BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum :...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum :...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Apel
2.1.1. Taksonomi
1) Divisio : Spermatophyta
2) Subdivisio : Angiospermae
3) Klas : Dicotyledons
4) Ordo : Rosales
5) Famili : Rosaceae
6) Genus : Malus
7) Spesies : Malus domestica
(Tjitrosoepomo, 1993)
2.1.2. Deskripsi
Apel merupakan pohon buah dengan keragaman adaptasi iklim yang
luas, sehingga menjadi tanaman yang paling banyak ditanam di negara
beriklim sedang dan juga merupakan salah satu tanaman yang paling banyak
dibudidayakan di seluruh dunia (Eccher et al., 2014). Walaupun disebut
sebagai tanaman yang mudah beradaptasi dengan berbagai iklim, namun
sebenarnya apel dianggap dapat beradaptasi dengan baik pada zona yang
beriklim sejuk yaitu sekitar suhu 35-50⁰, tanah yang dalam, drainase yang baik,
serta tanah liat dengan pH 6-7. Apel mencapai kematangan sekitar 50-120 hari
setelah mekar dengan rata-rata waktu sekitar 70 hari (Patel et al., 2015).
7
Pohon apel dapat mencapai ketinggian 3 hingga 12 meter (9,8 hingga
39 kaki), dengan kanopi yang menyebar. Ukuran dan bentuk tanaman terutama
tergantung pada batang bawah. Memiliki daun berwarna hiijau tua dengan
bentuk oval sederhana yang tersusun elips atau bergerigi. Pohon apel juga
berbunga pada musim semi bersamaan dengan munculnya tunas daun.
Bunganya berwarna putih dengan semburat warna merah muda yang secara
bertahap memudar dan lima petaled. Sedangkan buahnya sendiri biasanya
memiliki diameter sekitar 5-9 cm dengan warna kulit yang berbeda, bergantung
pada jenis spesiesnya. Bagian tengah buah berisi lima karpel yang tersusun
dalam lima titik bintang, masing-masing karpel berisi 1-3 biji (Patel et al.,
2015).
(Patel et al., 2015)
Gambar 2.1
Tanaman apel. a) Keseluruhan tanaman; b) Daun; c) Bunga; d) Buah; e) Benih
8
2.1.3. Kandungan Apel
Apel banyak digunakan dalam pengobatan tradisional seperti sebagai
antasid, antidiare, laksatif, diuretik, depuratif, dan pengobatan untuk gangguan
pendengaran. Pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, apel memiliki
peran lebih dari yang diketahui sebelumnya seperti manfaatnya sebagai
antioksidan, antiproliferatif, antimikroba, inhibisi terhadap oksidasi lipid,
penurunan kolesterol, anti-inflamasi, terapi diabetes, penurunan berat badan,
terapi asma dan gangguan fungsi paru, serta manfaat-manfaat lainnya. Apel
dikenal dengan kandungan flavonoid yang cukup besar, serta berbagai
fitokimia lainnya. Konsentrasi fitokimia didalamnya bergantung pada banyak
faktor, seperti kultivar apel, waktu panen, penyimpanan, dan pemrosesan apel
(Patel et al., 2015). Selain flavonoid, apel juga mengandung tannins, floretin,
dan asam klorogenik (Lee, 2012).
Tabel 2.1 Kandungan Apel
Komposisi Jumlah
Flavonoid (mg/100g) 297,49
Tannins (mg/100g) 164,66
Floretin (mg/100g) 5,59
Asam klorogenik (mg/100g) 9,02
(Lee, 2012)
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa metabolit sekunder dan
banyak ditemukan pada jaringan tanaman serta merupakan golongan
senyawa fenolik yang memiliki struktur kimia C6-C3-C6 (Redha, 2010).
Flavonoid sendiri memiliki bebapa turunan, antara lain quercetin dan
9
catechin (Patel et al., 2015). Quercetin merupakan turunan flavonoid utama
dalam kandungan apel yang berasal dari flavone, yaitu antioksidan
polifenolik alami. Quercetin muncul di alam sebagai glikosida yang mudah
terhidrolisis sehingga pembentukan aglycon quercetin oleh hidrolisis
glikosida quercetin. Pembentukan aglycon quercetin tersebut membuat
quercetin memiliki aktivitas antioksidan sekitar dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan turunan flavonoid yang lain (Pavun et al., 2018).
Sedangkan catechin adalah turunan senyawa flavonoid yang juga memiliki
potensi sebagai antioksidan. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan
catechin dalam meminimalkan kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh
reactive oxygen species (ROS) (Anggraini, 2011).
b. Tannins
Tannins adalah metabolit sekunder dari polifenolik pada tanaman.
