BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum :...

25
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apel 2.1.1. Taksonomi 1) Divisio : Spermatophyta 2) Subdivisio : Angiospermae 3) Klas : Dicotyledons 4) Ordo : Rosales 5) Famili : Rosaceae 6) Genus : Malus 7) Spesies : Malus domestica (Tjitrosoepomo, 1993) 2.1.2. Deskripsi Apel merupakan pohon buah dengan keragaman adaptasi iklim yang luas, sehingga menjadi tanaman yang paling banyak ditanam di negara beriklim sedang dan juga merupakan salah satu tanaman yang paling banyak dibudidayakan di seluruh dunia (Eccher et al., 2014). Walaupun disebut sebagai tanaman yang mudah beradaptasi dengan berbagai iklim, namun sebenarnya apel dianggap dapat beradaptasi dengan baik pada zona yang beriklim sejuk yaitu sekitar suhu 35-50⁰, tanah yang dalam, drainase yang baik, serta tanah liat dengan pH 6-7. Apel mencapai kematangan sekitar 50-120 hari setelah mekar dengan rata-rata waktu sekitar 70 hari (Patel et al., 2015).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum :...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apel

2.1.1. Taksonomi

1) Divisio : Spermatophyta

2) Subdivisio : Angiospermae

3) Klas : Dicotyledons

4) Ordo : Rosales

5) Famili : Rosaceae

6) Genus : Malus

7) Spesies : Malus domestica

(Tjitrosoepomo, 1993)

2.1.2. Deskripsi

Apel merupakan pohon buah dengan keragaman adaptasi iklim yang

luas, sehingga menjadi tanaman yang paling banyak ditanam di negara

beriklim sedang dan juga merupakan salah satu tanaman yang paling banyak

dibudidayakan di seluruh dunia (Eccher et al., 2014). Walaupun disebut

sebagai tanaman yang mudah beradaptasi dengan berbagai iklim, namun

sebenarnya apel dianggap dapat beradaptasi dengan baik pada zona yang

beriklim sejuk yaitu sekitar suhu 35-50⁰, tanah yang dalam, drainase yang baik,

serta tanah liat dengan pH 6-7. Apel mencapai kematangan sekitar 50-120 hari

setelah mekar dengan rata-rata waktu sekitar 70 hari (Patel et al., 2015).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

7

Pohon apel dapat mencapai ketinggian 3 hingga 12 meter (9,8 hingga

39 kaki), dengan kanopi yang menyebar. Ukuran dan bentuk tanaman terutama

tergantung pada batang bawah. Memiliki daun berwarna hiijau tua dengan

bentuk oval sederhana yang tersusun elips atau bergerigi. Pohon apel juga

berbunga pada musim semi bersamaan dengan munculnya tunas daun.

Bunganya berwarna putih dengan semburat warna merah muda yang secara

bertahap memudar dan lima petaled. Sedangkan buahnya sendiri biasanya

memiliki diameter sekitar 5-9 cm dengan warna kulit yang berbeda, bergantung

pada jenis spesiesnya. Bagian tengah buah berisi lima karpel yang tersusun

dalam lima titik bintang, masing-masing karpel berisi 1-3 biji (Patel et al.,

2015).

(Patel et al., 2015)

Gambar 2.1

Tanaman apel. a) Keseluruhan tanaman; b) Daun; c) Bunga; d) Buah; e) Benih

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

8

2.1.3. Kandungan Apel

Apel banyak digunakan dalam pengobatan tradisional seperti sebagai

antasid, antidiare, laksatif, diuretik, depuratif, dan pengobatan untuk gangguan

pendengaran. Pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, apel memiliki

peran lebih dari yang diketahui sebelumnya seperti manfaatnya sebagai

antioksidan, antiproliferatif, antimikroba, inhibisi terhadap oksidasi lipid,

penurunan kolesterol, anti-inflamasi, terapi diabetes, penurunan berat badan,

terapi asma dan gangguan fungsi paru, serta manfaat-manfaat lainnya. Apel

dikenal dengan kandungan flavonoid yang cukup besar, serta berbagai

fitokimia lainnya. Konsentrasi fitokimia didalamnya bergantung pada banyak

faktor, seperti kultivar apel, waktu panen, penyimpanan, dan pemrosesan apel

(Patel et al., 2015). Selain flavonoid, apel juga mengandung tannins, floretin,

dan asam klorogenik (Lee, 2012).

Tabel 2.1 Kandungan Apel

Komposisi Jumlah

Flavonoid (mg/100g) 297,49

Tannins (mg/100g) 164,66

Floretin (mg/100g) 5,59

Asam klorogenik (mg/100g) 9,02

(Lee, 2012)

a. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa metabolit sekunder dan

banyak ditemukan pada jaringan tanaman serta merupakan golongan

senyawa fenolik yang memiliki struktur kimia C6-C3-C6 (Redha, 2010).

