“SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi...

15
Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M. Arief Wicaksono Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Makalah diperuntukkan memenuhi Ujian Akhir Semester Genap 2017 Mata Kuliah Metode Penelitian Antropologi

Transcript of “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi...

Page 1: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

Makalah UAS

“SESUAI PETUNJUK

BAPAK PRESIDEN”

Tinjauan Buku Etnografi

Young Heroes: The Indonesian Family in Politics

karya Saya Sasaki Shiraishi (1997)

M. Arief Wicaksono

Antropologi Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

Makalah diperuntukkan memenuhi Ujian Akhir Semester Genap 2017

Mata Kuliah Metode Penelitian Antropologi

Page 2: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

“SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN”

Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics

karya Saya Sasaki Shiraishi (1997)

Kutipan yang saya jadikan judul di atas adalah perkataan yang lazim didengarkan rakyat

Indonesia pada masa orde baru. Ucapan itu sering dilontarkan oleh seorang menteri Soeharto,

Harmoko, yang sangat loyal pada presidennya. Buku ini adalah buku etnografi yang

membahas bagaimana kata bapak bukan sekadar kata untuk memanggil orang laki-laki yang

lebih tua dari kita. Kata bapak telah memiliki makna yang amat penting bahkan menjadi

ideologi, bersama kata ibu, anak, dan keluarga. Buku Young Heroes: The Indonesian Family

in Politics yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Seno Gumira Ajidarma,

Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik ditulis ditulis oleh Profesor

Saya Sasaki Shiraishi, pengajar antropologi pendidikan dan etnografi asia tenggara di

Departemen Antropologi, Universitas Kyoto Bunkyo yang telah melakukan penelitian di

Indonesia pada tahun 1989. Masa orde baru menjadi latar sekaligus konteks yang penting

bagi setiap peristiwa yang dipaparkan oleh Shiraishi dalam buku ini.

Konten Buku

Shiraishi adalah satu dari sedikit ahli dan peneliti antropologi (baik yang berasal dari dalam

maupun luar Indonesia) yang memiliki perspektif berbeda dalam menentukan fokus

kajiannya. Pada tahun-tahun itu (Tahun 80-an) banyak ahli dan peneliti antropologi memilih

untuk melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok etnik/suku bangsa. Hal ini bermula

ketika Shiraishi banyak berjumpa dengan orang-orang yang semula memperkenalkan diri

sebagai “orang Indonesia”, baru kemudian memperkenalkan diri mereka sebagai bagian drai

kelompok etnik tertentu, seperti “orang Jawa, orang Sunda”, dan lain sebagainya. Bagi

Shiraishi, sudah waktunya (pada saat itu) para antropolog mengkaji makna menjadi orang

Indonesia, dan apakah ada sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia (Shiraishi

(dalam terjemahan), 2001:vii).

Gagasan utama Shiraishi dalam buku ini, sebagaimana yang telah dia jadikan sebagai

judul buku, adalah pemikirannya mengenai “Keluarga Indonesia”. Gagasan mengenai

“Keluarga Indonesia” ini merupakan implikasi dari skenario besar rezim Orde Baru melalui

reproduksi harian jaringan perluasan keluarga semu yang meletakkan (tentunya) Presiden

Soeharto sebagai bapak tertinggi, sementara rakyat Indonesia sebagai “anak-anaknya”. Maka

tak heran jika pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dianugerahi gelar sebagai “Bapak

Pembangunan”. Pengertian kata bapak dalam buku ini tidak merujuk pada pengertian paling

mendasar (jika dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pengertian pertama) yaitu sebagai

(1) orang tua laki-laki ; ayah (2) orang laki-laki yang dalam pertalian kekeluargaan boleh

dianggap sama dengan ayah (seperti saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki bapak)1.

Di bagian pendahuluan, Shiraishi memberikan kutipan dari buku otobiografi

Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) yang menurutnya sangat

gamblang menunjukkan bagaimana ideologi kekeluargaan (semu) itu dijalankan oleh

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 80

Page 3: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

Soeharto sebagai bapak tertinggi kepada menteri-menterinya sebagai anak. Perhatikan

kutipan berikut ini:

Di mata saya tidak ada anak emas, juga tidak ada anak yang tidak saya senangi. Tidak ada.

Semua mereka itu, dalam tugas dan bidangnya masing-masing, mempunyai kepercayaan

yang sama dari saya. Semuanya pembantu-pembantu dekat saya sesuai degan bidangnya

masing-masing...2

Dari kutipan di atas jelas bagaimana Soeharto menggunakan kata anak untuk

menyebut pembantu-pembantunya (menteri-menterinya). Sebaliknya, para menteri itu

menganggap dan menyebut presidennya sebagai bapak. Dalam bahasa politik kekeluargaan,

Soeharto bukan sekadar presiden, tetapi bapak presiden. Perbedaan yang amat halus, namun

penting (Shiraishi, 2017:3). Otobiografi Soeharto yang dikutip untuk beberapa bagian dalam

buku ini menunjukkan bahwa gagasan tentang bapak bukan sekadar sebagai bahasa, tetapi

telah merasuk dalam ideologi orde baru yang mengkonstuksi suatu keluarga besar bernama

Indonesia. Hal ini sama halnya dengan anak-anak Indonesia yang memanggil guru mereka

dengan sebutan bapak dan ibu guru, bukan Tuan dan Nyonya, seperti dalam bahasa Inggris

(Mr atau Mrs). Gagasan mengenai Keluarga Indonesia ini pada mulanya mendapat pengaruh

dari sistem pendidikan nasional yang lahir dari Ki Hadjar Dewantoro melalui organisasi

Taman Siswa-nya, sehingga apa yang disebut sebagai Keluarga Indonesia sesungguhnya di

dalamnya terdapat mendapat pemgaruh dari corak budaya Jawa.

Pada bab pertama buku ini, Shiraishi menggambarkan latar dan konteks waktu

penelitian etnografi ini dilakukan, yaitu pada masa rezim Orde Baru, bukan dalam konteks

politik dan pemerintahan, melainkan pada kehidupan sehari-hari keluarga (dalam artian yang

sebenarnya) di Jakarta. Shiraishi tidak hanya melakukan pengamatan langsung terhadap

keluarga-keluarga di Jakarta, melainkan ia juga mengkonstruksi pemaknaan mengenai

gagasan keluarga ini dari sejumlah bacaan: koran hingga majalah anak-anak. Menurutnya,

bacaan-bacaan tersebut memuat bagaimana gagasan keluarga ini dikonstruksikan serta

berkaitan dengan jaringan dan kesetiaan. Shiaishi memaparkan mengenai dikotomi antara

yang dikenal dengan yang tidak dikenal pada masyarakat Jakarta. Maksudnya, bagi seorang

warga Jakarta, dunia jaingannya terdiri dari dua oposisi ini: antara orang-orang yang

dikenalnya dengan yang tidak dikenalnya.

