Neng Zizi, nama lengkapnya Zidna
Ilma.” (DMC: 41)
Selanjutnya peran tokoh protagonis dalam novel ini adalah
Silvie. Silvie diceritakan juga sebagai tokoh cantik, mahasiswa
ekonomi, dan baik hati, sebagaimana peran tokoh protagonis
pembawa nilai-nilai kebaikan. Seperti dalam kutipan berikut:
“Matahari tengah hari terasa panas menyengat. Seorang gadis
cantik berjilbab hijau muda nampak canggung berjalan ke arah
Kopaja yang sedang berhenti. Gadis itu masuk ke dalam
Kopaja. Syamsul tersenyum...”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Sambil menunggu ia berbincang-bincang dengan penjaga
masjid. Ia banyak mendapatkan info yang berharga. Termasuk
tentang penguni no. 19 jalan Flamboyan. Silvie ternyata
mahasiswi jurusan ekonomi UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya
seorang pengusaha di bidang travel dan pariwisata...“ (DMC:
136)
3) Tokoh Antagonis
Pengembangan tokoh antagonis dalam novel Dalam Mihrab
Cinta, tidak dikembangakan secara menyeluruh. Hanya satu tokoh
saja yang dibicarakan di sini, yaitu Burhan. Sementara yang lainnya
hanya sekedar tokoh antagonis tambahan, yaitu dua orang pencopet
yang ada di tahanan polsek Tugu, mereka tidak menjadi tokoh sentral
dalam pengembangan cerita.
Sementara Burhan, merupakan tokoh antagonis yang membuat
terjadinya konflik dan berperan sangat penting dalam
mengembangkan alur cerita. Karakter Burhan yang antagonis bisa
dilihat pada peristiwa ketika Burhan memfitnah Syamsul, kemudian
ketika dia melakukan pencurian, dan memperlakukan Silvie dengan
kasar ketika mau melamarnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
“Ti...tidak benar Pak Kiai!”
“Teganya kau Bur...kau santri atau bajingan?! Dancok kau
Bur!”
......
“Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya
tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan
dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah
mengantarnya pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat
Allah menimpa saya jika saya berdusta!” ( DMC: 77-78)
“Dengan tenang Burhan menjawab, “Penjahat akan melakukan
apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya
bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika
saya berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa
saya.” (DMC: 78)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Sedangkan peristiwa Burhan melakukan pencurian bisa dilihat
juga pada rangkaian peristiwa di pesantren dalam kutipan berikut ini.
“Malam itu ia tidur paling akhir. Semua temannya sudah tidur.
Ia tahu Burhan pura-pura tidur. Ia letakkan batu akik ke dalam
almarinya. Ia menguncinya dan meletakkan kunci di dalam
lipatan kitab Fathul Wahhab. Ia lalu tidur.
Bangun tidur ia tidak kaget ketika batu akiknya hilang.
Perangkapnya berhasil. Diam-diam ia pergi ke kota, ke rental
komputer. Ia melihat hasil rekamannya. Dan benar dugaannya;
Burhan yang mencuri batu akiknya....sampai di pesantren, ia
langsung mencari Burhan dan menghajarnya.... “Dialah maling
itu. Dialah penjahat yang sesungguhnya selama ini. Syamsul
yang kalian hakimi dan kalian hajar adalah korban fitnah
bajingan tengik ini!”
Dituduh seperti itu Burhan tidak terima. Ia minta keadalian.
Akhirnya sidang digelar. Ayub menjelaskan segala
kecurigaannya. Termasuk sumpah Burhan yang menipu.
Burhan masih mengelak. Akhirnya Ayub memutar hasil
rekamannya. Burhan tidak bisa mengelak.” (DMC: 164-165)
Sementara peran antagonis yang dilakukan Burhan kembali
pada peristiwa lamaran di rumah Silvie. Burhan telah menipu keluarga
Pak Heru dan Silvie sebagai calon isterinya. Seperti dalam kutipan
berikut:
“Inilah yang kami tunggu-tunggu.” Jawab Pak Heru tenang.
Burhan mendengar hal itu dengan kebahagiaan yang sulit
digambarkan.
Namun Pak Heru melanjutkan, “Sebenarnya saya dan keluarga
ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja ternyata kami
didahului.... Dengan segala kerendahan hati saya selaku ayah
Silvie menyampaikan. Saya tidak bisa menerima lamaran Pak
Anwar untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang semoga
kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf jika
keputusan ini kurang berkenan.”
Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan kepalang.
“Hei maling, apa kau kira bisa menipu kami bahwa gundulmu
itu karena umroh, bukan karena digunduli di pesantren!”
Kata-kata Silvie angat mengguncang Burhan. Ia tidak kuasa
menahan amarahnya.
“Kurang ajar kau ! Berani menghina aku ya!”
Dan.. plak!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian itu
sungguh tidak diduga. Burhan kembali ingin menghajar Silvie.
Namun Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah
melumpuhkannya. (DMC: 201-203)
4) Tokoh Sederhana dan Bulat
Tokoh sederhana (flat character) merupakan dalam sebuah
novel, secara bentuknya adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
Perwatakan tokoh sederhana dapat dirumuskan hanya dengan sebuah
kalimat atau bahkan sebuah frasa saja. Kerena secara sistematika alur,
tokoh sederhana merupakan tokoh tambahan yang sifatnya tidak
terlalu mengikat pada alur cerita.
Berbeda halnya dengan tokoh bulat (round character), tokoh
ini merupakan tokoh komplek dan biasanya dimunculkan dengan
kejutan-kejutan yang tak terduga. Tokoh ini memiliki dan diungkap
dengan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya.
Tokoh sederhana dan tokoh bulat, bisa dilihat dari karakter
tokoh yang ada di dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini. Tokoh
sederhana bisa ditunjukkan oleh:
a) Ayub; dia seorang santri yang baik, pintar, rajin, dan penuh
karisma. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
“Syamsul harus mengakui bahwa dirinya sangat kagum dengan
Ayub. Pemuda asal Banjarmasin itu seperti kamus fikih
berjalan. Persoalan fikih apa saja yang ditanyakan padanya
selalu ia jawab dengan rinci dan ia menunjukkan rujukan
kitabnya bahkan halamannya. Ia seperti hafal belasan kitab
fikih. Begitu juga jika ditanya tentang gramatikal Arab, maka
santri yang satu ini akan langsung nyerocos menjelaskan
panjang lebar.” (DMC: 53-54)
b) Pak Broto; dia seorang kaya yang dermawan dan murah hati.
Kedermawanan Pak Broto tercermin pada kutipan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
“Kenapa Pak Broto mempercayakan uang ini kepada saya?
Kenapa tidak Pak Broto sendiri yang membagikan kepada
yang berhak? Apa Pak Broto tidak khawatir kalau uang ini
saya salah gunakan, saya tilep misalnya.”
Sejak awal saya sudah sangat percaya kepada Ustadz Syamsul.
Saya sangat yakin Ustadz adalah orang yang baik. Karenanya
saya percayakan uang ini pada Ustadz.” (DMC: 149-150)
c) Pak Heru; dia seorang yang kaya tapi pelit (diawal-awal cerita),
kemudian setelah mengenal Syamsul dia berubah menjadi lebih
dermawan (tidak pelit lagi). Hal tersebut tampak pada kutipan
berikut:
“Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya di perumahan
ini. Ia punya travel yang sudah punya cabang di hampir
seluruh kota besar di Indonesia. Cabang travel-nya juga ada di
Singapora, Malaysia, dan Arab Saudi.” Begitulah penjaga
masjid itu menerangkan.
“Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu masjid
sedikit. (DMC: 136)
Pak Heru memberikan hadiah tiket umrah sebagai wujud
terimakasih kepada Ustadz Syamsul.
“Ini ustadz sebagai tanda terimakasih. Saya ingin memberikan
hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini dibidang travel.
Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan
akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini.” (DMC: 177)
Pada kutipan lain,
“Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak bertemu
dengan Ustadz?” Kata penjaga masjid.
“Berubah bagaimana?”
“Berubah jadi lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid. Dan
sifat pelitnya berkuang.” (DMC: 196)
d) Pak Bambang; ayah Syamsul yang sifatnya keras dan pemarah.
Gambaran sifat keras Pak Bambang tampak pada kutipan berikut:
Begitu melihat Syamsul, Pak Bambang langsung menarik
kerah baju koko putra yang dulu sempat dibanggakannya itu.
Kini ia merasa sangat malu dan marah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Dan di ruangan itu, di haapan Kiai Miftah dan Pengurus
Pesantren Pak Bambang meluapkan amarahnya dengan
menampar pipi Syamsul beberapa kali.
“Anak tak tahu diri! Apa aku ini masih kurang memberimu
uang saku? Kurang uang tinggal minta, kenapa malah maling!”
Hardik Pak Bambang.
.... “Masih berani kurang ajar! Ayo pulang! Sekarang!” Pak
Bambang langsung menarik tangan Syamsul dan menyeretnya
meninggalkan ruangan itu. (DMC: 81-83)
Pada kutipan lain sebagai berikut:
“Apa tidak sebaiknya dibawa ke dokter untuk diobatkan Bu.
Kasihan Mas Syamsul.” Kata Nadia.
Pak Bambang langsung menyahut garang. “Kita tidak perlu
kasihan sama maling. Biar dia rasakan akibat kejahatannya!”
(DMC: 90)
e) Petugas keamanan pesantren (santri) yang tegas dan galak.
Gambaran mengenai sifat petugas keamanan tampak pada kutipan
berikut:
“Hai maling! Diam di tempat!”
Ia kaget bukan kepalang. Dari tempat ditumpuknya koper dan
kardus muncul dua orang berseragam hitam. Ia langsung tahu
keduanya dari bagian keamanan. Dua orang itu langsung
meloncat dengan cepat dan sigap. Seorang diantara mereka
langsung melayangkan pukulan ke Syamsul.
“Ternyata kau malingnya! Dasar santri gadungan!”
....
“Tolong dengarkan dulu penjelasan saya. Saya mengambil
dompet ini bukan mencuri! Saya...!”
Sebuah pukulan keras mengenai mulutnya. Perih sekali
rasanya. Dua orang santri bagian keamanan itu tidak
memberinya kesempatan berbicara sama sekali. Keduanya
yang memang jago silat langsung menghajar Syamsul tanpa
ampun. (DMC: 70-71)
Sedangkan tokoh bulat bisa ditunjukkan oleh tokoh berikut:
a) Syamsul; dia merupakan tokoh yang diduga-duga, dengan hanya
berbekal mesantren cuma satu tahun dan dengan kondisi perjalanan
yang bisa dikatakan buruk tetapi berubah menjadi baik. Dia bisa
mengubah karakter hidupnya dengan menjadi guru private,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
mahasiswa, penceramah/ mubalig yang terkenal yang disegani oleh
keluarga dan lingkungannya. Seperti dalam kutipan berikut:
Sejak Syamsul mengisi ceramah dengan sangat mengesankan
di Masjid Baitul Makmur, Villa Gracia, namanya mulai banyak
dibicarakan orang, terutama dikalangan ibu-ibu majelis taklim.
Promosi dari mulut ke mulut membuat Syamsul nyaris
kewelahan memenuhi undangan yang terus berdatangan
datang.
Syamsul mulai laris sibuk ceramah di banyak tempat di daerah
Parung dan sekitarnya. Kini, selain mengajar Della, aktif
kuliah, dan mengisi ceramah, Syamsul juga memiliki jadwal
rutin untuk syuting di studio sebuah televisi swasta. (DMC:
211)
Pada kutipan lain adalah sebagai berikut:
“Syamsul diajak naik mobil sedan Camry. Sejurus kemudian
sedan itu sudah meluncur di jalan raya menuju Masjid Al-
Firdaus Jagakarsa, dimana tabligh akbar diadakan.
Sampai di Masjid, jamaah tabligh akbar telah menyemut.
Jumlahnya lebih dari tiga ribu orang. Syamsul dibawa ke dekat
mimbar. Begitu duduk orang-orang menyalaminya. Tak lama
kemudian ia dipersilahkan untuk menyampaikan pengajian.”
(DMC: 213)
b) Burhan; sebagaimana dengan Syamsul, Burhan merupakan tokoh
yang tidak diduga-duga juga. Dia penipu, penebar fitnah, dan
berwatak buruk. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
“Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan. Tolong
jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak diterima karena Silvie
sudah tidak layak bagi saya!” Tukas Burhan.
“Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie sudah
hamil dengan pria lain misalnya?”
Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak tertahankan.
“Tutup mulutmu bajingan! Aku sudah tahu siapa kamu? Kau
tak lebih dari sampah busuk! Dikeluarkan dari pesantren
karena mencuri dan memfitnah orang! Dipenjara karena
melukai orang. Penipu ulung, mana modal empat puluh juta
yang kau pinjam untuk toko bukumu itu? Toko buku fiktif.
....
“Kurang ajar kau ! Berani menghina aku ya!”
Dan.. plak!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian itu
sungguh tidak diduga. Burhan kembali ingin menghajar Silvie.
Namun Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah
melumpuhkannya.” (DMC: 202-203)
Pada kutipan lain tampak jelas Burhan sebagai penebar fitnah yang
ditujukan kepada Syamsul, sebagai berikut:
“Dan jika memang benar seperti itu. Saya bisa memastikan
Syamsul adalah korban fitnah. Burhanlah yang merekayasa
memfitnah Syamsul. Yang perlu diketahui adalah apakah ada
pihak lain yang terlibat. Terus motifnya apa?” (DMC: 96)
5) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta, pengembangan tokoh
secara keseluruhan sangat beragam. Kalau berbicara masalah tokoh
statis dan tokoh berkembang tidak terlalu berbeda baik secara jumlah
tokoh ataupun secara tipikal tokoh. Tokoh statis misalnya bisa dilihat
dari penokohan Zizi, Silvie, Burhan, dan Kiai Miftah. Sementara
tokoh berkembang hanya bisa dilihat dalam penokohan Syamsul saja.
Dalam hal ini, Syamsul lebih signifikan dalam perubahan tokohnya.
Meskipun yang lain pun ada tetapi tidak terlalu signifikan.
Tokoh Zizi dan Silvie misalnya, dari hampir keseluruhan
cerita; selalu digambarkan sosok perempuan yang cantik, baik hati,
ramah, pintar. Sementara Kiai Miftah selalu digambarkan seorang
sosok yang berwibawa sebagaimana layaknya seorang tokoh
masyarakat.
Di samping itu, tokoh Syamsul merupakan tokoh yang paling
signifikan dalam perubahan. Bisa dilihat dari perubahan alur yang
sangat signifikan berubah. Dari mulai yang datar sampai pada titik
klimaks, tokoh Syamsul sangat berperan. Selain dari penggambaran
tokoh lewat bentukan sifat, tetapi tokoh ini secara gambaran
perubahan fisik pun digambarkan dengan jelas.
Misalnya di awal cerita penggambaran fisik Syamsul
digambarkan bertubuh jangkung, kurus, dan gondrong. Sementara di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
akhir-akhir cerita ketika sudah menjadi ustadz dan mubaligh kondang,
Syamsul digambarkan dengan sosok yang tampan, berwibawa, dan
penuh kharisma. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
“Syamsul diajak naik mobil sedan Camry. Sejurus kemudian
sedan itu sudah meluncur di jalan raya menuju Masjid Al-
Firdaus Jagakarsa, dimana tabligh akbar diadakan.
Sampai di Masjid, jamaah tabligh akbar telah menyemut.
Jumlahnya lebih dari tiga ribu orang. Syamsul dibawa ke dekat
mimbar. Begitu duduk orang-orang menyalaminya. Tak lama
kemudian ia dipersilahkan untuk menyampaikan pengajian.
Dengan tenang dan suara yang tertata serta intonasi yang
terjaga ia menyampaikan kalimat demi kalimat yang
menyejukkan jiwa. Syamsul menyampaikan keutamaan
kalimat thayyibah dan bagaimana dahulu Rasulullah Saw.
mendapat rintangan yang tidak ringan saat
mendakwahkannya.” (DMC: 213)
b. Alur/ Plot
Dalam novel Dalam Mihrab Cinta, pola alur yang dikembangkan
sangat beragam. Secara garis besar dalam pembentukan alurnya lebih
bersifat linear namun ada beberapa peristiwa kecil yang menjadikan pola
alur berubah, misalnya, dengan memakai pola alur bawahan. Alur ini
merupakan alur tambahan yang disisipkan di sela-sela bagian alur utama
sebagai variasi dan merupakan lakuan tersendiri, tetapi yang masih ada
hubungannya dengan alur utama yang kadang-kadang dengan maksud
untuk menimbulkan titik kontra terhadap alur utama dan kadang-kadang
sejalan dengan alur utama itu.
Pola alur dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, bisa diskemakan
sebagai berikut: cerita diawali dengan penggunaan alur bawahan, yaitu
diawali dengan cerita seorang gadis cantik berjilbab yang sedang berada di
stasiun kereta. Dia sedang dirundung kesedihan karena ayahandanya Kiai
Baejuri pengasuh Pondok Pesantren Al Furqon, Pugu, Kediri meninggal
dunia. Gadis cantik itu adalah salah seorang santri di Pesantren Manabi‟ul
Qur‟an, Pakis Putih, Pekalongan. Gadis itu menaiki kereta jurusan Kediri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Dia ingin segera pergi ke rumahnya melihat ayahandanya yang sangat
disayangi itu.
Dalam alur itu terdapat suspense bagi pembaca. Pembaca seolah-
olah diajak pada rasa hanyut atau kesedihan si gadis. Pembuka cerita itu
akhirnya membawa pada pertemuannya dengan tokoh lain yang
menjadikan peristiwa-peristiwa berikutnya hadir dan mengalir dengan
berbagai konflik-konflik yang menarik.
Kemudian pola alur berpindah pada seorang tokoh lain, yaitu
seorang pemuda gondrong yang sedang menentukan jalan hidupnya. Alur
ini bisa dikatakan dengan alur utama, yaitu suatu peristiwa perjalanan
tokoh utama (pemuda gondrong), yaitu Syamsul mulai dari dirinya
mengambil sikap untuk pergi nyantri ke Kediri sampai dirinya menjadi
ulama besar. Peristiwa itu diawali ketika Syamsul memutuskan untuk
pergi nyantri ke Kediri, yang keputusannya itu bertentangan dengan
keinginan keluarganya. Keluarganya menginginkan Syamsul menjadi
seorang pengusaha sesuai dengan garis keturunan keluarganya sebagai
pengusaha batik. Namun Syamsul memutuskan, ia ingin berbeda dengan
keluarganya terutama dengan kedua kakaknya. Karena itulah meskipun
ayahnya tidak setuju dengan keputusan Syamsul, ia tetap nekat
melangkahkan kakinya menentukan takdirnya sendiri. Penggalan peristiwa
itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Saat ia mengutarakan niatnya ke pesantren, ayah dan kedua
kakaknya terang-terangan tidak setuju. Tetapi ibu dan adik
perempuan satu-satunya mendukungnya.
