Post on 10-Nov-2021
BUSTĀN AL-KĀTIBĪN
KITAB TATA BAHASA MELAYU PERTAMA KARYA ANAK
NEGERI
Oleh: Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat
Abstract Research on the influence of Arabic syntax to Malay language or
Indonesia language in 19th century is really difficult to be found. In fact, the 19th
century is the century that is important in the assessment phase of the Indonesia
grammar (Malay), because in this phase began many grammar books and
dictionaries of Malay language, both written by Europeans (British-Dutch-
French), as Marsden (1812), Crawfurd (1852), Favre (1875), Hollander (1882), and
Wijk (1889), as well as written by the Malay people Raja Ali Haji (1850 and 1859).
There are fundamental differences between the grammar books written by the
Dutch and the Malays. Books written by Europeans was Europe-centric, while
the book written by the Malays are very Arab-centric. In fact, since Islam arrived
in the archipelago, the influences of Arabic syntax are felt in the archipelago
texts, especially religious texts. The fact that the Arabic influence is strong
enough to precisely the Malay language syntax encourage Ronkel (1899) wrote
an article entitled "Over Invloed der Arabische Syntaxis op de Maleische". Bustān al-
Kātibīn is the first book written by country boy, who was very clearly
demonstrated the influence of Malay language to Arabic language. The influence
was not only in vocabulary, but also on the structure and rule of grammar.
Keywords: Syntax, Arabic language, Malay language.
Abstrak Penelitian tentang pengaruh sintaksis bahasa Arab terhadap bahasa
(Melayu) Indonesia abad ke-19, agak sulit ditemukan. Padahal, abad ke-19
merupakan abad yang amat penting dalam fase pengkajian tata bahasa (Melayu)
Indonesia, karena pada fase ini mulai banyak buku-buku tata bahasa dan kamus
bahasa Melayu, baik yang ditulis oleh orang Eropa (Inggris-Belanda-Prancis),
seperti Marsden (1812), Crawfurd (1852), Favre (1875), Hollander (1882), dan
Wijk (1889), maupun oleh orang Melayu seperti Raja Ali Haji (1850 dan 1859).
Ada perbedaan mendasar antara buku tata bahasa yang ditulis oleh orang
Belanda dan orang Melayu. Buku yang ditulis orang Eropa sangat Eropa sentris,
sementara buku yang ditulis orang Melayu sangat Arab sentris. Padahal
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
2
faktanya, semenjak Islam masuk ke nusantara, pengaruh sintaksis bahasa Arab
sangat terasa dalam naskah-naskah nusantara, terutama naskah keagamaan.
Fakta bahwa pengaruh bahasa Arab cukup kuat terhadap sintaksis bahasa
Melayu pulalah yang mendorong Ronkel (1899) menulis artikel yang berjudul
“Over Invloed der Arabische Syntaxis op de Maleische”. Bustān al-Kātibīn adalah
buku pertama yang ditulis anak negeri, yang dengan sangat gamblang
memperlihatkan keterpengaruhan bahasa Melayu oleh bahasa Arab.
Keterpengaruhan itu tidak hanya pada kosakata, tetapi juga pada struktur dan
kaidah tata bahasa.
Kata kunci: Sintaksis, bahasa Arab, bahasa Melayu.
A. PENDAHULUAN
Minat dan kecendekiaan Raja Ali Haji (selanjutnya disingkat
RAH) dalam berbagai bidang, sangat kentara bila memperhatikan
karya-karyanya yang beragam. Hal ini pula tampaknya yang membuat
para peneliti pada mulanya kesulitan menetapkan RAH sebagai tokoh di
bidang apa.1 Untuk menghindari kesalahan penilaian, para peneliti
menilainya sebagai pengarang yang teramat pandai pada abad ke-19.2
Windstedt menyebutnya sebagai pengarang Melayu terbesar abad ke-
19.3 Putten dan Al Azhar menilai RAH sebagai penulis Melayu abad ke-
19 paling terkemuka.4
Meski demikian, ada empat bidang utama yang tampaknya
menjadi minat RAH bila menilik lebih lanjut karya-karyanya itu: sejarah,
sastra, hukum Islam, dan bahasa. RAH mulai dikenal komunitas ilmu
melalui Gurindam Dua Belas dan magnum opus-nya, Tuhfat al-Nafis. Karya-
karya RAH—yang menurut catatan Hamidy berjumlah 13 kitab,5
sementara menurut Heer berjumlah 12 kitab.6 Karya-karya tersebut telah
menarik banyak ahli untuk menelitinya, meskipun dengan porsi yang
berbeda-beda.
1 Hamidy, UU. Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu. (Pekanbaru:
Bumi Pustaka 1981), hlm. 5. 2 C. Hooykaas. Perintis Sastera, (Groningen-Djakarta: Wolters, 1951), hlm. 137. 3 Sir. Richard Winstedt. A History of Classical Malay Literature, (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1977), hlm. 164. 4 Jan van der Putten dan Al Azhar. Dalam Berkekalan Persahabatan. (Jakarta: KPG,
2007), hlm. xix-xx. 5 Ibid. 6 Nicholas Heer, A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. (Seattle-
Washington: tp. 2009), hlm. 23—24.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
3
Dari sejumlah karya itu, dua karya di antaranya yang
memperlihatkan kepeminatan RAH yang besar terhadap bahasa
Melayu, yaitu Bustān al-Kātibīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Dua karya
ini masing-masing menjadi karya pertama dalam khazanah ilmu bahasa
Melayu. Bustān al-Kātibīn dinilai sebagai kitab tata bahasa pertama,
sementara Kitab Pengetahuan Bahasa dinilai sebagai kamus monolingual
pertama dalam bahasa Melayu.
B. KORPUS
1. Naskah Bustān al-Kātibīn
Naskah Bustān al-Kātibīn, yang judul lengkapnya adalah Bustān
al-Kātibīn li al-S{ibyān al-Muta’allimīn (Taman Para Penulis untuk Anak-
anak Pelajar) —yang selanjutnya disingkat BK— dalam bentuk
manuskrip, tersimpan di antaranya di Yayasan Inderasakti Pulau
Penyengat7, PNRI,8 dan Perpustakaan Universitas Leiden.9 Namun,
informasi ihwal manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Universitas
Leinden ini belum banyak saya peroleh.
Khusus untuk naskah BK yang terdapat di PNRI, dalam Katalog
Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
yang disunting Behrend pada “Indeks Naskah Berbahasa Melayu”,10 BK
tersimpan di PNRI dengan kode naskah ML 26, W 218, dan W 219.
Hanya saja naskah ML 26 terdapat tambahan kode (*) sebelum ML. Pada
bagian “Kata Pengantar” (hlm. xxv), kode (*) tersebut ternyata berarti
naskah dimaksud kini telah hilang. Dengan kata lain, yang tersisa
naskah BK di PNRI hanya naskah W 218 dan W 219, yang oleh Behrend
dicatatkan sebagai salah satu dari koleksi Von de Wall.11 Sayangnya,
kondisi kedua naskah tersebut sangat memprihatinkan dan diberikan
catatan “rusak” oleh pihak PNRI. Untuk naskah W 219, bagian halaman
kiri sama sekali tidak terbaca dan tulisan bagian halaman kanan agak
kabur karena tintanya rusak. Sementara itu, hanya ada beberapa bagian
pada naskah W 218 yang tidak bisa dibaca, karena kertasnya sebagian
7 Ibid., hlm. 227. 8 T. E. Behrend (Peny.). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. 1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-EFEO), hlm. 332. 9 Heer Nicholas. A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. (Seattle-
Washington: tp. 2009), hlm. 23. 10 Ibid. 11 Ibid.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
4
sudah rusak dan tintanya pun mulai memakan kertas. Meski demikian,
naskah W 218 masih bisa diakses dengan memanfaatkan hasil print out
dari mikrofilmnya.