Flavonoid sendiri memiliki bebapa turunan, antara lain quercetin dan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

9

catechin (Patel et al., 2015). Quercetin merupakan turunan flavonoid utama

dalam kandungan apel yang berasal dari flavone, yaitu antioksidan

polifenolik alami. Quercetin muncul di alam sebagai glikosida yang mudah

terhidrolisis sehingga pembentukan aglycon quercetin oleh hidrolisis

glikosida quercetin. Pembentukan aglycon quercetin tersebut membuat

quercetin memiliki aktivitas antioksidan sekitar dua kali lebih tinggi

dibandingkan dengan turunan flavonoid yang lain (Pavun et al., 2018).

Sedangkan catechin adalah turunan senyawa flavonoid yang juga memiliki

potensi sebagai antioksidan. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan

catechin dalam meminimalkan kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh

reactive oxygen species (ROS) (Anggraini, 2011).

b. Tannins

Tannins adalah metabolit sekunder dari polifenolik pada tanaman.

Karakteristik struktural masih di analisis, namun struktur tannins yang

diketahui menunjukkan bahwa adanya glikosida galloyl yang dihubungkan

melalui karbon aromatik dan/atau atom oksigen fenolik. Namun tidak semua

tannins mengandung unit galoyl atau turunannya. Tannins mempunyai sifat

sebagai antivital dan juga antibakteri (Khanbabaee & Ree, 2001). Selain itu

tannins juga bersifat antifungi yang bekerja dengan menghambat sintesis

khitin pada dinding sel jamur sehingga menyebabkan kerusakan dinding sel

jamur (Kurniawati et al., 2016).

c. Floretin

Floretin (phloretin) dan turunannya merupakan dihydrochalcones yang

secara alami terapat dalam apel, kumquat, pir, stroberi dan sayuran. Floretin

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

10

merupakan molekul yang sangat fleksibel, floretin mampu mengikat

makromolekul biologis secara efisien. Interaksi inhibisi dan aktivasi

pensinyalan jalur intraseluler ini menghasilkan sifat biologis yang

menguntungkan seperti sifatnya sebagai antijamur, antikanker, antioksidan,

antibakteri, antiosteoklastogenik, estrogenik, antivirus, dan anti-inflamasi

(Behzad et al., 2017).

d. Asam klorogenik

Asam klorogenik (chlorogenic acid) adalah senyawa fenolik dari golongan

asam hidroksisinamatik. Polifenol ini memiliki banyak manfaat dalam

meningkatkan kesehatan antara lain sebagai anti-oksidan, anti-inflamasi,

antilipidemik, antidiabetes, dan antihipertensi. Sebagai antimikroba, asam

klorogenik mampu membunuh bakteri, jamur, dan virus. Selain itu, asam

klorogenat juga memiliki aktivitas antioksidan, khususnya terhadap oksidasi

lipid (Fernandes & Salgado, 2016).

2.2. Cuka Apel

2.2.1. Deskripsi

Cuka adalah cairan yang dihasilkan dari bahan yang mengandung gula

dan pati yang melalui 2 tahap fermentasi (Zubaidah & Nuril, 2015). Cuka juga

merupakan salah satu contoh produk olahan pangan fermentasi yang biasanya

digunakan sebagai pengawet. Cuka bisa terbuat dari berbagai macam buah-

buahan, seperti apel, pisang, anggur, salak, dan buah lainnya yang memiliki

kandungan gula ataupun alkohol di dalamnya (Atro et al., 2015).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

11

Cuka apel merupakan salah satu jenis cuka yang dibuat dengan cara

menghancurkan apel kemudian memeras cairannya. Bakteri dan ragi

ditambahkan ke dalam cairan tersebut untuk memulai proses fermentasi

alkohol dan gula diubah menjadi alkohol. Setelah proses fermentasi, alkohol

diubah menjadi cuka oleh bakteri pembentuk asam asetat (Akanksha & Sunita,

2017).

2.2.2. Proses Pembuatan Cuka Apel

Cuka apel diproduksi melalui dua proses fermentasi dua langkah

dimana hasil dari proses ini ditandai dengan adanya asam asetat pada

konsentrasi yang sama atau di atas 4%. Cuka apel juga memiliki pH akhir

dimana sangat bergantung pada konsentrasi asam asetat. Proses awal proses

fermentasi dimulai dengan ragi yang akan memfermentasi gula atau pati yang

berada dalam bentuk mentah pada buah apel, hasil dari proses pertama ini akan

membentuk etanol yang selanjutnya akan difermentasi oleh bakteri asam asetat

untuk menghasilkan asam asetat. Jika bahan baku awal adalah pati, pertama-

tama perlu dilakukan hidrolisis dahulu untuk menjadi gula. Hal tersebut juga

bergantung pada metode yang digunakan untuk fermentasi kedua, cuka apel

dapat diproduksi secara cepat dalam waktu 24 jam atau dapat dibiarkan

berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk difermentasi (Morgan & Mosawy,

2016).