Karakteristik struktural masih di analisis, namun struktur tannins yang
diketahui menunjukkan bahwa adanya glikosida galloyl yang dihubungkan
melalui karbon aromatik dan/atau atom oksigen fenolik. Namun tidak semua
tannins mengandung unit galoyl atau turunannya. Tannins mempunyai sifat
sebagai antivital dan juga antibakteri (Khanbabaee & Ree, 2001). Selain itu
tannins juga bersifat antifungi yang bekerja dengan menghambat sintesis
khitin pada dinding sel jamur sehingga menyebabkan kerusakan dinding sel
jamur (Kurniawati et al., 2016).
c. Floretin
Floretin (phloretin) dan turunannya merupakan dihydrochalcones yang
secara alami terapat dalam apel, kumquat, pir, stroberi dan sayuran. Floretin
10
merupakan molekul yang sangat fleksibel, floretin mampu mengikat
makromolekul biologis secara efisien. Interaksi inhibisi dan aktivasi
pensinyalan jalur intraseluler ini menghasilkan sifat biologis yang
menguntungkan seperti sifatnya sebagai antijamur, antikanker, antioksidan,
antibakteri, antiosteoklastogenik, estrogenik, antivirus, dan anti-inflamasi
(Behzad et al., 2017).
d. Asam klorogenik
Asam klorogenik (chlorogenic acid) adalah senyawa fenolik dari golongan
asam hidroksisinamatik. Polifenol ini memiliki banyak manfaat dalam
meningkatkan kesehatan antara lain sebagai anti-oksidan, anti-inflamasi,
antilipidemik, antidiabetes, dan antihipertensi. Sebagai antimikroba, asam
klorogenik mampu membunuh bakteri, jamur, dan virus. Selain itu, asam
klorogenat juga memiliki aktivitas antioksidan, khususnya terhadap oksidasi
lipid (Fernandes & Salgado, 2016).
2.2. Cuka Apel
2.2.1. Deskripsi
Cuka adalah cairan yang dihasilkan dari bahan yang mengandung gula
dan pati yang melalui 2 tahap fermentasi (Zubaidah & Nuril, 2015). Cuka juga
merupakan salah satu contoh produk olahan pangan fermentasi yang biasanya
digunakan sebagai pengawet. Cuka bisa terbuat dari berbagai macam buah-
buahan, seperti apel, pisang, anggur, salak, dan buah lainnya yang memiliki
kandungan gula ataupun alkohol di dalamnya (Atro et al., 2015).
11
Cuka apel merupakan salah satu jenis cuka yang dibuat dengan cara
menghancurkan apel kemudian memeras cairannya. Bakteri dan ragi
ditambahkan ke dalam cairan tersebut untuk memulai proses fermentasi
alkohol dan gula diubah menjadi alkohol. Setelah proses fermentasi, alkohol
diubah menjadi cuka oleh bakteri pembentuk asam asetat (Akanksha & Sunita,
2017).
2.2.2. Proses Pembuatan Cuka Apel
Cuka apel diproduksi melalui dua proses fermentasi dua langkah
dimana hasil dari proses ini ditandai dengan adanya asam asetat pada
konsentrasi yang sama atau di atas 4%. Cuka apel juga memiliki pH akhir
dimana sangat bergantung pada konsentrasi asam asetat. Proses awal proses
fermentasi dimulai dengan ragi yang akan memfermentasi gula atau pati yang
berada dalam bentuk mentah pada buah apel, hasil dari proses pertama ini akan
membentuk etanol yang selanjutnya akan difermentasi oleh bakteri asam asetat
untuk menghasilkan asam asetat. Jika bahan baku awal adalah pati, pertama-
tama perlu dilakukan hidrolisis dahulu untuk menjadi gula. Hal tersebut juga
bergantung pada metode yang digunakan untuk fermentasi kedua, cuka apel
dapat diproduksi secara cepat dalam waktu 24 jam atau dapat dibiarkan
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk difermentasi (Morgan & Mosawy,
2016).
Kemudian hasil proses pertama dapat disaring dan dipasteurisasi
sebelum dikonsumsi. Proses ini bertujuan untuk menghancurkan dan
menghilangkan bakteri asam asetat yang digunakan selama proses frementasi
serta mencegah pembentukan “mother of vinegar”. Mother of vinegar
12
berkembang ketika cuka apel yang tidak dipasteurisasi dan langsung menjadi
produk siap konsumsi sehingga dapat membentuk lapisan selulosa
ekstraseluler yang bisa dilihat pada permukaan cuka apel atau biasanya juga
dapat terlihat seperti sarang laba-laba yang keruh sehingga membuat cairan
cuka apel tampak keruh. Gambar 2.2 akan menggambarkan persamaan kimia
yang terjadi pada kedua tahap fermentasi cuka apel (Morgan & Mosawy,
2016).
(Morgan & Mosawy, 2016)
Gambar 2.2
Persamaan kimia pada proses fermentasi cuka apel
Proses pembuatan cuka apel yang diterangkan di atas merupakan
teknik yang paling umum dan sering digunakan. Selain itu juga terdapat teknik
lain yang dapat dilakukan seperti Orleans process (teknik tradisional),
Generator process (teknik cepat), Submerged-Culture, dan Maceration.