Shiraishi memaparkan pengalamannya ketika melihat seorang ibu sedang menunggu

anaknya di Bandara. Di hadapan ibu itu, banyak sekali orang-orang berlalu lalang dan datang

silih berganti, namun ibu itu hanya menunggu satu orang saja, yaitu anak yang sangat

dicintainya. Ketika melihat anaknya telah tampak dari pintu kedatangan, ibu itu langsung

menghampiri dan mereka berdua slaing berpelukan, tanpa ada satu katapun keluar dari ibu

maupun anak. Bagi sang ibu maupun sang anak, pelukan hangat lebih mengekspresikan

bagaimana kerinduan diutarakan daipada melalui kata-kata. (tindakan lebih ekspresif daipada

kata-kata). Hal inilah yang sesungguhnya menggambarkan bagaimana antaranggota keluarga

menunjukkan kesetiaan diantara mereka. Bagian ini juga menunjukkan bagaimana jaringan

2 Soeharto dalam Shiraishi (Terjemahan, 2001) Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik

Page 4: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

dibentuk, dalam artian, yang tidak dikenalpun bisa kita ajak kenalan, dan kita masukkan

dalam daftar keluarga (semu) kita.

Di bab dua, Shiraishi mulai spesifik membicarakan sosok Soeharto sebagai Bapak

Orde Baru, bapaknya bangsa Indonesia. Dalam bagian ini, Shiraishi memaparkan tinjuanan

historis kemunculan Orde Baru melalui peristiwa tragis, yaitu upaya kudeta 1 Oktober 1965.

Lebih jauh ke belakang, Shiraishi mengutip penyataan wartawan Bryan May: “Indonesia

dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahikan kembali dlama kudeta dan dibaptis dengan

darah pembantaian.3. Penculikan yang dimaksud bukan penculikan yang terjadi pada

peristiwa 1965, melainkan penculikan yang dilakukan oleh golongan muda terhadap

golongan tua pada detik-detik menjelang kemerdekaan, atau yang kita kenal sebagai peristiwa

Rengasdengklok (1945). Dalam peristiwa ini juga tergambar bagaimana relasi bapak

(Soekarno) dan anak (golongan pemuda). Anak memaksa bapak untuk melakukan revolusi

(memproklamirkan kemerdekaan). Sang bapak marah, anak menjadi segan. Peristiwa

penculikan para Jenderal pada 1965 juga digambarkan dalam relasi bapak dan anak dalam

kesatuan unit militer. Bapak adalah para Jenderal dan anak adalah bawahan mereka yang

memberontak. Peristiwa yang berisi relasi bapak dan anak inilah yang dari dulu hingga

padapada akhirnya melahirkan Indonesia sebagai unit keluarga besar.

Pada bab tiga, Shiraishi memaparkan kejadian-kejadian yang ada dalam lingkungan

keluarga, khususnya di rumah kediaman mereka. Di sini dia berusaha menunjukkan

bagaimana pola keluarga Indonesia yang sebenarnya tebangun dari pola keluarga Jawa itu.

Diceritakan tentang seorang gadis kecil bersama ibunya pada sebuah acara arisan di Jakarta.

Melihat gadis kecilnya akan mengambil permen merah, secara tiba-tiba ibunya

mengambilkan permen hijau dan memasukkan permen itu ke mulut si gadis. Sontak gadis

kecil itu membuang permen hijau dari mulutnya hingga jatuh ke lantai. Melihat peristiwa itu,

ibu-ibu yang lain tertawa karena menganggap peristiwa itu adalah peristiwa yang lucu.

Shiraishi membandingkannya dengan apa yang dia dapatkan dari temannya di Indonesia

mengenai pernikahan. Sang gadis tidak diperkenankan memilih laki-laki pilihannya, tetapi

harus menerima laki-laki pilihan ibunya, meskipun laki-laki pilihan gadis tersebut memiliki

keyakinan yang sama (Katolik) dan bekerja seperti ayahnya, yaitu sebagai polisi. Jika

dikaitkan, apa bedanya antara permen merah dan hijau tersebut? Dalam beberapa konteks,

relasi antara bapak/ibu dan anak menjadi relasi super dan subordinasi.

Pada bab empat, Shiraishi memaparkan bagaimana pemahaman akan “bapak-isme”

ini muncul dan berkembang, meskipun sudah dijelaskan secara sekilas di bagian

pendahuluan, yaitu berawal dari konsep pendidikan KI Hadjar Dewantoro mengenai “sistem

pamong”nya. Penerapan sistem kekeluargaan sebagai prinsip-prinsip organisasi Taman Siswa

mulai dikumandangkan sejak kongres nasional yang berlangsung di Yogyakarta pada

Agustus 1930 (Shiraishi (dalam terjemahan), 2001:124). Disebutkan bahwa seorang tokoh

Taman Siswa cabang Mataram bernama Tjokrodirdjo mengemukakan bahwa Taman Siswa

Cabang Mataram berlaku sebagai kakak yang memikul tanggung jawab pada adik-adiknya

(Taman Siswa cabang lain). Ciri-ciri kekeluargaan ini juga sangat jelas tergambar pada nilai-

nilai Taman Siswa: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

3 Brian May, The Indonesian Tragedy (1978) dalam Shiraishi (tejemahan, 2001), Pahlawan-pahlawan Belia:

Keluarga Indonesia dalam Politik.

Page 5: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

Sistem ini tak lain bermaksud mendorong anak agar berjalan di jalan yang benar, memberi

motivasi pada mereka, dan dari belakang melihat kemajuan sang anak. Prinsip ini juga

diterapkan di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Maka tak heran jika di dalam

unit militer, gagasan relasi bapak-anak juga terasa kental.

Pada bab lima, Shiraishi menggambarkan “sisi lain” dari bapak. Bagaimana jika

bapak yang terkenal sebagai sosok yang kita homati, yang dianggap mampu melindungi kita,

yang senantiasa memberikan petunjuk pada anak-anak nya pada suatu saat melakukan

skandal? Di sini dikisahkan tentang seorang Direktur suatu Bank yang telah lama menjabat,

sehingga telah dianggap sebagai bapak oleh karyawan-karyawannya. Sang bapak dikenal

sebagai oang yang dermawan terhadap karyawannya, seperti membiayai operasi anggota

keluarga karyawan. Hingga pada suatu hari sang bapak terkena skandal korupsi sehingga

harus ditahan. Aneh tapi nyata, pada saat acara pencopotan sang bapak di lakukan, para

karyawan bukannya marah karena sosok bapak yang dihormatinya melakukan korupsi, malah

mereka bermuka sembab dan sangat sedih karena akan berpisah dengan sang bapak. Contoh

lain adalah sisi lain dari bapak Sudomo, salah satu “menteri inti” dalam kabinet Soeharto

yang pada suatu ketika menerbitkan kebijakan pelarangan mobil dengan kaca gelap. Namun

demikian, ketika dia ditanya mengapa mobilnya sendiri berkaca gelap, dia hanya menjawab

“ya begitulah”. Sang bapak bisa saja sangat toleran dan baik hati tapi dia juga bisa saja

menjadi orang yang sewenang-wenang.