Jumlah halaman naskah BK pun berbeda-beda. Yang tersimpan
di Yayasan Inderasakti naskahnya berjumlah 56 halaman, sementara
yang di PNRI untuk naskah W 218 berjumlah 52 halaman dan naskah W
219 berjumlah 88 halaman. Perbedaan halaman ini tampaknya
berhubungan dengan ukuran kertas dan ukuran tulisan masing-masing
naskah. Khusus yang di PNRI, gambaran mengapa terjadi perbedaan
halaman ini terlihat pada Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,12 naskah W 218 dideskripsikan
mempunyai ukuran 33 x 21 cm, 56 halaman, 25 br., huruf Arab, jelas.
Sementara itu, naskah W 219 dideskripsikan berukuran 21 x 16 cm, 88
halaman, 14 br., huruf Arab, jelas, dan paragrafnya tidak bernomor.
Kolofon berbagai naskah memperlihatkan masa akhir penulisan
yang agak berbeda. Naskah yang tersimpan di Yayasan Inderasakti
mencatat tanggal 20 Sya’ban 1274 (1857 M).13 Sementara itu, naskah W
218 yang tersimpan di PNRI mencatat tanggal 20 Sya’ban 1273 H (1856
M), dan naskah W 219 mencatat tanggal 18 Zulkaidah 1267 H (1850 M).
Perbedaan ini sendiri membuat Hamidy (1982) meragukan kebenaran
BK sebagai karya RAH, selain kapan sebenarnya BK ditulis RAH.
Meskipun, bukti-bukti lain melemahkan keraguan Hamidy ini, seperti
yang terlihat dalam surat RAH kepada Wall yang menunjukkan betapa
bangganya RAH setelah selesai merampungkan BK.14
Selain naskah itu, menurut Heer (2009: 23), BK tersebut pernah
dicetak (printed editions) batu di Pulau Penyengat pada tahun 1274/1857;
juga di Singapura sebelum Nopember 1882 dan 1310/1892. Data yang
diungkap Putten (1996: 15) juga menyebut tahun 1868 sebagai cetak
litografi BK untuk teks ketiga yang berasal dari Riau. Mikrofilm BK
tersimpan di perpustakaan SOAS Universitas London, Universitas
London, Universitas Monash, dan Universiti Malaya.
Naskah BK sendiri sudah ditransliterasikan. Sejauh yang saya
ketahui, ada tiga transliterasi BK yang sudah dibuat. Pertama,
transliterasi naskah yang bersumber dari manuskrip Klinkert yang
12 Ibid., hlm. 333. 13 M. Hasan Junus, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia.
(Pekanbaru: Unri Press, 2004), hlm. 64. 14 Ibid., hlm. 47.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
5
tersimpan di Universitas Leiden, dibuat oleh Musa (2005). Sayangnya,
saya belum mendapatkan hasil transliterasi ini. Saya baru bisa
mendapatkan penilaian yang sangat awal tentang transliterasi ini dari
Putten, yang menurutnya dibuat dengan kurang memadai.15 Meski
demikian, saya harus membuktikan penilaian Putten tersebut, setelah
mendapatkan buku Musa itu.
Kedua, transliterasi naskah yang terdapat di Pulau Penyengat,
yang saya dapatkan atas kebaikan budi Kridalaksana yang bersedia
meminjamkan hasil transliterasi. Sayangnya, saya belum mendapat
informasi pasti ihwal siapa yang mentransliterasikan BK yang dari
Pulau Penyengat ini. Kridalaksana hanya menyampaikan bahwa hasil
transliterasi itu disediakan oleh Raja Hamzah Junus. Kridalaksana tidak
bisa memastikan apakah transliterasi itu berdasarkan salinan dari
manuskrip atau cetak batu.16
Terdapat perbedaan isi antara transliterasi itu dengan naskah
yang terdapat di PNRI. Setidaknya, berdasarkan pengamatan awal saya,
pada bagian mukadimah, naskah PNRI lebih panjang daripada hasil
transliterasi dari Pulau Penyengat. Naskah yang di PNRI sudah
mencantamkan “daftar isi” di bagian depan buku, sementara hasil
transliterasi mencantumkan “daftar isi” di bagian belakang. Bagian
penutup (khatimah) juga tidak ditransliterasikan, sementara naskah PNRI
mencantumkannya. Selain itu, kelemahan yang paling mendasar adalah
tidak adanya panduan kerja filologis dalam pentransliterasian naskah
yang dari Pulau Penyengat tersebut. Transliterasi naskah dari Pulau
Penyengat ini pun tidak mencantumkan kolofon.
Ketiga, transliterasi yang dibuat oleh Mu’jizah dan Muhammad
Hamidi, untuk keperluan tugas mata kuliah Sejarah Studi Bahasa
Indonesia yang diampu oleh Kridalaksana. Keduanya mentransliterasi
naskah W. 218, yang tersimpan di PNRI. Pedoman pentransliterasian
juga telah dibuat oleh keduanya. Pengamatan sekilas terhadap hasil
transliterasi yang dibuat keduanya, tampak ada beberapa kelemahan,
seperti tidak ditransliterasikannya أ���, juga kata آ�� yang
ditransliterasikan menjadi kalbun pada bagian pengantar BK, yang
15 Pendapat Putten ini disampaikan saat saya bertanya ihwal hasil kerja Musa
tersebut dan peluang saya melakukan kerja filologis terhadap BK di sela-sela
kunjungannya ke FIB UI beberapa waktu lalu (25 Pebruari 2010). 16 Harimurti Kridalaksana, “Pandangan Raja Ali Haji tentang Kelas Kata dalam
Bahasa Melayu” dalam Beberapa Masalah Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan).
(Jakarta: FS UI, 1978), hlm. 29.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
6
seharusnya ditransliterasikan menjadi gelap. Meski demikian,
pentransliterasian keduanya dapat dikatakan cukup lengkap karena
telah mentransliterasikan semua bagian BK, termasuk tiga pesan yang
dicantumkan dalam naskah W. 218. Kaidah syair Melayu dan syair ikat-
ikatan setelah bagian penutup, yang ada di naskah PNRI, juga
ditransliterasikan.
2. Kandungan Isi Bustān al-Kātibīn
BK terdiri dari sebuah mukadimah dan 31 pasal. Mukadimah
menjelaskan kelebihan ilmu dan akal. Bagian isi yang terdiri dari 31
pasal dapat dibagi menjadi tiga kelompok pembahasan: tata ejaan,
pembahasan kelas kata, analisis kalimat. Berikut penjelasan detail
mengenai masing-masing pasal sesuai kelompok pembahasannya:
a. Tata Ejaan
Tata ejaan dimuat dalam BK pada pasal 1 sampai pasal 10,
sebagai berikut: (1) pasal pertama mengenai jenis-jenis huruf Arab yang
dipakai dalam menuliskan bahasa Melayu dan tentang beberapa huruf
Arab yang tidak dipakai dalam bahasa Melayu, serta beberapa huruf
Arab yang tidak dipakai dalam bahasa Melayu, serta beberapa huruf
Arab yang diberikan nilai baru dalam bahasa Melayu; (2) pasal kedua
berisi daftar semua huruf yang tersebut di atas; (3) pasal ketiga tentang
huruf suratan, yaitu huruf yang terdapat dalam abjad Arab dan dikenal
dalam bahasa Melayu, dan huruf-huruf yang terpakai di dalam
penuturan orang Melayu; (4) pasal keempat tentang prinsip pemakaian
huruf Arab dalam bahasa Melayu; (5) pasal kelima berisi tata cara untuk
merangkai huruf alif; (6) pasal keenam berisi kaidah penulisan bahasa
Melayu; (7) pasal ketujuh berisi tata cara untuk merangkai semua huruf
dalam bahasa Melayu; (8) pasal kedelapan tanda atau baris yang
menjadi sesuatu huruf berbunyi yang dalam bahasa Arab disebut i’rab;
(9) pasal kesembilan berisi penjelasan tentang rangkaian huruf-huruf
yang membentuk kata-kata yang berbunyi; (10) pasal kesepuluh berisi
cara para penulis yang sudah ahli untuk membuang huruf-huruf
tertentu, namun tidak merusak makna kata.