Fermentasi cuka apel sebenarnya juga dapat terjadi secara spontan melalui ragi
dan bakteri yang terbentuk secara alami pada permukaan buah, sehingga
memungkinkan untuk membuatnya sendiri di rumah. Namun tentu saja cuka
apel yang dihasilkan akan berbeda kandungannya, proses ini biasa disebut
proses spontan yang tidak terstandarisasi (Morgan & Mosawy, 2016).
13
2.2.3. Kandungan Cuka Apel
Cuka apel banyak digunakan oleh masyarakat dalam berbagai masalah
kesehatan seperti pada kanker, penyakit kardiovaskular, nyeri sendi, diabetes,
dan penurunan berat badan. Selain itu penelitian terbaru menunjukkan bahwa
cuka apel juga memiliki potensi sebagai antimikroba dengan kandungannya
berupa asam asetat (Mohanty et al., 2017). Berbeda dengan apel yang memiliki
kandungan terbesar yaitu flavonoid, pada cuka apel memiliki kandungan utama
berupa asam asetat. Selain asam asetat, cuka apel juga mengandung flavonoid
seperti pada buah apel namun flavonoid pada cuka apel tidak sedominan pada
buah apel. Kandungan cuka apel sendiri antara lain asam asetat, pektin,
flavonoid, magnesium, dan potassium (Pratama et al., 2015).
Tabel 2.2 Kandungan Cuka Apel
Komposisi Jumlah
Asam asetat (%) 4,53
Pektin (%) 0,75
Flavonoid (mg/L) 132,55
Magnesium (mg/100g) 0,02
Potassium (mg/100g) 2,05
(Rahmawati, 2015)
a. Asam asetat
Asam asetat (acetic acid) merupakan salah satu jenis dari asam organik
yang terkandung dalam cuka apel. Asam asetat memiliki potensi sebagai
antimikroba dengan mempengaruhi permeabilitas membran sel, asam
asetat bekerja aktif dalam mendegradasi substrat yang akan berikatan
dengan enzim. Sehingga membuat membran plasma sel jamur menjadi
14
rentan, selain itu asam asetat juga menetralkan potensi elektrokimia dan
semakin meningkatkan permeabilitas pada membran plasma sel jamur
(Hassan et al., 2015). Dengan adanya kebocoran pada membran sel ini,
maka sel jamur akan kehilangan integritas selulernya (Mohanty et al.,
2017).
b. Flavonoid
Flavonoid adalah sebuah senyawa fenolik dengan berat molekul yang
rendah dan juga metabolit sekunder yang dapat ditemukan pada buah-
buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian. Selain bermanfaat sebagai
antioksidan, kandungan flavonoid pada cuka apel juga memiliki potensi
sebagai antifungal dengan cara menghambat proses germinasi spora pada
sel jamur (Filho et al., 2015) dan juga menurunkan produksi biofilm
dimana biofilm merupakan salah satu mekanisme pertahanan sel jamur
(Serpa et al., 2012). Flavonoid juga mampu mendenaturasi protein pada sel
jamur dan dengan sifatnya yang lipofilik flavonoid mampu merusak
lapisan lipid sehingga mengakibatkan kerusakan pada dinding sel jamur.
Dengan sifatnya yang lipofilik tersebut, flavonoid mampu mengikat
fosfolipid pada membran sel jamur yang akan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membran sel jamur (Kurniawati et al., 2016).
c. Pektin
Pektin adalah senyawa kompleks polisakarida yang membentuk sekitar
sepertiga zat kering pada dinding sel tanaman tingkat tinggi. Konsentrasi
pektin tertinggi ditemukan di lamella tengah pada dinding sel. Dalam
dunia kesehatan, pektin sering dimanfaatkan untuk menurunkan kadar
15
kolesterol dalam darah. Selain itu pektin juga digunakan sebagai zat
profilaksis alami terhadap keracunan dengan kation beracun,
mengendalikan perdarahan lokal, mengobati penyakit diare, dan yang
paling terbaru ditemukan bahwa pektin memiliki potensi sebagai antifungi
(Mathur et al., 2011). Sebagai antifungi, pektin memiliki sifat anti-
adhesive terhadap sel jamur sehingga dapat mencegah terjadinya
kolonisasi sel jamur (Daoud et al., 2013). Penelitian sebelumnya juga
menunjukkan bahwa pektin lebih aktif pada infeksi oportunistik sehingga
efektif dalam menghambat flora normal seperti C. albicans (Menshikov et
al., 2017)
d. Magnesium
Magnesium merupakan salah satu mineral yang bertanggung jawab dalam
proses pengaturan metabolisme pada tulang, eksitabilitas jantung,
transmisi saraf, konduksi neuromuskular, vasomotor, kontraksi muscular,
dan tekanan darah. Magnesium memiliki peranan yang sangat penting,
karena lebih dari 300 enzim memerlukan magnesium sebagai katalisnya,
termasuk didalamnya adalah enzim untuk sintesis ATP dan sintesis
ribonucleic acid (RNA) dan deoxyribonucleic acid (DNA) (Kawilarang et
al., 2016).