“Ke pesantren? Mau jadi santri gudig?” Sinis kakak sulungnya.
“Kalau cuma santri gudig mending, hla kalau nanti jadi teroris
bagaimana?” Sengit kakak keduanya.
“Kalian ini kok berpikiran buruk seperti itu. Ibumu ini dulu juga
pernah nyantri di Kaliwungu Kendal, pernah hidup di pesantren
lho. Apa kalian melihat ibumu ini seperti yang kalian katakan itu?
Gudigen atau teroris? Kalau adikmu ini mau ke pesantren malah
bagus. Di antara anggota keluarga ini nanti ada yang benar-benar
ngerti agama.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Pembelaan ibunya itu semakin membulatkan tekadnya. Ia telah
menentukan jalannya. Bersama restu ibu ia takkan ragu
melangkah....” (DMC: 13)
Syamsul pergi ke Kediri menggunakan kereta dari stasiun
Pekalongan. Di dalam kereta dia satu kursi dengan seorang gadis cantik
yang tiada lain yang sedang bersedih itu. Di dalam kereta ini Syamsul
bertemu dengan gadis itu dengan tidak disengaja, ketika dia menolong
gadis itu dari seorang jambret yang mencoba merampas tas merahnya.
Kemudian di sana terjadi perkelahian antara Syamsul yang mencoba
menolong gadis itu dari ancaman pisau si maling yang mengancam leher
gadis itu. Perkelahian pun terjadi yang pada akhirnya Syamsul bisa
menyelamatkan gadis itu meski tangannya harus terkena pisau si maling.
Gadis itu merasa cemas ketika melihat darah bercucuran di telapak tangan
Syamsul. Kemudian gadis itu berusaha menolongnya.
Di antara mereka terjadi perbincangan, gadis itu mengucapkan rasa
terimakasihnya dan menanyakan perihal tujuan Syamsul mengenai
keberangkatannya. Syamsul menceritakan keinginannya untuk pergi
nyantri ke Kediri yang di sisi lain dia pun tidak tahu harus pergi ke
pesantren mana yang haris ia tuju. Kemudian gadis itu menyarankan pada
Syamsul untuk pergi ke empat pesantren yang ada di Kediri, yaitu ke
Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Al Falah Ploso, Pesantren Al Ihsan
Semen, dan ke Pesantren Al Furqan, Pagu. Seperti dalam kutipan berikut:
“Maaf sebenarnya tujuan Mas ke mana?” Tanya gadis itu sambil
memandang sekilas ke arah pemuda itu.
“Saya mau ke Kediri, Mbak. Mau nyantri.”
Mendengar jawaban itu, gadis itu agak takjub. Ia tidak menyangka
bahwa pemuda yang penampilannya gondrong dan terkesan sangar
itu ternyata mau belajar ke pesantren.
“Subhnallah. Saya juga santriwati, Mas. Saya nyantri di Pesantren
Tahfidh Manabiul Quran, Pakis Putih, Pekalongan.
.....
“E..kenapa memilih mencari pesantren di Kediri?” Tanya gadis itu
memberanikan diri untuk memecah kebekuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
“Saya disarankan oleh imam masjid agung kota Pekalongan. Saya
manut saja. Kata imam itu banyak pesantren besar dan bagus di
Kediri. Saya disuruh keliling dan memilih sendiri. Saya tidak tahu
nanti plih yang mana?”
“O, jadi belum punya tujuan pasti?”
“Sudah. Tujuan pasti sudah ada, yaitu belajar di pesantren. Yang
belum jelas pesantren yang mana. Apa Mbak punya referensi untuk
saya?”
“Ya di Kediri kota dan kabupaten banyak pesantren bagus. Tapi
kalau boleh saran coba kunjungilah empat pesantren ini. Pertama
Pesantren Lirboyo Kediri, kedua Pesantren Al Falah Ploso, ketiga
Pesantren Al Ihsan Semen, dan keempat pesantren Al Furqan,
Pagu.” (DMC: 20-22)
Lebih lanjut alur cerita ini dapat dijelaskan sebagai berikut (alur ini
merupakan alur yang membawa pada alur-alur konflik tokoh utama, baik
itu konflik fisik maupun konflik batin)
Setelah di Kediri, Syamsul berkunjung ke pesantren-pesantren
yang disarankan oleh gadis yang bertemu di kereta itu. Dia berkunjung ke
Pesantren Lirboyo, Al Falah Ploso, dan Al Ihsan Semen. Dia sangat
mengagumi ketiga pesantren tersebut, hanya saja dia belum bisa
memutuskan untuk tinggal di salah satu pesantren tadi berhubung masih
merasa belum cocok dengan sistem pengajaran di tiga pesantren besar
tersebut.
Akhirnya dia pergi ke Pugu, Kediri. Tujuannya adalah Pesantren
Al Furqan. Di sana, Syamsul bertemu dengan pengurus pesantren. Dia
menceritakan keinginannya untuk mondok, dan dia ingin diizinkan
melakukan percepatan belajarnya.
“Begini, saya ini katakanlah masih nol. Maka begitu masuk saya
masuk kelas kitab Mabadi‟ul Fiqhiyyah. Kelas paling besar.
Nahwunya ya Jurumiyyah. Katakanlah saya belajar sendiri kepada
para senior di luar jam resmi. Akhirnya dalam waktu tiga bulan
saya bisa menguasai seluruh materi kelas itu, saya minta ijin untuk
melompat ke kelas atasnya. Begitu bagaimana? Sebab jika saya
harus ikut waktu yang ditentukan, maka untuk sampai kelas Ihya‟
Ulumuddin saya umur berapa?” Jelas Syamsul secara terbuka.
(DMC: 37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Setelah mendengar penjelasan Syamsul pengurus pondok pesantren
(Zaim) merasa tidak setuju dengan keinginan Syamsul. Tetapi Zaim
memutuskan untuk pergi bermusyawarah dengan pemimpin pondok
pesantren Kiai Miftah.
Sambil menunggu keputusan dari pihak pesantren, Syamsul pergi
jalan-jalan mengelilingi pesantren. Syamsul pergi ke sebuah warung mie
godog, dari penjual mie godog itu Syamsul mendapatkan informasi yang
banyak mengenai pesantren ini. Termasuk Zidna Ilma salah seorang putri
bungsu Kiai Baejuri yang sudah meninggal dunia itu. Syamsul bertanya-
tanya merasa yakin bahwa Zidna Ilma yang dikatakan oleh penjual mie
godog itu adalah perempuan yang ditolongnya di kereta.
Tanpa disengaja ketika Syamsul sedang berjalan di sebuah
perkampungan pinggir pesantren, dia bertemu seorang perempuan. Dan
memang benar perempuan itu adalah Zidna Ilma alias Zizi. Mereka
berbincang-bincang, dan Zizi menanyakan seputar pilihan Syamsul untuk
mondok di mana? Syamsul menjelaskan keinginannya untuk mondok di
pesantren Al Furqan namun sedang menunggu keputusan dari Kiai Miftah
seputar keinginan Syamsul mengenai sistem pendidikannya.
Keinginan Syamsul untuk mondok di pesantren itu akhirnya
terpenuhi. Pihak pesantren akhirnya mengizinkan Syamsul untuk
melompat ke kelas berikutnya seandainya Syamsul bisa memenuhi
persyaratan, yaitu menguasai seluruh mata pelajaran. Syamsul resmi
menjadi santri di Pondok Al Furqan, dia sangat giat belajar untuk
mengejar ketertinggalannya. Setiap waktu dia belajar dan belajar, siang
malam terus belajar. Dan ia menunjukkan perkembangan yang sangat
pesat, kitab dasar Jurumiyyah telah dikuasainya. Kemudian kitab kuning,
Safinatun Najah, Fathul Qarib, dan Matan Alfiyah.
Kemajuan Syamsul mengenai perekembangan belajarnya sampai
ke telinga Zizi. Zizi mengetahuinya dari Aisyah salah seorang adik
perempuan Ayub teman sekamar sekaligus gurunya Syamsul. Zizi merasa
senang dengan perkembangan Syamsul. Namun, diam-diam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
perkembangan Syamsul pun membuat seseorang tidak merasa senang. Dia
adalah Burhan, teman sekamar Syamsul, Burhan diam-diam tahu cerita
tentang Syamsul yang kenal dengan Zizi. Burhan merasa cemburu ketika
tahu cerita perkenalan Zizi dengan Syamsul. Dengan kecemburuannya itu,
akhirnya Burhan membuat fitnah pada Syamsul sampai Syamsul
dikeluarkan dari pesantren.
Alur yang dapat diskemakan sebagai berikut:
Syamsul mendapatkan fitnah dari seluruh santri Al Furqan, dia
dituduh mencuri. Sudah hampir seminggu pesantren itu banyak santri yang
merasa kehilangan uang, sehingga pihak pesantren dan keamanan
membuat siasat untuk menangkap malingnya. Suatu ketika Syamsul izin
keluar kelas. Dia ada janji menemui Burhan untuk berobat. Syamsul keluar
meninggalkan kelas dan menemui Burhan. Keduanya berjalan
meninggalkan pesantren tetapi tiba-tiba Burhan merasa kaget karena
dompetnya ketinggalan. Burhan menyuruh Syamsul untuk mengambil
dompetnya.
“Ada apa Bur?” Tanya Syamsul.
“Aduh dompetku.” Jawab Burhan.
“Dompetmu kenapa?”
“Dompetku ketinggalan di kamar. Bagaimana ini?”
“Kau ambil saja sebentar. Aku tunggu di sini.”
“Aduh Sul. Bisa nggak minta tolong kau ambilkan. Aku ada urusan
sedikit dengan orang di depan sana itu. Dia sudah menunggu.
Rembukan mobil yang akan carter ke kota. Tolong Sul.”
“Mmm...baiklah, kau letakkan di mana dompetmu?”
“Di dalam lemariku Sul. Di antara tumpukan baju. Kalau tidak ada
maka mungkin ada di saku jaket biru tua. Kau tahu kan?”
“Iya. Tunggu ya!” (DMC: 69-70)
Syamsul pergi mengambil dompetnya Burhan ke kamarnya. Dia
merogoh lemari Burhan, mengambil dompetnya. Namun apa yang
didapatnya. Petugas keamanan yang memang sedang mengintip setiap
kamar melihat Syamsul mengambil dompet yang bukan dari lemarinya.
Akhirnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
“Hai maling! Diam di tempat!”
“Ternyata kau malingnya! Dasar santri gadungan!”
.....
Tolong dengarkan dulu penjelasan saya. Saya mengambil dompet
ini bukan mencuri! Saya...!” (DMC: 70-71)
Syamsul mendapat perlakuan yang semena-mena. Petugas
keamanan memukulinya tanpa mendengarkan penjelasan dari Syamsul
terlebih dahulu. Akhirnya, Syamsul diseret ke sebuah gudang. Para santri
tidak menyangka kalau Syamsullah yang mencuri. Menjelang ashar, Kiai
Miftah datang, Kiai itu menanyakan nama dan perbuatannya. Syamsul
tetap tidak mengakui kalau dia adalah maling. Dia bersikukuh bahwa dia
disuruh oleh Burhan untuk mengambil dompetnya. Kemudian Burhan
dipanggil untuk membuktikan. Namun apa yang diterima Syamsul, Burhan
tidak merasa kalau dia menyuruh Syamsul mengambil dompetnya. Hal
tersebut tampak pada kutipan berikut:
“Benarkah kau membuka lemari Burhan?” Tanya Pak Kiai pelan.
“Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri.”
“Lantas untuk apa?!!” Bentak Ketua bagian keamanan garang.
“Karena saya diminta untuk mengambilkan dompet oleh Burhan
Pak Kiai.” Jawab Syamsul.
.....
“Panggil Burhan kemari!” Pinta Pak Kiai.
“Baik Pak Kiai.” (DMC: 75-76)
Burhan datang dengan wajah pucat. Dia sama sekali tidak
memandang Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan. Kiai miftah
memanggil Burhan dan beliau meminta supaya Burhan berkata dengan
jujur. Burhan mendekat. Namun Syamsul merasa kaget ketika mendengar
penjelasan Burhan; bahwa dia tidak merasa menyuruh mengambilkan
dompetnya. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Ti..tidak benar Pak Kiai!”
“Teganya kau Bur...kau santri atau bajingan?! Dancok kau Bur!”
.....
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
“Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya
tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan
dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah mengantarnya
pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa
saya jika saya berdusta!” (DMC: 77-78)
Mendengar sumpah dari Syamsul, Kiai Miftah merasa kaget. Kiai
Miftah menyuruh Burhan juga untuk bersumpah, karena Syasmul sudah
berani bersumpah. Burhan bersumpah dihadapan Kiai Miftah. Seperti pada
kutipan berikut:
Dengan tenang Burhan menjawab, “Penjahat akan melakukan apa
saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya
bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika saya
berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya.” (DMC:
78)
Atas dasar sumpah Burhan itu, akhirnya Syamsul dikatakan
bersalah oleh Pondok Pesantren. Syamsul diberi hukuman dikeluarkan dari
pondok, dan kepalanya digunduli. Syamsul tidak menerima perlakuan
seperti itu, dia sangat sakit hati. Orang tua Syamsul datang menjemput.
Pak Bambang, orang tua Syamsul merasa geram. Dia memarahi Syamsul
habis-habisan. Syamsul masih belum bisa menerima. Sebelum dia dibawa
pulang oleh keluarganya, Syamsul berucap:
“Pak Kiai, Panjenengan belum melakukan tabayun yang
sesungguhnya pada saya.” Ia lalu memandangi wajah pengurus
pesantren yang ada di ruangan itu satu per satu, “Kalian
memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena. Ini
kezaliman! Suatu saat kalian akan tahu siapa sebenarnya rayap itu.
Saya tak akan memaafkan dosa Pak Kiai dan dosa kalian sebelum
kalian mencium kaki saya.” (DMC:82-83)
Kiai Miftah merasa ragu atas keputusannya. Dia kelihatan shock. Ia
khawatir, jangan-jangan kebijaksanaannya sama sekali tidak bijaksana,
atau malah sama sekali salah. Dalam hati Kiai Miftah meminta ampun
kepada Allah, jika ternyata keputusannya salah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dalam alur ini, terjadi konflik fisik dan batin dalam diri Syamsul.
Konflik terjadi karena Syamsul difitnah mencuri oleh Burhan dan pihak
Pesantren. Terasa terjadi keterjalinan yang sangat utuh dalam alur ini.
Tidak ada ruang yang longgar dalam alur ini, peristiwa demi peristiwa
sangat padat dibuat, dan terkesan tidak membosankan. Selanjutnya,
sebagaimana dikutip di atas, bagian akhir dari konflik ini merupakan
peristiwa yang sangat menarik. Kita dibawa pada suatu ruang untuk
bertanya-tanya kembali. Ketika Syamsul berani mengata-ngatai Kiai
Miftah bahwa Kiai itu belum melakukan tabayun dengan sebenar-
benarnya.
Peristiwa atau alur selanjutnya dalam novel Dalam Mihrab Cinta
ini, diawali dari Zizi yang merasa tidak percaya dengan kejadian yang
terjadi di Pesantrennya. Zizi pulang dari Pekalongan ke Kediri, dia
bertanya pada Ayub kakaknya Aisyah seputar kejadian pencurian itu,
kemudian bertanya langsung pada kakaknya. Zizi mendapatkan keterangan
yang lebih jelas dari Ayub. Ayub menceritakan kejadian yang
sesungguhnya, Zizi mendengarkan dan merasakan ada kejanggalan dalam
kejadian ini. Seperti dalam kutipan berikut:
“Cobalah Mas Ayub perhatikan baik-baik. Saat Burhan diminta
bersumpah dia tidak langsung bersumpah. Dia mengawali dulu
dengan kalimat, „Penjahat akan melakukan apa saja untuk
menutupi kejahatannya Pak Kiai.‟ Barulah dia bersumpah dengan
bahasa yang licik. Dia tidak dengan tegas mengatakan, „Demi
Allah saya bersumpah tidak menyuruh Syamsul mengambil dompet
atau uang saya‟ tetapi dia mengatakan, „saya bersumpah bahwa apa
yang baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga
segala laknat Allah menimpa saya.‟ Coba perhatikan dengan
seksama saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan
mengatakan yang dimaksud dengan kata-kata „bahwa yang baru
saja saya katakan benar‟ adalah perkataan „penjahat akan
melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya‟ bukan yang lain.
Jadi Burhan bersumpah dengan bahasa semantik yang licik untuk
mengelabuhi kalian. Mendengar kronologis dan redaksi cerita Mas
Ayub itu. Dan jika memang benar seperti itu. Saya bisa
memastikan Syamsul adalah korban fitnah. Burhanlah yang
merekayasa memfinah Syamsul. Yang perlu diketahui adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
apakah ada pihak lain yang terlibat. Terus motifnya ap?” (DMC:
95-96)
Dalam alur di atas, ada peristiwa kilas balik pola alurnya. Alur ini
menunjukkan bahwa pengulangan (refrain) peristiwa merupakan salah
satu teknik penceritaan yang baik. Dengan itu, pembaca akan diajak
berperan dalam memerankan emosinya. Peristiwa yang sudah terjadi
seakan-akan menjadi hidup kembali dan akan merujuk pada klimaks pada
peristiwa berikutnya.
Sementara konflik terjadi pada diri Syamsul, dalam hal ini konflik
batin yang sedang dialaminya. Dia tidak menerima dirinya dikatakan
sebagai pencuri. Di sisi lain keluarganya sudah tidak menganggapnya lagi
sebagai keluarga. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa peristiwa
berikutnya alur kembali menjadi longgar namun disertai dengan teknik
penokohan yang baik, yaitu pemaparan Syamsul yang sedang mengalami
tekanan batin.
Tanpa sepengetahuan keluarganya, Syamsul pergi meninggalkan
rumahnya. Dia pergi ke Semarang mau menggantungkan hidupnya.