b. Pembagian Kelas Kata
Pembahasan tentang pembagian kelas kata dimuat dalam BK
pada pasal 11 sampai pasal 14. RAH membagi kelas kata dalam bahasa
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
7
Melayu atas: ism ‘nama’, fi’l ‘perbuatan’, dan harf ‘partikel’. RAH
memberikan penjelasan tentang ism sebagai berikut: “Tiap-tiap barang
menunjukkan maknanya pada dirinya tiada beserta dengan masa yang
tiga, yakni masa yang telah lalu, masa yang lagi akan datang, dan masa
hal sekarang. Ism terbagi dua, yaitu: ism nakirah, yaitu ‘nama yang
melengkapi jenisnya dan yang melengkapi pada macamnya yang tiada
tertentu kepada sesorang (nomina taktakrif); dan ism ma’rifah, yakni ‘nama
yang diketahui’ (nomina takrif), yang terdiri atas: ism d}amir ‘nama yang
tersembunyi’ (pronomina), ism ‘alam ‘nama yang diketahui’ (nama diri),
ism isha>rah ‘tiada ditentukan akan dia, tetapi diisyaratkan’
(demonstrativa), ism maus}u>l ‘yang’ (nomina relatif), ism ida >fah ‘pada yang bersandar kepada suatu nama’ (relasi posesif).
Selain itu, masih ada sejumlah kata yang menurut BK termasuk
ism, yaitu: (a) nama yang menjadi syarat (perangkat kondisional),
maknanya ‘jika’, kata-kata barang siapa, barang yang, mana-mana,
manakala, betapa, sekira-kira, sebagaimana; (b) bilangan-bilangan
(numeralia), seperti satu, dua, sebelas, dan beberapa; (c) asma’ul af’al ‘nama
bagi perbuatan dan suara (onomatope); (d) nama, yang terbagi menjadi:
nama diri, seperti si Zaid, si Umar; nama gelaran, seperti tengku, sultan.
Nama gelaran ini ada gelar kepujian atau memuji, seperti si Polan yang
cantik, dan ada pula nama gelaran yang kecelaan, seperti si Anu itu
hidungnya kepik; nama timang-timangan, seperti pak Husin, pak Ngah,
intan, payung, cahaya mataku.
Mengenai fi’l, RAH mendefinisikan fi’l adalah ‘yang dinamai
perbuatan’. Ada dua macam pembagian, yang pertama terbagi tiga,
yaitu: fi’l madi ‘perbuatan yang telah lalu (verba perfektif), diandai oleh
kata telah’, fi’l mudari’ ‘perbuatan yang lagi akan datang’ (verba
imperfektif), ditandai oleh kata lagi akan, fi’l amr ‘menuntut perbuatan,
yakni menyuruh berbuat’ (verba imperatif).
Fi’l dibagi lagi atas dua bagian berdasarkan ketransitivannya,
yaitu: fi’l lazim ‘tentu bagi dirinya’ (verba intransitif), seperti telah berdiri
si Zaid; dan fi’l muta’adi (verba transitif). Dua jenis fi’l muta’adi: yang
tiada musyarakah (pekerjaan yang berlangsung sepihak), seperti telah
menyimpan si Zaid; yang musyarakah (pekerjaan yang berlangsung
berbalasan atau resiprokal), seperti berpukul-pukulan.
Selain itu, masih disebut beberapa fi’l lain, yaitu: fi’l naqis ‘fi’l
kurang’, tiada sempurna ia melainkan ada kabarnya, seperti adalah,
jadilah, berpagi-pagi, berpetang-petang, waktu duha, malam-malaman, dan
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
8
senantiasa; fi’l muqarabah, fi’l berhampir-hampiran, contohnya mudah-
mudahan; fi’l puji dan cela, contohnya sebaiknya lagi si Anu, sejahat-jahatnya
lagi si Anu; fi’l syak dan fi’l yaqin, keduanya disebut sebagai fi’l qulub,
‘yakni fi’l hati’, seperti aku kira-kirakan si Zaid itu orang lebih.
Mengenai harf, RAH memberikan penjelasan, harf adalah ‘yang
ada baginya makna. Yaitu memberi faedah pada perkataan masing-
masing dengan maknanya dan gunanya’. Pembicaraan tentang harf ini
dimulai dengan jarr. Dalam bahasa Melayu jarr ini tidak ada. RAH
menyatakan, “Jika bahasa Melayu tiadalah dibicarakan majrur-nya itu,
melainkan kehendak maknanya jua adanya.” Kemudian berturut-turut
dibicarakan harf dengan, daripada, kepada, hingga, pada, demi, bagi, beberapa,
atas, seperti, selama-lamanya, istithna ‘kecuali. (partikel berkasus genetif).
Sesudah jarr dibicarakan ‘segala harf yang memberi faedah pada
maknanya dan perkataan’. Harf-harf itu adalah harf munada ‘menyeru’;
melainkan, bahwa, sesungguhnya, dan bahwasannya disebut harf littahqiq
‘menyuguhkan perkataan dengan sebenarnya’; seolah-olah, tetapi, wahai
kiranya, mudah-mudahan, tiada, hendaklah, jangan, jika, dan jikalau. Harf-harf
lain yang dibicarakan kemudian ialah harf bertanya, seperti adakah,
betapakah, karena apa, berapa, siapa, manakala, di mana-mana; harf menjawab,
seperti bahkan atau iya, supaya, dan makna; harf ‘ataf maka, kemudian,
atau, tetapi (tetapi yang memperdapat’ dan tetapi yang berpaling); harf-harf
lain, seperti kah, lah (partikel penegas); harf-harf yang dibicarakan lepas-
lepas, yaitu cih, uwah, nah, amboi, tah, hal, istimewa pula, syahdan
(fatis).
c. Analisis Kalimat
Pembicaraan mengenai aspek ini dimulai pada pasal 15 dengan
judul “Perkataan, kata, dan kata”. Perkataan adalah “lafal yang memberi
faedah. Contonya berdirilah engkau, dipertentangkan dengan di atas kita
sebagai lafad yang tidak memberi faedah. Kata-kata adalah ‘barang yang
tiada dengan orang yang mendengar daripada menantikan suatu yang
lainnya” (dilihat dari contoh yang diberikan mungkin yang dimaksud
ialah kalimat minor). Kata adalah ‘melengkapi ia akan segala yang
tersebut itu, yakni perkataan pun boleh dikatakan kata, dan kata-kata
pun boleh dikatakan kata.