e. Potassium
Potassium (kalium) merupakan salah satu elektrolit yang mempunyai
peran penting dalam tubuh. Kalium adalah ion yang bermuatan positif dan
terdapat di dalam sel. Kalium memiliki peranan dalam pemeliharaan
16
keseimbangan asam basa, keseimbangan cairan dan elektrolit, transmisi
saraf dan relaksasi otot (Tulungnen et al., 2016)
2.3. Candida albicans
2.3.1. Taksonomi
1) Kingdom : Fungi
2) Subkingdom : Dikarya
3) Filum : Ascomycota
4) Subfilum : Saccharomycotina
5) Kelas : Saccharomycetes
6) Ordo : Saccharomycetales
7) Famili : Saccharomycetaceae
8) Genus : Candida
9) Spesies : Candida albicans
(Tjitrosoepomo, 1993)
2.3.2. Deskripsi
Candida albicans adalah jamur yang sering menyebaban infesi, mulai
dari yang bersifat ringan hingga yang bersifat invasif dan menginfiltrasi organ
dalam. Di daerah tropis seperti di Indonesia, C. albicans paling sering
menginfeksi kulit, vagina, dan rongga mulut. Selain C. albicans, juga dapat
ditemukan spesies Candida jenis lain seperti C. glabrata, C. tropicalis, C.
krusei, dan C. parapsilosis walaupun tidak sebanyak dan sesering infeksi yang
ditimbulkan C. albicans (Nelwan, 2014).
17
C. albicans merupakan mikroorganisme yang hidup dengan dua
bentuk dan wujud sehingga disebut dengan dimorphic organism. Bentuk
pertama adalah yeast-like state (sugar fermenting organism dan non-invasif).
Bentuk kedua disebut dengan fungal form yang menghasilkan root-like
structure atau struktur yang seperti akar panjang (rhizoids) yang dapat masuk
ke mukosa dan bersifat invasif. C. albicans tumbuh cepat pada suhu 25-37⁰C
dengan media pembenihan sederhana sebagai sel oval dimana pembentukan
tunas bertujuan untuk memperbanyak diri dan spora jamur yang disebut
blastospora (sel khamir atau sel ragi) (Mutiawati, 2016).
Dinding sel C. albicans bersifat dinamis, memiliki struktur berlapis
yang terdiri dari beberapa macam karbohidrat berbeda antara lain: Mannan
atau polymers of mannose yang berpasangan dengan protein sehingga
membentuk glikoprotein yang disebut mannoprotein; α-glucans, struktur ini
bercabang menjadi polimer glukosa dan mengandung α-1,6 dan α-1,3 yang
saling berhubungan; chitin adalah homopolimer N-acetyl-D-glucosamine (Glc-
NAc) yang memiliki ikatan α-1,4. Selain ketiga unsur pokok tersebut, terdapat
unsur lain yaitu protein (6-25%) serta lemak (1-7%) (Mutiawati, 2016).
(Mutiawati, 2016)
Gambar 2.3
Struktur dinding C. albicans
18
Germ tube dan yeast cells mempunyai struktur dinding sel yang
hampir sama, walaupun jumlah chitin, α-glucans dan mannan bervariasi
disebabkan oleh faktor morfologinya. Jumlah glucans didapatkan lebih banyak
jika dibandingkan dengan mannan pada C. albicans yang secara imunologi
mempunyai keaktifan rendah (Mutiawati, 2016).
Morfologi C. albicans secara mikroskopis memperlihatkan
pseudohyphae dimana terdapat struktur cluster di sekitar blastokonidia
berbentuk bulat, bersepta panjang dan berukuran 3-7x3-14 μm. C. albicans
membentuk hifa yang semu (pseudohifa) dimana sebenarnya merupakan
rangkaian blastospora yang bercabang, yang dapat membentuk hifa sejati.
Struktur pseudohifa bisa dilihat dengan menggunakan media pembenihan
khusus. C. albicans dengan mudah dikenali karena memiliki kemampuan
dalam membentuk germ tubes atau dengan terbentuknya spora besar yang
berdinding teba (chlamydospore). Chlamydospore terlihat tumbuh pada kisaran
suhu 30-37⁰C, dan memberikan hasil positif dalam pemeriksaan germ tube
(Mutiawati, 2016).
(Mutiawati, 2016)
Gambar 2.4
C. albicans secara mikroskopis
19
2.4. Kandidiasis
2.4.1. Definisi
Kandidiasis atau yang juga dikenal dengan kandidosis adalah infeksi
jamur yang disebabkan Candida spp terutama C. albicans. Infeksi yang
ditimbulkan dapat mengenai bagian tubuh mana saja seperti kuku, kulit, traktus
gastrointestinal, membran mukosa, serta dapat menyebabkan kelainan yang
bersifat sistemik (Widaty, 2016).