Kemudian hasil proses pertama dapat disaring dan dipasteurisasi

sebelum dikonsumsi. Proses ini bertujuan untuk menghancurkan dan

menghilangkan bakteri asam asetat yang digunakan selama proses frementasi

serta mencegah pembentukan “mother of vinegar”. Mother of vinegar

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

12

berkembang ketika cuka apel yang tidak dipasteurisasi dan langsung menjadi

produk siap konsumsi sehingga dapat membentuk lapisan selulosa

ekstraseluler yang bisa dilihat pada permukaan cuka apel atau biasanya juga

dapat terlihat seperti sarang laba-laba yang keruh sehingga membuat cairan

cuka apel tampak keruh. Gambar 2.2 akan menggambarkan persamaan kimia

yang terjadi pada kedua tahap fermentasi cuka apel (Morgan & Mosawy,

2016).

(Morgan & Mosawy, 2016)

Gambar 2.2

Persamaan kimia pada proses fermentasi cuka apel

Proses pembuatan cuka apel yang diterangkan di atas merupakan

teknik yang paling umum dan sering digunakan. Selain itu juga terdapat teknik

lain yang dapat dilakukan seperti Orleans process (teknik tradisional),

Generator process (teknik cepat), Submerged-Culture, dan Maceration.

Fermentasi cuka apel sebenarnya juga dapat terjadi secara spontan melalui ragi

dan bakteri yang terbentuk secara alami pada permukaan buah, sehingga

memungkinkan untuk membuatnya sendiri di rumah. Namun tentu saja cuka

apel yang dihasilkan akan berbeda kandungannya, proses ini biasa disebut

proses spontan yang tidak terstandarisasi (Morgan & Mosawy, 2016).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

13

2.2.3. Kandungan Cuka Apel

Cuka apel banyak digunakan oleh masyarakat dalam berbagai masalah

kesehatan seperti pada kanker, penyakit kardiovaskular, nyeri sendi, diabetes,

dan penurunan berat badan. Selain itu penelitian terbaru menunjukkan bahwa

cuka apel juga memiliki potensi sebagai antimikroba dengan kandungannya

berupa asam asetat (Mohanty et al., 2017). Berbeda dengan apel yang memiliki

kandungan terbesar yaitu flavonoid, pada cuka apel memiliki kandungan utama

berupa asam asetat. Selain asam asetat, cuka apel juga mengandung flavonoid

seperti pada buah apel namun flavonoid pada cuka apel tidak sedominan pada

buah apel. Kandungan cuka apel sendiri antara lain asam asetat, pektin,

flavonoid, magnesium, dan potassium (Pratama et al., 2015).

Tabel 2.2 Kandungan Cuka Apel

Komposisi Jumlah

Asam asetat (%) 4,53

Pektin (%) 0,75

Flavonoid (mg/L) 132,55

Magnesium (mg/100g) 0,02

Potassium (mg/100g) 2,05

(Rahmawati, 2015)

a. Asam asetat

Asam asetat (acetic acid) merupakan salah satu jenis dari asam organik

yang terkandung dalam cuka apel. Asam asetat memiliki potensi sebagai

antimikroba dengan mempengaruhi permeabilitas membran sel, asam

asetat bekerja aktif dalam mendegradasi substrat yang akan berikatan

dengan enzim. Sehingga membuat membran plasma sel jamur menjadi

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

14

rentan, selain itu asam asetat juga menetralkan potensi elektrokimia dan

semakin meningkatkan permeabilitas pada membran plasma sel jamur

(Hassan et al., 2015). Dengan adanya kebocoran pada membran sel ini,

maka sel jamur akan kehilangan integritas selulernya (Mohanty et al.,

2017).

b. Flavonoid

Flavonoid adalah sebuah senyawa fenolik dengan berat molekul yang

rendah dan juga metabolit sekunder yang dapat ditemukan pada buah-

buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian. Selain bermanfaat sebagai

antioksidan, kandungan flavonoid pada cuka apel juga memiliki potensi

sebagai antifungal dengan cara menghambat proses germinasi spora pada

sel jamur (Filho et al., 2015) dan juga menurunkan produksi biofilm

dimana biofilm merupakan salah satu mekanisme pertahanan sel jamur

(Serpa et al., 2012). Flavonoid juga mampu mendenaturasi protein pada sel

jamur dan dengan sifatnya yang lipofilik flavonoid mampu merusak

lapisan lipid sehingga mengakibatkan kerusakan pada dinding sel jamur.

Dengan sifatnya yang lipofilik tersebut, flavonoid mampu mengikat

fosfolipid pada membran sel jamur yang akan mengakibatkan peningkatan

permeabilitas membran sel jamur (Kurniawati et al., 2016).

c. Pektin

Pektin adalah senyawa kompleks polisakarida yang membentuk sekitar

sepertiga zat kering pada dinding sel tanaman tingkat tinggi. Konsentrasi

pektin tertinggi ditemukan di lamella tengah pada dinding sel. Dalam

dunia kesehatan, pektin sering dimanfaatkan untuk menurunkan kadar

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

15

kolesterol dalam darah. Selain itu pektin juga digunakan sebagai zat

profilaksis alami terhadap keracunan dengan kation beracun,

mengendalikan perdarahan lokal, mengobati penyakit diare, dan yang

paling terbaru ditemukan bahwa pektin memiliki potensi sebagai antifungi

(Mathur et al., 2011). Sebagai antifungi, pektin memiliki sifat anti-

adhesive terhadap sel jamur sehingga dapat mencegah terjadinya

kolonisasi sel jamur (Daoud et al., 2013). Penelitian sebelumnya juga

menunjukkan bahwa pektin lebih aktif pada infeksi oportunistik sehingga

efektif dalam menghambat flora normal seperti C. albicans (Menshikov et

al., 2017)