Pada bab enam, Shiraishi menceritakan bagaimana ideologi kekeluargaan ini juga

terdapat dalam lingkungan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah (di Jakarta). Dunia

sekolah adalah “dunia keluarga” yang sama sekali baru. Maka tak heran muncul istilah bahwa

guru adalah orang tua kedua di sekolah. Ruang kelas adalah rumah yang baru. Di dalam

“rumah baru” tersebut ada peraturan yang harus dipatuhi oleh murid-murid. Murid adalah

anak, sementara guru adalah bapak atau ibu. Bapak atau ibu guru memandang sama semua

murid-muridnya (anak-anaknya). Hal ini berbeda dengan ibu (asli) yang hanya

memperhatikan anaknya masing-masing, seperti yang terdapat dalam peristiwa “perebutan

bangku paling depan”, dimana ibu-ibu slaing berebut bangku paling depan untuk anaknya

masing-masing. Sistem pendidikan nasional Indonesia memandang seragam semua anak-

anak yang ada di dalamnya tanpa terkecuali. Salah stau pelajaran yang mengkosntruksi

bagaimana sistem kekeluargaan dibangun adalah pelajaran bahasa Indonesia. Dalam buku

pelajaran bahasa Indonesia, kita tentu familiar dengan bacaan “...ini budi, ini ibu budi, ini

bapak budi,...” yang berperan penting dalam membentuk “keluarga baru”.

Pada bab tujuh (terakhir) dalam buku ini, Shiraishi menceritakan golongan yang

kurang terkekspos dalam ideologi keluarga-isme Indonesia, yaitu para remaja. Dalam hal ini,

Shiraishi mengaitkan antara peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok pemuda

dari sebuah kelompok agama dan respon pemerintah. Pada mulanya adalah majalah Monitor

yang menerbitkan hasil survei tokoh yang digemari. Dalam survei itu, disebutkan bahwa Nabi

Muhammad sebagai sosok yang paling dihormati dalam agama Islam mendapat posisi ke-11,

sementara pemimpin redaksi majalah tersebut, Arswendo, berada satu tingkat di atasnya. Para

remaja marah karena menyamakan Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Pemerintah,

dalam hal ini tidak bisa membela redaksi meskipun urutan pertama dalam suvei tersebut

adalah Soeharto. Pemerintah sebagai bapak memandang bahwa para remaja yang berdemo

itu tak ada bedanya dengan kanak-kanak yang masih mencari bimbingan dan arah kesana

Page 6: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

kemari. Oleh karena itu yang dihukum bukanlah anak-anak yang melakukan kekacauan, tapi

pihak redaksi sebagai provokator atau penyebab kekacauan. Anak-anak adalah golongan

yang maish pelu dibimbing. Mereka tidak memahami apa yang mereka lakukan. Redaksi

majalah adalah golongan yang sudah dewasa, yang telah mengerti apa yang telah

dilakukannya. Oleh karena itulah yang dihukum adalah redaksi Monitor.

Tipe Etnografi

Merujuk pada Boyle (1974) dalam Issues in Qualitative Research Methods, karya Shiraishi

ini termasuk dalam maxi/macro-ethnography. Hal ini sejak awal telah diakui oleh Shiraishi

sendiri bahwa lapangan kajiannya tidak seperti antropolog lain yang terbatas pada budaya

kelompok etnik tertentu, melainkan budaya suatu masyarakat negara-bangsa yang di

dalamnya terdiri dari banyak kelompok etnik. Jika merujuk juga pada tabel oposisi biner

klasifikasi etnografi menurut Werner dan Schoelpfle (1978a) dalam Systematic Fieldwork

and Data Analysis Management Vol 1. No. 55, etnografi yang ditulis Shiraishi ini memuat

kriteria: holistik, urban (Shiraishi melakukan penelitiannya di keluarga-keluarga di Jakarta),

berfokus pada penggunaan bahasa lokal, dalam hal ini bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia

menjadi penting karena berkaitan dengan konteks dan makna untuk memahami fenomena

sosial budaya pada penelitian tersebut.

Fokus Kajian dan State of The Art

Shiraishi menempatkan dirinya (the self) sebagai instrumen utama penelitian dan informan

sebagai the others (Lasitter, 2005). Fokus kajian utama dalam buku ini adalah konsep atau

gagasan mengenai keluarga dalam berbagai teks dan konteks, yang kesemuanya itu berjujung

pada suatu konstuksi keluarga besar rezim Orde Baru. Keluarga Indonesia menjadi produk

dari proses panjang sejarah dan sistem pendidikan nasional Indonesia. Di dalam (salah

satunya) sistem pendidikan tersebut, bekembang dan tersebar luas buku-buku teks pelajaran

sekolah yang mencerminkan gagasan mengenai kekeluargaan. Gambaran tersebut membantu

warga bangsa dalam mengimajinasikan identitas bangsa mereka sebagai satu kesatuan

keluarga yang besar. Imajinasi ini secara teus menerus direproduksi melalui kehidupan

sehari-hari: di lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, lingkungan sekolah, lingkungan

kerja, hingga lingkungan pemerintahan.

Dalam mencari itu semua, Shiraishi melakukan penelitiannya pada sejumlah

lingkungan keluarga dan sekolah. Selebihnya ia banyak melakukannya dengan studi pustaka

dari berbagai sumber, seperti buku otobiografi, berita-berita di media koran, majalah, hingga

buku-buku teks pelajaran sekolah dasar. Teks-teks tersebut (meskipun tidak mendalam dan

mungkin bias) secara kolektif menunjukkan pola ideologi keluarga ini, mulai dari berita

hingga cerita. Begitu masifnya ideologi kekeluargaan ini dipenetrasi ke dalam kehidupan

berbangsa dan benegara, hingga sangat sering kita dengarkan bahwa setiap ada konflik,

mayoritas pendapat akan mengatakan “sebaiknya setiap masalah diselesaikan dengan

kekeluargaan”. Fokus kajian utama Shiraishi mengenai keluarga ini kemudian

dikontekstualisasikan dalam kehidupan politik Indonesia, dalam hal ini adalah kaitannya

dengan relasi yang cenderung berpola super-subordinasi.

Page 7: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

Fenomena mengutamakan kekeluargaan seperti itu bagi banyak orang Indonesia

kebanyakan mungkin dianggap sesuatu yang wajar dan biasa karena memang kekeluargaan

ini disebut-sebut sebagai kekhasan „budaya timur‟ yang mengutamakan solidaritas mekanik.

Akan tetapi, bagi Shiraishi, hal tersebut bukan suatu kebetulan yang tak ada artinya. Dalam

buku ini Shiraishi menunjukkan secara jernih dan argumentatif bahwa ada suatu hubungan

yang erat antara politik dan ideologi keluarga di Indonesia, dan itu berpengaruh bagi

keberlangsungan proses hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini tercermin pada

kesamaan pola hubungan dalam beberapa konteks. Hubungan bapak dan anak tercermin pada

hubungan antara presiden dan menterinya, pemimpin oganisasi dan anggotanya, pimpinan

militer dan pasukannya, hingga guru dan murid-muridnya.