2.4.2. Epidemiologi
C. albicans secara komensal merupakan flora normal yang hidup di
rongga mulut, vagina, dan traktus gastrointestinal. Prevalensi yang didapatkan
dari individu yang karier berkisar antara 15-60% tanpa disertai gejala klinis,
sehingga individu tersebut menjadi rentan mengalami infeksi C. albicans saat
imunitasnya menurun (Nelwan, 2014).
Beberapa bentuk infeksi kandidiasis antara lain oral candidiasis,
vulvovaginal candidiasis, cutaneous candidiasis, diaper rash, dan candidemia.
Penelitian pada pasien oral candidiasis di luar negeri, penyebabnya didominasi
oleh C. albicans (20-75%) (Pankaj et al., 2015), sedangkan berdasarkan laporan
kasus di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) juga menunjukkan etiologi
terbesarnya adalah C. albicans (Nur’aeny et al., 2017). Pada penelitian pasien
vulvovaginal candidiasis di luar negeri menunjukkan bahwa C. non-albicans yaitu
C. glabrata sebagai penyebab tersering diantara spesies yang lainnya (Makanjuola
et al., 2018), sedangkan penelitian di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado juga
menemukan C. albicans sebagai penyebabnya (41,4%) (Tasik et al., 2016).
20
Prevalensi kandidiasis yang menyerang kulit (cutaneous candidiasis) di Iran
menunjukkan C. albicans sebagai penyebab terbesarnya (36,17%) (Fallahi et al.,
2013), bahkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado juga melaporkan hampir
semua kasus cutaneous candidiasis disebabkan C. albicans (70%) (Polii et al.,
2016). Kandidiasis yang menyerang bayi (diaper rash) di Turki menunjukkan
bahwa C. albicans sebagai penyebab ketiganya (80%) (Serdaroğlu & Üstünbaş,
2010), sama dengan penelitian di luar negeri, di Indonesia diaper rash juga
menyerang 80% dari responden yang diteliti (Frilasari, 2016). Candidemia adalah
kandidiasis yang paling berbahaya, laporan dari 23 rumah sakit di Amerika
Serikat, candidemia merupakan penyebab ketiga sepsis dengan penyebab dominan
infeksi adalah C. albicans (Santolaya et al., 2013), sedangkan hasil yang berbeda
didapatkan dari penelitian di Indonesia dimana kasus candidemia didominasi oleh
C. tropicalis (Mursinah et al., 2016).
Prevalensi dari berbagai bentuk manifestasi klinis kandidiasis diatas,
menunjukkan bahwa penyakit ini dapat terjadi di seluruh dunia, tidak
memandang gender baik perempuan maupun laki-laki, serta dapat menyerang
semua usia (Widaty, 2016).
2.4.3. Faktor Predisposisi
Infeksi kandidiasis terjadi tidak hanya karena adanya C. albicans di
dalam tubuh manusia, untuk bisa menjadi patogen, manusia sebagai host juga
memiliki faktor-faktor yang mempermudah C. albicans berubah menjadi
patogen antara lain perubahan fisiologis (kehamilan, usia, haid), faktor
mekanik (trauma, oklusi lokal, kelembaban, kegemukan, maserasi), faktor
nutrisi (defisiensi zat besi, avitaminosis, malnutrisi), iatrogenik (penggunaan
21
kateter, penggunaan obat-obatan, iradiasi sinar X), dan adanya penyakit
sistemik (imunodefisiensi, penyakit endokrin, Down Syndrome, uremia,
acrodermatitis enteropatika, keganasan). Faktor-faktor tersebut merupakan
faktor predisposisi baik yang berasal dari endogen maupun eksogen (Widaty,
2016).
2.4.4. Patogenesis
C. albicans dapat bertahan hidup sebagai flora normal di rongga
mulut, vagina, dan traktus gastrointestinal karena kemampuannya dalam
menempelkan diri pada mukosa manusia dan dengan berkompetisi dengan
bakteri lainnya. Namun jika keseimbangan tersebut diganggu, dapat
menyebabkan peningkatan pertumbuhan sel jamur atau peningkatan
kemampuan sel jamur untuk menginvasi manusia, seperti disebabkan oleh
penggunaan antibiotik jangka panjang dan berspektrum luas akan membunuh
flora normal di rongga mulut dan usus sehingga C. albicans menjadi patogen.
Akibatnya limfosit sel T dan neutrofil akan berusaha untuk menekan invasi C.
albicans yang menjadi patogen tersebut. Dengan adanya faktor predisposisi,
akan menambah potensi sel jamur dalam melakukan invasi sehingga limfosit
sel T dan neutrofil akan mengalami depresi. Depresi limfosit sel T dan
neutrofil ini akan menyebabkan sel jamur semakin berkembang dan menyerang
system inhibisi ada mekanisme tubuh yang normal (Nelwan, 2014).