Namun naas di sana dia terlunta-lunta. Karena keadaannya yang kelaparan,
Syamsul mencoba mencopet seseorang, namun Syamsul tertangkap basah
dan dia babak belur dihajar masa sampai-sampai dia digelandang ke kantor
polisi. Syamsul resmi menjadi penghuni tahanan Polsek Tugu, Semarang.
Syamsul mendekam di kamar dengan dua orang pencopet.
Berita ditangkapnya Syamsul terdengar oleh keluarga Pak
Bambang, orang tua Syamsul, mereka sangat geram mendengar berita itu.
Berita itu pun sampai pada pihak Pondok Pesantren, para santri dan
pengurus pun sama mereka merasa kesal dengan tindakan Syamsul.
Namun dari kejadian itu masih ada tiga yang belum percaya dengan berita
itu. Mereka adalah ibunya Syamsul, Nadia adiknya, dan Zizi yang sedang
berada di Pekalongan.
Nadia akhirnya pergi ke Semarang membuktikan perihal berita
tersebut. Nadia sangat kaget dan terpukul kenapa apa yang diberitakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
adalah benar, bahwa kakaknya seorang pencuri. Syamsul meminta Nadia
untuk menebusnya. Pada akhirnya Syamsul keluar dengan uang tebusan,
dan pergi meninggalkan Nadia ke Jakarta.
Alur berikutnya kembali longgar, seakan-akan memberi awalan
penceritaan kembali, namun alur ini akan memberi jalinan yang kuat dari
alur-alur sebelumnya. Jika diskemakan alurnya menjadi sebagai berikut:
Syamsul datang ke Jakarta, dia akan memulai hidup baru. Dia
berjalan mencari masjid, dia berharap dia bisa dapat tempat tinggal sambil
mencari pekerjaan. Namun apa yang diharapkannya tak kunjung dapat.
Sampai dia bertemu dengan seseorang yang baik hatinya, dia adalah Abas.
Abas menawarkan kontrakan, sambil memberi saran pada Syamsul untuk
mencari kerja.
Syamsul menerima tawaran itu, dia mengontrak di kawasan itu
dengan mencicil. Setiap hari Syamsul mencari pekerjaan namun dia tak
kunjung dapat. Sampai karena kebutuhannya yang mendesak dia nekat
mengamalkan ilmu mencopetnya yang dia pelajari ketika mendekam di
tahanan polsek Tugu, Semarang.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, walhasil dia berhasil dalam
pekerjaan mencopetnya. Dia bisa membayar cicilan kontrakannya dan
kehidupannya. Meskipun dia merasa terus dihantui oleh rasa bersalah.
Sampai pada suatu ketika Syamsul mencopet seorang gadis. Dia melihat
dompetnya ada foto seorang perempuan dengan lelaki di sampingnya.
Syamsul merasa terkejut karena lelaki itu adalah Burhan yang telah
memfitnahnya mencuri di pesantren.
Peristiwa di atas, merupakan peristiwa yang tidak logis dan bersifat
kebetulan atau bisa disebut dengan dues ex machine, yaitu penggunaan
cara-cara yang tampak dipaksakan sehingga kurang masuk akal, rendah
kadar plausibilitasnya. Konsep ini merupakan konsep menghubungkan
berbagai kejadian yang akan diceritakan ke dalam karya, artinya mencapai
tingkat koherensi, adakalanya tidak mudah. Namun penulis novel ini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
menggunakan strategi ini untuk mengembangkan pada arah penceritaan
untuk mencapai titik klimaks.
Diperiksanya kembali dompet perempuan itu, Syamsul
menemukan kartu identitas. Dia mendapatkan alamatnya, dia berencana
pergi ke rumahnya, dia menganggap bahwa perempuan itu tidak cocok
dengan Burhan yang kelakuannya tidak baik itu. Syamsul pergi ke alamat
yang dituju, perempuan yang ada di foto itu tinggal di Villa Gracia, Parung
bagian Timur.
Sebelum dia masuk ke komplek itu, dia memakai kopiah terlebih
dahulu supaya penyamarannya tidak diketahui. Walhasil satpam yang
memberhentikan di pintu gerbang menganggap dia sebagai ustadz.
Malahan satpam tersebut menganggap bahwa Syamsul adalah calon guru
ngajinya anak Pak Broto, Della.
Di sini, unsur ketaksengajaan (dues ex machine) digunakan
kembali, peristiwa-peristiwa seperti serba kebetulan. Hal ini bisa
ditunjukkan pada keluarga Pak Broto yang memang sedang mencari guru
ngaji. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Mau kemana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?” tanya satpam itu.
“Mm. Saya mau ke Flamboyan 17.” Jawabnya mantap. Sengaja ia
tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat pada nasihat napi berkumis
tebal, “Jangan pernah mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada
siapaun saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab
pertanyaan.”
“O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si kecil Dela itu sudah mau
ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat Ustadz, padahal baru
kemarin sore bilang ke saya cari guru ngaji.” Kata satpam itu
ramah.
“Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang mencari guru
ngaji bisa bilang saya ya.” Ia tersenyum. (DMC: 131-132)
Syamsul masuk ke komplek tersebut, dilihatnya rumah-rumah yang
ada di situ. Dia menuju rumah Pak Broto dan diterima sebagai guru
ngajinya Della anak Pak Broto. Syamsul mulai menata hidup baru.
Pekerjaan mencopetnya dia tinggalkan. Dia resmi menjadi seorang guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
ngaji, dia berbekal ilmu yang didapatnya dari pesantren dulu sebelum
dikeluarkan.
Di rumah Pak Broto itu, Syamsul bertemu dengan perempuan
cantik yang ada di foto itu. Dia adalah Silvie, anak Pak Heru yang juga
mengajar Della kursus matematika. Dari pertemuan itu keduanya saling
mengenal satu sama lain. Syamsul menjadi ustadz yang disenangi di sana.
Lambat laun Syamsul menjadi seorang mubaligh terkenal, penuh simpatik
disenangi oleh masyarakat termasuk Silvie yang diam-diam menaruh rasa
cinta terhadap Syamsul.
Alur selanjutnya, terjadi konflik yang hebat ketika Silvie menolak
lamaran Burhan. Keluarga Pak Heru yang sudah mengetahui sifat bejatnya
Burhan menolak lamaran Burhan bersama keluarganya. Pak Heru
mengetahui dari dompet Silvie yang dicurinya, bahwa Burhan adalah
calon suaminya Silvie. Namun, Syamsul menceritakan sifat Burhan yang
sebenarnya kepada Pak Heru, akhirnya konflik pun terjadi antara Silvie
dan Burhan ketika Burhan hendak melamar dirinya.
Hubungan plot ini tidak ada hubungan sebab akibat yang mencolok
karena konflik terjadi karena keberadaan Syamsul. Peristiwa yang terjadi
hampir semuanya dari ketidaksengajaan. Unsur ketidaksengajaan ini bagi
penulis merupakan alur plot yang tidak termasuk pada hubungan sebab
akibat yang relevan.
Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, plot selalu berjalan secara
lurus. Alur selanjutnya, pada titik klimaks yang dialami oleh tokoh utama,
Syamsul. Setelah Silvie menolak lamaran Burhan, Silvie sangat
mengagumi Syamsul. Hal itu dirasakan oleh kedua orang tua Silvie,
akhirnya keluarga Silvie berniat melamar Syamsul.
Keluarga Silvie datang ke rumah Syamsul yang kebetulan ibunya
Syamsul sedang berada di rumahnya karena sudah mengetahui bahwa
Syamsul sudah menjadi mubaligh dan belum pernah bertemu.
Keluarga Silvie datang menyampaikan maksud lamarannya itu,
Syamsul merasa terkejut dengan lamaran tersebut. Syamsul memutuskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
untuk menimbang-nimbang terlebih dahulu. Di sisi lain Zizi, yang datang
bersama Kiai Miftah untuk meminta maaf atas apa yang terjadi di
pesantren dulu, mendengar lamaran itu, Zizi yang diam-diam mengagumi
Syamsul merasa terpukul.
Konflik batin masih digambarkan dalam alur ini, konflik yang
terjadi pada Syamsul yang secara tiba-tiba dilamar oleh Silvie dan konflik
pada Zizi yang merasa terganggu dengan lamaran Silvie terhadap
Syamsul.
Pada suatu saat Syamsul dan ibunya pergi ke rumah keluarga
Silvie. Dia diterima dengan gembira oleh keluarga Pak Heru itu. Syamsul
dan ibunya berniat menjawab dari lamaran Silvie. Pada intinya, Syamsul
menerima lamaran itu, persiapan pernikahan pun dibicarakan langsung.
Syamsul dan Silvie merasa bahagia dengan rencana pernikahannya, di
tengah kebahgiaannya itu, suatu hari Silvie berencana pergi ke Bogor mau
mengantarkan undangan. Di tengah perjalanan Silvie kecelakaan dan tak
bisa tertolong. Mendengar bahwa Silvie kecelakaan dan meninggal,
Syamsul merasa terpukul.
Deskripsi itu merupakan awal pada pengembangan klimaks yang
sesungguhnya. Pengarang sangat apik dalam mengembangkan klimaks ini,
pertama kebahagiaan dimunculkan lalu seolah-olah dijatuhkan dengan
kesedihan yang begitu mendalam.
Dengan kejadian itu, kejiwaan Syamsul terganggu. Dari hari ke
hari Syamsul tidak bersemangat kembali. Kegiatannya ceramah
ditinggalkannya begitu saja. Keluarga Syamsul membawanya kembali
pulang ke Pekalongan. Keadaannya semakin memprihatinkan. Ibunya dan
adiknya terus memotivasi Syamsul dengan berbagai cara. Tidak hanya
keluarga Syamsul yang memberi semangat padanya, melainkan Zizi yang
mengetahui itu pun selalu datang ke rumahnya memberi motivasi.
Lambat laun motivasi yang dilakukan oleh ibunya dan adiknya
Nadia mulai berhasil. Syamsul mulai bisa makan, mulai ngobrol dan mulai
terlihat bersemangat untuk menata hidupnya kembali. Sudah bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
menerima kejadian yang telah menimpanya. Suatu hari ketika Syamsul
sedang membaca koran di teras rumahnya, tiba-tiba ada yang datang. Yang
datang tiada lain adalah Zizi. Zizi ingin bertemu sama Syamsul, dia mau
meminta Syamsul memberi ceramah di pesantren Manabiul Quran. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
Bu Bambang memanggil Nadia dan memintanya untuk membuat
minum. Nadia mendekat dan bertanya kepada Zizi, “ Yang dingin
atau panas, Mbak?”
“Tak usah repot-repot, Nad, saya tidak lama. Saya Cuma mau
ketemu Syamsul, amu minta tolong.”
“Dingin saja ya biar segar?”
“Boleh.”
“Mau minta tolong aku?” Tanya Syamsul mengernyit bingung.
“Iya, Mas Syamsul. Begini, kebetulan Manabi‟ul Quran
Pekalongan ini, selalu mengadakan ceramah bulanan. Nah, aku
ingin kamu yang mengisi ceramah bulan ini, pasti para santriwati
akan senang karena selama ini mereka hanya bisa melihat kamu di
tivi. Ini aku membawa proposalnya.” Zizi memperlihatkan
proposalnya pada Syamsul.
“tapi aku...”
Zizi memotong,
“Temanya bebas, yang penting ada muatan motivasinya. Pengganti
uang transportnya ada, tapi tak sebesar honor di televisi.”
“Bukan itu persoalannya,” Syamsul mendesah menarik nafas, “Apa
aku masih bisa ceramah...”
Mendengar ucapan Syamsul itu Bu Bambang langsung berkata,
“Masih, Sul. Kau pasti masih bisa ceramah. Hanya saja sejak
kehilangan Silvie kamu tak pernah mau lagi mencobanya. Kamu
malah menenggelamkan diri dalam kesedihan. Sul, kamu ini
Ustadz, apa kamu ndak kasihan melihat pemirsamu yang
kehilangan sentuhan ruhani setiap Subuh di televisi? Kamu ini
sebelumnya seorang da‟i, ingat itu Sul!”
“Tapi...” Syamsul mau berbicara tapi kembali dipotong Zizi,
“Mas Syamsul, aku yakin sekali kau bisa. Kau jangan terus mau
dirantai oleh setan. Yang membuatmu lemah begini ini adalah
setan. Setan dan tentaranya tidak suka pada manusia yang berjuang
di jalan Allah.... Tapi baiklah aku tidak memaksa. Proposal ini aku
tinggal saja di sisni. Kalau kau bersedia, tolong telepon pesantren
Manabi‟ul Qur‟an. Nomor teleponnya ada di situ.” (DMC: 263-
264)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Peristiwa itu membawa Syamsul ke jalan lurus kembali. Dia tidak
terbelenggu dengan setan yang telah membelenggu selama ini, yang
membawanya larut dari kesedihan. Syamsul menerima permintaan Zizi
berceramah di pesantrennya. Hasilnya memuaskan, Syamsul masih bisa
berceramah dengan baik, para santri yang hadir merasa puas mendengar
ceramah-ceramahnya.
Peristiwa itu diberitakan oleh Zizi pada kakaknya Kiai Miftah. Kiai
Miftah berkunjung ke rumahnya bersama Zizi. Kiai Miftah merasa senang
melihat Syamsul bisa aktif kembali berceramah. Syamsul merasa dirinya
tidak pantas. Di sela pembicaraan itu, Kiai Miftah pun menawarkan Zizi
pada Syamsul untuk bersanding. Syamsul merasa tersanjung dan
keluarganya begitu antusias. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
“Kiai Miftah tersenyum, dan kembali berkata, “Jadi kedatanganku
memiliki dua misi, Sul. Memintamu ceramah di pesantrenku, dan
yang terutama, meminangmu untuk adikku.” (DMC: 268)
Lima hari dari pertemuan itu, Syamsul datang ke pondok pesantren
Al Furqan bersama keluarganya. Dia disambut oleh keluarga Kiai Miftah
dan Zizi, termasuk para santri yang ada di situ. Syamsul menejelaskan
kedatangannya pada Kiai Miftah, Syamsul hendak memberi ceramah di
pesantren itu dan akan melamar Zizi menjadi isterinya.
“Pak Kiai, rasanya tak ada alasan saya menolak tawaran baik Pak
Kiai. Sekarang saya datang membawa dua misi, Pak Kiai. Pertama,
saya siap memberi ceramah di Al Furqan, dan misi terpenting
lainnya adalah dengan mengucap bismillah saya siap menjadi
suami Zidna Ilma, mohon doanya agar kami menjadi keluarga
sakinah, mawadah, warahmah.”
Zizi ingin menangis mendengar apa yang diucapkan Syamsul. Pak
Kiai dan isterinya, Pak Bambang dan Bu Bambang tersenyum lega.
Syamsul kemudian menengok memandang Zizi atau Zidna Ilma.
“Kalau boleh tahu, apa Zidna Ilma punya syarat-syarat yang harus
saya penuhi sebelum melangsungkan akad nikah nanti?”
Dengan terbata-bata dan tubuh bergetar Zizi berkata, “Saya tak
punya syarat apa-apa.” (DMC: 270)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Dalam pembahasan alur ini, alur tidak berubah-ubah secara drastis
melainkan alur berjalan secara statis sebagaimana hakikatnya sebuah alur.
Alur yang dibangun dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, menggunakan
alur maju atau awal-tengah-akhir. Cerita berjalan begitu lurus, adapun ada
pemenggalan cerita baru namun cerita itu merupakan kesejajaran dari
cerita cerita sebelumnya tidak bersifat mundur atau flash back.
c. Latar/ Setting
Ruang lingkup sebuah karya fiksi hakikatnya adalah keberadaan
sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Unsur-unsur pembangun,
seperti tokoh dan peristiwa diciptakan oleh si pengarang. Sesuatu yang
dianggap penting dalam pembuatan dunia fiksi adalah faktor latar. Latar
adalah faktor pengusung sebuah peristiwa.
Dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, faktor yang sangat menarik
untuk disimak. Faktor latar yang berkembang dalam novel ini terdiri dari
latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Adapun analisis ketiga bentuk
latar tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1) Latar Tempat
Latar tempat pada hakikatnya merupakan lokasi peristiwa
berlangsung. Lokasi yang dimaksud bisa saja nama tempat atau
sebuah ruang misalnya di dalam kendaraan, rumah, stasiun, penjara,
gedung, dan lain-lain. Hal tersebut untuk menunjukkan kejelasan
keberlangsungan peristiwa itu terjadi.
a) Latar tempat berupa stasiun kereta
Penggunaan latar tempat dalam novel ini salah satunya
menggunakan latar tempat berupa stasiun. Hal tersebut tampak
pada kutipan berikut:
“Becak itu memasuki halaman Stasiun Pekalongan.
Bangunannya nampak sudah tua. Tidak berubah sejak
dibuat oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Gadis itu
turun dan menyerahkan uang beberapa ribu kepada tukang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
becak. Ia lalu melangkah membawa barang bawaannya
memasuki stasiun.
Matahari tenggelam perlahan di ufuk barat. Azan maghrib
berkumandang saat gadis itu mendapat tiket dan berjalan
menuju kereta yang sudah siap di jalur satu. Dengan mata
tetap berkaca-kaca ia memasuki gerbong empat. Lalu
mencari-cari tempat duduk seperti yang tertera di karcisnya.
Sampai di deret kursi nomor 8 ia berhenti. Ia letakkan tas
tentengnya yang berwarna merah kekuningan di tempat
bagasi. Ia duduk di kursi 8 C.
Setelah duduk ia menarik nafas dan kembali menangis.
Wajah cantiknya tidak bisa menutupi kesedihannya. Ia
berusaha menahan tangisnya agar tidak terdengar oleh
penumpang di sekitarnya. Ia menangisi kematian orang
yang sangat dicintainya. Yaitu ayahandanya yang sangat
menyayanginya.” (DMC: 1-2)
Kutipan di atas merupakan peristiwa yang menunjukkan
latar tempat yang sangat detail sekali, di samping faktor waktu
yang menunjukkan kesedihan itu. Hal itu bisa dilihat pada,
pendeskripsian stasiun dari mulai pembelian karcis sampai nomor
tempat si tokoh duduk. Artinya relevansi latar tempat dengan
keadaan geografis tempat tersebut sangat signifikan sekali.
b) Latar tempat berupa pesantren
Latar tempat berupa pesantren sebagaimana tujuan kedua
tokoh seperti yang dipaparkan di atas. Peristiwa itu bisa
ditunjukkan pada peristiwa Zizi ketika tiba di rumah duka, Pondok
Pesantren Al Furqan kepunyaan ayahandanya, yang meninggal itu.