Seperti yang telah saya katakan di awal, (dengan memperhatikan konteks waktu 1989)

bahwa Shiraishi adalah satu dari sedikit ahli dan peneliti antropologi yang menelurkan karya

etnografi seperti ini. Pada masa itu para peneliti antropologi lebih banyak yang mencurahkan

perhatiannya pada kelompok-kelompok suku bangsa tertentu, dalam hal ini adalah

antropologi tradisional. Shiraishi meneliti apa yang pada saat itu sangat jarang diteliti: yaitu

menjadi “orang Indonesia”. Sementara di luar dirinya, para peneliti antropologi lebih banyak

mendalami etnografi-etnografi single-sited, misalnya etnografi kelompok suku bangsa Dayak,

Papua, Bugis, dan lain sebagainya. Bagi Shiraishi, pengakuan seorang informan sebagai

“orang Indonesia” lebih misterius daripada pengakuan seseorang sebagai “orang Dayak,

Jawa, atau Sunda”. Akar kebudayaan yang berbasis etnisitas bagi Shiraishi lebih mudah

ditemukenali akar-akarnya, namun mencari akar dari identitas ke-Indonesia-an, adalah hal

yang menjadi ketertarikan tersendiri dibanding penelitian-penelitian etnografis lainnya.

Shiraishi kemudian berpikir: pola keluarga yang seperti apa yang digunakan untuk

seluruh masyarakat Indonesia yang multietnik ini? Shiraishi mencoba berangkat dari

pemikiran Hildred Geertz yang menyatakan bahwa Indonesia lebih dari tiga ratus kelompok

etnik, dan hubungan kekerabatan atau sistem keluarganya beragam dari pola matrilineal,

patrilineal, hingga bilateral. Konsep keluarga yang berusaha digali Shiraishi dalam konteks

Indonesia ini dipebandingkannya dengan pemikiran Kenci Tsuchiya dan John Pemberton.

Shiraishi pada awalnya menilai bahwa pola keluarga yang diterapkan secara nasional atau

idoelogi keluarga tersebut pada dasarnya merupakan pola keluarga dengan corak Jawa yang

cenderung patriarki. Hal ini diperkuat dengan upaya penggalian asal-usul ideologi keluarga

ini yang berangkat dari sistem pendidikan nasional, yaitu sistem Among yang dicetuskan oleh

KI Hadjar Dewantoro dan diteruskan oleh Soeharto. Namun demikian, Tsuchiya dan

Pemberton mengemukakan bahwa tradisi Jawa telah mendapatkan pengaruh dari Belanda.

Satu hal lain untuk merumuskan state of the art pada penelitian dan publikasi

Shiraishi ini adalah persoalan bahasa. Pola kebudayaan Jawa yang “dinasionalisasi”

membutuhkan suatu mekanisme proses dari rezim Orde Baru. Salah satu poses atau strategi

yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah memasukkan kebijaksanaan Jawa ke dalam

bahasa Indonesia. Maka menurut Shiraishi, kita tidak perlu pergi ke desa-desa tradisional di

Jawa untuk mendapatkan gambaran kebudayaan Jawa yang asli, tetapi cukup dengan

mengkaji bagaimana keluarga Indonesia dibentuk dalam bahasa keseharian, tentunya dengan

memperhatikan konteks historis dan politiknya. Ini adalah sumbangan yang menurut saya

penting bagi metodologi literatur atau kajian pustaka dalam antropologi. Itulah mengapa

Page 8: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

sebagian besar data dalam penelitian ini, didapatkan bukan hanya dari pengamatan terlibat,

tetapi juga dari teks-teks dalam berita bahkan cerita anak.

Jika diringkas, fokus kajian Shiraishi adalah gagasan tentang keluarga, bahasa

politik-kekeluargaan, dan pola interaksi yang mencerminkan kekeluargaan itu dalam

kehoidupan sehari-hari, terutama dalam konteks politik (orde baru). Sehingga, state of the art

dari tulisan Shiraishi ini adalah bahwa terdapat signifikansi politis dalam konsep keluarga

(yang kemudian berujung pada ideologi keluarga/famili-isme) yang dibentuk melalui bahasa

politik-kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari dan tulisan sehari-hari (berita-berita dan

cerita-cerita) di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, Shiraishi adalah peristiwa ketika

Shiraishi bertemu dengan seorang kawan Indonesia yang pada mulanya mengenalkan diri

sebagai orang Indonesia baru mengenalkan diri sebagai orang Jawa, merupakan sebuah

foreshadow problem utnuk menelusuri bagaimana ke-Indonesia-an itu dibentuk, serta apa

makna menjadi warga Indonesia.

Perspektif Blasco dan Wardle

Blasco & Wardle (2007), dalam buknya, How to Read Ethnography, menulis bahwa

etnografi tidak hanya menjelaskan data-data yang terkumpul (recollection), akan tetapi juga

melakukan beberapa hal seperti refleksi (reflection), pengujian (examination), dan

memberikan argumen atas pengalaman yang dialami oleh peneliti. (Blasco dan Wardle,

2007:9). Semua data penelitian yang berupa bukti-bukti tersebut dalam konteks ilmu sosial

menurut Charles Ragin (dalam Ten, 2004) perlu didialogkan dengan ide-ide dari peneliti

dalam upaya untuk merespon satu pertanyaan yang diajukan dalam permulaan riset. Ada

empat komponen utama dalam membaca etnografi menurut Blasco dan Wardle, yaitu

perbandingan, konteks, pemaknaan, dan hubungan-hubungan sosial.

Ada empat isu utama dalam membaca etnografi menurut Blasco & Wardle, yaitu:

perbandingan, konteks, pemaknaan, dan hubungan-hubungan sosial. Dalam perbandingan

(comparison),keduanya mengatakan bahwa comparison dalam etnografi diperlukan untuk

melihat perbedaan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.Selain itu, comparison berguna

untuk membuat generalisasi yang diambil dari beberapa lokasi penelitian.Dalam

membandingkan antara diri peneliti (the self) dengan masyarakat (the others), seorang

peneliti haruslah memulai dengan memahami tentang the others dan kebudayaannya.

Dalam hal perbandingan, sejak wal saja Shiraishi telah membandingkan dirinya

dengan peneliti-peneliti antropologi lain yang cenderung menjadikan kelompok-kelompok

etnik sebagai fokus kajian, sementara dirinya menjadikan Indonesia sebagai suatu unit

penelitian. Dalam berbagai kutipan di dalam buku, Shiaishi juga menunjukkan perbandingan

akan pemaknaan bagi orang-orang yang ditelitinya (orang Indonesia) dengan pendapat

pemaknaan dari orang-orang Amerika. Hal ini terlihat dalam contoh kasus “permen hijau”.