Adanya sel jamur yang terus menginvasi kulit maupun membran
mukosa akan menyebabkan kerusakan pada tempat sel jamur tersebut
menempel, baik pada kulit maupun pada mukosa. Terganggunya keutuhan kulit
ataupun membran mukosa tersebut memberikan jalan masuk untuk C. albicans
22
ke dalam tubuh yang lebih dalam dan menyebar secara hematogen sehingga
dapat menyebabkan terjadinya candidemia dengan manifestasi klinis
kandidiasis viseral. Kandidiasis viseral ini akan menimbulkan terjadinya
neutropenia. Akibat peran neutrofil dalam mempertahankan tubuh host dari
invasi sel jamur, akan timbul lesi viseral yang ditandai dengan adanya nekrosis
dan respon inflamatori neutrofilik. Neutrofil membunuh sel jamur dengan
merusak pseudohifa yang terbentuk sebagai bentuk pertahanan diri sel jamur.
Jika pertahanan tubuh host tidak mampu membunuh sel jamur, maka C.
albicans yang bersifat patogen tersebut akan tetap dalam sirkulasi darah dan
dapat menyebabkan berbagai infeksi pada organ vital manusia seperti hepar,
ginjal, penempelan pada katup jantung buatan, arthritis, meningitis, dan
endopthalmitis (Mutiawati, 2016).
2.4.5. Jenis Kandidiasis
a. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral (oral candidiasis) merupakan salah satu bentuk dari infeksi
fungi pada mukosa oral. Lesi ini dapat disebabkan oleh lima spesies
Candida spp yang menjadi flora normal di rongga mulut antara lain C.
albicans, C. krusei, C. parapsilosis, C. tropicalis, dan C. guilliermondi. Dari
kelima spesies Candida spp tersebut C. albicans merupakan spesies yang
paling sering menyebabkan kandidiasis oral (30-50%). C. albicans dapat
tumbuh dan bertahan dalam rongga mulut manusia dengan reproduksi
menggunakan tunas, membentuk hifa, dan membentuk tunas elipsoid yang
bisa meningkatkan pertumbuhan misela baru. Secara umum manifestasi
klinis dari kandidiasis oral terdiri dari lima bentuk antara lain
23
pseudomembranosa, atropik, hiperplastik, eritematosa, dan keilitis angular.
Pada pasien dapat menunjukkan satu atau lebih dari lima bentuk manifestasi
klinis tersebut. Pengobatan lini pertama untuk kandidiasis oral adalah
nistatin yang tersedia dalam bentuk krim dan suspense oral (Hakim &
Ramadhian, 2015).
b. Vulvovaginitis
Vulvovaginitis atau biasa disebut vaginitis kandida (vulvovaginal
candidiasis) merupakan salah satu bentuk infeksi Candida spp yang
mengenai vagina dan bukan termasuk infeksi menular seksual (IMS) karena
Candida spp merupakan salah satu flora normal yang menghuni vagina. C.
albicans merupakan penyebab dominan terjadinya vaginitis kandida (80-
95%), sisanya disebabkan oleh C. glabrata dan C. tropicalis. Gejala yang
dikeluhkan pasien biasanya berupa pruritus, disertai iritasi vagina, dysuria,
keluar cairan vagina berwarna putih seperti keju dan tidak berbau. Terapi
yang dapat diberikan antara lain imidasol atau triasol (krim atau supositoria)
dan dapat juga dapat diberikan fluconazole 150 mg dosis tunggal per oral
yang diklaim mempunyai efikasi yang tinggi (Hakimi, 2014).
c. Kandidiasis Kulit
Kandidiasis kulit (cutaneous candidiasis) atau kandidosis intertriginosa
adalah lesi bercak yang berbatas tegas, basah, bersisik, dan eritematosa yang
terdapat di daerah lipatan kulit seperti lipatan kulit ketiak, intergluteal,
lipatan payudara, serta lipatan dinding perut. Lesi tersebut dikelilingi lesi
satelit berupa vesikel, pustule, ataupun bula yang mudah pecah. Dengan
pecahnya lesi satelit tersebut akan meninggalkan daerah yang erosi dengan
24
pinggiran yang kasar, dimana yang awalnya lesi satelit akan berkembang
menjadi lesi primer. Pengobatan yang biasa diberikan untuk kandidiasis
kulit ini adalah nistatin dalam sediaan krim atau suspensi (Widaty, 2016).