Pembicaraan dilanjutkan dengan mubtada dan khabar. Mubtada
adalah ‘permulaan perkaraan’ (pokok atau subjek). Khabar adalah
‘bersandar daripada permulaan (sebutan atau predikat). Yang menjadi
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
9
mubtada adalah nama bagi tiap suatu (nomina). Khabar dibagi dua, yaitu
khabar mufrad ‘khabar tunggal’ (predikat tunggal) dan khabar jumlah
(predikat berupa klausa). Khabar jumlah ini terbagi lagi dua, yaitu
jumlah ismiyah (klausa nominal) dan jumlah fi’liyah (klausa verbal).
Selanjutnya, dibicarakan pertambatan perkataan (hubungan
fungsional), yaitu mubtada dengan khabarnya, fa’il dengan fi’il
(hubungan pelaku-aktivitas), dan fa’il dan maf’ulnya (hubungan pelaku-
objek). Dibicarakan juga maf’ul mutlaq (objek mutlak), maf’ul lah (tujuan),
maf’ul fih (adverbia), maf’ul ma’ah (kebersamaan). Dilanjutkan dengan hal
(determinator), tamyiz (spesifikasi), badl (permutatif), sifat (adjekif), idafat
(frasa nominal-posesif).
3. Bustān al-Kātibīn di Mata Para Peneliti
Seperti sudah disinggung pada bagian sebelumnya, ada dua
karya RAH yang terkait dengan bahasa: Bustān al-Kātibīn dan Kitab
Pengetahuan Bahasa. Namun, sangat disayangkan bila melihat tidak
banyak tinjauan yang mendalam mengenai kedua karya itu. Kedua
karya itu baru menarik minat para peneliti setelah Kridalaksana
mengulasnya secara padat dalam tulisannya pada 1978, meskipun
sebelumnya nama RAH sebagai ahli bahasa Melayu telah disinggung
oleh ahli yang lain, seperti Ronkel,17 Teeuw (1961) dan Za’ba.18 Padahal,
menurut Kridalaksana pada 1996 di Simposium Hari Raja Ali Haji, karya
Raja Ali Haji dalam bidang ilmu bahasa perlu dikaji lagi secara ilmiah
untuk memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang bahasa
Melayu, yang hasil kajiannya bisa dimanfaatkan bagi pengembangan
bahasa Melayu, baik sebagai bahasa daerah maupun sebagai cikal-bakal
bahasa Indonesia.
Khusus mengenai BK yang akan menjadi perhatian pada tulisan
ini, sebetulnya begitu pentingnya BK sebagai buku tata bahasa Melayu
pertama yang ditulis oleh orang Melayu sendiri, harusnya telah bisa
disadari saat van Ronkel menerjemahkan karya ini ke dalam bahasa
Belanda dengan judul “De Maleische schriftleer en spraakkunst getiteld
Boestanoe’l Katibin, door Radja Ali Hadji” yang dimuat dalam TBG,
XLIV, 1900, hlm. 512-581. Terjemahan itu setidaknya menandakan
17 1870—Putten dan Al Azhar, 2007, hlm. 47. 18 Osman, Mohd. Taib. “Raja Ali Haji of Riau: a Figure of Tradition or the Last of
The Classical Pujangga” dalam Bunga Rampai Sejarah Studi Bahasa Indonesia. (Jakarta: FS UI,
1982).
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
10
bahwa ada hal penting yang harus dihadirkan ke khalayak akademisi
Belanda peminat bahasa Melayu dari BK. Dengan kata lain, RAH dalam
BK memberi sumbangan besar terhadap khazanah ilmu bahasa Melayu.
Soal sumbangan RAH dalam bidang bahasa, memang ada dua
kelompok: kelompok yang kritis dan kelompok yang apresiatif.
Kelompok yang kritis dipelopori oleh Za’ba, sementara kelompok yang
apresiatif dipelopori oleh Kridalaksana. Terkait kelompok yang kritis,
sebetulnya tidak banyak informasi yang didapat, seperti informasi
Osman yang mengutipkan pendapat Za’ba berikut19: “… kaidah Arab
dan sebutan-sebutan Arab banyak dipakainya pada nahwu dan lain-
lain, padahal bahasa Melayu ada adatnya sendiri….” Pendapat kritis
lain berasal dari Wall (1870: 571), seperti dikutip Kridalaksana yang
mengatakan, “… saya sangat menyesal tidak dapat memberi penilaian
yang baik terhadap tata bahasanya….”.20
Terkait kelompok yang apresiatif, dapatlah ditempatkan di sini
tulisan-tulisan Kridalaksana (1978, 1982, 1984) yang menganggap tidak
adil orang yang menilai tata bahasa RAH sebagai karya yang tidak
ilmiah. Menurutnya, keilmiahan suatu karya disesuaikan zamannya.
Selain itu, tidak adil juga mengkritik RAH yang menggunakan teori tata
bahasa Arab untuk mengurai tata bahasa Melayu, karena orang Belanda
yang menulis tata bahasa Melayu juga mendasarkan kajiannya pada tata
bahasa Latin. Meski demikian, Kridalaksana sendiri sebetulnya juga
mengkaji karya RAH ini dalam tinjauan linguistik modern, sementara
RAH menggunakan perangkat gramatika bahasa Arab tradisional
(nahwu). Karenanya, penjelasan Kridalaksana terkadang tidak
sepenuhnya sesuai dengan kaidah gramatika yang dianut RAH, seperti
pertanyaan mengapa berpagi-pagi dan berpetang-petang dikategorikan
sebagai fi’il oleh RAH.21 Padahal, kata itu memang merupakan
19 Mohd. Taib Osman. “Raja Ali Haji of Riau: a Figure of Tradition or the Last of
The Classical Pujangga” dalam Bunga Rampai Sejarah Studi Bahasa Indonesia (Jakarta: FS UI,
1982), hlm. 83-84. 20 Harimurti Kridalaksana, “Suatu Rintisan dalam Historiografi Linguistik
Indonesia” dalam Rintisan dalam Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan) (Jakarta: FS UI,
1984), hlm. 199. 21 Harimurti Kridalaksana, “Pandangan Raja Ali Haji tentang Kelas Kata dalam
Bahasa Melayu” dalam Beberapa Masalah Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan).
(Jakarta: FS UI, 1978), hlm. 31
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
11
terjemahan dari as}bah}a dan amsā yang dalam bahasa Arab termasuk
kategori fi’il.22
Terlepas dari itu, apresiasi Kridalaksana juga terlihat saat
menyebut BK telah menunjukkan bahwa gramatika Arab pernah
mempengaruhi dunia bahasa dan dunia pengajaran bahasa Indonesia.23
Sikap apresiasinya terhadap kerja RAH pula yang membuat
Kridalaksana mencantumkan nama RAH sebagai ahli bahasa dan istilah-
istilah kebahasaan yang dipakainya telah dimuat dalam Kamus
Linguistik,24 juga dalam bagan yang menempatkan posisi RAH dalam
kajian bahasa Melayu-Indonesia.
4. Beberapa Catatan Mengenai Tata Bahasa Bustān al-Kātibīn
Sebagai buku tata bahasa, BK sebetulnya telah memberikan
pedoman yang sangat jelas, contohnya pun memadai. Bahkan, pada
setiap bagian ada instruksi “dan kiaskan olehmu pada barang yang
lainnya pada yang semacam itu”. Ini sekaligus menunjukkan bahwa BK
diniatkan juga sebagai buku pelajaran. Ini pula yang membuat sebagian
ahli mulanya mengira buku ini merupakan buku didaktik.
Ada beberapa catatan ihwal tata bahasa Melayu yang dibuat
RAH dalam BK. Pertama, tampaknya kata atau kalimat Melayu
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian diklasifikasikan sesuai
dengan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Ini tampaknya memang
disengaja oleh RAH sebagai bagian dari kampanye jargonnya “bahasa
menunjukkan bahasa”. Dia tampaknya ingin mengkontraskan tata
bahasa yang dibuatnya dengan tata bahasa Melayu versi orang Belanda.