d. Magnesium

Magnesium merupakan salah satu mineral yang bertanggung jawab dalam

proses pengaturan metabolisme pada tulang, eksitabilitas jantung,

transmisi saraf, konduksi neuromuskular, vasomotor, kontraksi muscular,

dan tekanan darah. Magnesium memiliki peranan yang sangat penting,

karena lebih dari 300 enzim memerlukan magnesium sebagai katalisnya,

termasuk didalamnya adalah enzim untuk sintesis ATP dan sintesis

ribonucleic acid (RNA) dan deoxyribonucleic acid (DNA) (Kawilarang et

al., 2016).

e. Potassium

Potassium (kalium) merupakan salah satu elektrolit yang mempunyai

peran penting dalam tubuh. Kalium adalah ion yang bermuatan positif dan

terdapat di dalam sel. Kalium memiliki peranan dalam pemeliharaan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

16

keseimbangan asam basa, keseimbangan cairan dan elektrolit, transmisi

saraf dan relaksasi otot (Tulungnen et al., 2016)

2.3. Candida albicans

2.3.1. Taksonomi

1) Kingdom : Fungi

2) Subkingdom : Dikarya

3) Filum : Ascomycota

4) Subfilum : Saccharomycotina

5) Kelas : Saccharomycetes

6) Ordo : Saccharomycetales

7) Famili : Saccharomycetaceae

8) Genus : Candida

9) Spesies : Candida albicans

(Tjitrosoepomo, 1993)

2.3.2. Deskripsi

Candida albicans adalah jamur yang sering menyebaban infesi, mulai

dari yang bersifat ringan hingga yang bersifat invasif dan menginfiltrasi organ

dalam. Di daerah tropis seperti di Indonesia, C. albicans paling sering

menginfeksi kulit, vagina, dan rongga mulut. Selain C. albicans, juga dapat

ditemukan spesies Candida jenis lain seperti C. glabrata, C. tropicalis, C.

krusei, dan C. parapsilosis walaupun tidak sebanyak dan sesering infeksi yang

ditimbulkan C. albicans (Nelwan, 2014).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

17

C. albicans merupakan mikroorganisme yang hidup dengan dua

bentuk dan wujud sehingga disebut dengan dimorphic organism. Bentuk

pertama adalah yeast-like state (sugar fermenting organism dan non-invasif).

Bentuk kedua disebut dengan fungal form yang menghasilkan root-like

structure atau struktur yang seperti akar panjang (rhizoids) yang dapat masuk

ke mukosa dan bersifat invasif. C. albicans tumbuh cepat pada suhu 25-37⁰C

dengan media pembenihan sederhana sebagai sel oval dimana pembentukan

tunas bertujuan untuk memperbanyak diri dan spora jamur yang disebut

blastospora (sel khamir atau sel ragi) (Mutiawati, 2016).

Dinding sel C. albicans bersifat dinamis, memiliki struktur berlapis

yang terdiri dari beberapa macam karbohidrat berbeda antara lain: Mannan

atau polymers of mannose yang berpasangan dengan protein sehingga

membentuk glikoprotein yang disebut mannoprotein; α-glucans, struktur ini

bercabang menjadi polimer glukosa dan mengandung α-1,6 dan α-1,3 yang

saling berhubungan; chitin adalah homopolimer N-acetyl-D-glucosamine (Glc-

NAc) yang memiliki ikatan α-1,4. Selain ketiga unsur pokok tersebut, terdapat

unsur lain yaitu protein (6-25%) serta lemak (1-7%) (Mutiawati, 2016).

(Mutiawati, 2016)

Gambar 2.3

Struktur dinding C. albicans

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

18

Germ tube dan yeast cells mempunyai struktur dinding sel yang

hampir sama, walaupun jumlah chitin, α-glucans dan mannan bervariasi

disebabkan oleh faktor morfologinya. Jumlah glucans didapatkan lebih banyak

jika dibandingkan dengan mannan pada C. albicans yang secara imunologi

mempunyai keaktifan rendah (Mutiawati, 2016).

Morfologi C. albicans secara mikroskopis memperlihatkan

pseudohyphae dimana terdapat struktur cluster di sekitar blastokonidia

berbentuk bulat, bersepta panjang dan berukuran 3-7x3-14 μm. C. albicans

membentuk hifa yang semu (pseudohifa) dimana sebenarnya merupakan

rangkaian blastospora yang bercabang, yang dapat membentuk hifa sejati.

Struktur pseudohifa bisa dilihat dengan menggunakan media pembenihan

khusus. C. albicans dengan mudah dikenali karena memiliki kemampuan

dalam membentuk germ tubes atau dengan terbentuknya spora besar yang

berdinding teba (chlamydospore). Chlamydospore terlihat tumbuh pada kisaran

suhu 30-37⁰C, dan memberikan hasil positif dalam pemeriksaan germ tube

(Mutiawati, 2016).