d. Diaper rash
Diaper rash merupakan semua erupsi kulit yang terjadi pada daerah yang
dilingkupi oleh popok. Kondisi ini dapat disebabkan secara langsung akibat
pemakaian popok (dermatitis kontak iritan), diperburuk dengan pemakaian
popok (psoriasis), maupun yang terjadi dengan atau tanpa pemakaian popok
(misalnya acrodermatitis enteropathica). Prevalensi terbanyak pada anak
usia 9-12 bulan. Diaper rash lebih sering pada anak-anak tetapi juga dapat
terjadi pada orang dewasa yang menggunakan popok. Secara klinis sering
ditemukan dermatitis kontak iritan pada daerah genital, bokong, paha atas
dan perut bagian bawah. Terapi farmakologis untuk diaper rash adalah
nistatin sediaan krim, namun jika dalam 3 hari tidak membaik terapi bisa
diganti dengan nistatin oral (Serdaroğlu & Üstünbaş, 2010).
f. Kandidemia
Kandidemia (candidemia) merupakan suatu kondisi dimana C. albicans
berada dalam sirkulasi darah, keadaan ini dapat membuat infeksi kandidiasis
menyebar ke organ-organ tubuh secara hematogen yang disebut sebagai
kandidiasis invasif. Organ-organ yang dapat terinfeksi antara lain mata,
ginjal, hepar, dan otak. Kondisi ini tidak terjadi pada semua orang, namun
pada sekelompok orang yang immunokompromais contohnya pada pasien
DM, pasien dengan penggunaan steroid dan antibiotik spektrum luas, serta
pasien dengan kateter. Manifestasi yang dapat timbul antara lain demam,
25
ruam kulit, fatigue, anemia, gangguan penglihatan (jika menginfeksi mata),
headaches dan deficit neurologi, serta nyeri abdomen. Terapi utamanya
adalah dengan menghentikan faktor predisposisi seperti steroid atau kateter,
selanjutnya diberikan antifungal. Antifungal yang dapat diberikan adalah
fluconazole dan amphotericin B (American Thoracic Society, 2012).
2.5. Antifungi
Antifungi merupakan agen yang digunakan untuk membunuh jamur atau
menekan reproduksi/pertumbuhan sel jamur (Dorland, 2012). Di Indonesia sendiri
antifungi beragam karena terus dilakukannya penelitian untuk mendapatkan obat
antifungi yang memberikan manfaat dengan efek samping yang minimal. Obat
antifungi dibedakan menjadi obat sistemik untuk infeksi sistemik, obat sistemik
untuk infeksi mukokutis, dan juga obat topikal untuk infeksi mukokutis (Sheppard
& Lampiris, 2014).
2.5.1. Obat Sistemik untuk Infeksi Sistemik
a. Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan antijamur yang dihasilkan oleh
Streptomyces nodosus, namun untuk amfoterisin A tidak digunakan
dalam klinis. Amfoterisin B bekerja dengan membentuk pori pada
membran sel yang mengakibatkan keluarnya konstituen intrasel.
Amfotesisin B digunakan pada kandidemia lokalisata dan sistemik,
serta infeksi akibat Histoplasma, Blastomyces, Cryptococcus,
Aspergillus, dan Coccidioides (Sheppard & Lampiris, 2014).
26
b. Flusitosin
Flusitosin merupakan sebuah analog pirimidin yang larut air yang
dikenal sebagai antijamur yang poten. Flusitosin sebagai antifungi
bekerja dengan mengganggu sintesis DNA dan RNA pada sel jamur.
Flusitosin merupakan pilihan obat antifungi untuk infeksi
kromoblastomikosis dan Cryptococcus (Sheppard & Lampiris, 2014).
c. Azol
Azol merupakan senyawa sintetis yang diklasifikasikan menjadi
imidazol dan triazol. Imidazol terdiri atas ketokonazol, klotrimazol, dan
mikonazol, sedangkan triazol meliputi flukonazol, itrakonazol,
vorikonazol, dan posakonazol. Golongan azol bekerja dengan
menghambat enzim P450 pada sel jamur dan mengganggu sintesis
ergosterol, namun khusus untuk flukonazol memiliki kemampuan untuk
menembus SSP dengan baik sehingga biasanya juga digunakan pada
pasien meningitis jamur. Golongan azol termasuk antifungsi
berspektrum luas meliputi Candida, Cryptococcus, blastomikosis,
koksidioidomikosis, dan histoplasmosis (Sheppard & Lampiris, 2014).
d. Ekinokandin
Ekinokandin merupakan salah satu obat dari golongan antifungi yang
baru dikembangkan. Ekinokandin bekerja dengan menghambat sintase
beta-glukan sehingga menghambat pembentukan dinding sel jamur.
Obat ini diindikasikan untuk Candida dan juga aspergilosis (Sheppard
& Lampiris, 2014).