Shiraishi menceritakan pengalamannya saat melihat peristiwa permen hijau yang dikeluarkan

dari mulut gadis kecil hingga permen itu jatuh ke lantai, kemudian ibu-ibu justru

mennganggap hal itu adalah hal yang lucu. Tentang peristiwa itu, Shiraishi membandingkan

“respon” yang terjadi antara ibu-ibu di Indonesia dengan ibu-ibu di Amerika. Diceritakan

bahwa suatu ketika terdapat seorang ibu di Amerika yang tengah memangku putrinya yang

Page 9: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

menggunakan topi. Suatu saat topi itu dengan sengaja diletakkan di lantai dan dengan segera

ibunya mengambil topi tersebut dan mengenakannya kembali ke kepala sang anak.

Dari perbandingan di atas, Shiraishi mencoba menarik abstraksi dari dua fakta

empirik di lapangan penelitiannya. Shiraishi mengkonseptualisasikannya ke dalam

“dominasi”. Anak-anak diminta untuk belajar bahwa sejak kecil dia tidak bisa membuat

pilihan-pilihannya sendiri. Pilihan-pilihan itu hanya dibuat oleh orang yang berkuasa atas

dirinya, yaitu ayah atau ibunya. Anak-anak hanya bisa memberontak, seperti yang dilakukan

sang gadis kecil ketika membuang permennya ke lantai. Pada peristiwa tersebut, gadis kecil

itu melihat ibunya sebagai figur yang mendominasi dan mengontrol hidupnya, sosok yang

memutuskan segala sesuatu untuk dirinya. Inilah salah stau sisi dari figur orang tua. Kisah

jatuhnya permen hijau ini diceritakan oleh Shiraishi ke beberapa orang dan menanggap reaksi

masing-masing sebagai perbandingan. (Sedikit mengulang) Shiraishi mendapat respon dari

seorang kawannya di Indonesia yang menceritakan tentang perjodohannya. Ketika Shiraishi

menceritakan peristiwa jatuhnya permen hijau itu, kawan Shiraishi langsung teringat

pengalaman tentang perjodohannya yang berakhir di tangan orang tuanya.

Selain itu, tanggapan yang hampir serupa juga didapat dari seorang guru sekolah

dasar. Ketika menceritakan peristiwa jatuhnya permen hijau, guu sekolah dasar itu

mengatakan bahwa hal itu adalah hal yang biasa bagi orang tua dan anak-anak di Indonesia.

Peristiwa dominasi itu bagi guru SD tersebut, sudah ditanamkan dari generasi ke generasi. Di

lain kesempatan, peristiwa itu juga mendapat respon dari seorang rektor yang sedang kesal

karena bukunya dilarang terbit oleh pemerintah. Rektor tersebut mengaku kesal bahwa

sepanjang karirnya selama dua puluh tahun, dia tidak memperoleh kebebasan yang berarti.

Perbandingan peristiwa dan respon yang digali oleh Shiraishi itu penting baginya untuk

diabstraksikan dan direfleksikan ke dalam konteks lain yang menjadi fokus kajian

penelitiannya: keluarga Indonesia dalam politik nasional.

Prinsip relasi antara ibu dan anaknya di atas itulah yang kemudian menjadi model

hubungan pemerintah dengan rakyatnya, rezim Orde Baru dengan bangsa Indonesia.

Pemerintah sebagai orang tua berperan untuk mengontrol, mengatur, dan membuat pilihan-

pilihan yang boleh bagi anak-anaknya. Inilah juga yang menjadikan etnografi ini

memunculkan metafora tentang seorang anak. Rakyat Indonesia oleh Shiraishi

dimetaforakan sebagai anak (gadis kecil) sang ibu. Sebagai anak, dia belum bisa berbuat

banyak apalagi melakukan bakti kepada ibunya, sementara ibu (sebagai orang tua) tentu telah

berbuat banyak untuk anaknya. Sang ibu telah mengurusi anaknya tersebut, seperti

memberikan makan, memandikan, menyekolahkan anaknya tanpa mengharap imbalan.

Sebagai gantinya, muncul narasi bahwa anak harus berbakti pada orang tua, yaitu tak lain dan

tak bukan dengan cenderung menuruti perintah orang tua. Sedikit berefleksi, dulu ketika

maish di sekolah dasar, saya masih ingat perkataan guru bahwa saya dan teman-teman harus

menuruti perintah orang tua. Orang tua dipandang sebagai figur yang paling mengerti tentang

kebutuhan anak. oleh karena itu, sang anak tidak diperkenankan membuat pilihan-pilihan

sendiri bagi dirinya di luar kontrol orang tua.

Anak (kecil) dimetaforakan oleh Shiraishi sebagai rakyat Indonesia. Pemerintah Orde

Baru adalah orang tua yang telah bersusah payah telah melakukan pembangunan di sana-sini

untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Rakyat tidak mungkin bisa membalas kebaikan

pemerintah yang sangat besar itu, maka sebagai gantinya pemerintah meminta rakyatnya

Page 10: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

untuk menurut dan rela berkorban untuk pemerintah (negara). Logika ini juga yang salah

satunya digunakan rezim Orde Baru untuk membangun ideologi ibuisme. Kaum ibu

dikerahkan untuk secara sukarela menjadi “pahlawan-pahlawan” dalam mewujudkan

maysarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang berasaskan Pancasila, tertib, disiplin, sehat,

dan mendidik anak-anaknya dengan baik, melalui program PKK. Hal ini yang dirumuskan

oleh Julia Suryakusumah sebagai ideologi ibuisme negara. Ibu-ibu bekerja untuk negara

tanpa mereka mengaharapkan imbalan dari negara.

Isu kedua menurut Blasco dan Wardle adalah mengenai konteks. Saya melihat bahwa

konteks peristiwa nasional dan konteks waktu adalah dua konteks yang penting dalam

memahami setiap peristiwa yang ditemui dan diceritakan oleh Shiraishi. Oleh karena itu, dia

memulai asumsi penelitiannya dengan mengutarakan konteks waktu (rezim) pada waktu itu.

Apa yang disampaikan oleh Shiraishi untuk mengantarkan penelitiannya menunjukkan bahwa

sebelum memulai penelitiannya, Shiraishi mengemukakan suatu asumsi tentang situasi dan

kondisi politik di Indonesia yang menjadi konteks penting bagi peristiwa-peristiwa yang nanti

ditemuinya, hal ini dapat ditangkap dalam kutipannya di bawah ini:

Tujuan penelitian ini adalah mencari kemungkinan untuk menerobos, dan akhirnya,

menyingkap, masyarakat orde baru yang amat sangat tertekan.…Menurut saya sudah

waktunya para antropolog mengkaji apa makna menjadi orang Indonesia, apakah ada

sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia. (Shiraishi (dalam terjemahan),

2001: vii)

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Shiraishi memulai dengan suatu kesan atau

penilaian tentang kondisi masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru. Dia menangkap bahwa

masyarakat Indonesia mengalami tekanan secara politis dari pemerintah dalam hal ini adalah

Soeharto sebagai kepala negara. Namun demikian, tidak seperti yang terjadi pada

kecenderungan negara lain, dimana ketika mereka ditekan akan timbul pemberontakan dan

kerusuhan, lain halnya dengan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dinilai

tetekan secara politis itu pada kenyataannya hidup sebagai masyarakat yang damai, tanpa

pemberontakan besar, dan seperti tanpa ada tekanan. Jika dapat disederhanakan, rezim Orde

Baru menjadi konteks penting untuk menjawab mengapa peristiwa ini dan itu dapat terjadi

seperti demikian.