(Mutiawati, 2016)

Gambar 2.4

C. albicans secara mikroskopis

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

19

2.4. Kandidiasis

2.4.1. Definisi

Kandidiasis atau yang juga dikenal dengan kandidosis adalah infeksi

jamur yang disebabkan Candida spp terutama C. albicans. Infeksi yang

ditimbulkan dapat mengenai bagian tubuh mana saja seperti kuku, kulit, traktus

gastrointestinal, membran mukosa, serta dapat menyebabkan kelainan yang

bersifat sistemik (Widaty, 2016).

2.4.2. Epidemiologi

C. albicans secara komensal merupakan flora normal yang hidup di

rongga mulut, vagina, dan traktus gastrointestinal. Prevalensi yang didapatkan

dari individu yang karier berkisar antara 15-60% tanpa disertai gejala klinis,

sehingga individu tersebut menjadi rentan mengalami infeksi C. albicans saat

imunitasnya menurun (Nelwan, 2014).

Beberapa bentuk infeksi kandidiasis antara lain oral candidiasis,

vulvovaginal candidiasis, cutaneous candidiasis, diaper rash, dan candidemia.

Penelitian pada pasien oral candidiasis di luar negeri, penyebabnya didominasi

oleh C. albicans (20-75%) (Pankaj et al., 2015), sedangkan berdasarkan laporan

kasus di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) juga menunjukkan etiologi

terbesarnya adalah C. albicans (Nur’aeny et al., 2017). Pada penelitian pasien

vulvovaginal candidiasis di luar negeri menunjukkan bahwa C. non-albicans yaitu

C. glabrata sebagai penyebab tersering diantara spesies yang lainnya (Makanjuola

et al., 2018), sedangkan penelitian di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado juga

menemukan C. albicans sebagai penyebabnya (41,4%) (Tasik et al., 2016).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

20

Prevalensi kandidiasis yang menyerang kulit (cutaneous candidiasis) di Iran

menunjukkan C. albicans sebagai penyebab terbesarnya (36,17%) (Fallahi et al.,

2013), bahkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado juga melaporkan hampir

semua kasus cutaneous candidiasis disebabkan C. albicans (70%) (Polii et al.,

2016). Kandidiasis yang menyerang bayi (diaper rash) di Turki menunjukkan

bahwa C. albicans sebagai penyebab ketiganya (80%) (Serdaroğlu & Üstünbaş,

2010), sama dengan penelitian di luar negeri, di Indonesia diaper rash juga

menyerang 80% dari responden yang diteliti (Frilasari, 2016). Candidemia adalah

kandidiasis yang paling berbahaya, laporan dari 23 rumah sakit di Amerika

Serikat, candidemia merupakan penyebab ketiga sepsis dengan penyebab dominan

infeksi adalah C. albicans (Santolaya et al., 2013), sedangkan hasil yang berbeda

didapatkan dari penelitian di Indonesia dimana kasus candidemia didominasi oleh

C. tropicalis (Mursinah et al., 2016).

Prevalensi dari berbagai bentuk manifestasi klinis kandidiasis diatas,

menunjukkan bahwa penyakit ini dapat terjadi di seluruh dunia, tidak

memandang gender baik perempuan maupun laki-laki, serta dapat menyerang

semua usia (Widaty, 2016).

2.4.3. Faktor Predisposisi

Infeksi kandidiasis terjadi tidak hanya karena adanya C. albicans di

dalam tubuh manusia, untuk bisa menjadi patogen, manusia sebagai host juga

memiliki faktor-faktor yang mempermudah C. albicans berubah menjadi

patogen antara lain perubahan fisiologis (kehamilan, usia, haid), faktor

mekanik (trauma, oklusi lokal, kelembaban, kegemukan, maserasi), faktor

nutrisi (defisiensi zat besi, avitaminosis, malnutrisi), iatrogenik (penggunaan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

21

kateter, penggunaan obat-obatan, iradiasi sinar X), dan adanya penyakit

sistemik (imunodefisiensi, penyakit endokrin, Down Syndrome, uremia,

acrodermatitis enteropatika, keganasan). Faktor-faktor tersebut merupakan

faktor predisposisi baik yang berasal dari endogen maupun eksogen (Widaty,

2016).

2.4.4. Patogenesis

C. albicans dapat bertahan hidup sebagai flora normal di rongga

mulut, vagina, dan traktus gastrointestinal karena kemampuannya dalam

menempelkan diri pada mukosa manusia dan dengan berkompetisi dengan

bakteri lainnya. Namun jika keseimbangan tersebut diganggu, dapat

menyebabkan peningkatan pertumbuhan sel jamur atau peningkatan

kemampuan sel jamur untuk menginvasi manusia, seperti disebabkan oleh

penggunaan antibiotik jangka panjang dan berspektrum luas akan membunuh

flora normal di rongga mulut dan usus sehingga C. albicans menjadi patogen.