27
2.5.2. Obat Sistemik untuk Infeksi Mukokutis
a. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antifungi yang bersifat fungsistatik yang
berasal dari spesies penisilin dan sangat tidak larut. Griseofulvin
berikatan dengan keratin pada kulit serta melindungi kulit dari infeksi
baru. Obat ini digunakan dalam terapi sistemik dermatofitosis
(Sheppard & Lampiris, 2014).
b. Terbinafin
Terbinafin merupakan sebuah alilamin sintetik yang digunakan pada
terapi dermatofitosis khususnya onikomikosis. Obat ini tersedia dalam
sediaan oral dengan dosis 250 mg/hari. Terbinafin termasuk obat
keratofilik seperti griseofulvin, terbinafin juga bekerja dengan
mengganggu biosintesis ergosterol (Sheppard & Lampiris, 2014).
2.5.3. Obat Topikal untuk Infeksi Mukokutis
a. Nistatin
Nistatin merupakan sebuah makrolid polien yang mirip dengan
amfoterisin B. Nistatin bersifat toksik jika diberikan dalam sediaan
parenteral sehingga hanya ada dalam sediaan topical. Nistatin paling
sering digunakan untuk menekan infeksi Candida lokal (Sheppard &
Lampiris, 2014).
b. Azol Topikal
Golongan azol yang paling banyak tersedia secara topikal adalah
klotrimazol dan mikonazol. Obat golongan azol topikal ini sering
28
digunakan untuk terapi kandidiasis vulvovagina, namun juga dapat
digunakan pada terapi dermatofita (Sheppard & Lampiris, 2014).
c. Alilamin Topikal
Contoh obat dari alilamin sediaan topikal antara lai terbinafin dan
naftifin. Kedua obat tersebut efektf dalam mengobati tinea korporis dan
juga tinea kruris (Sheppard & Lampiris, 2014).
2.6. Uji Kepekaan terhadap Antifungi
2.6.1. Metode Dilusi
Metode dilusi yang digunakan bertujuan untuk menentukan
konsentrasi minimal antimikroba untuk menghambat atau membunuh
mikroorganisme. Hal ini dapat dicapai dengan pengenceran antimikroba baik di
media agar atau broth (Global Salm-Surv, 2003).
Prinsip metode dilusi adalah menggunakan satu seri tabung reaksi
yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang di uji. Kemudian
masing-masing tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial.
Selanjutnya, seri tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan
diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada
tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai nampak jernih (tidak
ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Selanjutnya biakan dari
semua tabung yang jernih di inokulasikan pada media agar padat,
diinkubasikan dan keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni mikroba yang
tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan
29
tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap
bakteri uji (Global Salm-Surv, 2003).
2.6.2. Metode Difusi Cakram
Difusi dari agen antimikroba menjadi hasil media kultur unggulan
dalam gradien antimikroba. Ketika konsentrasi antimikroba menjadi begitu
encer yang tidak bisa lagi menghambat pertumbuhan mikroba uji, maka zona
inhibisi dibatasi. Diameter zona inhibisi yang mengitari disk antimikroba
berhubungan dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) untuk mikroba tertentu.
Secara umum, semakin besar zona inhibisi, semakin rendah konsentrasi
antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan organisme
(Global Salm-Surv, 2003).
Prinsip dari metode difusi cakram adalah dengan obat dijenuhkan ke
dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat
tertentu ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampur
dengan mikroba yang diuji, kemudian diinkubasikan 370C selama 18-24 jam.
Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas yang
menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Global Salm-Surv, 2003)
Untuk mengevaluasi hasil uji kepekaan tersebut, dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
a. Cara Kirby Bauer, yaitu dengan cara membandingkan diameter dari area jernih
(zona hambatan) disekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh
(National Committee for Clinical Laboratory Standart) NCCLS.
30
b. Cara Joan-Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona hambatan
yang terjadi antara kontrol mikroba yang sudah diketahui kepekaannya
terhadap obat tersebut dengan isolat mikroba yang diuji.
2.7. Penelitian Penunjang
Penelitian tentang pengaruh cuka apel terhadap C. albicans yang
sebelumnya dilakukan oleh Mohanty et al. menggunakan microtiter plate terbukti
efektif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada kadar cuka apel sebesar
20% (Mohanty et al., 2017). Sedangkan pada penelitian serupa yang dilakukan
oleh Yagnik et al. dengan metode difusi menunjukkan hasil bahwa kadar 50%
memiliki efek paling kuat dan mencapai Minimum Inhibitory Concentration
(MIC) sebesar 11 mm pada agar plate (Yagnik et al., 2018). Penelitian tentang
pengaruh cuka apel menggunakan metode dilusi pernah dilakukan sebelumnya
namun terhadap Salmonella typhi dengan menggunakan konsentrasi 100%, 50%,
25%, dan 12,5% yang menunjukkan bahwa KHM terdapat pada konsentrasi
12,5% dan KBM terdapat pada konsentrasi 25% (Pratama et al., 2015).
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan di Laboratorium
Biomedik FK UMM tentang pengaruh cuka apel terhadap C. albicans
menggunakan metode dilusi menunjukkan KHM terdapat pada konsentrasi 6,25%
dan KBM terdapat pada konsentrasi 12,5%.