Penggambaran latar itu bisa dilihat pada kutipan berikut:
“Komplek Pesantren Al Furan, Pagu, Kediri sesak oleh
puluhan ribu orang yang ingin menshalati dan begitu
khidmad dan khusyuk. Tidak ada orang yang tertawa atau
bercanda. Semua menghayati kepergiaan ulama besar itu
sebagai bentuk kehilangan sesuatu yang berharga yang tidak
mudah ditemukan gantinya. Wafatnya ulama adalah
thilangnya sebagian ilmu yang diperlukan oleh
masyarakat.” (DMC: 25)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
c) Latar tempat berupa rumah (keluarga)
Selanjutnya latar berpindah ke rumah Syamsul. Latar ini
digunakan setelah Syamsul diusir dari pesantren karena difitnah
mencuri.
“Syamsul berharap bahwa keluarganya akan lebih
mepercayai penjelasannya ketimbang keputusan pengurus
pesantren yang salah. Ia menceritakan kronologis
peristiwanya sampai ia dihakimi seluruh pondok. Ia
menegaskan bahwa ia terkena fitnah. Ia tidak pernah
mencuri di pesantren. Namun penjelasannya itu tidak bisa
diterima oleh seluruh anggota keluarganya. Ayahnya malah
bertambah marah. Kedua kakak dan ibunya juga lebih
percaya pada keputusan pengurus pesantren.” (DMC: 90)
d) Latar tempat berupa nama kota
Semarang menjadi latar tempat berikutnya. Karena seluruh
keluarganya tidak mempercayai atas kejadian di pesantren itu,
akhirnya Syamsul memutuskan minggat dari rumahnya. Semarang
menjadi tempat tujuannya.
“Sudah satu minggu Syamsul pergi dari rumah. Ia
mengelana di kota Semarang. Tidur dari masjid ke masjid.
Makan seadanya. Dengan berbekal ijasah SMA ia mencoba
melamar pekerjaan dari kantor ke kantor, pabrik ke pabrik
mensyaratkan ada keterangan surat kelakuan baik dari
kelurahan.” (DMC: 103)
Selain kota Semarang, kota Jakarta (tepatnya terminal lebak
bulus) juga menjadi latar tempat dalam novel ini.
“Bus itu sampai di terminal Lebak Bulus, tepat saat azan
subuh selesai dikumandangkan. Para penumpang bangun
dari tidurnya dan turun membawa barangnya masing-
masing. Syamsul turun dari bus. Sebelum ia bertanya lagi
pada kernet bus,
“Ini Lebak Bulus ya Mas?”
“Iya. Ini Lebak Bulus.” Jawab kernet itu.
Syamsul sudah tahu bahwa ia sampai di Lebak Bulus. Ia
bertanya untuk mengusir keraguan kakinya melangkah. Ia
baru pertama kalinya ke Jakarta. Ia sama sekali belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
pernah ke Jakarta. Kalau ke Bali, malah sudah. Ia ke pulau
Dewata saat perpisahan kelas tiga SMA.” (DMC: 119)
Tidak ketinggalan kota Parung pun menjadi latar tempat
dalam novel ini. Kota Parung merupakan tempat tinggal/ rumah
kontrakan ketika Syamsul datang ke Jakarta. Hal ini tergambar
jelas dalam kutipan berikut:
“Jadilah ia menyewa rumah petak itu. Sejak hari itu ia
tinggal di sebuah perkampungan yang berhimpitan dengan
perumahan yang terletak di kawasan Parung Barat. Tidak
begitu jauh dari Ciputar dan Lebak bulus, Jakarta Selatan.”
(DMC: 124)
e) Latar tempat berupa penjara
Di kota Semarang pula membawa Syamsul pindah latar ke
sebuah penjara. Karena ketika di Semarang tokoh Syamsul
melakukan perbuatan pencurian dan perbuatannnya itu diketahui
orang, dia tertangkap dan dijebloskan ke penjara Polsek Semarang
Tugu.
“Sejak tertangkap itu Syamsul mendekam di penjara Polsek
Semarang Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapidana
yang tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua
narapidana itu mengajaknya untuk bergabung dalam
komplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut jadi
bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik mencuri
rumah orang kaya.” (DMC: 108)
2) Latar Waktu
Adapun latar waktu yang menunjukkan petanda seperti pagi,
siang, malam, sore, waktu subuh, waktu ashar, waktu maghrib, bulan
Suci Ramadhan, dan bulan Syawal diungkap dalam novel ini.
Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut:
Pagi itu selesai shalat subuh, Syamsul i‟tikaf di masjid
pesantren seperti biasa. Ia gunakan waktunya untuk ngaji Al-
Quran pada Ustadz Abdul Manaf... (DMC: 60)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Sedangkan kutipan lain sebagai beikut:
“Bus itu sampai di terminal Lebak Bulus, tepat saat azan subuh
selesai dikumandangkan. Para penumpang bangun dari
tidurnya dan turun membawa barangnya masing-masing.
Syamsul turun dari bus.... (DMC: 119)
Dari kedua kutipan di atas jelas sekali bahwa peristiwa tersebut
terjadi pada waktu subuh atau pagi hari.
Dalam novel ini, bulan Ramadhan merupakan latar waktu yang
digunakan pengarang dalam mengembangkan ceritanya. Hal ini
tampak pada kutipan berikut:
Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh
bahagia. Ayat-ayat Al-Quran berkumandang di mana-mana.
Syamsul bertambah sibuk dengan jadwal kegiatannya: kuliah,
mendampingi remaja masjid, menjadi imam terawih, mengajar
ngaji, ceramah di sana-sini, dan shooting di televisi. (DMC:
216)
Sedangkan pada kutipan lainnya sebagai berikut:
Tanggal 8 Ramadhan ia menelepon Nadia adiknya. Ia meminta
untuk menonton ceramah pagi di Edu TV jam lima pagi.
“Jangan sampai tidak nonton ya Nad. Mas ikut dalam
pengajian itu. Jangan lupa beritahu ayah dan ibu.” Kata
Syamsul ditelepon. Ia sengaja tidak mengatakan dirinya yang
memberi ceramah, sebab ia ingin membuat suprise
keluarganya. (DMC: 217)
..... Pada tanggal 25 Ramadhan, ketika semua urusan, dan tugas
Syamsul di Jakarta dan sekitarnya selesai, ia pulang kampung
bersama ibunya. Ia bahagia luar biasa ketika bisa kembali ke
rumah tempat ia dilahirkan. (DMC: 243)
Dari kedua kutipan di atas tampak jelas bahwa latar waktu
bulan Ramadhan dijadikan sebagai salah satu latar waktu yang
digunakan oleh pengarang dalam menyusun cerita.
Di samping bulan Ramadhan, bulan Syawal juga dijadikan
sebagai latar waktu dalam mengembangkan alur cerita dalam novel,
sebagaimana tampak dalam kutipan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Allahu Akbar 3X Awalillahilhamdu.
Kaum Muslimin yang berbahagia
Syawwal itu artinya nail, meningkat. Dalam Al Mu’jam Al
Asasi dijelaskan, Syalal miizan artinya timbangan naik.
Masuk 1 Syawal ini, marilah kita niatkan untuk meningkatkan
segala kebaikan yang telah kita capai di tahun-tahun yang telah
lewat, khususnya yang telah kita capai pada bulan Ramadhan
kemarin.
Kita jadikan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1427 H ini sebagai
momentum untuk menaikan derajat kita di mata Allah….
(DMC: 245)
3) Latar Sosial
Latar sosial dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini, secara
umum menggambarkan latar sosial masyarakat jawa. Bisa dilihat dari
latar tempat yang dipakai dalam hampir keseluruhan cerita, yaitu
Pekalongan, Kediri, Semarang. Sementara latar tempat Jakarta
menjadi pengembangan dari keberadaan latar sosial selanjutnya.
Penggambaran latar sosial dalam novel Dalam Mihrab Cinta
ini, sangat apik dikembangkan pengarangnya. Misalnya
penggambaran local color yang digambarkan oleh keluarga Syamsul.
Syamsul merupakan anak dari keluarga Pak Bambang, seorang
pengusaha batik. Secara realitas Pekalongan merupakan sebuah kota
penghasil batik terbesar di Jawa. Hal ini menjadi penting untuk
digambarkan karena akan mengusung pada pola alur yang akan
dikembangkan.
“Keputusan sudah bulat. Ia ingin berbeda dengan kedua
kakaknya. Kedua kakaknya memang cemerlang. Masih sangat
muda, tetapi keduanya sudah memiliki pabrik konveksi batik
sendiri. Ayahnya selalu menyanjung kedua kakaknya sebagai
pengusaha muda yang sangat berbakat.
Ia juga ingin sukses, tetapi ia tidak mau sama dengan ayahnya,
kakeknya dan kedua kakaknya yang semuanya sukses sebagai
pedagang batik. Ia ingin sukses di jalur yang berbeda.” (DMC:
6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Kutipan di atas menggambarkan latar sosial masyarakat
Pekalongan yang notabene bermatapencaharian sebagai pengrajin
batik. Dengan menggambarkan unsur sosial ini, cerita lebih menjadi
tipikal dan lebih fungsional. Kesan yang timbul menjadi lebih menarik
karena kebiasaan masyarakat sebagai pengusaha batik menjadi
kontradiktif dengan keinginan tokoh Syamsul yang ingin nyantri dan
bertentangan dengan keinginan keluarganya sebagai pengusaha batik.
Kemudian, di samping kota Pekalongan gambaran latar sosial
dapat dilihat dari latar tempat Kediri. Karena novel ini berbicara
tentang religiusitas, Kediri digambarkan sebagai kota pesantren atau
kota santri. Sehingga tokoh Syamsul pun dimunculkan untuk pergi ke
Kediri. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pesantren-pesantren besar
yang ada di kota itu. Ada penggambaran empat pesantren besar yang
dimunculkan dalam alur novel ini. Seperti pada kutipan berikut:
“Tiga pesantren besar telah ia kunjungi. Pesantren Lirboyo, Al
Falah Ploso dan Al Inayah Semen. Ia mengagumi ketiga-
tiuganya. Ia merasa bias krasan di tiga pesantren itu.” (DMC:
35)
Kenudian latar sosial berpindah di kota Semarang. Semarang
dilukiskan sebagai kota besar yang secara kultur masyarakat
berbanding terbalik dengan kota Pekalongan dan Kediri. Semarang
dilukiskan sebagai kota besar, modern, dan terkesan individualistis.
Gambaran yang dimaksud bisa dilihat pada tokoh Syamsul yang
setelah difitnah dan diusir dari pesantren dia pergi ke Semarang
menempuh jalan hidupnya.
Latar sosial selanjutnya adalah Jakarta. Berbeda dengan latar
sosial sebelumnya yang diawali latar tempat Pekalongan, Kediri, dan
Semarang yang menggambarkan latar sosial Jawa pada umumnya.
Namun, latar sosial Jakarta dalam novel ini terlihat lebih komplek.
Sebagaimana halnya Semarang, Jakarta digambarkan sebagai kota
yang keras. Tidak mudah mendapat kesempatan untuk meraih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
pekerjaan di sana. Hal ini bisa dilihat pada awal alur tokoh Syamsul
menginjakkan kakinya di kota itu. Seperti dalam kutipan berikut:
“Ia melihat café bagus di pinggir jalan Parung yang asri. Café
itu baru saja buka. Beberapa pegawainya nampak sibuk
membersihkan meja. Syamsul masuk dan menemui manajer
café itu. Ia menyampaikan maksudnya untuk bias kerja di situ.
“Seandainya saya ditempatkan di bagian yang cuci-cuci piring
tidak apa-apa Pak, saya siap.” Kata Syamsul menjelaskan
kesiapannya untuk bekerja di situ. Manajer café itu dengan
halus menjelaskan bahwa café itu tidak memerlukan tenaga
baru.”
“Ia melihat sebuuah restaurant yang khusus menjual ayam
goreng. Ia memasuki restauran itu dan mengajukan diri untuk
bias bekerja di situ. Restauran itu menolaknya. Ia kembali
meneruskan pengembaraannya mencari pekerjaan. Ia melihat
pabrik, seketika itu juga ia melamar kerja ke pabrik itu dan
tidak diterima. Ia melamar ke tempat cucian mobil. Ia siap
bekerja sebagai tukang cuci mobil. Ia juga ditolak. Ia mencoba
masuk ke sebuah bengkel mobil. Ia melamar. Manajer bengkel
meminta ijazah STM. Ia tidak punya. Hasilnya sudah jelas.
Hari itu satu hari penuh ia berjalan melamar pekerjaan dan
hasilnya nihil.” (DMC: 125-126)
Gambaran realitas sosial Jakarta berikutnya bisa dilihat juga
pada gambaran tokoh Syamsul yang kembali menjadi copet. Namun
sekarang ia sudah mahir, karena sudah mendapat ilmu mencopetnya
pada si kumis tebal ketika di penjara di semarang. Realitas Jakarta
ditunjukkan sebagai kota yang metropolitan, individualitas. Latar
sosial Jakarta membuat tokoh Syamsul secara psikologis menjadi
nekat kembali.
“Akhirnya ia berkata pada diri sendiri, “Aku harus nekat.
Minta belas kasihan orang itu mental pecundang. Hidup di
IbuKota memang keras. Tapi aku tidak boleh mati kelaparan.”
Ia lalu teringat pesan penjahat berkumis yang ia temui saat
dipenjara di Polsek Tugu Semarang, “Dengarkan baik-baik
Bur. Kalau mau jadi penjahat sukses kamu harus punya mental
dan berani nekat!” (DMC128)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Selanjutnya, kota Jakarta, dilihat dari sisi sosial penokohan,
digambarkan oleh pengarang sebagai realitas sosial yang baik, ramah.
Gambaran itu bias dilihat dari tokoh Abbas, yang menerima Syamsul
dengan baik. Abbas memberikannya Syamsul kontrakan tanpa harus
tinggal di masjid. Kemudian ketika Syamsul sedang menyamar, dia
berpakaian seperti ustadz. Dia disambut hangat oleh satpam dan
keluarga Pak Broto yang kebetulan lagi mencari guru ngaji.
“Ia terbangun ketika azan ashar dikumandangkan. Ia
mengambil air wudhu. Mendirikan shalat sunnah lalu ikut
shalat berjamaah. Selesai shalat berjamaah ia menemui
poengurus mesjid itu. Ia mengutarakan niatnya, dan
menceritakan kesulitannya mencari mesjid yang bisa
ditinggalinya. Takmir mesjid itu malah menyarankan agar dia
mengontrak rumah saja.
“Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal dimasjid.
Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau kami perlu
bantuan kami bisa panggil adik. Kalau tinggal di masjid tidak
bisa. Kamarnya Cuma satu dan sudah ditempati Pak Ali, imam
masjid ini, bersama isteri dan anaknya. Gimana dik? Nanti
saya bantu cari yang murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?”
“Nama saya Syamsul pak, lengkapnya Syamsul hadi.”
“Ya jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Adik akan lebih
mandiri. Oh ya nama saya Abbas. Panggil saya pak Abbas.
Kebetulan saya ketua RT 2 di kawasan ini. Dalam kebetulan
adsa rumah petak kosong yang dikontrakkan. Saya diamanahi
untuk mengurusnya (DMC: 123)
Petikan latar sosial yang lain bisa ditunjukan oleh tokoh Broto.
Tokoh Broto ini digambarkan seseorang yang kaya raya tinggal di
komplek yang bisa dikatakan elit, orangnya baik hati.
“Oh pak Ustadz. Mau ketemu siapa?” Tanya anak muda itu.
“Pak Broto ada?”
“Ada. Sialhkan masuk pak Ustadz.”
Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk
bersarung dan berbaju koko keluar.
“Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya pak ustadz?” Pak
Broto merasa kenal.
“Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Begini
Pak Broto langsung saja, ada yang memberi tahu saya katanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pak Broto perlu guru privat ngaji untuk si kecil Della. Apa
betul?” Ujar Syamsul dengan tenang.
“Benar pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji yang datang
tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia tidak ada background
pesantrennya. Saya ingin guru ngaji yang pernah belajar di
pesantren.” (DMC: 133)
Latar sosial yang lain dapat digambarkan oleh karakter
Burhan. Meskipun dia seorang santri, tapi dia datang dari Jakarta yang
terkesan modern. Jadi, secara sosial Burhan berbeda dengan santri-
santri yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa latar tempat yang
disajikan dalam novel ini menandakan bahwa setiap perwakilan nama
kota menjadi pembeda latar sosial dari setiap tokoh.
Burhan digambarkan menyampaikan latar sosial yang arogan,
suka memilih-milih teman.
“…hampir semua teman satu kamarnya mendukung dan
memotivasi. Hanya burhan saja yang masih Nampak
mengacuhkan dirinya. Burhan seperti menjaga jarak
dengannya. Ia sempat menanyakan hal itu pada Ayub.
Dijawab, bahwa Burhan memang begitu, tidak perlu
dirisaukan. Dari teman-temannya ia tahu bahwa Burhan anak
seorang pengusaha kaya dari Jakarta. Dalam beberapa hal
memang Burhan Nampak angkuh. Ia pilih-pilih teman. Hanya
orang-orang yang ia anggap penting dan ia anggap dsari
golongan sepadan dengan dirinya yang ia akrab, selain itu, ia
Nampak cuek.” (DMC: 52)
Selanjutnya penggambaran masyarakat sosial Jawa dalam
novel ini, bisa dilihat dari bahasa yang dipakai dalam disetiap dialog.
Ada beberapa bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog antar tokoh.
Hal menunjukkan bahwa sifat bahasa juga menjadi salah satu unsur
penguatan dalam mengembangkan latar sosial novel Dalam Mihrab
Cinta ini.
Unsur lokal (bahasa) menjadi prestise untuk menciptakan
kesan bahwa masyarakat Jawa masih memegang ketradisian dalam
konteks budaya dalam hal ini penggunaan bahasa Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
“Ke pesantren? Mau jadi santri gudig?” Sinis kakak sulungnya.
“Kalau cuma santri gudig mending hla kalau nanti jadi teroris
bagaimana?” Sengit kakak keduanya.” (DMC: 13)
Kutipan yang lain bisa dilihat ketika Syamsul berada di
penjara.
“Napi yang muda langsung menukas,
“Benjote yo podo…larane yo poho…!” (DMC: 13)
Selanjutnya, ketika Zizi mempersoalkan masalah Syamsul
yang sudah difitnah mencuri oleh santri termasuk keputusan
kakaknya, Kiai Miftah yang menurut Zizi kurang berkenan.