Akibatnya limfosit sel T dan neutrofil akan berusaha untuk menekan invasi C.

albicans yang menjadi patogen tersebut. Dengan adanya faktor predisposisi,

akan menambah potensi sel jamur dalam melakukan invasi sehingga limfosit

sel T dan neutrofil akan mengalami depresi. Depresi limfosit sel T dan

neutrofil ini akan menyebabkan sel jamur semakin berkembang dan menyerang

system inhibisi ada mekanisme tubuh yang normal (Nelwan, 2014).

Adanya sel jamur yang terus menginvasi kulit maupun membran

mukosa akan menyebabkan kerusakan pada tempat sel jamur tersebut

menempel, baik pada kulit maupun pada mukosa. Terganggunya keutuhan kulit

ataupun membran mukosa tersebut memberikan jalan masuk untuk C. albicans

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

22

ke dalam tubuh yang lebih dalam dan menyebar secara hematogen sehingga

dapat menyebabkan terjadinya candidemia dengan manifestasi klinis

kandidiasis viseral. Kandidiasis viseral ini akan menimbulkan terjadinya

neutropenia. Akibat peran neutrofil dalam mempertahankan tubuh host dari

invasi sel jamur, akan timbul lesi viseral yang ditandai dengan adanya nekrosis

dan respon inflamatori neutrofilik. Neutrofil membunuh sel jamur dengan

merusak pseudohifa yang terbentuk sebagai bentuk pertahanan diri sel jamur.

Jika pertahanan tubuh host tidak mampu membunuh sel jamur, maka C.

albicans yang bersifat patogen tersebut akan tetap dalam sirkulasi darah dan

dapat menyebabkan berbagai infeksi pada organ vital manusia seperti hepar,

ginjal, penempelan pada katup jantung buatan, arthritis, meningitis, dan

endopthalmitis (Mutiawati, 2016).

2.4.5. Jenis Kandidiasis

a. Kandidiasis oral

Kandidiasis oral (oral candidiasis) merupakan salah satu bentuk dari infeksi

fungi pada mukosa oral. Lesi ini dapat disebabkan oleh lima spesies

Candida spp yang menjadi flora normal di rongga mulut antara lain C.

albicans, C. krusei, C. parapsilosis, C. tropicalis, dan C. guilliermondi. Dari

kelima spesies Candida spp tersebut C. albicans merupakan spesies yang

paling sering menyebabkan kandidiasis oral (30-50%). C. albicans dapat

tumbuh dan bertahan dalam rongga mulut manusia dengan reproduksi

menggunakan tunas, membentuk hifa, dan membentuk tunas elipsoid yang

bisa meningkatkan pertumbuhan misela baru. Secara umum manifestasi

klinis dari kandidiasis oral terdiri dari lima bentuk antara lain

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

23

pseudomembranosa, atropik, hiperplastik, eritematosa, dan keilitis angular.

Pada pasien dapat menunjukkan satu atau lebih dari lima bentuk manifestasi

klinis tersebut. Pengobatan lini pertama untuk kandidiasis oral adalah

nistatin yang tersedia dalam bentuk krim dan suspense oral (Hakim &

Ramadhian, 2015).

b. Vulvovaginitis

Vulvovaginitis atau biasa disebut vaginitis kandida (vulvovaginal

candidiasis) merupakan salah satu bentuk infeksi Candida spp yang

mengenai vagina dan bukan termasuk infeksi menular seksual (IMS) karena

Candida spp merupakan salah satu flora normal yang menghuni vagina. C.

albicans merupakan penyebab dominan terjadinya vaginitis kandida (80-

95%), sisanya disebabkan oleh C. glabrata dan C. tropicalis. Gejala yang

dikeluhkan pasien biasanya berupa pruritus, disertai iritasi vagina, dysuria,

keluar cairan vagina berwarna putih seperti keju dan tidak berbau. Terapi

yang dapat diberikan antara lain imidasol atau triasol (krim atau supositoria)

dan dapat juga dapat diberikan fluconazole 150 mg dosis tunggal per oral

yang diklaim mempunyai efikasi yang tinggi (Hakimi, 2014).

c. Kandidiasis Kulit

Kandidiasis kulit (cutaneous candidiasis) atau kandidosis intertriginosa

adalah lesi bercak yang berbatas tegas, basah, bersisik, dan eritematosa yang

terdapat di daerah lipatan kulit seperti lipatan kulit ketiak, intergluteal,

lipatan payudara, serta lipatan dinding perut. Lesi tersebut dikelilingi lesi

satelit berupa vesikel, pustule, ataupun bula yang mudah pecah. Dengan

pecahnya lesi satelit tersebut akan meninggalkan daerah yang erosi dengan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

24

pinggiran yang kasar, dimana yang awalnya lesi satelit akan berkembang

menjadi lesi primer. Pengobatan yang biasa diberikan untuk kandidiasis

kulit ini adalah nistatin dalam sediaan krim atau suspensi (Widaty, 2016).