Bahasa Arab dipilih atas pertimbangan akses keilmuan yang
dimilikinya. Kedua, pada beberapa kasus, memang RAH tampak
“memaksakan” kaidah bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Namun,
harus juga disadari bahwa “pemaksaan” seperti itu tidak hanya
dilakukan oleh RAH, karena model “pemaksaan” seperti itu sebetulnya
sudah menjadi ciri tata bahasa tradisional, yang cenderung pedagogis
dan preskriptif.25
22 Fuad Ni’mah. Mulakhkhas} Qawa’id al-Lughah al-Arabiyyah (Beirut: Dar al-
Thaqafah al-Islamiyyah, tt), hlm. 36. 23 Ibid., hlm. 31. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 13.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
12
Dalam kasus kata yang digolongkan sebagai isim, misalnya.
Tidak bisa RAH dianggap salah hanya karena yang dalam bahasa
Indonesia modern dikategorikan partikel. Apalagi bila mengingat saat
itu belum ada buku tata bahasa Melayu yang dijadikan pedoman utama.
Contoh lain adalah kasus si Zaid dalam budak si Zaid yang digolongkan
sebagai ism idafat. Inipun tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah.
Menurut Kridalaksana,26 ini sama dengan kasus mijn dan zijn atau my
atau his sebagai pronomina posesif yang dalam kasus bahasa Indonesia
oleh sebagian ahli disamakan dengan -ku atau -nya. Padahal dalam
bahasa Indonesia milik diungkapkan dalam urutan kata. Ketiga, RAH
sebetulnya melakukan peminjaman konsep bahasa Arab yang kebetulan
sudah mapan lebih dulu untuk memasukkan kasus bahasa Melayu. Soal
pembagian kelas kata, pembagian ism, pembagian fi’l, menurut hemat
saya apa yang dilakukan oleh RAH sudah tepat. Karena, kasusnya bisa
ditemukan pada bahasa Melayu. Meski demikian, tidak semua pinjaman
konsep tata bahasa RAH sudah tepat, dan ini sebagian disadari oleh
RAH, seperti dalam kasus majrur. Namun, ini pun harus pula dicermati
secara seksama, supaya kita bisa menilai lebih adil lagi ihwal sosok
RAH.
C. KONTEKS
1. Situasi Kebahasaan sebelum Abad ke-19
Hasil penelitian Collins.27 menunjukkan bahwa bahasa Melayu
hingga kini melewati lima tahapan periodisasi, mulai dari periode
prasejarah (sebelum abad ke-7), periode awal bahasa Melayu (abad ke-7
hingga abad ke-16), periode awal bahasa Melayu modern (abad ke-16
hingga abad ke-18), periode akhir bahasa Melayu modern (abad ke-18
hingga awal abad ke-20), hingga periode bahasa Melayu pascakolonial
(pertengahan abad ke-20).
Tiap periode memiliki kekhasannya masing-masing
berdasarkan pengaruh bahasa-bahasa yang masuk ke wilayah
Nusantara, seperti bahasa Sansekerta, Arab, Cina, Portugis, Belanda, dan
Inggris; juga bahasa daerah, seperti di antaranya bahasa Jawa. Periode
prasejarah menunjukkan adanya hubungan antara bahasa Melayu dan
26 Ibid., hlm. 311. 27 James T Collins, Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat (Jakarta: YOI,
2005)
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
13
bahasa-bahasa Madagaskar.28 Periode awal bahasa Melayu ditandai
dengan pengaruh ortografi India berdasarkan tulisan Palawa pada
bahasa Melayu kuno. Teks bahasa Melayu kuno yang ditemukan pada
prasasti dan piring perunggu yang ditemukan di Sumatra dan Bangka
(bertahun 686), Jawa (832), Utara Filipina (900), secara kronologis
menunjukkan perluasan teks bahasa Melayu kuno yang
memperlihatkan kekuatan terpusat dari tradisi literasi bahasa Melayu,
yang dilepaskan secara dinamis dari gabungannya dengan tradisi
filosofis yang maju dari agama Budha.29 Bahasa Melayu kuno masih
digunakan untuk prasasti dan batu nisan sampai abad ke-14, meskipun
dalam beberapa kasus tertentu ortografinya sudah diubah dalam bahasa
Jawa Kuno.
Pada abad ke-14, tulisan pada batu nisan masih
mempertahankan penggunaan bahasa Melayu dan Sansekrta dengan
tambahan tulisan hiasan berupa kata atau frasa bahasa Arab.30 Bahkan,
prasasti Melayu tertua dituliskan dalam tulisan Jawi, ditemukan
bertahun 1303. Meskipun Johns mengungkap ada bukti arkeologis tertua
yang ditemukan di sebuah pilar bertuliskan huruf Arab, di Phanrang,
bertahun 1050 dan nisan raja-raja Pasai bertahun 1237.31
Selanjutnya, abad ke-15 dan abad ke-16 menjadi abad peralihan
dari tradisi Hindu-Budha ke dalam tradisi Islam, yang ditandai dengan
penguatan tulisan Jawi dalam kesusasteraan Melayu, karena dianggap
berhubungan erat dengan tulisan Arab.32 Abad ke-16 juga menunjukkan
masa awal hubungan antara penutur bahasa Melayu di Asia Tenggara
dan orang-orang Eropa.33 Pada abad inilah untuk pertama kalinya buku
pelajaran bahasa Melayu berupa percakapan ditulis. Meskipun buku
yang ditulis de Houtman ini ditujukan untuk orang yang tidak berbicara
dalam bahasa Melayu, namun dampak buku itu luar biasa besar setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, lalu ke dalam bahasa Inggris.34
Pada abad ke-17, bahasa Melayu telah mendominasi arena
budaya di semua daerah di Asia Tenggara. Bahasa Melayu bernuansa
28 Ibid., hlm. 3. 29 Ibid., hlm. 9. 30 Ibid., hlm. 12. 31 A.H. Johns. “Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah
Renungan”. Sadur: Sejarah Terjemahan d Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir (Jakarta: KPG, EFEP, FJP, Pusat Bahasa, Universitas Padjajaran, 2009), hlm. 51.
32 Collins, Op. Cit., hlm. 20 33 Ibid., hlm. 28. 34 Ibid., hlm. 35.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
14
Islam tersebar di manuskrip-manuskrip bertuliskan Jawi. Mungkin
dapat dikatakan bahwa abad ke-17 merupakan masa keemasan
penulisan naskah di Nusantara, melihat banyaknya naskah penting yang
ditulis pada abad ini. Pada abad ini pula, alfabet Latin juga sudah mulai
muncul berupa sejumlah kecil teks yang dicetak sebagai buku pegangan
untuk para pelancong dari Eropa yang akan singgah di Asia Tenggara.35
Abad ke-18 menandai pemeliharaan yang terbatas dari sejumlah daftar
bahasa Melayu tulis yang dimulai dari perjanjian dan surat keterangan
resmi pemerintahan kolonial Belanda sampai pada penerjemahan Injil
ke dalam bahasa Arab-semu oleh Leydekker. Hal ini diakibatkan oleh
bangkitnya persaingan kepentingan Inggris dan Belanda di Asia
Tenggara.