Selain itu, konteks bahwa corak kebudayaan Jawa juga menjadi latar penting bagi

penjelas setiap peristiwa, terutama peristiwa-peristiwa yang berkelindan dengan Soeharto

sebagai bapak tertinggi. Soeharto sebagai orang Jawa dikenal sebagai orang yang snagat

menjalankan tradisi ke-Jawa-annya dalam setiap perkataan dan tindakannya. Dalam hal ini,

Soeharto mendapat banyak pengaruh dari filosofi pendidikan nasional yang dicetuskan oleh

KI Hadjar Dewantoro mengenai Sistem Among yang telah disebutkan di awal. Sistem

mendidik anak dengan membei contoh atau arahan di depan, memberi semangat di tengah,

dan memberi dorongan di belakang diterapkan Soeharto pada kemepimpinan ABRI, dan

terutama pada menteri-menterinya di kabinet. Para menteri yang bekerja pada kabinet

Soeharto itu tak ubahnya seperti anak-anak yang tengah belajar di Taman Siswa, hanya saja

mereka berusia 50-60 tahun, yang secara usia tidak lazim disebut sebagai anak-anak. “Anak-

anak” Soeharto ini, meskipun ada yang berasal drai luar Jawa, sebagian besar juga

Page 11: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

merupakan orang Jawa yang dengan sadar ataupun tidak telah mengalami “jawanisasi” dalam

melakukan pekerjaannya sebagai menteri dan dalam relasinya dengan Soeharto sebagai

bapak.

Hal ini juga tercermin dalam teks yang dikutip Shiraishi dari buku otobiografi

Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Berikut beberapa kalimat

yang menurut saya relevan dalam menjelaskan kontekstualisasi filosofi Sistem Among dalam

melihat bagaimana Soeharto bertindak untuk menteri-menterinya di kabinet: (1) “Pembantu-

pembantu saya itu melaporkan tentang masalahnya di bidang maisng-masing, mereka

meminta petunjuk kepada saya atau mencocokkannya apakah benar rencana mereka itu ,

apakah benar jalan pikiran mereka itu .... (2) “...kalau mereka datang kepada saya, mereka

memerlukan petunjuk saya, bagaimana pendapat saya tentang ini dan itu. Mereka sendiri

sebenarnya memiliki pikiran dan pendapat sendiri, tetapi mereka perlu mengeceknya supaya

jangan smapai salah...”, (3) “...Supaya jangan sampai bergerak sendirian, saya memberikan

petunjuk kepada mereka...” (Soeharto dalam Shiraishi, 2001:121).

Sangat jelas tercantum di kutipan di atas mengapa seorang presiden bisa menulis

seperti itu. Kita semua tahu bahwa seorang menteri bukan oang yang sembarangan. Mereka

adalah doktor-doktor terbaik bangsa lulusan Amerika yang kemudian dipanggil Soeharto

untuk menjadi pembantunya di kabinet. Artinya, menterio-menteri itu memiliki keahlian di

bidangnya masing-masing. Namun demikian, menteri-menteri yang ahli itu masih diibaratkan

sebagai anak-anak atau murid-murid yang masih belajar. Bagi orang dari luar, sangat sulit

mendapat penjelaskan ketika seorang menteri penerangan bernama Harmoko, sangat identik

dengan perkataan “sesuai petunjuk bapak presiden” tanpa memahami konteks, terutama

konteks budaya yang dilakukan oleh Soeharto.

Harmoko tersebut adalah salah satu menteri Soeharto yang juga dikenal snagat dekat

dengan Soeharto. Harmoko menganggap bahwa Soeharto adalah bapaknya. Namun demikian,

dalam konteks ini yang terjadi adalah relasi guru dan murid. Murid (yang dalam hal ini

adalah para menteri) adalah orang-orang yang ahli dan memiliki pemikiran mereka sendiri.

Soeharto adalah guru yang memiliki murid-murid dengan beragam kepribadian dan beragam

keahlian. Snag guru (Soeharto) tentu memiliki pandangan tersendiri. Kecenderungan murid-

murid di Indonesia, meskipun memiliki pandangan sendiri, tentu akan menyesuaikan dengan

pandangan gurunya. Oleh karena itu, dalam setiap tugas, murid selalu menyesuaikan dnegan

guru. prinsip sistem Among ini benar-benar efektif dijalankan Soeharto sebagai seseorang

yang sangat teguh menjalankan tradisi Jawa dalam pemerintahannya.

Selanjutnya, mengenai pemaknaan, saya mencoba membahas bagaimana kata bapak

dimaknai, tentunya dalam konteks bahasa Indonesia. Shiraishi mendiskripsikan bagaimana

pengertian bapak, ibu dan anak menjadi penting dalam konteks politik di Indonesia dan

dalam bahasa Indonesia itu sendiri. Otobiografi Soeharto yang banyak dikutip oleh Shiraishi

dalam buku ini, mengalami dilematika ketika ditranslaiskan ke dalam bahasa Inggris. Buku

otobiografi Soeharto tersebut tidak mungkin membuat kata son, daughter, atau children

untuk menterjemahkan kata anak dalam bahasa Inggris. Oleh karena itulah dalam otobiografi

Soeharto dalam bahasa Inggris, kata anak hilang, dan menteri diterjemahkan menjadi

minister. Keputusan untuk mentranslasikan kata anak menjadi menteri dalam bahasa Inggris

tentu menghilangkan konteks yang turut penting memaknai sebuah gejala sosial politik di

Indonesia. Kata bapak, ibu, dan anak dalam bahasa Indonesia, terutama jika berkelindan

Page 12: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

dnegan kehidupan politik, bukan sekadar kata yang menunjukkan posisi dalam sistem

pertalian darah. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, bahwa kata-kata tersebut

memiliki makna relasi dalam memahami bahasa politik-kekeluargaan.