“Kangmas, suatu hari kebenaran itu pasti akan jelas. Becik
ketitik olo kethoro! Sebaiknya Kangmas ingat baik-baik apa
yang dikatakan Syamsul ketika dia dizalimi.” (DMC: 89)
Unsur lokal (bahasa) juga tampak jelas ketika Ayub berpura-
pura membaca doa dan mengusap-usap akik merah delimanya.
“Hei ari-arine Neng Nur Fadhilah merene. Aku wis nunggu
sliramu!” Kata Ayub setengah berisik. Ia yakin Burhan
mendengarnya. (DMC: 161)
Kalimat-kalimat atau kata yang dipakai dalam bahasa Jawa di
atas jelas sekali menunjukkan prestise bahasa yang mengacu pada
identitas sosial masyarakatnya. Bahasa Jawa dalam konteks dialog di
atas, menunjukkan bahwa bahasa itu berada pada letak yang terstatus
tinggi bahasa sehingga Jawa sangat penting untuk ditonjolkan dalam
sebuah dialog.
d. Sudut Pandang
Berdasarkan analisis alur, latar, penokohan dalam novel Dalam
Mihrab Cinta ini, pencerita mempergunakan sudut pandang persona ketiga
“Dia” jenis mahatahu dengan menggunakan dua penamaan. Sudut pandang
persona ketiga yang pertama, menggunakan nama tokoh utama, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Syamsul sebagai pencerita dan sudut pandang persona kedua, dari
beberapa peristiwa Syamsul diganti menjadi “Ia” sebagai pencerita.
Dari sudut pandang mahatahu ini, pola penceritaan menjadi lebih
jelas sebab tidak ada batasan cerita yang dipenggal. Artinya cerita
dikisahkan sesuai dengan keterlibatan si tokoh utama tersebut. “Dia”
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakangi.
Matahari merendah di ujung langit. Sinarnya memerah. Perlahan-
lahan bola matahari itu seperti mencium bumi. Sebuah becak itu
menyusuri jalan Gajahmada. Penumoangnya seorang gadis
berjilbab biru muda. Gadis itu menundukkan muka. Kedua matanya
berkaca-kaca. Sesekali ia mengusap airmatanya yang meleleh
dengan sapu tangannya. Rasa sedih terus menyesak di dalam
dadanya.
Becak itu memasuki halaman Stasiun Pekalongan. Bangunannya
nampak sudah tua. Tidak berubah sejak dibuat oleh Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda. Gadis itu turun dan menyerahkan uang
beberapa ribu kepada tukang becak. Ia lalu melangkah membawa
barang bawaannya memasuki stasiun. (DMC: 1)
Dari deskripsi di atas terlihat bagaimana si pencerita menceritakan
peristiwa itu dengan sangat detail sekali. Pencerita mengetahui keadaan
geografis sebuah stasiun, bisa menggambarkan kesan perasaan si tokoh
perempuan, serta menggambarkan fisik si tokoh dengan jelas pula.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sudut pandang
persona ketiga dalam novel ini adalah Syamsul hal itu bisa dilihat pada
kutipan berikut:
Sementara itu Syamsul sudah di Pesantren Lirboyo. Syamsul
menemui muka-muka yang sedih. Ia mendatangi kantor pengurus
dan diterima dengan muka sedih. Setelah menjelaskan maksud
kedatangannya, Syamsul diantar seorang pengurus ke sebuah
kamar yang banyak dihuni santri dari daerah Pekalongan dan
Batang. Syamsul bertanya pada salah seorang santri kenapa semua
orang di pesantren ini nampak bersdih hati... (DMC: 27-28)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Bentuk keterbatasan si pencerita bisa dilihat pada kutipan berikut.
Si pencerita sebagai persona ketiga mahatahu, mengetahui dengan
seksama keadaan Zizi anak Kiai Baejuri yang baru saja meninggal.
Siang itu setelah jenazah Kiai Baejuri dimakamkan, Zizi
menghempaskan tubuhnya ke kamarnya. Ia merasa letih dan
mengantuk. Tetapi rasa sedih lantaran ditinggal ayahandanya tidak
bisa hilang begitu saja. Kedua mata Zizi terpejam, namun air
matanya terus meleleh begitu saja. Kenangan-kenangan indah
bersama ayahandanya berkelebat-kelebat begitu saja.
Tiba-tiba ia ingat, ayahnya pernah memberikan sepucuk surat
untuknya. Ya, ia ingat satu tahun yang lalu ayahnya memberikan
surat itu. Tepatnya satu hari sebelum ayahnya berangkat ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ketiga.
“Nduk, simpanlah surat ini. Bacalah jika abah sudah meninggal
nanti. Jangan kau baca ketika abah masih hidup.” Begitu pesan
ayahnya. (DMC: 29-30)
Kutipan di atas begitu sangat menggambarkan si pencerita
mengetahui kejadian di luar kejadian yang dilakukan oleh tokoh utama.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa hal ini untuk menumbuhkan
kesan supaya pembaca begitu larut ketika mengetahui peristiwa-peristiwa
yang disajikan.
Selanjutnya, pembahasan mengenai sudut pandang ini ada
ketidakkonsistenan pengarang dalam penggunaan personanya.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, sudut pandang dalam novel ini
diwakili oleh tokohnya „Syamsul‟, namun di dalam Bab 5 dari novel ini,
awal cerita, persona Syamsul diganti dengan „Ia‟.
Ia masih terus bertanya-tanya, apakah karena Zizi, ia diterima di
pesantren Al Furqan dan usulannya mengenai sistem pengajaran
yang memungkinkan baginya melakukan percepatan diterima?
Ataukah memang murni hasil musyawarah antara Kiai Miftah
dengan pengurus pesantren. Ia ingin bertanya kepada Zaim, tetapi
ia malu. Justru kalau ia bertanya, Zaim akan balik bertanya
bagaimana ia bisa kenal Zizi dan seterusnya. Urusannya malah bisa
jadi panjang. (DMC: 49)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Kutipan di atas menandakan bahwa ada ketidakkonsistenan
pengarang dalam membuat sudut pandang. Kutipan itu bisa
membingungkan karena persona “Ia” menjadi tidak jelas, ia merujuk ke
mana. Kepada tokoh utamakah sebagai si pencerita atau tokoh lain yang
sedang membuat cerita baru? Meskipun kalau dirunut dari peristiwa dari
novel ini persona „Ia‟ pada awal cerita ini merujuk pada tokoh Syamsul.
e. Tema
Adapun tema yang terkandung dalam novel ini adalah berbicara
tentang perjalanan hidup dan lika-liku kehidupan yang harus dilalui oleh
seseorang. Hal ini terjadi pada tokoh Syamsul.
Pertama ketika dia harus bertolak belakang dengan keinginan
orang tuanya. Syamsul berkeinginan tidak melanjutkan kuliah setelah
tamat SMA, setelah berbagai pertimbangan dia memutuskan pergi nyantri
ke Kediri. Sementara keinginannya itu harus berbenturan dengan
keinginan keluarganya yang berkeinginan kuliah dan menjadi pengusaha
batik. Namun Syamsul, memutuskan untuk pergi nyantri. Syamsul pergi
ke Kediri dan mondok di Pesantren Al Furqan.
Syamsul menjadi santri yang baik, namun diperjalanan dia difitnah
oleh santri yang lain, yaitu Burhan. Burhan merasa cemburu pada
Syamsul, karena diam-diam Zizi mengagumi perkembangan Syamsul di
pesantren itu. Burhan yang terbakar api cemburu, membuat siasat untuk
memfitnah Syamsul. Syamsul dituduh mencuri uang miliknya. Yang
akhirnya dia diusir dari pesantren. Selanjutnya dia memutuskan pergi ke
Semarang untuk mencoba memulai kehidupan baru karena keluarganya
sudah tidak menerimanya. Karena berbagai hal, Semarang yang tidak
mendukung perjalanan hidupnya akhirnya dia menjadi maling dan
tertangkap, kemudian dipenjara. Setelah keluar dari penjara, Syamsul
nekat pergi ke Jakarta. Dia bertahan hidup di Jakarta dan menjadi seorang
guru ngaji.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Di Jakarta Syamsul melepaskan perbuatan-perbuatan buruknya, dia
fokus terhadap profesinya sebagai ustadz. Setelah menjadi ustadz, dia
sangat dikagumi oleh masyarakat di sana karena sikapnya yang ramah. Di
Jakarta dia bertemu dengan Silvie, mahasiswa ekonomi UI. Kian hari
Syamsul menjadi sorotan masyarakat karena Syamsul menjadi lambat
laun sudah menjadi seorang mubaligh. Diam-diam Silvie terkena musibah
dia meninggal karena kecelakaan.
Peristiwa itu membuat Syamsul merasa terpukul. Syamsul yang
masih mnerasa kehilangan Silvie, dia menjadi tidak karuan. Dia tidak
mau memberi ceramah kembali sementara masyarakat masih
menginginkan dia berceramah. Hari demi hari Syamsul merasa tersiksa
dengan ditinggalkan oleh calon isterinya itu. Lambat laun ibunya, Nadia,
membujuk Syamsul untuk bangkit kembali. Kiai Miftah pun berusaha
membujuk Syamsul untuk memberikan ceramah di pesantrennya.
Dari motivasi-motivasi yang diberikan oleh keluarganya dan
sahabat-sahabatnya serta guru-gurunya, akhirnya Syamsul kembali
bangkit. Dia mulai berceramah. Sampai akhir dia berceramah di pesantren
yang dulu dia telah difitnah.
f. Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Di dalam novel ini amanat yang dipergunakan adalah secara
implisit, yaitu pengarang mengemukakan pesannya secara tidak langsung.
Amanat yang terdapat dalam novel Dalam Mihrab Cinta adalah
jangan pernah menilai orang dari luarnya saja dan jangan pernah
menghakimi seseorang dengan semena-mena. Harusnya diselidiki terlebih
dahulu apakah orang itu benar-benar bersalah atau tidak. Dan sebagai
orang tua, harusnya bisa lebih percaya dengan anaknya sendiri. Selain itu,
dalam novel ini mengingatkan kita akan pentingnya kita dalam mengingat
Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan apapun dan dimanapun. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
begitu setiap kita akan melangkah akan membuahkan hasil yang baik
nantinya.
2. Latar Belakang Penciptaan Novel Dalam Mihrab Cinta
a. Kenyataan yang terjadi di sekitar pengarang
Di dalam novel Dalam Mihrab Cinta, ada beberapa hal yang ingin
diungkapkan oleh Habiburrahman El Shirazy. Hal yang mendasar yang
ingin diungkapkannya lewat novel tersebut, yaitu mengenai perjuangan
seorang remaja yang sempat khilaf. Akan tetapi, oleh kekuatan cinta dari
orang-orang dekatnya maka pemuda itu dapat kembali ke jalan yang lurus.
Novel ini memberi kesan dan pesan yang baik, khususnya bagi
bangsa Indonesia yang memang membutuhkan novel-novel yang
bermoral. Pesan yang ingin disampikan DMC adalah siapa pun orang jika
didorong untuk berbuat jahat maka orang tersebut bisa menjadi orang
jahat. Sebaliknya, jika orang diberikan motivasi untuk menjadi orang baik,
maka orang tersebut bisa menjadi orang baik. Mengetahui ada beberapa
pesan dalam novel ini, optimis novel ini akan menjadi obat cinta bagi
orang-orang yang gemar dengan kisah cinta dan religi.
Novelet ini awalnya bersetting di sebuah pesantren di Kediri, Jawa
Timur. Berkisah tentang seorang santri bernama Syamsul yang harus
menerima hukuman karena kesalahan yang tak diperbuatnya. Burhan,
sahabatnya, telah memfitnah bahwa Syamsul-lah yang telah mencuri
uangnya. Bahkan, ayahnya sendiri tidak mempercai Syamsul. Syamsul pun
pergi meninggalkan rumah.
Syamsul berusaha mencari pekerjaan. Tapi tak tak dapat juga.
Akhirnya ia berpikir untuk mencuri atau mencopet. Tapi naas. Saat
melakukan itu, Syamsul terpergoki dan akhirnya dimasukkan ke dalam
penjara. Ia mengaku bernama Burhan.
Setelah keluar dari penjara. Syamsul memutuskan hijrah ke Jakarta.
Dengan uang seadanya, ia mengontrak sebuah rumah. Kemudian ia
mengamalkan ”ilmu” yang diperolehnya dari penjara tentang teknik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
mencopet. Berhasil! Syamsul berhasil menerapkan ilmu copetnya. Tiap
hari, Syamsul berhasil memperdayai satu korban. Suatu hari, seorang
cewek berjilbab modis menjadi korbannya. Syamsul menemukan kartu
mahasiswa dan foto mahasiswi tersebut sedang bersama seorang lelaki.
Lelaki itu tak lain adalah Burhan.
Dengan berbekal ilmu yang diperoleh ketika nyantri, Syamsul
berpura-pura menjadi guru ngaji dengan motif lain untuk menguak
kejahatan Burhan yang akan mempersunting seorang gadis yang bernama
Silvie. Suatu hari Syamsul disuruh mengisi ceramah di masjid komplek
Villa Garcia, dan sejak saat itu dia menjadi seorang mubaligh besar yang
disegani banyak orang.
Alhasil usaha yang dilakukan Syamsul tidak mengecewakan, ia
berhasil menguak siapa Burhan sebenarnya. Dengan ketangguhan
Syamsul, Silvie lambat laun menaruh hati dengannya. Tidak lama
kemudian orang tua Silvie melamar Syamsul namun ditengah-tengah
persiapan untuk pernikahan, Silvie mengalami kecelakaan hingga ia tidak
tertolong lagi. Mendengar kejadian itu, Syamsul mengalami gangguan
jiwa, namun ibu, adik perempuannya dan Zizi tidak henti memberikan ia
motivasi agar ia mau berceramah lagi dan menata hidupnya kembali.
Karena semenjak kejadian itu Syamsul tidak mau berceramah lagi.
Akhirnya dia mau bangkit lagi, dan keluarga Zizi ingin melamar Syamsul.
Setelah berfikir-fikir, pada akhir cerita Syamsul menerima lamaran dari
Kiai Miftah kakak dari Zizi untuk melamar Zizi.
Dari rangkaian cerita tersebut, Habiburrahman El Shirazy ingin
memberikan gambaran mengenai orang yang mendapatkan fitnah dan
memiliki ketangguhan untuk tetap berjuang demi menata hidup di masa
depan tidak lah mudah, namun pada akhirnya lambat laun akan menuai
hasil.
Pengarang dalam novelnya Dalam Mihrab Cinta pada intinya ingin
mengungkapkan betapa hebat kebesaran Tuhan Yang Maha Esa terhadap
orang-orang yang dizalimi dan memiliki rasa optimis dalam dirinya. Selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
itu, novel ini menceritakan bahwa seseorang yang baik, sukses, tangguh,
optimis, tidak lupa dengan sang pencipta, dimanapun dan bagaimanapun
kondisi dia, tetap ingat dengan Tuhannya.
Tokoh Syamsul mengalami hal yang luar biasa dalam hidupnya,
baik untuk menjunjukkan ketaqwaan pada Tuhan nya, berbakti dengan
orangtuanya meskipun di awal cerita ia harus menentang kehendak
orangtuanya, dan juga tentang kisah percintaannya yang tidak perlu
mencari seorang yang akan didampinginya, melainkan ia dilamar oleh dua
perempuan yang parasnya cantik, pintar, dan rendah hati. Jika dikaitkan
dengan kehidupan sekarang ini, kebanyakan laki-laki yang melamar
perempuan, namun dalam novel ini menunjukkan bahwa tidak hanya laki-
laki yang boleh melamar, melainkan seorang perempuan pun pantas untuk
melamar seorang laki-laki.
b. Mengungkapkan kebenaran
Dengan novel ini, Habiburrahman El Shirazy mencoba
menguraikan pepatah yang sangat terkenal di tanah Jawa, yaitu: “Becik
ketitik ala kethara” yang berarti kebaikan akan tampak dan kejahatan akan
kelihatan. Habiburrahman El Shirazy juga mengajak para generasi muda
untuk optimis menatap masa depan.
3. Analisis Nilai Pendidikan
Dalam novel Dalam Mihrab Cinta ini terdapat nilai-nilai pendidikan
yang dapat kita jadikan sebagai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan
sehari-hari. Diantaranya nilai-nilai pendidikan tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Nilai Religius
Secara keseluruhan novel Dalam Mihrab Cinta ini syarat akan
nilai-nilai religius. Sikap yang ditunjukkan dalam tokoh utama Syamsul,
Kiai Miftah, Zizi selalu menunjukkan sikap hubungannya dengan Tuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
a. Ketaqwaan pada Tuhan
Sikap religius, tampak jelas pada diri Syamsul yang taat
menjalankan ibadah shalat secara berjamaah. Hal ini tampak pada
kutipan berikut:
Saat azan ashar berkumandang, syamsul keluar dari kamar
tempat ia istirahat. Ia ingin merasakan shalat berjamaah.
Masjid tua itu penuh oleh para santri. Semuanya laki-laki.
Seorang laki-laki muda berumur mendekati empat puluh tahun
memasuki masjid. Syamsul yakin itu adalah Kiai Miftah.
Seorang santri mengumandangkan iqamat. Shalat didirikan.
Selesai shalat, seluruh santri mengikuti zikir yang dipimpin
Kiai Miftah. (DMC: 38)
Tidak hanya itu saja, sikap dalam beribadah bisa ditunjukkan
dari kebiasaan Syamsul yang selalu beri‟tikaf dan membaca Al Quran
serta kitab-kitab lainnya.
Pagi itu selesai shalat subuh, Syamsul i‟tikaf di masjid
pesantren seperti biasa. Ia gunakan waktunya untuk ngaji Al-
Quran pada ustadz Abdul Manaf. Ada sebagian santri yang
beranggapan bahwa mendalami kitab kuning lebih penting
daripada memberbaiki bacaan Al-Quran. Ia merasa sudah bisa
membaca Al-Quran, maka itu sudah cukup. Tetapi ia
berpandangan lain, ia tidak merasa cukup dengan bisa
membaca Al-Quran saja. Tetapi ia harus bisa membaca Al-
Quran dengan benar. Tajwidnya harus benar, makharijul
hurufnya harus benar. Harus sedekat-dekatnya dengan bacaan
yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya. Maka ia
masih membengkeli bacaab Al-Qurannya pada seorang
penghafal Al-Quran dan guru utama membaca Al-Quran di
pesantren itu yaitu Ustadz Abdul Manaf. (DMC: 60-61)
Gambaran tentang sikap dan perilaku Syamsul sebagaimana
kutipan di atas merupakan bukti bahwa dalam diri Syamsul melekat
nilai-nilai religius atau nilai-nilai ketakwaan. Nilai religius atau nilai
ketakwaan merupakan sebuah keharusan bagi setiap muslim.