d. Diaper rash

Diaper rash merupakan semua erupsi kulit yang terjadi pada daerah yang

dilingkupi oleh popok. Kondisi ini dapat disebabkan secara langsung akibat

pemakaian popok (dermatitis kontak iritan), diperburuk dengan pemakaian

popok (psoriasis), maupun yang terjadi dengan atau tanpa pemakaian popok

(misalnya acrodermatitis enteropathica). Prevalensi terbanyak pada anak

usia 9-12 bulan. Diaper rash lebih sering pada anak-anak tetapi juga dapat

terjadi pada orang dewasa yang menggunakan popok. Secara klinis sering

ditemukan dermatitis kontak iritan pada daerah genital, bokong, paha atas

dan perut bagian bawah. Terapi farmakologis untuk diaper rash adalah

nistatin sediaan krim, namun jika dalam 3 hari tidak membaik terapi bisa

diganti dengan nistatin oral (Serdaroğlu & Üstünbaş, 2010).

f. Kandidemia

Kandidemia (candidemia) merupakan suatu kondisi dimana C. albicans

berada dalam sirkulasi darah, keadaan ini dapat membuat infeksi kandidiasis

menyebar ke organ-organ tubuh secara hematogen yang disebut sebagai

kandidiasis invasif. Organ-organ yang dapat terinfeksi antara lain mata,

ginjal, hepar, dan otak. Kondisi ini tidak terjadi pada semua orang, namun

pada sekelompok orang yang immunokompromais contohnya pada pasien

DM, pasien dengan penggunaan steroid dan antibiotik spektrum luas, serta

pasien dengan kateter. Manifestasi yang dapat timbul antara lain demam,

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

25

ruam kulit, fatigue, anemia, gangguan penglihatan (jika menginfeksi mata),

headaches dan deficit neurologi, serta nyeri abdomen. Terapi utamanya

adalah dengan menghentikan faktor predisposisi seperti steroid atau kateter,

selanjutnya diberikan antifungal. Antifungal yang dapat diberikan adalah

fluconazole dan amphotericin B (American Thoracic Society, 2012).

2.5. Antifungi

Antifungi merupakan agen yang digunakan untuk membunuh jamur atau

menekan reproduksi/pertumbuhan sel jamur (Dorland, 2012). Di Indonesia sendiri

antifungi beragam karena terus dilakukannya penelitian untuk mendapatkan obat

antifungi yang memberikan manfaat dengan efek samping yang minimal. Obat

antifungi dibedakan menjadi obat sistemik untuk infeksi sistemik, obat sistemik

untuk infeksi mukokutis, dan juga obat topikal untuk infeksi mukokutis (Sheppard

& Lampiris, 2014).

2.5.1. Obat Sistemik untuk Infeksi Sistemik

a. Amfoterisin B

Amfoterisin A dan B merupakan antijamur yang dihasilkan oleh

Streptomyces nodosus, namun untuk amfoterisin A tidak digunakan

dalam klinis. Amfoterisin B bekerja dengan membentuk pori pada

membran sel yang mengakibatkan keluarnya konstituen intrasel.

Amfotesisin B digunakan pada kandidemia lokalisata dan sistemik,

serta infeksi akibat Histoplasma, Blastomyces, Cryptococcus,

Aspergillus, dan Coccidioides (Sheppard & Lampiris, 2014).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

26

b. Flusitosin

Flusitosin merupakan sebuah analog pirimidin yang larut air yang

dikenal sebagai antijamur yang poten. Flusitosin sebagai antifungi

bekerja dengan mengganggu sintesis DNA dan RNA pada sel jamur.

Flusitosin merupakan pilihan obat antifungi untuk infeksi

kromoblastomikosis dan Cryptococcus (Sheppard & Lampiris, 2014).

c. Azol

Azol merupakan senyawa sintetis yang diklasifikasikan menjadi

imidazol dan triazol. Imidazol terdiri atas ketokonazol, klotrimazol, dan

mikonazol, sedangkan triazol meliputi flukonazol, itrakonazol,

vorikonazol, dan posakonazol. Golongan azol bekerja dengan

menghambat enzim P450 pada sel jamur dan mengganggu sintesis

ergosterol, namun khusus untuk flukonazol memiliki kemampuan untuk

menembus SSP dengan baik sehingga biasanya juga digunakan pada

pasien meningitis jamur. Golongan azol termasuk antifungsi

berspektrum luas meliputi Candida, Cryptococcus, blastomikosis,

koksidioidomikosis, dan histoplasmosis (Sheppard & Lampiris, 2014).

d. Ekinokandin

Ekinokandin merupakan salah satu obat dari golongan antifungi yang

baru dikembangkan. Ekinokandin bekerja dengan menghambat sintase

beta-glukan sehingga menghambat pembentukan dinding sel jamur.

Obat ini diindikasikan untuk Candida dan juga aspergilosis (Sheppard

& Lampiris, 2014).