Buku otobiografi Presiden Soeharto dalam bahasa Indonesia sangat kontekstual untuk

memaknai hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia. Hubungan itu bukan

sekadar tertera dalam bahasa, melainkan telah masuk ke dalam segenap bangsa Indonesia dan

menjadi ideologi mereka. Sehingga, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,

dalam konteks perpolitikan di Indonesia, pengertian kata bapak yang dirujuk bukan pada

pengertian yang tercantum pada definisi pertama dan kedua, melainkan berarti sebagai figur

yang dihormati, yang disegani, yang dapat memberikan perlindungan. Soeharto jelas menjadi

figur yang disematkan kriteria itu semua. Bahkan, nama KI Hadjar Dewantoro yang

gagasannya menjadi rujukan oleh Soeharto, tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

tersebut di bagian kata bapak. Nama KI Hadjar Dewantara tercantum dalam contoh

penggunaan kalimat pada definisi bapak nomor lima, yaitu “...seseorang yang menjadi

pelingdung (pemimpin, perintis jalan yang banyak pengikutnya) (KBBI dalam Shiraishi

(terjemahan), 2001:143). Dilanjutkan, “... KI Hadjar Dewantara dipandang sebagai bapak

pendidikan nasional”. Dari kamus bahasa paling resmi di Indonesia, nama KI Hadjar

Dewantara masih dilekatkan dengan konsep bapak. Ini menjadi petunjuk bahwa untuk

memaknai penggunaan kata bapak baik dalam teks maupun lisan pada masa orde baru, kita

harus juga merujuk pada pemikiran dan sosok KI Hadjar Dewantara tersebut. KI Hadjar

Dewantara adalah sosok pertama yang memberikan “makna” pada konsep bapak tersebut,

yang hingga kini dianut oleh para bapak-bapak di Indonesia, seperti para pemimpin politik

laki-laki hingga pemimpin perusahaan dan organisasi lainnya.

Selain mengenai pemaknaan, hal penting yang menurut Blasco dan Wardle penting

dlam membaca karya etnografi adalah mengenai relasi. Cerita Shiraishi untuk memaknai kata

bapak dan juga selanjutnya ibu dan anak juga berlanjut pada bagaimana dia menggambarkan

relasi-relasi antaraktor yang ditemuinya di lapangan penelitian. Untuk melihat bagaimana

perilaku seorang bapak yang seharusnya dilakukan, Shiraishi memberikan diskripsi atas apa

yang ditemuinya pada seorang yang bernama budi, laki-laki yang menjabat sebagai presiden

direktur suatu perusahaan. Data tekstual tentang sejarah menjadi pijakannya untuk melihat

terminologi bapak, ibu, anak, dan keluarga menjadi kata yang sangat populer digunakan

dalam berbagai wilayah baik dalam hubungan sosial, pendidikan maupun dalam

pemerintahan. Anak sebagai elemen keluarga Juga tidak luput dari perhatian Shiraishi. Dia

mencoba melihat bagaimana posisi anak-anak yang ditempatkan dalam relasi hubungan

bapak-ibu dalam keluarga. Sekolah menjadi bagian penting bagi anak-anak dalam proses

membentuk konsep keluarga.

Di dalam ruang kelas di sekolah hanya ada hanya dua jenis hubungan, yaitu hubungan

resmi dan hubungan tidak resmi. Hubungan resmi adlah hubungan yang terjalin antara guru

dan murid, sementara hubungan tidak resmi adalah hubungan yang terjadi antar sesama

murid. Hubungan guru dan murid isomorfis dengan hubungan orang tua dan anak. Itulah

kenapa di Indonesia terdapat budaya menganggap bahwa guru adalah orang tua kedua bagi

setiap. Murid-murid di Indonesia juga dibiasakan untuk mencium tangan gurunya. Dibalik

arti filosofi menghormati guru, muncul pemaknaan bahwa kebiasaan mencium tangan guru

adalah menegaskan relasi bapak/ibu-anak yang memungkinkan terdapat dominasi dan super-

Page 13: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

subordinasi. Mencium tangan, dmeikian juga menundukkan kepala, adalah simbol bagaimana

sang anak menyatakan diri sepenuhnya tunduk pada kemauan dan kontrol orang tua mereka.

Kembali pada persoalan relasi, bahwa hubungan yang resmi adalah hubungan yang

terjalin antara guru dan murid. Hal ini tercermin dari paparan Shiraishi dalam pengalamannya

memperhatikan situasi kelas di sebuah sekolah di Jakarta. Pada saat itu sang guru

melemparkan pertanyaan di hadapan kelas mengenai siapa nama wakil presiden Indonesia

yang baru saja terpilih. Murid-murid saling bersahutan meneriakkan “Sudharmono..

Sdharmono..”. Namun demikian, sang guru tidak menganggap jawaban itu semua. Guru

tersebut kemudian menunjuk seorang anak yang berada di barisan belakang yang tidak ikut

meneriakkan nama Sudharmono untuk merespon pertanyaan gurunya. Anak yang ditunjuk

gurunya tersebut kemudian mengatakan dengan cukup lirih, “Sudharmono”, dan kemudian

guru itu mengatakan, “benar”.

Cerita di atas jelas mencerminkan bagaimana dua pola relasi di dalam ruang kelas itu

terwujud. Pertama, adalah relasi anatra guru dan murid, yaitu ketika guru memberikan

pertanyaan kepada murid. Ini adalah relasi yang resmi, setidaknya seperti yang tercantum

dalam kurikulum: guru memberikan pertanyaan. Kemudian, murid-murid beramai-ramai

menjawab tanpa ditunjuk guru siapa yang mesti diminta menjawab. Ini adalah relasi yang

tidak resmi. Murid-murid saling berteriak nama Sudharmono dan berlomba-lomba untuk

menjadi yang paling kencang suaranya. Namun demikian, sang guru tidak menghendaki

murid-murid yang seperti itu. Suara mereka tidak diakui dan dianggap tidak resmi atau

dianggap di luar pengakuan sang guru. Suara yang resmi adalah suara anak yang duduk di

belakang yang tidak ikut meneriakkan nama Sudharmono. Suara anak itu adalah suara yang

diakui oleh gurunya karena dia dikehendaki oleh gurunya untuk menjawab, sementara suara

murid-murid lain tidak ada bedanya dengan suara bebek. Wek wek wek adalah ungkapan yang

diucapkan guru untuk menegur murid-muridnya yang berisik, yang keberisikannya itu tidak

termasuk dalam relasi resmi antara guru dan murid.

Manfaat Buku

Dari segi metode dan metodologi, seperti juga yang saya katakan di awal, Shiraishi selain

melakukan metode wawancara dan pengamatan terlibat, juga mengandalkan studi literatur

dari sjeumlah teks yang ada di Indonesia. Ini bisa menjadi kelemahan sekaligus kekuatan bagi

metode penelitian etnografi yang dilakukan oleh Shiraishi. Menjadi kekuatan karena teks-teks

yang dirujuk Shiraishi melalui media-media majalah dan berita adalah teks yang bisa

merepresntasikan pola budaya nasional karena media pada waktu itu memiliki kaitan dan

relasi yang sangat erat dengan rezim pemerintah orde baru. Artinya, ketika antropologi

cenderung mengutamakan observasi langsungnya, maka dengan keterkaitan erat antara media

dan rezim, dia tidak perlu datang ke kantor-kantor pemerintah untuk melihat pola perilaku

pemerintah bekerja. Seperti yang dikemukakannya untuk mempelajari budaya Jawa, tidak

perlu kita datang ke desa-desa tradisional untuk mempelajari budaya Jawa yang asli, tetapi

cukup dengan mengidentifikasi bagaimana bahasa, pilihan kata bekerja. Di sisi lain, ini juga

menjadi kelemahan karena metode seperti ini harus ditriangulasi. Proses inilah yang tidak

tampak pada metode yang dilakukan oleh Shiraishi.