Khusus terkait pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu,
penting dikemukakan di sini hipotesis Johns dalam Chambert-Loir36
bahwa “penerjemahan” bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu
mengalami empat tahap. Johns membagi tahap “penerjemahan” bahasa
Arab ke dalam bahasa Melayu ke dalam empat tahap: (1) penerjemahan
lisan kutipan-kutipan pendek Al-Qur`an ke dalam bahasa setempat; (2)
terjemahan antarbaris dan catatan pinggir dalam bahasa Melayu; (3)
terjemahan antarbaris lengkap bagi seluruh teks; (4) karya asli berbahasa
Melayu berdasarkan khazanah Arab dari wacana Islam.
Harahap (1992) menyebut beberapa kitab dan hikayat yang agak
penting sampai abad ke-18, seperti Sulalat al-Salatin karya Tun Sri
Lanang (1612), Hikayat Inderaputera (1634), Bustanus Salatin karya
Nuruddin al-Raniri (1638), Kitab Seribu Masalah (1726), Hikayat Ghulam
(1736), Hikayat Acheh (1736), Hikayat Bayan Budiman (1736), Syair Emop
(1740), Misa Melayu (1742), menunjukkan pengaruh bahasa Arab,
meskipun hanya di bagian pendahuluannya saja. Johns sendiri
mencatatkan sejumlah naskah yang menjadi bukti “penerjemahan” yang
disinggungnya, terutama tahap ketiga dan keempat, seperti al-Aqaid al-
Nasafiyyah (1590), Burda, Bustan al-Salatin (1638), dan Tarjuman al-
Mustafid (1604).37
35 Ibid., hlm. 43. 36 Ibid. 37 A.H. Johns, Op. Cit.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
15
2. Situasi Kebahasaan Abad ke-19
Abad ke-19 menandai dimulainya era baru yang menunjukkan
minat besar untuk meneliti bahasa Melayu dengan menggunakan satu
pendekatan baru.38 Bila sebelumnya tradisi bahasa Latin dan Yunani
masih terasa sekali dalam analisis gejala-gejala bahasa non-India, maka
pada pertengahan abad ini ada beberapa ahli linguistik Eropa yang
berusaha keras untuk mengesampingkan tradisi itu dan mencoba
menemukan kaidah-kaidah baru dalam bahasa Melayu.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Collins yang sudah
disebutkan sebelumnya, bahasa Melayu pada abad ke-19 sudah
memasuki tahap yang mulai relatif mapan. Ini ditandai dengan
munculnya beberapa buku tata bahasa dan kamus bahasa Melayu yang
ditulis oleh linguis dari Eropa, seperti Marsden (1812), Crawfurd (1852),
Hollander (1882), Favre (1875), dan Wijk (1889). Bahkan, pada awal abad
ke-20, muncul juga buku tata bahasa dan perkamusan yang ditulis
Ophuijsen (1910, 1929), yang masih merupakan kelanjutan dari periode
ini. Yang cukup menggembirakan juga bahwa pada periode ini anak
negeri turut memberikan kontribusinya dalam percaturan tata bahasa
dan perkamusan bahasa Melayu dengan munculnya RAH (1857) yang
menulis BK dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
Dengan kata lain, pada periode ini bahasa Melayu sudah
mengalami pembakuan. Peneliti bahasa baik dari Eropa maupun
pribumi, telah membuat prakarsa pembakuan bahasa Melayu, yang ini
pada gilirannya turut memudahkan pengkaidahan tata bahasa dan
perkamusan bahasa Indonesia di kemudian hari. Bila buku-buku tata
bahasa Melayu yang ditulis oleh peneliti bahasa asal Eropa dipelajari
dan dipergunakan untuk kepentingan kolonialisme dan misionarismu,39
maka buku tata bahasa yang ditulis oleh anak negeri seperti BK,
dipelajari di sekolah-sekolah kerajaan Riau,40 Singapura dan Johor,41
sebagai batu loncatan untuk mempelajari bahasa Arab dan teks
keagamaan Islam.42
Pembakuan bahasa ini turut pula memperkuat tradisi tulis yang
menggunakan bahasa Melayu dan memantapkan kedudukan bahasa
38 JJ. De Hollander. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), hlm. ix. 39 Collins, Op. Cit., hlm. 28, 32. 40 T.p., Naskah Melayu Kuno Daerah Riau. (Pekanbaru: tp, 1985), hlm. 45. 41 Putten, Op. Cit., hlm. 17. 42 Ibid., hlm 85.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
16
Melayu sebagai bahasa yang paling berpengaruh di kawasan Nusantara
(sekarang Asia Tenggara) dan satu dari lima bahasa dunia yang
mempunyai jumlah penutur terbesar.43 Meskipun pada mulanya terjadi
persaingan pengaruh antara peneliti bahasa asal Inggris dan asal
Belanda, juga Prancis, sesuai dengan kekuatan penetrasi kolonialisme
yang sedang mereka lakukan. Namun, pada akhirnya hanya
kepentingan Inggris dan Belanda yang dominan, setelah Lord Minto
menyerang Prancis.
Setelah penandatanganan perjanjian Inggris-Belanda pada tahun
1824, (yang berisi Belanda harus menyerahkan Malaka dan semua
haknya di Semenanjung Malaysia kepada Inggris; Inggris juga harus
menyerahkan Bengkulu dan semua haknya di daerah Sumatra dan Jawa
kepada Belanda), dunia bahasa Melayu dibagi secara politis dan
simbolis.44 Sebagai kelanjutan dari perjanjian ini, bahasa Inggris
berpengaruh sangat dominan di kawasan Semenanjung Malaysia,
sementara bahasa Belanda menempati posisi penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu di beberapa wilayah
yang kemudian masuk ke dalam wilayah Indonesia, baik dalam varian
bahasa tulis maupun dalam bahasa lisan regional.
Hasil kajian Marsden (1812) yang berasal dari Inggris,
memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Melayu di Semenanjung
Malaysia, karena koloni Inggris berkembang pesat di kawasan itu.
Sementara itu, kajian Hollander45 dan Wijk (1889) yang asal Belanda,
turut memberi corak penting dalam perkembangan bahasa Melayu di
beberapa kawasan Nusantara yang nantinya akan termasuk ke dalam
wilayah Indonesia. Pengaruh bahasa Belanda ini mencapai puncaknya
ketika Ophuijsen (1910) membakukan ejaan resmi untuk bahasa Melayu,
yang turut menggusur aksara Jawi dan meromanisasi aksara lainnya
dalam bahasa Melayu.
Pembakuan selain memiliki sisi positif, juga memiliki sisi
negatif, karena pembakuan juga ternyata merupakan bagian dari upaya
kekuatan imperialis untuk menciptakan bahasa Melayu yang akan
menjadi alat yang lebih efektif bagi sentralisasi. Modernisasi bahasa
Melayu dengan ditulisnya sejumlah buku teks yang berjenjang dan
43 Ibid., hlm. xvii. 44 Ibid., hlm. 74. 45 JJ. De Hollander. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. (Jakarta: Balai Pustaka,
1984).
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
17
digunakan dalam sistem pendidikan nasional yang baru, ternyata
dikembangkan untuk melayani kebutuhan negara pusat yang saat itu
dikuasai oleh kaum penjajah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
pemerintah imperialis memberi perhatian yang sangat besar pada
perencanaan dan pengembangan bahasa.