Sikap religius Syamsul juga ditunjukkan oleh perlakuan warga
terhadap dirinya, misalnya Syamsul sering di daulat menjadi imam
shalat di masjid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Adzan magrib dikumandangakan dan Syamsul kembali
didaulat menjadi imam. ... Setelah istiqhfar tiga kali untuk
menyucikan dan menyejukkan hati, barulah ia takbiratul
ikhram.
Di rekaat pertama ia membaca Asy-Syams dan di rakaat kedua
membaca Al-Zilzalah. Ia meneteskan air mata ketika membaca
membaca faman ya‟mal mitsqala dzarratin khairan yarah wa
man ya‟mal mitsqala dzarratin syarran yarah.
Selesai shalat dan zikir, Syamsul memberikan kultum. Ia
mengulas dua ayat terkahir surat Al- Zilzalah yang baru saja ia
baca. (DMC: 196-197)
b. Selalu mengingat Tuhan
Bahkan ketika Syamsul di fitnah mencuri oleh Burhan dan
dimasukkan ke dalam gudang. Syamsul tetap berzikir dan berdoa
kepada Allah. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
Di dalam gudang Syamsul terus menangis kepada Allah.
Mulutnya tiada henti berzikir menyebut kalimat Allah. Ia terus
berdoa layaknya Nabi Yunus berdoa, “La illaha illa anta
subhanaka inni kuntu minadz dzalimin.” (DMC: 80)
Nilai pendidikan atau pesan moral yang ditunjukkan dalam
alur di atas, merupakan bentuk entegrasi nilai pendidikan yang kuat.
Bahwasannya setiap manusia harus melakukan sikap beragama yang
baik, dalam hal ini Islam. Alur itu menunjukkan bentuk penyadaran
bahwa hal yang sifatnya profetik sangat penting untuk dipegang oleh
setiap orang. Siswa didik terutama jangan pernah lepas dari
keberadaan yang Khalik-sang pemilik segalanya, sang pemilik ilmu.
2. Nilai Sosial
a. Tolong menolong
Tolong menolong merupakan nilai edukatif yang patut
dikembangkan mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
pasti membutuhkan interaksi dan bantuan orang lain. Bila tidak saling
tolong menolong, maka roda kehidupan manusia akan terhenti seketika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Sikap suka menolong akan membuahkan sifat terpuji lain, misalnya
mampu menghargai dan menghormati orang lain, santun dan
sebagainya.
Novel Dalam Mihrab Cinta juga memuat nilai tolong menolong
yakni:
Nadia masuk ke kamarnya membawa peralatan P3K. Ia
bersihkan luka-luka kakaknya dengan air mineral, lalu dengan
rivanol. Setelah itu ia oleskan betadine. (DMC: 90)
Juga terdapat dalam narasi di bawah ini:
“Tunggu agaknya aku kenal dengan lelaki ini.” Katanya. Ia
amati dengan seksama, “Benar. Ini si bajingan Burhan itu. O
jadi ini pacar atau calon isterinya yang lain..... Ia tersenyum. Ia
penasaran. Ia lihat KTP cewek itu. “Ini saatnya perhitunganku
berlaku.” Ia ingat Burhan sudah serius dengan Damayanti.
Santriwati dari Tulungagung. Putri seorang kepala KUA.
“Burhan ini benar-benar buaya! Benar-benar playboy busuk!
Tidak bisa dibiarkan! Ini harus dihentikan!” (DMC: 130)
b. Menyadari keterbatasan diri
Yang dimaksud dengan menyadari keterbatasan diri adalah
mengakui kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Dengan menyadari
keterbatasan diri, manusia tidak merasa sombong. Namun juga bukan
berarti membuatnya merasa kecil hati. Namun berusaha untuk mencari
cara mengurangi kelemahan tersebut, sebagaimana terlihat dalam
kutipan berikut:
Air mata Syamsul meleleh. Syamsul diam saja. Ia merasa tak
ada gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuanya jika
sampai di rumah nanti……. (DMC: 82)
Juga narasi dibawah ini :
Mendengar hal itu semua yang ada di ruangan itu tersentak
kaget. Pak Bambang kaget..... sementara Kiai Miftah kelihatan
masih shock. Wajahnya mulai ragu. Ia khawatir jangan-jangan
kebijaksanaannya sama sekali tidak bijaksana atau malah sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
sekali salah. Dalam hati Kiai Miftah meminta ampun kepada
Allah jika ternyata keputusannya salah. (DMC: 83)
c. Musyawarah
Dalam mencari suatu keputusan alangkah baiknya keputusan itu
dicari dengan cara bermusyawarah. Karena dengan bermusyawarah
suatu masalah akan cepat terselesaikan. Narasi yang terkait dengan ini
adalah
“Baiklah, semuanya lebih jelas. Untuk memutuskan siapa yang
sesungguhnya harus dihukum, silakan pengurus bermusyawarah.
Dan sekalian tentukan hukuman yang paling bijak.” Kata Pak
Kiai sambil memandang wajah para pengurus. Lalu beliau pergi.
(DMC: 78)
3. Nilai Moral
Moral adalah perbuatan/ tingkah laku/ ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima
serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral juga dapat
diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman,
tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
a. Kejujuran
Dalam novel ini, adanya sifat kejujuran ditunjukkan oleh tokoh
Syamsul yang bersifat terbalik dengan tokoh Burhan. Kejujuran yang
dilakukan Syamsul bisa dilihat ketika dia menempuh keinginannya
untuk nyantri. Meski bertentangan dengan keinginan keluarganya. Dia
membuktikannya dengan penuh tanggung jawab. Dia berusaha terus
belajar di pesantren dan tergolong berhasil. Terlihat dalam kutipan
berikut:
Syamsul belajar dua kali lebih tekun dari para santri Al Furqan
pada umumnya. Setiap hari ia ia hanya tidur dua jam saja.
Yaitu dari jam dua sampai jam empat. Selebihnya ia gunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
untuk belajar. Dengan tekun Ayub membantu membimbingnya.
Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Dalam waktu dua
bulan setengah, ia telah menguasai materi kelas Safinatun
Najah dengan sangat baik. Materi kitab Jutumiyah ia kuasai
dengan detil sekali. Ayub bahkan memberikan detil dari kitab
Nahwu yang lebih tinggi tingkatnya. (DMC: 51)
Selanjutnya nilai pendidikan yang disampaikan dari novel ini
adalah dengan kejujuran kita tidak usah takut membuktikan kebenaran.
Hal ini bisa dilihat dari sikap Syamsul yang jujur mempertahankan
kejujurannya dari tuduhan fitnah yang dilakukan Burhan.
Syamsul berkata jujur dan bersumpah atas nama Tuhan demi
mempertahankan kejujurannya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
“Benarkah kau membuka lemari Burhan?” Tanya Pak Kiai
pelan.
“Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri.”
“Lantas untuk apa?!!” Bentak Ketua Bagian Keamanan garang.
“Karena saya diminta untuk mengambilkan dompet oleh
Burhan Pak Kiai.” (DMC: 75-76)
Sikap jujur Syamsul ditunjukkan ketika ia diminta untuk
bersumpah dihadapan Pimpinan Pesantren Al Furqan, yaitu Kiai
Miftah.
“Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya
tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan
dompetnya ia berjanji akan mentraktir saya setelah
mengantarnya pergi ke dokter Pak Kiai. Biarlah seluruh laknat
Allah menimpa saya jika saya berdusta!” (DMC: 77-78)
Kutipan lain yang munjukkan sikat jujur Syamsul diperlihatkan
ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini tampak pada
kutipan berikut:
“Sejak awal saya sudah sangat percaya kepada Ustadz
Syamsul. Saya yakin Ustadz adalah orang baik. Tidak ada
tanda-tanda dari wajah Ustadz, kalau Ustadz ini seorang
penilep, pencuri atau sejenisnya. Saya melihat wajah yang takut
kepada Allah pada wajah uatadz. Dan orang yang takut kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Allah, tidak akan berbuat zalim. Karenanya saya percayakan
uang ini pada Ustadz.” (DMC: 149-150)
Dari ikutipan di atas, tampak pengakuan kepercayaan yang
tinggi pada diri Syamsul yang disampaikan langsung padanya.
Kepercayaan yang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat terhadap
Syamsul merupakan buah dari kejujuran dan keshalehan dirinya.
Kejujuran akan mendatangkan kebaikan dan ketidakjujuran/
kebohongan akan mendatangkan petaka dan kehancuran.
b. Kedisiplinan
Budaya disiplin menjadi barang langka sekarang ini.
Dibutuhkan kesadaran bersama untuk membiasakan hidup disiplin ini.
Kesadaran itu bisa lahir dari sebuah gagasan yang mencerahkan,
menginspirasi, memotivasi, dan mengunggah kesadaran kolektif
bangsa dan negara. Salah satu bentuk penyadaran tersebut bisa lahir
dari sebuah karya sastra. Karena karya sastra merupakan media bagi
sastrawan dalam menyikapi persoalan-persoalan kemanusiaan.
Perilaku disiplin atau atas asas ini tersermin dalam perilaku
tokoh Syamsul dalam menjalani kehidupannya. Hal tersebut terlihat
pada kutipan berikut:
Rumus itulah yang kini ia terapkan untuk mengejar
ketertinggalannya di pesantren itu. Ia sudah menanamkan
dalam pikiran bahwa sadarnya bahwa di pesantren ini bukan
saatnya menikmati hidup. Bukan saatnya santai dan berleha-
leha. Tetapi ini adalah saatnya prihatin, mengurangi tidur dan
makan. Ini adalah saatnya memperbanyak ibadah dan belajar.
Seringkali ia mnenyesali dirinya sendiri apabila ia kehilangan
satu jam waktunya untuk tidur. Satu jam itu semestinya bisa ia
gunakan untuk menghafal dua kaidah fikih, atau dua ayat dari
Al-Quran. Kenapa ia buang begitu saja dengan tidur. (DMC:
60)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Peristiwa lain yang mencerminkan sikap disiplin terlihat dalam
kutipan berikut:
Selesai mengaji Al-Quran, biasanya ia sambung dengan
menghafal pelajaran yang harus ia hafal. Ia akan terus di masjid
sampai waktu dhuha tiba. Ia shalat dhuha lalu bergegas untuk
sarapan dan menyegerakan diri ke kelas untuk mengikuti
pelajaran. Ia membiasakan mandi pagi sebelum azan subuh
berkumandang. Saat ini kamar mandi masih banyak yang
kosong jadi tidak perlu antre. (DMC: 61)
Dari kutipan di atas tokoh Syamsul dalam novel Dalam Mihrab
Cinta membuktikan bahwa kedisiplinannya sebagai hamba Allah.
Meskipun dia mendapat cobaan yang berat telah difitnah dan diusir
dari pesantren, setelah di Jakarta dia tetap disiplin belajar. Dia menjadi
guru ngaji dan setelah kehidupannya berangsur baik dan
berpenghasilan dia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Syamsul disiplin proses belajarnya, spiritualitas keinginannya untuk
menjadi „sesuatu‟ dibuktikan dengan baik.
Dengan kedisiplinan yang keras ikhtiar yang kuat, segalanya
pasti akan terealisasikan dengan keberhasilan yang baik. Syamsul
menjadi mubaligh besar, dia konsisten dengan keinginannya sehingga
dia bisa lebih professional.
Semangat-semangat seperti inilah yang harus dikembangkan
baik oleh pendidik maupun peserta didik. Terutama peserta didik harus
selalu bersikap tanggung jawab, demi meraih cita-citanya yang ke
depan akan menjadi „Syamsul-Syamsul‟ yang baru.
c. Kerja keras
Sikap kerja keras dalam mencari ilmu merupakan faktor yang
dapat membawa kita kea arah keberhasilan. Sikap kerja keras dalam
belajar harus dilakukan oleh peserta didik. Novel Dalam Mihrab Cinta
ini, Syamsul menjadi contoh yang tepat dalam menginternalisasikan
nilai kerja keras ke dalam pola hidupnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Syamsul terus belajar keras. Siang ia jadikan malam. Malam ia
jadikan siang. Hampir-hampir ia tidak kenal hari dan bulan.
Siang malam ia terus menerus belajar. Ia bahkan lupa
memperhatikan dirinya. Rambutnya semakin panjang,
tubuhnya semakin kurus. Tetapi ia merasakan kebahagiaan dan
kelapangan. Baginya perjuangan penuh tantangan seperti itu
benar-benar suatu kenikmatan.
Baru enam bulan di pesantren itu, ia sudah khatam Kitab
Fathul Qarib. Dan bahkan bisa membaca dan memahami kitab
Fathul Qarib dengan cukup baik. Kini ia mulai menabung
hafalan Matan Alfiyyah Ibnu Malik. Sebab untuk masuk kelas
Alfiyyah, disyaratkan harus hafal Matan Alfiyyah yang
berjumlah seribu bait itu. (DMC: 54)
Hal yang sama juga terlihat dalam kutipan berikut:
Syamsul belajar dua kali lebih tekun dari pasa santri Al Furqan
pada umumnya. Setiap hari ia hanya tidur dua jam saja. Yaitu
dari jam dua sampai jam empat. Selebihnya ia gunakan untuk
belajar. Dengan tekun Ayub membantu membimbingnya.
Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Dalam waktu dua
bulan setengah, ia telah menguasai materi kelas Safinatun
Najah dengan sangat baik. Materi kitab Jurumiyyah ia kuasai
dengan detil sekali. Ayub bahkan memberikan detil dari kitab
Nahwu yang lebih tinggi tingkatannya. (DMC: 51)
Rumus itulah yang kini ia terapkan untuk mengejar
ketertinggalannya di pesantren itu. Ia sudah menanamkan
dalam pikiran bahwa sadarnya bahwa di pesantren ini bukan
saatnya menikmati hidup. Bukan saatnya santai dan berleha-
leha. Tetapi ini adalah saatnya prihatin, mengurangi tidur dan
makan. Ini adalah saatnya memperbanyak ibadah dan belajar.
Seringkali ia mnenyesali dirinya sendiri apabila ia kehilangan
satu jam waktunya untuk tidur. Satu jam itu semestinya bisa ia
gunakan untuk menghafal dua kaidah fikih, atau dua ayat dari
Al-Quran. Kenapa ia buang begitu saja dengan tidur. (DMC:
60)
Nilai kerja keras ini, sebenarnya saling berkesinambungan
dengan nilai disiplin. Kerja keras merupakan aplikasi dari nilai
kedisiplinan seseorang. Kerja keras yang dilakukan Syamsul dalam
novel ini, menjadi bukti „nyata‟ bahwa dirinya bisa menjadi prang
besar, menjadi mubaligh terkenal yang dicintai oleh masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Sejak Syamsul mengisi ceramah dengan sangat mengesankan
di Masjid Baitul Makmur, Villa Gracia, namanya mulai banyak
dibicarakan orang terutama dikalangan ibu-ibu majelis taklim.
Promosi dari mulut ke mulut membuat Syamsul nyaris
kewelahan memenuhi undangan yang terus berdatangan dating.
(DMC: 211)
Representasi Syamsul dalam novel ini, merupakan bentuk
aplikasi juga dari nilai pendidikan. Dalam mengatasi berbagai
hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya merupakan tindakan/ perilaku yang harus
ditumbuhkembangkan dalam pribadi siswa.
d. Kreatif
Manusia kreatif adalah manusia yang mampu berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki. Manusia yang melahirkan ide-ide inovatif
dan berguna baik bagi dirinya maupun untuk kemaslahatan bersama.
Kemaslahatan bagi diri sendiri maupun kemaslahatan bersama
merupakan pendorong sekaligus tujuan dalam berkreasi. Tentunya,
ketulusan dan keikhlasan selalu mengisi kreatifitasnya. Hal ini tampak
pada kutipan berikut:
Syamsul kini memiliki kesibukan yang menghidupi jiwanya. Ia
mulai menata hidupnya. Seminggu empat kali ia mengajar
Della. Sejak itu ia beberapa pergi pergi ke took buku untuk
membeli beberapa buku cerita anak Islami. Dongeng-dongeng
anak. Buku-buku permainan anak. Juga psikologi anak.
Syamsul berusaha sebisa mngkin menjadikan Della keranjingan
mengaji. Tempat ngajinya tidak melulu di ruang belajar Della.
Kadang di ruang tamu. Kadang di taman. Kadang di masjid.
Bahkan terkadang ia ajak jalan memakai sepeda motor dan
mencari daerah yang enak untuk mengaji. (DMC: 148)
Sikap kreatif merupakan sikap yang harus dibudayakan dalam
menghadapi kehidupan yang semakin komplek. Kreativitas itu bisa
diterapkan dalam berbagai hal. Berdasarkan kutipan di atas, kreativitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
itu dimunculkan dalam proses pembelajaran. Seorang guru misalnya
harus pandai mencari cara dan terobosan dalam mengelola proses
pembelajaran, mulai dari metode, pendekatan, media, mencari ruang
atau lingkungan tempat belajar, dan lain-lain.
e. Kemandirian
Kemandirian merupakan perilaku yang sangat mulia dan sangat
dibutuhkan terlebih sekarang ini kita hidup di dunia penuh dengan
kompetitif. Kemandirian itu bisa diterapkan di berbagai bidang. Salah
satunya di bidang pendidikan. Nilai kemandirian dalam upaya mencari
ilmu, belajar. Ilustrasi mengenai hal tersebut bisa dilihat pada kutipan
berikut:
… Selain mengajar Della, Syamsul mulai mendapat tawaran
mengajar anak yang lain. Ia merasa bisa hidup mandiri dengan
uang yang halal. Saat ia merasa ada uang lebih ia langsung
menabung. Dan untuk menambah ilmu serta menguatkan
statusnya, Syamsul masuk kuliah di sebuah Sekolah Tinggi
Agama Islam swasta. Dengan begitu statusnya adalah
mahasiswa. Ia juga berani kredit sepeda motor. Karena tanpa
sepeda motor ia tidak bisa ke mana-mana. (DMC: 149)
Sedangkan pada kutipan lain sebagai berikut:
“Ini kamu nyewa, Nak?” Tanya Bu Bambang sambil
mengedarkan pandangannya melihat suasana ruang tamu
rumah Syamsul yang nampak anggun dan elegan.