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

27

2.5.2. Obat Sistemik untuk Infeksi Mukokutis

a. Griseofulvin

Griseofulvin merupakan antifungi yang bersifat fungsistatik yang

berasal dari spesies penisilin dan sangat tidak larut. Griseofulvin

berikatan dengan keratin pada kulit serta melindungi kulit dari infeksi

baru. Obat ini digunakan dalam terapi sistemik dermatofitosis

(Sheppard & Lampiris, 2014).

b. Terbinafin

Terbinafin merupakan sebuah alilamin sintetik yang digunakan pada

terapi dermatofitosis khususnya onikomikosis. Obat ini tersedia dalam

sediaan oral dengan dosis 250 mg/hari. Terbinafin termasuk obat

keratofilik seperti griseofulvin, terbinafin juga bekerja dengan

mengganggu biosintesis ergosterol (Sheppard & Lampiris, 2014).

2.5.3. Obat Topikal untuk Infeksi Mukokutis

a. Nistatin

Nistatin merupakan sebuah makrolid polien yang mirip dengan

amfoterisin B. Nistatin bersifat toksik jika diberikan dalam sediaan

parenteral sehingga hanya ada dalam sediaan topical. Nistatin paling

sering digunakan untuk menekan infeksi Candida lokal (Sheppard &

Lampiris, 2014).

b. Azol Topikal

Golongan azol yang paling banyak tersedia secara topikal adalah

klotrimazol dan mikonazol. Obat golongan azol topikal ini sering

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

28

digunakan untuk terapi kandidiasis vulvovagina, namun juga dapat

digunakan pada terapi dermatofita (Sheppard & Lampiris, 2014).

c. Alilamin Topikal

Contoh obat dari alilamin sediaan topikal antara lai terbinafin dan

naftifin. Kedua obat tersebut efektf dalam mengobati tinea korporis dan

juga tinea kruris (Sheppard & Lampiris, 2014).

2.6. Uji Kepekaan terhadap Antifungi

2.6.1. Metode Dilusi

Metode dilusi yang digunakan bertujuan untuk menentukan

konsentrasi minimal antimikroba untuk menghambat atau membunuh

mikroorganisme. Hal ini dapat dicapai dengan pengenceran antimikroba baik di

media agar atau broth (Global Salm-Surv, 2003).

Prinsip metode dilusi adalah menggunakan satu seri tabung reaksi

yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang di uji. Kemudian

masing-masing tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial.

Selanjutnya, seri tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan

diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada

tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai nampak jernih (tidak

ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Selanjutnya biakan dari

semua tabung yang jernih di inokulasikan pada media agar padat,

diinkubasikan dan keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni mikroba yang

tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

29

tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap

bakteri uji (Global Salm-Surv, 2003).

2.6.2. Metode Difusi Cakram

Difusi dari agen antimikroba menjadi hasil media kultur unggulan

dalam gradien antimikroba. Ketika konsentrasi antimikroba menjadi begitu

encer yang tidak bisa lagi menghambat pertumbuhan mikroba uji, maka zona

inhibisi dibatasi. Diameter zona inhibisi yang mengitari disk antimikroba

berhubungan dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) untuk mikroba tertentu.

Secara umum, semakin besar zona inhibisi, semakin rendah konsentrasi

antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan organisme

(Global Salm-Surv, 2003).

Prinsip dari metode difusi cakram adalah dengan obat dijenuhkan ke

dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat

tertentu ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampur

dengan mikroba yang diuji, kemudian diinkubasikan 370C selama 18-24 jam.

Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar cakram kertas yang

menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Global Salm-Surv, 2003)

Untuk mengevaluasi hasil uji kepekaan tersebut, dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu:

a. Cara Kirby Bauer, yaitu dengan cara membandingkan diameter dari area jernih

(zona hambatan) disekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh

(National Committee for Clinical Laboratory Standart) NCCLS.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/58614/3/BAB II.pdf · 3) Filum : Ascomycota 4) Subfilum : Saccharomycotina 5) Kelas : Saccharomycetes 6) Ordo : Saccharomycetales 7) Famili

30

b. Cara Joan-Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona hambatan

yang terjadi antara kontrol mikroba yang sudah diketahui kepekaannya

terhadap obat tersebut dengan isolat mikroba yang diuji.

2.7. Penelitian Penunjang

Penelitian tentang pengaruh cuka apel terhadap C. albicans yang

sebelumnya dilakukan oleh Mohanty et al. menggunakan microtiter plate terbukti

efektif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada kadar cuka apel sebesar

20% (Mohanty et al., 2017). Sedangkan pada penelitian serupa yang dilakukan

oleh Yagnik et al. dengan metode difusi menunjukkan hasil bahwa kadar 50%

memiliki efek paling kuat dan mencapai Minimum Inhibitory Concentration

(MIC) sebesar 11 mm pada agar plate (Yagnik et al., 2018). Penelitian tentang

pengaruh cuka apel menggunakan metode dilusi pernah dilakukan sebelumnya

namun terhadap Salmonella typhi dengan menggunakan konsentrasi 100%, 50%,

25%, dan 12,5% yang menunjukkan bahwa KHM terdapat pada konsentrasi

12,5% dan KBM terdapat pada konsentrasi 25% (Pratama et al., 2015).

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan di Laboratorium

Biomedik FK UMM tentang pengaruh cuka apel terhadap C. albicans

menggunakan metode dilusi menunjukkan KHM terdapat pada konsentrasi 6,25%

dan KBM terdapat pada konsentrasi 12,5%.