3. Pulau Penyengat sebagai Pusat Bahasa dan Budaya Melayu Abad
ke-19
Selain konteks situasi kebahasaan pada abad ke-19, yang juga
patut dicermati adalah kondisi Pulau Penyengat yang sangat kondusif,
sehingga memungkinkan RAH yang diikuti oleh penulis-penulis
setelahnya, untuk meletakkan dasar-dasar penggunaan bahasa Melayu
tulis. Kondisi ini juga didukung oleh Kerajaan Riau-Lingga yang
mendirikan percetakan Mathba’ah Riauwiyah pada tahun 1886. Bahkan,
selain menulis berbagai buku, penulis-penulis asal Pulau Penyengat ini
juga berhasil menerbitkan majalah kebudayaan Islam yang diberi nama
Al-Ima>m yang terbit di Singapura pada tahun 1906. Orang yang berada di balik Al-Ima>m ini, menurut Putten adalah Syed Syekh Al-Hadi yang
lahir di Melaka dan “dititipkan” kepada keluarga diraja di Penyengat
(Raja Ali Kelana).46 Majalah ini sendiri sangat dipengaruhi dan bahkan
sering mengutip pemikiran pembaruan keagamaan Muhammad Abduh
dan beberapa tulisan lain yang dimuat majalah al-Manār.47 Kelahiran
majalah al-Ima>m sendiri menjadi titik tolak penting bagi perkembangan
jurnalisme Melayu.
Pengenalan terhadap teknologi modern disadari dengan baik
kepentingannya bagi RAH dan penulis Pulau Penyengat setelahnya
untuk menjaga posisi mereka sebagai orang Bugis yang menetap di
Riau. Menurut Putten,48 tujuan penulis-penulis tersebut menulis banyak
karya adalah untuk melegitimasi keberadaan mereka di Riau dan
memfasilitasi integrasi suku Bugis ke dalam masyarakat Melayu. Ini
pula yang membuat RAH menulis Tuh}fah al-Nafīs dan Salasilah Melayu dan Bugis, yang menurut Putten memperlihatkan memang adanya
konflik terbuka di antara dua etnis tersebut.
46 Komunikasi pribadi melalui e-mail tertanggal 27 Mei 2009. 47 Alimuddin Hassan Palawa, “The Penyengat School: A Review of The
Intellectual Tradition in the Malay-Riau Kingdom”, dalam Jurnal Studia Islamika, vol. 10, no. 3, 2003), hlm 96.
48 Putten, Op. Cit., hlm. 343.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
18
Konflik antaretnis itu sendiri sebetulnya bermuara pada posisi
strategis Pulau Penyengat saat itu. Posisi Pulau Penyengat sebagai pusat
kegiatan ekonomi dan perdagangan saat itu, seperti yang
diinformasikan dari Hamidy,49 menunjukkan bahwa Pulau Penyengat
memungkinkan terjadinya persinggungan dengan dunia luar,
khususnya dunia Islam.50 Hubungan dengan Belanda yang cenderung
kondusif, juga memungkinkan perkembangan Pulau Penyengat sebagai
pusat bahasa dan budaya.
Hubungan dengan dunia Timur Tengah pun memungkinkan
kaum terpelajar Pulau Penyengat mendapat pengaruh gerakan reformis
Islam saat itu. Ini pun didukung kemampuan pihak kerajaan yang
berhasil mendatangkan para ulama dari Haramaian, yang turut
memberi pengaruh mendalam bagi masyarakat Kerajaan Riau-Lingga.
Bahkan, Junus menuturkan bahwa RAH sendiri mendapat didikan dari
tokoh-tokoh terkemuka yang datang dari berbagai daerah.51
Pusat Kebudayaan Melayu di Pulau Penyengat yang difokuskan
pada pengkajian ajaran Islam pun menarik para ulama dari Jawa,
Madura, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Timur Tengah, untuk
datang ke kawasan ini.52 Mereka datang untuk mengajar dan belajar. Hal
ini disebabkan karena Pulau Penyengat saat itu menjadi tempat bahasa
dan kesusasteraan dipelihara dan dikembangkan secara bersemangat
dan menyentuh semua kalangan. Tak mengherankan bila kawasan ini
pernah menjadi Pusat Bahasa dan Budaya Melayu pada abad ke-19
hingga seperempat pertama abad ke-20, yang dipelopori oleh RAH dan
dilanjutkan oleh kaum cendekiawan kawasan ini yang membentuk
kelompok bernama Rusydiah Klab.
4. Situasi Pernaskahan di Pulau Penyengat pada Abad ke-19
Kondisi Pulau Penyengat yang demikian menjadikannya sebagai
kawasan pada masa itu yang memiliki tradisi tulis yang terbesar. Bila
melihat katalog yang dibuat oleh Hamidy (1985), kawasan ini tampak
sekali kaya dengan berbagai karya tulis yang meliputi berbagai bidang
ilmu. Dalam katalog itu, tidak kurang dari 137 judul buku yang ditulis
di Riau pada masa itu. Tema-tema yang diangkat, menurut catatan
49 Hamidy, Op. Cit., hlm. v. 50 M. Hasan Junus, Op. Cit., hlm. 327. 51 M. Hasan Junus, Op. Cit., hlm. 39. 52 Alimuddin Hassan Palawa, Op. Cit., hlm. 96.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
19
Hamidy,53 seperti agama Islam (dalam pengertian sempit) sebanyak 43
naskah, ilmu-ilmu sosial (sejarah, hukum, adat, undang-undang, catatan
harian, kecantikan, dsb.) sebanyak 48 naskah, bahasa Melayu sebanyak 8
naskah, karya sastra (syair dan hikayat) sebanyak 33 naskah, dan obat-
obatan sebanyak 5 naskah.
Menurut Hamidy,54 nama-nama penulis Riau berdasarkan
naskah-naskah itu adalah sebagai berikut: (1) Raja Ali Haji; (2) Raja
Muhammad Yusuf al-Ahmadi; (3) Raja Ali Kelana; (4) Abu Muhammad
Adnan; (5) Raja Haji Ali; (6) Raja Haji Muhammad Sa’id; (7) Raja Haji
Ahmad Riau; (8) Raja Haji Awang; (9) Raja Haji Abdullah bin Raja Haji
Usman bin Ishak Meral Karimun; (10) Raja Muhammad Yunus Ahmad;
(11) Raja Abas; (12) Raja Haji Umar; (13) Raha Abdul Mutalib; (14) Raja
Jumat; (15) Raja Aisyah Sulaiman; (16) Khadijah Terung; (17) Badriah
Muhammad Tahir; (18) Salamah bin Ambar; (19) Tengku Bagus Siak;
(20) Ja’far; (21) Tengku Abdul Kadir; (22) Encik Ismail Datuk
Syahbandar Riau; (23) Engku Haji Daud; (24) Haji Muhammad Qasim;
(25) Haji Ja’far bin Abubakar Lingga; (26) Muhammad bin Haji Muh.
Said; (27) Haji Abdul Rahi bin Haji Abdul Rauf; (28) Haji Abdul Kadir
bin Abdul Rauf; (29) Haji Ahmad Yusuf; (30) Haji Ahmad Bunda; (31)
Haji Abdurrahman Siddiq; (32) Abdurrahman bin Almarhum Ya’kub;
(33) Muhammad bin Mahbub; (34) Kalisumah; (35) Haji Hitam Khalid.
Dari sekian data tersebut, tampak ada beberapa penulis wanita, seperti
Aisyah Sulaiman, Badriah Muhammad Taher, Khadijah Terung, dan
Salamah binti Ambar. Menurut Hamidy55, karya mereka di antarnya
tentag kecantikan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Pulau Penyengat
telah memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk menunjukkan
eksistensi mereka melalu karya.