“Alhamdulillah ini sudah jadi milik Syamsul Bu. Sudah
Syamsul beli. Dengan uang halal.” Jawab Syamsul sambil
tersenyum. (DMC: 227)
Dengan memiliki jiwa yang mandiri akan mampu menjalani
hidup dengan penuh tanggung jawab, terencana dan disiplin.
Kemandirian adalah kunci meraih sukses. Dengan kemandirian pula
seseorang akan tidak mudah bergantung pada orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
f. Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu merupakan sikap yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar. Denganb memiliki rasa ingin tahu yang tingii diharapkan
dapat memotivasi dirinya untuk berbuat dan berusaha dengan daya
juang yang tinggi. Sikap seperti ini tampak jelas dalam kutipan
berikut:
Syamsul belajar dua kali lebih tekun dari pasa santri Al Furqan
pada umumnya. Setiap hari ia hanya tidur dua jam saja. Yaitu
dari jam dua sampai jam empat. Selebihnya ia gunakan untuk
belajar. Dengan tekun Ayub membantu membimbingnya.
Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Dalam waktu dua
bulan setengah, ia telah menguasai materi kelas Safinatun
Najah dengan sangat baik. Materi kitab Jurumiyyah ia kuasai
dengan detil sekali. Ayub bahkan memberikan detil dari kitab
Nahwu yang lebih tinggi tingkatannya. (DMC: 51)
Rasa ingin tahu juga Syamsul tunjukan dengan cara berdiskusi
dan bertanya dengan teman sekamarnya.
“Iya Mas. Saya mau tanya sedikit tentang persoalan fikih
boleh?”
“O boleh.”
“Jika orang lupa membaca tasyahud awal, dia harus sujud
sahwi. Benarkan Mas?”
“Ya benar. Rasulullah Saw. pernah lupa melakukannya, lalu
beliau sujud sahwi sebelum salam.”
“Lha sekarang begini Mas. Kalau orang yang shalat itu lupa
membaca tsyahud awal, dan ia baru ingat setelah salam.
Apakah boleh sujud sahwi setelah salam?”
“Ya boleh. Orang itu boleh melakukan sujud shawi setelah
salam dengan syarat ia benar-benar lupa dan waktunya tidak
begitu lama. Keterangan ini bisa kamu lihat di kitab Minhajul
Qawim, halaman 61. (DMC: 53)
Selain tekun ia juga kritis. Ia sering menanyakan banyak
persoalan kepada santri yang lebih senior. Khususnya kepada
Ayub. Sekali dua kali Ayub kewelahan juga menjawab
pertanyaan Syamsul. Terutama jika berhubungan dengan fikihg
kontemporer. (DMC: 60)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Rasa ingin tahu yang tinggi, semangat belajar tinggi, dan haus
akan ilmu pengetahuan mendorong Syamsul untuk mengurangi jatah
tidur setiap hari. Di dalam diri Syamsul terpatri sebuah keyakinan
bahwa keberhasilan dalam belajar dan meraih ilmu hanya bisa
ditempuh dengan kesungguhan, rasa ingin tahu dan ketekunan.
Ia yakin bahwa ilmu bisa diraih dan ditundukkan dengan
ketekunan, kerajinan, keistiqamahan, dan kepasrahan total
kepada Allah Swt. (DMC: 55)
Sebagai manusia yang dibekali akal sejatinya akal itu
digunakan untuk memenuhi rasa keingintahuan yang dimiliki manusia/
individu dalam kehidupannya. Rasa ingin tahu yang dimkasud adalah
rasa ingin tahu yang positif, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu
pengetahuan umum.
g. Rasa cinta damai
Cinta damai adalah sebuah pilihan sikap yang tidak bisa di
tawar-tawar lagi di tengah suasana kehidupan yang rentan terhadap
konflik, baik pada tingkat lokal maupun nasional bahkan global. Indah
rasanya dunia ini apabila dihiasi dengan suasana cinta dan damai
sebagaimana terdapat pada kutipan berikut:
Gang itu, perkampungan itu terasa menentramkan baginya.
Setiap kali memasuki gang itu, seletih apapun tubuhnya, ia
merasakan pelan-pelan sirna. Itu karena ia telah mencintai gang
itu, apalagi ia kini punya rumah sendiri di situ. Dan ia merasa
bisa hidup lebih seperti sekarang karena ia diterima, dicintai
dan dimotivasi oleh orang-orang yang ada di gang itu.
Syamsul mengendarai motornya pelan-pelan. Seorang ibu
setengah baya berjalan kaki hendak ke jalan raya. Sebelum
Syamsul menyapa, ibu itu telah mendahului,
“Sudah pulang Ustadz?
Syamsul menghentikan motornya.
“Iya Bu. Mau kemana Bu? Saya antar?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Ibu itu tersenyum.”Nggak usah, ibu Cuma mau ke minimarket
di depan sana. Dari kuliah ya Ustadz?
“Iya Bu.”
“Hari ini kuliah selesai jam satu. Dan nanti habis ashar kan
saya harus ngajar anak-anak ngajdi di masjid.”
“Iya Ustadz. Semoga diberkahi Allah ya ustadz. Mari.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Mari Bu. Silakan.” (DMC: 221-222)
Suasana yang tergambarkan dari kutipan novel tersebut adalah
suasana yang kehidupan yang penuh rasa cinta dan kedamaian. Rasa
cinta damai yang tidak mencerminkan sebuah ketulusan,
penghormatan, dan perhatian diantara sesama. Disinilah hakikatnya
makna dari hidup bersama bisa dirasakan. Makna hidup yang
harmonis, penuh ketenangan, penghargaan, dan penghormatan diantara
sesama.
h. Tanggung jawab
Dalam novel Dalam Mihrab Cinta, sikap tanggung ditunjukan
oleh perilaku tokoh Syamsul sebagaimana tampak dalam kutipan
berikut:
“Kalau tidak ada Mas, mungkin saya udah dilukai penjahat
tadi. Atau mungkin nyawa saya bisa melayang. Saya berhutang
budi pada Mas. Terimakasih ya Mas?” Ucap gadis itu dengan
muka menunduk.
“Sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegah terjadinya
kejahatan Mbak.” (DMC: 20)
Syamsul juga tidak pernah lari dari tanggung jawab yang sudah
ia putuskan atau tetapkan.
“Ini Ustadz sebagai tanda terimakasih. Saya ingin memberikan
hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini dibidang travel.
Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan
akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini.”
Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia teringat dengan
program Ramadhan untuk remaja masjib yang telah ia rancang
bersama Pak Abbas. Ia tidak mau meninggalkannya. Dengan
hati berat ia menjawab,
“Bukannya saya menolak Bu. Sungguh saya ingin umroh.
Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab penuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan tempat
saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa.” (DMC: 177)
Dalam kutipan tersebut, jelas sekali sikap dan kepribadian
Syasmul yang menolak tawaran hadiah dari keluarga Pak Broto untuk
melaksanakan ibadah Umroh. Penolakan tersebut dikarenakan
Syamsul sudah terikat dengan sebuah tanggung jawab dan kewajiban
yang sudah ia putuskan, yaitu kegiatan Ramadhan dengan remaja
masjid. Syamsul ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan lari dari
tanggung jawab yang sudah ia pilih. Alangkah indahnya hidup ini
apabila nilai tanggung jawab menjadi sikap dan perilaku nyata dalam
kehidupan kita sehari-hari. Bukan sebaliknya, yang terjadi dan sering
kita saksikan bersama adalah perilaku saling lempar tanggung jawab,
baik pada tataran elit politik maupun masyarakat pada umumnya.
d. Sigap menghadapi masalah
Sigap menghadapi masalah menunjukkan tingkat kepekaan yang
tinggi terhadap realitas dan mampu menyikapinya dengan cara yang
tepat. Sikap ini merupakan bentuk nilai edukatif yang biasa dimiliki
masyarakat paguyuban yang cenderung lebih peduli terhadap
lingkungan dibandingkan masyarakat patembayan yang individualis.
Dua kutipan di bawah ini merupakan implementasi nilai
tersebut:
Syamsul langsung berjalan cepat ke arah sepeda motornya. Ia
pura-pura sibuk. Ia nyalakan sepeda motornya…. Sementara
Burhan masih dibakar amarah dan cemburu. Ia ingin cepat-cepat
sampai ke rumah Pak Heru. Dan melampiaskan amarahnya
kepada Silvie. Ia ingin menanyakan apa yang disampaikan pada
Syamsul itu.”Awas kau Silvie!” (DMC: 200)
Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian itu
sungguh tidak diduga. Burhan kembali ingin menghajar Silvie.
Namun Mas Budi cepat bertindak. Ia segera mengatasi Burhan.
Burhan melawan, tapi Mas Budi yang jago karate itu dengan
mudah melumpuhkannya. (DMC: 203)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
e. Prinsip keadilan
Dalam novel “Dalam Mihrab Cinta” kaya akan prinsip keadilan.
Terutama terkait dengan keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman.
Namun, keadilan yang sesungguhnya tidak hanya dalam hal
menjatuhkan hukuman, tapi juga dalam memberikan tanggungjawab
dan hak. Seperti pada kutipan berikut:
Sore itu juga Syamsul diambil dari gudang. Di halaman pondok
telah disiapkan kursi yang diletakkan ditengah garis melingkar.
Syamsul digiring dan didudukkan di kursi itu. Para santri
menyaksikan eksekusi penggundulan itu dari luar garis. Bagian
keamanan membacakan hasil keputusan. (DMC: 79)
Kutipan di bawah ini, contoh seseorang agar mendapatkan
keadilan:
Tiba-tiba Syamsul menegakkan kepalanya dan menentang
tatapan Kiai Miftah yang lembut. Dia bicara dengan penuh rasa
sakit hati yang mendalam
“Pak Kiai, Panjenengan belum melakukan tabayun yang
sesungguhnya pada saya.” Ia lalu memandangi wajah pengurus
yang ada di ruangan itu satu per satu, “Kalian memutuskan
hukuman untuk saya dengan semena-mena. Ini kezaliman!
Suatu saat kalian akan tahu siapa sebenarnya rayap itu. Saya tak
akan memaafkan dosa Pak Kiai dan dosa kalian sebelum kalian
mencium kaki saya.” (DMC: 82-83)
f. Larangan memfitnah
Memfitnah merupakan perbuatan yang sangat keji dalam
kehidupan bermasyarakat. Karena terfitnah seseorang bisa hancur.
Perbuatan fitnah ini oleh agama sangat dilarang karena fitnah lebih
kejam dari pembunuhan. Dan perbuatan tersebut terdapat pada kutipan
di bawah ini:
“Burhan, kaulah bajingan paling jahat! Kau tega memfitnah
temanmu! Ingat Burhan, Allah tidak tuli!Allah tidak tidur!”
(DMC: 79)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Dan dikuatkan oleh narasi:
“O yang berambut gondrong itu namanya Syamsul. Yang disel
bukan dia. Aduh kalau teringat dia kami jadi merasa sangat
berdosa. Dia korban fitnah. Kami masih ceroboh dulu. Yang
dipenjara itu Burhan.” (DMC: 174)
g. Berprasangka baik (Husnudzon)
Berprasangka baik merupakan perbuatan yang sangat terpuji,
bahkan agamapun menyuruh kita untuk berprasangka baik kepada
orang lain. Sebagaimana tertuang dalam kutipan berikut :
Syamsul berharap Burhan mau menjelaskan semuanya. Namun
dalam hati ia bertanya-tanya, Burhan tahu kalau dirinya
tertangkap kenapa tidak menjelaskan semuanya. Apa karena
Burhan takut pada amarah para santri atau….? Ia tidak bisa
banyak memprediksi…… (DMC: 76)
Juga dalam narasi:
“Saya yakin copet itu bukan Kak Syamsul. Itu orang lain yang
mirip Kak Syamsul,”kata Nadia. (DMC: 107)
h. Bersikap optimis, tidak putus asa
“Janganlah kalian berputus asa!” Demikian nasehat Allah dalam
Al Qur‟an. Orang yang cepat berputus asa cenderung kurang berjuang,
pesimis, skeptis dan memandang kehidupan adalah sebagai ladang
kesusahan. Sebaliknya, sikap optimis akan membangkitkan gairah
hidup, semangat juang, keceriaan juga keteguhan hati. Demikian
dipaparkan dalam kutipan berikut:
“Sudahlah, Mas. Jangan bahas itu lagi. Yang penting kakak
sembuh dulu. Nadia akan rawat kakak. Kakak jangan kecil hati,
selama Allah bersama kakak, maka kakak jangan takut bahwa
semua manusia memusuhi kakak.” (DMC: 91)
Juga kutipan berikut:
Ia melihat cafe di pinggir jalan Payung yang asri. Cafe itu baru
saja buka. Beberapa pegawainya nampak sibuk membersihkan
meja. Syamsul masuk dan menemui manajer cafe itu. Ia
menyampaikan maksudnya untuk bisa kerja disitu.... manajer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
cafe itu dengan halus menjelaskan bahwa cafe itu tidak
memerlukan tenaga baru. Syamsul keluar dengan muka sedikit
kecewa. Tetapi ia segera membesarkan hatinya bahwa itu baru
permulaan. Baru pemanasan. Kalau langsung diterima rasanya
kurang ada tantangan. Ia kembali ke jalan raya. Ia naik angkot
dan sepanjang perjalanan matanya begitu jeli mengawasi tempat
yang memungkinkan ia bisa kerja. (DMC: 126)
i. Menepati janji
Menepati janji merupakan salah satu faktor moral terpenting
bagi keberhasilan seseorang dalam masyarakatnya. Banyak ayat dan
hadits yang mendorong manusia untuk mengembangkan sikap ini dan
menunjukkan bahwa sikap ini merupakan salah satu dari tanda-tanda
iman. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
Sore hari berikutnya, Syamsul kembali ke Perumahan Villa
Gracia. Ia datang untuk dua agenda. Pertama, untuk mengajar
Della dan yang kedua untuk menemui Pak Doddy berkenaan
dengan ceramah pagi di stasiun swast. Seperti biasa selesai
mengajar Della Syamsul menunggu di masjid. Sebab janji
dengan Pak Doddy adalah selepas shalat Isya. (DMC: 195)
Dikuatkan oleh kutipan berikut:
Syamsul langsung berjalan cepat kearah sepeda motornya. Ia
pura-pura sibuk. Ia nyalakan sepeda motornya. Sampai di jalan
ia teringat janji dengan Pak Doddy setelah Isya‟. Ia berpikir
langsung saja ke rumah Pak Doddy…. (DMC: 200)
j. Dermawan
Muslim sejati yang tulus adalah muslim yang berusaha
mengikuti ajaran-ajaran agamanya, seperti kedermawanan dan berusaha
melakukan kebaikan kepada anggota masyarakatnya. Ketika ia
membelanjakan hartanya, ia melakukannya dengan kemurahan hatinya
dan ia percaya bahwa Allah akan menggantinya dengan anugerah dan
menambah pahala atas apapun yang dibelanjakan dari kekayaannya di
dunia. Seperti tercermin dalam kutipan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Dik Silvie, maaf dompetnya saya pinjam agak lama. Sekali lagi
maaf ya. Ini saya kembalikan tidak ada yang kurang malah
uangnya saya tambahi lima puluh ribu. Anggap saja itu sedekah
saya. Saya berharap dengan sedekah pada orang kaya seperti
anda tetap dapat pahala. Terima kasih dompet Anda telah
menolong saya. (DMC: 182)
4. Nilai Estetis
Setiap karya sastra yang memiliki nilai estetis dapat dijadikan
sumber pengajaran untuk mengenalkan keindahan pada karya sastra.
Membaca karya sastra, pembaca akan menemukan keindahan, dalam
setiap gaya bahasa ataupun diksi yang ditulis. Keindahan tersebut dapat
berupa fisik artinya yang dapat dilihat dan dirasakan pancaindra maupun
keindahan abstrak misalnya, hubungan persaudaraan, persahabatan,
ataupun romantisme.
Novel ini memiliki beberapa nilai estetis. Pengarang menggunakan
diksi yang merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi, diantaranya:
a. Pemilihan kata dalam istilah, terlihat pada judul novel ini
Novel ini berjudul Dalam Mihrab Cinta, Mihrab yang berarti
bahwa mimbar/ tempat untuk menyampaikan ceramah atau tausiyah.
Jadi disini terlihat bahwa pengarang ingin menceritakan bagaimana
seseorang dalam kecintaan atau ketaqwaannya terhadap sang pencipta
dalam keadaan apapun dan dimanapun ia berada.
b. Pemilihan kata/ diksi dengan campuran bahasa daerah, yaitu bahasa
Jawa, terlihat pada kutipan berikut:
“Tenang mbak. Ojo wedi! Jangan takut.” Walaupun rambut saya
gondrong, insya Allah saya bukan orang jahat.” Kata pemuda itu
ramah. (DMC: 5)
Kutipan lain yang menggunakan campuran bahasa jawa, sebagai
berikut:
“Dengarkan baik-baik Bur. Kalau mau jadi penjahat sukses,
kamu harus punya mental dan berani nekat! Tidak boleh
setengah-setengah. Sekalian jadi penjahat besar. Kalau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
ketangkep, rasanya sama. Podho-podho dihakimi massa.
Iya tooo?!
Napi yang muda langsung menukas,
“Benjote yo podho…larane yo podho…!”(DMC: 109)
“Hei ari-arine Neng Nur Fadhilah mereneo. Aku wis nunggu
sliranmu!” Kata Ayub setengah berbisik. Ia yakin Burhan
mendengarnya. (DMC: 161)
c. Nilai estetis secara abstrak berhubungan dengan kasih sayang atau
romantisme, seperti pada kutipan berikut:
Saat ia mengutarakan niatnya ke pesantren, ayah dan kedua
kakaknya terang-terangan tidak setuju. Tetapi ibu dan adik
perempuan satu-satunya mendukungnya.
“Kalian itu kok berpikiran buruk seperti itu. Ibumu ini dulu juga
pernah nyantri di Kaliwungu Kendal, pernah hidup di pesantren
lho..... kalau adikmu ini mau ke pesantren malah bagus. Di
antara anggota keluarga ini nanti ada yang benar-benar ngerti
agama.” (DMC: 13)
Seorang ibu yang sayang terhadap anaknya, yang senantiasa
mendukung apapun pilihan anaknya jika itu baik maka seorang ibu
yang sayang dengan tulus maka akan meridhoi keputusan anaknya.