Page 14: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

Teks menjadi salah satu pintu masuk bagi Shiraishi untuk melakukan penelitian

tentang Kleuarga Indonesia. Pintu mausk ini adalah pintu masuk yang kurang lazim bagi

peneliti antropologi kebanyakan yang memulai pintu masuknya dari gejala atau fakta empirik

di lapangan. Dia memulainya drai buku Otobiografi Soeharto dalam bahasa Indonesia. Upaya

untuk membaca dnegan kritis daya kira dapat ditarik pelajarannya untuk kita dalam

melakukan studi lapangan melalui dokumen atau teks-teks yang ada di lapangan. Sehingga,

ketika melakukan penelitian di lapangan, kita tidak boleh mengesampingkan, misalnya,

poster-poster, teks-teks yang ada di papan pengumuman, atau teks-teks berita lokal yang

tersebar di lapangan. Sebab teks-teks itu juga memuat banyak data yang turut mengkonstruksi

makna atas masyarakat yang diteliti. Dengan kata lain, seperti berkebalikan dengan

pemikiran hermeneutik dimana melihat masyarakat sebagai teks, sedangkan Shiraishi

melihat teks sebagai masyarakat yang ditelitinya.

Buku etnografi Shiraishi ini sangat memberikan inspirasi dalam hal metode bagi

setiap peneliti antropologi, terutama peneliti antropologi dari Indonesia yang ingin mengkaji

tentang bangsa dan negaranya sendiri. Ini adalah persoalan dan isu perbedaan dan

kepekaan. Shiraishi, menurut saya, sangat unggul dalam hal kepekaan. Peneliti yang meneliti

orang-orang di luar kelompoknya memang sangat peka terhadap segala sesuatu yang berbeda

dengan kelompok dirinya sendiri. Peneliti antropologi dari Indonesia seringkali harus

mengasah kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di dalam orang Indonesia sendiri.

Siapa menyangka, misalnya, peristiwa anak kecil yang membuang permen pilihan ibunya,

memiliki signifikansi dan makna yang sangat penting, bahkan jika diabstraksikan dapat

menggambarkan pola-pola perilaku dalam dunia politik nasional.

Penggunaan banyak “cukilan” memoar, kutipan cerita anak juga menjadi strategi

dalam mengkonstruksi makna dari gejala yang ditemui langsung di lapangan. Strategi ini

menjadi kuat jika Shiraishi mampu juga menggali latar belakang (misalnya) penulis dari teks

yang dikutipnya tersebut, namun hal ini tidak dilakukannya. Namun demikian, saya rasa

sepanjang membaca buku etnografi ini, tidak saya jumpai sebuah kutipan yang dirujuk

Shiraishi bertentangan dengan fenomena sosial di lapangan. Hal ini membuktikan bahwa

terdapat keselarasan antara strategi yang dikembangkan Shiraishi dalam memahami dan

memaknai masyarakat Indonesia melalui teks-teks cerita, memoar, dan berita. Bagi Shiraishi,

sebagaiamana di kebanyakan negara lain, buku teks sekolah dan buku anak-anak di Indonesia

menjadi sarana yang penting untuk mempelajari nilai dan ideologi rezim yang berlangsung

dalam sebuah negara, khususnya Indonesia. Hal ini karena anak-anak adalah “sasaran

empuk” bagaimana ideologi ditanamkan. Atas dasar logika inilah Shiraishi tidak ragu untuk

melakukan strategi penelitian berbasis teks cerita anak di majalah anak. Soal hambatan,

Shiraishi tidak mendapatkan hambatan yang berarti sebab Indonesia adalah lapangan utama

kajiannya dalam mengajar antropologi di universitas almamaternya.

Untuk gaya penyampaiannya, inilah yang menurut saya membuat buku ini menjadi

agak sulit dibaca, sebab alur yang digunakan adalah alur maju mundur. Di satu sisi, ketika

Shiraishi menceritakan suatu gejala atau pengalamannya di lapangan, kemudian Shiraishi

merefleksikannya tentang studi pustaka berbasis sejarahnya. Misalnya, ketika menbicarakan

tentang antar-jemput di Bandara, Shiraishi kemudian melompat ke peristiwa penculikan pada

Oktober 1965. Alur maju-mundur ini sebenarnya menarik karena merupakan suatu upaya

narasi-refleksi, namun akan menjadi sulit dipahami jika konsep-konsep yang disampaikan

Page 15: “SESUAI PETUNJUK · Makalah UAS “SESUAI PETUNJUK BAPAK PRESIDEN” Tinjauan Buku Etnografi Young Heroes: The Indonesian Family in Politics karya Saya Sasaki Shiraishi (1997) M.

Shiraishi dalam menceritakan pengalamannya tidak dipahami dengan baik oleh pembaca

yang tidak dapat menemukan keterkaitan antara peristiwa masa kini dan peristiwa masa lalu.

Bahasa yang disampaikan Shiraishi juga sangat tajam untuk memperlihatkan berbagai

hal yang terkesan familiar bagi sesama orang Indonesia (dalam konteks buku ini juga dibaca

oleh sesama orang Indonesia) menjadi sesuatu hal yang memiliki arti dan makna yang

penting, seperti peristiwa arisan, jatuhnya permen hijau, dan lain sebagainya. Untuk upaya

ini, Shiraishi menceritakan segenap pengalamannya (experience) di lapangan, juga

pengalaman interaksinya dengan kawan-kawannya yang lain, baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia (recollection). Dari temuan data dan pengetahuan

sebelumnya itulah, Shiraishi mengutarakan argumen-argumennya. Seperti misalnya yang

tertera tentang pengalaman jatuhnya permen hijau dan ingatannya tentang wawancaranya

bersama seseorang perempuan yang laki-laki pilihannya ditolak orang tuanya.

Shiraishi telah menyintesakan segala hal temuan data, mulai dari pengalaman

lapangan sata melakukan pengamatan terlibat, wawancara dengan para informan, hingga

teks-teks yang ada dalam berbagai cerita dan berita nasional menjadi sebuah konsep yang

sejak awal telah menjadi fokus kajiannya, yaitu mengenai Keluarga Indonesia. Pengalaman

di pekarangan rumah, di dalam rumah, di dalam ruang kelas dinarasikan dengan begitu

mengalir dan lebih penting, diabtraksikan untuk melihat bagaimana pola-pola perilaku

kekuasaan Orde Baru berjalan.

Daftar Pustaka

Boyle, J. S. (1994). Styles of ethnography. Critical issues in qualitative research methods, 2,

159-185.

Gay y Blasco, P., & Wardle, H. (2007). How to read ethnography. London and New York:

Routledge.

Lassiter, L.E 2005 “Collaborative Ethnography and Public Anthropology”, Current

Anthropology

Shiraishi, S. S. (2001). Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik

(diterjemahkan oleh Seno Gumira Ajiarma, dkk dari Young Heroes: The Indonesian Family

in Politics). Jakarta: Kepustakaan Utama Gramedia.

Werner dan Schoelpfle (1978a). Systematic Fieldwork and Data Analysis Management Vol

1. No. 55.