Karena dengan restu atau dukungan seorang ibu akan meyakinkan
setiap ia akan langkah tanpa keraguan.
Kutipan lain yang menujukkan kasih sayang yang tulus antara
anak dan orangtuanya sekalipun sudah tiada. Seperti terlihat pada
kutipan berikut:
Ada rasa sejuk luar biasa mengalir ke dalam dada Zizi.
Kepalanya kini terasa ringan. Perasaannya terasa lega. Zizi
mencium surat itu penuh dengan cinta seraya berkata lirih pada
dirinya sendiri,
“Zizi sagat sayang dan cinta pada Abah. Insya Allah Zizi akan
berusaha semaksimal mungkin melaksanakan wasiat Abah. Dan
Zizi akan berusaha untuk tidak mengecewakan Abah. Zizi akan
selalu kirim doa untuk Abah dan Ummi setiap kali selesai shalat.
Rabbiqfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayaani
shaghira. Amin.” (DMC: 32-33)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Terlihat ketulusan seorang anak yang berbakti pada orang
tuanya, senantiasa selalu mendoakan orang tuanya sekalipun mereka
telah tiada, dan bahkan tekadnya semakin kuat untuk tidak akan
mengecewakan Abah dan Umminya. Sebagai seorang anak tidak akan
melupakan mereka, karena merekalah yang telah begitu baik dan
menyayangi kita. Mereka tidak akan hilang, mereka akan tetap ada di
hati dan ingatan.
Kutipan lain yang menunjukkan seorang anak berbakti pada
orangtua dan saudara-saudaranya dalam keadaan apapun dan
dimanapun terlihat pada kutipan berikut:
Ia juga ingat keluarganya. Nadia pasti sangat bahagia
mendengarnya. Ibu dan ayahnya juga. Tidak tahu kedua
kakaknya. Namun ia tidak akan menelpon mereka. Ia akan
pulang jika telah sukses dan jadi orang, ia ingin membuktikan
bahwa dirinya bisa mandiri. Dan bisa berhasil. Namun tidak
memungkiri ia sangat rindu pada adiknya itu. Sore itu juga ia
memberi kabar kabar singkat pada adiknya lewat telepon....
(DMC: 176)
Kebanggaan dan kerinduan seorang ibu terhadap anaknya yang
selama ini pergi dan kini menjadi orang yang sukses. Terlihat pada
kutipan berikut:
Syamsul langsung lari menghambur memeluk kaki ibunya.
“Ibu...ampuni Syamsul Bu. Syamsul membuat ibu sedih dan
khawatir.” Kata Syamsul sambil terisak-isak. Bu Bambang tak
berkata-kata. Airmatanya deras mengalir. Tangan tuanya
mengusap-usap rambut Syamsul.
Airmata Bu Bambang terus mengalir. Perempuan tua itu meraih
tubuh anaknya, agar berdiri. Setelah Syamsul berdiri, ia ciumi
anak kandungnya dengan penuh kasih sayang. (DMC: 224-225)
Selain bentuk kasih sayang terhadap orang tua dan anak, ada
juga kesetiaan yang ditunjukkan salam persahabatan. Seperti terlihat
pada kutipan berikut:
Syamsul belajar dua kali lebih tekun dari para santri Al Furqan
pada umumnya. Setiap hari ia hanya tidur dua jam saja. Yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
dari jam dua sampai jam empat. Selebihnya ia gunakan untuk
belajar. Dengan tekun Ayub membantu membimbingnya.
Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Dalam waktu dua
bulan setengah, ia telah menguasai materi kelas Safinatun Najah
dengan sangat baik. Materi kitab Jurumuyyah ia kuasai dengan
detil sekali. Ayub bahkan memberikan detil dari kitab Nahwu
yang lebih tinggi tingkatannya. (DMC: 51)
Dari kutipan di atas dapat digambarkan bahwa kasih sayang
tidak selalu berbentuk baik, tetapi juga berbentuk tidak baik. Sebagian
masyarakat menganggap bahwa melukai hati orang yang disayangi
adalah salah satu bentuk kasih sayang. Seperti halnya Syamsul yang
pergi meninggalkan rumah demi mencari jalan hidupnya sendiri untuk
menunjukkan kepada orang tua, kakak-kakaknya, dan adik
perempuannya bahwa ia bisa menjadi orang sukses sekalipun tidak
menjadi seorang pengusaha. Sehingga dengan pilihannya itu, ia pergi
meninggalkan ibu dan adik perempuannya yang sayang ia sayangi.
Nilai estetis pada novel Dalam Mihrab Cinta, pengarang ingin
mengajarkan pada pembaca bahwa dalam karya sastra, gaya bahasa
sangat penting digunakan untuk memperindah suatu karya. Bentuk
kasih sayang itu bermacam-macam (baik atau buruk) antara ayah dan
ibu, kakak-kakaknya, adiknya, dan sahabatnya. Melukai hati
seseorang yang disayangi adalah bentuk dari kasih sayang, walaupun
bukan satu-satunya cara mengungkapkannya.
Nilai estetis itu bermacam-macam jenisnya, selain penggunaan
diksi dengan campuran bahasa jawa, penggunaan istilah dalam
penceritaan, terdapat juga nilai estetis yang bersifat abstrak yang
berhubungan dengan perasaan, romantisme, seperti apa yang sudah
dijelaskan di atas guna untuk memperindah bentuk kalimat dalam
pemilihan kata pada suatu cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Simpulan penelitian dari novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman
El Shirazy ini adalah sebagai berikut:
1. Unsur intrinsik pada novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy, didasarkan pada penokohan, alur, latar/ setting, tema, sudut pandang,
yaitu:
a. Pada novel ini, penokohan sangat beragam, ada tokoh utama, tokoh
protagonis, tokoh antagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh statis dan
berkembang, yaitu: tokoh utamanya adalah Syamsul, digambarkan sebagai
seorang yang bertubuh jangkung, kurus, dan gondrong, Syamsul adalah
orang yang memiliki sifat nekat dan tidak mudah putus asa, tapi terkadang
ia juga sering bimbang dengan pilihannya, ia adalah anak seorang
pengusaha Batik di Pekalongan. Tokoh protagonis adalah Zizi, digambarkan
seorang gadis cantik, santriwati, salehah, hafal Al Quran, dan seorang anak
dari pemilik pondok pesantren Al Furqan di Kediri, Zizi memiliki sifat yang
baik hati. Tokoh protagonis lainnya adalah Silvie, ia digambarkan juga
sebagai seorang yang cantik, mahasiswi ekonomi, dan anak dari seorang
pengusaha di bidang travel dan pariwisata, Silvie adalah orang yang
memiliki sifat baik hati namun juga keras kepala. Tokoh antagonis adalah
Burhan, digambarkan sebagai seorang yang memiliki sifat angkuh,
sombong, pilih-pilih teman, dan pintar mengambil hati orang. Tokoh
sederhana dan tokoh bulat adalah Ayub, yang digambarkan sebagai seorang
santri yang baik, pintar, rajin, penuh karisma, dan suka membantu, Ayub
adalah teman sekamar Syamsul di pesantren. Pak Broto digambarkan
sebagai seorang yang berbadan gemuk dan memiliki sifat baik hati dan
dermawan, Pak Heru adalah seorang yang bersifat pelit, namun akhirnya
baik, Pak Bambang adalah ayah dari Syamsul yang digambarkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
sifat pemarah dan bijak, ia seorang pemilik usaha Batik di Pekalongan,
petugas keamanan pesantren (Zaim) seorang yang ramah. Bu Bambang,
digambarkan sebagai perempuan tua yang memiliki sifat yang sabar, ia
adalah ibu dari Syamsul, isteri seorang pengusaha Batik. Nadia adalah adik
perempuan Syamsul yang memiliki sifat baik hati. Della adalah anak dari
pak Broto, yang digambarkan seorang gadis kecil yang memiliki sifat
periang. Dody Alpad seorang direktur Program sebuah stasiun TV swasta
yang memiliki sifat yang baik. Tokoh statis dan berkembang adalah Zizi,
Silvie, Burhan, Kiai Miftah, Syamsul. Kiai Miftah adalah pimpinan pondok
setelah Kiai Baejuri meninggal, ia digambarkan sebagai seorang yang adil,
tidak pernah marah, dan lembut, sedangkan Kiai Miftah seorang yang
ceroboh dalam bertindak.
b. Alur/ plot pada novel ini menggunakan alur maju atau awal-tengah-akhir.
Ceritanya berjalan begitu lurus, adapun pemenggalan cerita baru namun
cerita itu merupakan kesejajaran dari cerita-cerita sebelumnya tidak bersifat
mundur atau flash back.
c. Latar/ setting pada novel ini dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu
dan sosial. Latar tempat terjadi di stasiun kereta, pesantren Al Furqan,
rumah keluarga Syamsul di Pekalongan, gudang, kamar Syamsul, halaman
pondok, warung mie godog, Villa Gracia, wartel, rumah Silvie, kamar
Silvie, meja makan, teras rumah, auditorium pesantren Marabi‟ul Quran,
nama kota (Semarang, Jakarta, Ciputar, dsb), dan penjara. Latar waktu
menunjukkan pertanda seperti pagi, siang, malam, sore, waktu subuh, waktu
ashar waktu maghrib, bulan suci Ramadhan, dan bulan Syawal. Latar sosial
secara umum digambarkan dalam masyarakat Jawa, terlihat dari
keseluruhan cerita, yaitu Pekalongan, Kediri, Semarang, dan Jakarta sebagai
menjadi pengembang dari keberadaan latar sosial selanjutnya.
d. Sudut pandang pada novel ini berdasarkan alur, latar, penokohan tersebut,
pencerita menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” jenis mahatahu
dengan menggunakan dua penamaan. Sudut pandang persona ketiga yang
pertama, menggunakan nama tokoh utama, yaitu Syamsul sebagai pencerita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
dan sudut pandang persona kedua, dari beberapa peristiwa Syamsul diganti
menjadi “ia” sebagai pencerita. Dari sudut pandang mahatahu ini, pola
penceritaan menjadi lebih jelas sebab tidak ada batasan cerita yang
dipenggal. Artinya, cerita dikisahkan sesuai dengan keterlibatan si tokoh
utama tersebut. “dia” mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan
tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi. Bisa dikatakan
pengarang dalam membuat sudut pandang tidak konsisten, karena dilihat
dari cerita akan membingungkan persona “ia” menjadi tidak jelas, ia
merujuk ke mana. Meskipun kalau dirunut dari peristiwa dari novel ini
persona „ia‟ pada awal cerita ini merujuk pada tokoh Syamsul.
e. Novel Dalam Mihrab Cinta mengangkat tema tentang perjalanan hidup dan
lika-liku kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang (Syamsul), selain itu
juga tentang percintaan dan religi.
f. Amanat dalam novel ini adalah jangan pernah menilai orang dari luarnya
saja, dan jangan pernah menghakimi seseorang dengan semena-mena.
Sebagai orang tua, harusnya bisa lebih percaya dengan anaknya sendiri.
Selain itu, dalam novel ini mengingatkan kita akan pentingnya kita dalam
mengingat Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan apapun dan di manapun.
Dengan begitu setiap kita akan melangkah akan membuahkan hasil yang
baik nantinya.
2. Latar belakang penciptaan novel Dalam Mihrab Cinta ini adalah ingin
menyampaikan mengenai perjuangan seorang pemuda yang sempat khilaf,
akan tetapi, oleh kekuatan cinta dari orang-orang dekatnya maka pemuda itu
dapat kembali ke jalan yang lurus. Kang Abik juga mengajak para generasi
muda untuk optimis menatap masa depan, baik mengenai semangat mencapai
keinginan maupun hal percintaan. Selain itu yang paling menonjol disini,
pengarang ingin menyampaikan pepatah yang sangat terkenal di tanah Jawa,
yaitu: “Becik ketitik ala kethara” yang berarti kebaikan akan tampak dan
kejahatan akan kelihatan.
3. Nilai pendidikan dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy ini memuat tentang pendidikan yang mendidik dan yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
mendidik termuat dalam nilai pendidikan agama tentang percaya adanya
Tuhan, ketaqwaan seorang muslim terhadap sang pencipta. Nilai pendidikan
sosial tentang hubungan keluarga, masyarakat, dan persahabatan. Nilai
pendidikan moral tentang rasa hormat kepada orang tua, kejujuran,
kedisiplinan, kerja keras, kreatif, kemandirian, rasa ingin tahu, rasa cinta
damai, tanggung jawab, sigap menghadapi masalah, keadilan, larangan
memfitnah, berprasangka baik, optimis, menepati janji, dan dermawan. Nilai
pendidikan estetis tentang diksi yang digunakan, rasa kasih sayang dan cinta
terhadap orang tua, anak, serta sahabat.
B. Implikasi
Implikasi dalam penelitian ini dapat dikaitkan dengan dunia pendidikan,
khususnya pengajaran sastra. Keterlibatan guru dan siswa dalam pengajaran sastra
sangat dibutuhkan untuk memajukan pengajaran sastra itu sendiri.
Pengajaran sastra di sekolah tidak hanya berupa teori saja, tetapi juga harus
ada penerapannya dalam bentuk mengapresiasi sastra. Peran guru bahasa Indonesia
di sini sangat berpengaruh untuk mengajarkan sastra secara keseluruhan dan tidak
setengah-setengah, selain mengajarkan teori sastranya guru juga harus bisa
menerapkan teori tersebut dalam suatu analisis karya sastra, baik itu novel, cerpen,
puisi maupun drama.
Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya unsur-unsur intrinsik yang
membangun dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy,
yang meliputi penokohan, alur, latar, tema yang masing-masing berdiri sendiri.
Unsur-unsur intrinsik ini dapat dijadikan salah satu bahan pengajaran sastra, dalam
hal apresiasi sastra.
Latar belakang penciptaan novel Dalam Mihrab Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy ini dapat menunjukkan adanya kebenaran mengenai
pepatah “becik ketitik ala kethara” yang berarti bahwa hal-hal yang baik itu akan
terlihat dan hal-hal yang tidak baik itu akan nampak juga meskipun dengan waktu
yang tidak sebentar. Dengan ini siswa mampu mengambil kebaikan-kebaikan dalam
cerita tersebut dan dapat menjauhi adanya hal-hal yang tidak baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Nilai didik novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy
dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan pengetahuan bagi siswa, karena di
dalamnya terdapat ajaran-ajaran kehidupan tentang norma-norma agama, sosial,
moral, dan estetis. Norma-norma tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi siswa
dalam hidup bermasyarakat, tentunya dengan memilih norma mana yang pantas dan
tidak untuk dapat diterapkan di kehidupan. Misalnya nilai agama yang dapat
menjadi perenungan, bahwa setiap manusia mempunyai cara yang berbeda dalam
meyakini suatu agamanya dan selalu berdoa di manapun kita berada. Sama halnya
dengan tokoh Syamsul dalam novel ini, di manapun ia berada dan dalam keadaan
apapun ia selalu mengingat Allah SWT. Nilai sosial yang termuat adalah adanya
perilaku tidak baik yang ada di masyarakat, peran guru di sini adalah menjelaskan
tentang hal tersebut bahwa tidak pantas untuk ditiru.
Nilai norma yang termuat adalah adanya sikap kejujuran, disiplin, kerja
keras, mandiri, tanggung jawab, sikap menghormati, adil, larangan memfitnah,
berprasangka baik, tidak mudah putus asa, menepati janji, dermawan. Ada pula
nilai moral yang kurang baik, yaitu menghukum dengan semena-mena, berkata
dusta, tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membela diri, mencopet
barang milik orang lain. Nilai estetis yang dapat dijadikan pelajaran bagi siswa
adalah adanya pemilihan kata (diksi) dengan menggunakan campuran bahasa Jawa,
serta terdapat adanya nilai keindahan secara fisik atau nilai yang dapat dilihat dan
dirasakan pancaindra maupun keindahan abstrak, misalnya hubungan antara
keluarga, persaudaraan, persahabatan, atau romantisme, dan kasih sayang.
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas, maka penulis memberikan
saran sebagai berikut:
1. Kepada Guru/ Dosen
a. Hasil penelitian ini hendaknya dapat menjadi alternatif bahan ajar dalam
mengajarkan karya sastra yang berupa novel pada siswa khususnya siswa
SMA dan mahasiswa. Guru dan dosen hendaknya dapat menyikapi dengan
baik keberadaan novel Dalam Mihrab Cinta dengan mengajarkan apa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
sebaiknya diajarkan dengan melihat isi novel tersebut, misalnya novel
tersebut terdapat gaya bahasa dan diksi yang dapat dijadikan bahan ajar
Bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat diajarkan pada siswa SMA dan
mahasiswa, agar mereka mengetahui bahwa dalam setiap karya sastra,
pengarang selalu menggunakan kedua hal tersebut untuk memperindah
karya mereka. Untuk SMA khususnya kelas XI semester I dengan
kompetensi dasar menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia/ terjemahan.
b. Pendekatan ini dapat dimanfaatkan oleh semua guru untuk dijadikan sebuah
metode pengajaran dalam proses belajar mengajar khususnya pada
pengajaran sastra, karena pada zaman sekarang buku yang berbau sastra,
seperti novel banyak diminati oleh peserta didik.
2. Kepada Siswa/ Mahasiswa
Pengkajian terhadap novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy, hendaknya dapat meningkatkan kemampuan analisis dan apresiasi
mahasiswa dalam hal pemakaian gaya bahasa dan diksi, nilai-nilai eksplorasi
dan inovasinya, dan kreativitas pengarangnya. Bagi siswa SMA, novel ini
cukup diinformasikan keberadaannya dan untuk bahan ajar, agar siswa dan
mahasiswa dapat memperoleh pemahaman lebih baik lagi mengenai novel
tersebut.
3. Terkait dengan eksistensi novel
Sudah sepatutnya novel maupun karya sastra lainnya, mempertimbangkan sisi
edukatif yang bisa disumbangkan kepada masyarakat luas dan bukan hanya
mempertimbangkan selera pasar, trend, ataupun profit oriented (berorientasi
pada keuntungan). Karena, akhir-akhir ini banyak bermunculan karya sastra
yang jauh dari unsur mendidik, mengeksplorasi seks tanpa tedeng aling-aling
misalnya. Sebab bagaimanapun, karya sastra terutama novel adalah yang
paling banyak diminati masyarakat di segala lapisan.
Top Related