Selain itu, menurut Ikram,56 anggota keluarga kerajaan yang
sebagian besar melaksanakan ibadah haji, turut menjadikan komunikasi
dengan dunia Timur Tengah lebih intensif, yang ditandai dengan
banyaknya buku cetakan dan manuskrip yang didatangkan ke Pulau
Penyengat dan beredar di sana. Ini terlihat dari banyaknya karya penulis
terkemuka Timur Tengah yang tersimpan di Masjid Pulau Penyengat,
53 Hamidy, Op. Cit., hlm. 224. 54 Ibid. 55 Ibid., hlm. 221. 56 Junus, Op. Cit., hlm. 327.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
20
yang tidak kurang dari 45 judul buku.57 Hal ini pula yang membuat
karya-karya yang terlahir dari penulis Pulau Penyengat kental sekali
dipengaruhi oleh penulis-penulis Timur Tengah.58
Bahkan, untuk BK, Saleh dkk.59 berpendapat bahwa saat
bermukim beberapa waktu di Mekah, RAH bertemu dengan berbagai
buku karangan ulama ahli bahasa Arab, seperti Kitab al-Mas}a >dir karya az-Zauzani, al-Awāmil al-Mi’a karya al-Jurjani, al-Ajrūmiyyah karya al-
S{anhaji. Bahkan, RAH sendiri menyebutkan buku tata bahasa Sharh} al-Ka>fiyah karya Ibn al-Hajib pada suratnya kepada Von de Wall tertanggal
19 Mei 1870.60 Semua buku itu sangat mungkin turut memengaruhi
RAH dalam mengonstruksi dan menteorikan tata bahasa Melayu.
Informasi ini pun sekaligus melengkapi tulisan Kridalaksana yang tidak
menemukan tokoh dan buku yang memengaruhi pemikiran RAH di
bidang bahasa, sehingga ia pun menghubungkan RAH dengan
Sibawaihi, tokoh yang mengarsiteki tradisi tata bahasa Arab yang paling
awal, yang mungkin terlampau jauh jaraknya dan kecil kemungkinan
RAH membaca karya Sibawaihi. 61
5. Politik Bahasa Raja Ali Haji
Siasat buruk dan akal bulus kaum imperialis yang ingin
membakukan segala hal sesuai kepentingan mereka pada akhirnya
dicium juga oleh penduduk pribumi. Pembakuan sistem dan regulasi,
termasuk dalam bidang bahasa, menumbuhkan gerakan perlawanan,
bahkan perlawanan bersenjata (hard war). Pembakuan sistem
pemerintahan kolonial pada abad ke-19 telah memicu perlawanan
Pattimura di Maluku, perlawanan Diponegoro di Jawa, Perang Aceh,
dan Perang Padri di Sumatra. Selain di beberapa kawasan yang nantinya
masuk dalam wilayah Indonesia, beberapa wilayah yang nantinya
masuk dalam wilayah Malaysia, juga muncul gerakan perlawanan,
seperti di Perak, Pahang, dan Trengganu.
Perlawanan lain yang lebih lunak dan tidak menggunakan
senjata (soft war) juga muncul dari penduduk pribumi. Hegemoni teori
57 Ibid., hlm. 156. 58 Riddell, Islam in The Malay-Indonesian World. (London: C. Hurst & Co, 2001),
hlm. 190. 59 Siti Hawa Haji, Saleh dkk. Cendekiawan Kesusastraan Melayu Tradisional (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987), hlm. 184. 60 Putten dan Al Azhar, Op. Cit., hlm. 116. 61 Harimurti Kridalaksana, Op. Cit., hlm. 105.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
21
sastra dan tata bahasa yang ditulis oleh orang Eropa untuk kepentingan
imperialisme, dicoba untuk diruntuhkan. RAH adalah tokoh terpenting
dalam perlawanan model ini. Tuh}fah al-Nafis (1868) telah membuat karya
sastra model baru, yang mendapat penghargaan tinggi dari para
pengkaji sastra Melayu.62 BK (1850) menjadi buku tata bahasa pertama
yang ditulis anak negeri, yang mempunyai corak yang berbeda dengan
buku tata bahasa yang dimuat oleh orang Eropa. Begitu juga dengan
buku Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), yang membuat kamus
ensiklopedis monolingual bahasa Melayu pertama, yang juga berbeda
corak dengan kamus pada umumnya yang dibuat oleh orang-orang
Eropa. Ahli bahasa dari Eropa menonjolkan corak bahasa Eropa dalam
kajiannya terhadap bahasa Melayu, sementara RAH menampakkan
corak bahasa Arab dalam kajiannya.
Perbedaan corak ini tampaknya memang disengaja oleh RAH
yang ingin menunjukkan bahasa Melayu sebagai jati diri bangsa
Melayu.63 Bahkan, Wahid (2009) menyebut RAH telah "memerdekakan"
bahasa Melayu dari pengaruh bahasa Belanda. Anggapan seperti itu
jelas beralasan karena pada masa peralihan posisi Belanda dari
pedagang menjadi penjajah pada akhir abad 18, Belanda dihadapkan
pada tiga pilihan:64 (1) memakai bahasa Belanda; (2) memakai bahasa
daerah; (3) memakai bahasa Melayu. Untuk kepentingan penjajahannya,
tentu saja Belanda ingin menggunakan bahasa Belanda, tetapi keinginan
ini bukan hal yang mudah. Pilihan kedua pun pasti akan menyulitkan
Belanda. Akhirnya, pilihan jatuh pada penggunaan bahasa Melayu,
yang relatif lebih mudah. Padahal, menurut Teeuw,65 Belanda hanya
memberi dua pilihan: menggunakan bahasa Belanda atau bahasa
daerah. Namun dalam kenyataannya, bahasa Melayu yang lebih banyak
dipergunakan. Meski demikian, bahasa Melayu diposisikan sebagai
bahasa kedua setelah bahasa Belanda.66 Orang Belanda sendiri tetap
menganggap bahasa Belanda lebih tinggi daripada bahasa Melayu,
meskipun bahasa Belanda tidak pernah menjadi bahasa resmi di
Nusantara (Putten, komunikasi pribadi melalui e-mail tertanggal 27 Mei
2009) dan tidak dipergunakan oleh selain kalangan mereka.
62 Collins, Op. Cit., hlm. 79. 63 Hamidy, Op. Cit., hlm. 20-21. 64 Ibid., hlm. 19. 65 Hamidy, Op. Cit., hlm. 20. 66 Junus, Op. Cit., hlm. 39 dan Hamidy, Op. Cit., hlm. 20.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
22
Politik bahasa demikian bukan tanpa perencanaan. Belanda
dengan sengaja merencanakan politik bahasa ini untuk kepentingan
imperialismenya. Pada masa itu, meskipun bahasa Melayu
dipergunakan secara luas, namun belum ada upaya dari pribumi untuk
memeliharanya secara sungguh-sungguh. Barulah setelah RAH menulis
BK (1850), dasar-dasar pembinaan dan pemeliharaan bahasa Melayu
mulai mendapat perhatian dari kaum terpelajar pribumi. Dengan kata
lain, RAH telah melakukan upaya untuk membendung politik bahasa
orang Eropa, terutama orang Belanda, dengan politik bahasa yang
dikembangkannya. Bukti upaya itu adalah usaha dari RAH atau
keluarga diraja mencetak litografi BK di Penyengat pada tahun 1857 dan
1868; pada 1870 dan 1890-an dicetak ulang di Singapura (Putten,
komunikasi pribadi melalui e-mail tertanggal 27 Mei 2009), untuk
menyebarluaskan tata bahasa itu dan melawan politik bahasa Belanda
itu dengan nyata. Selain upaya itu—seperti juga disinggung pada bagian
sebelumnya, BK juga dipelajari di sekolah-sekolah di Riau, Johor, dan
Singapura. BK juga meletakkan dasar tradisi linguistik67 oleh orang
Melayu yang dilanjutkan oleh Raja Ali Kelana yang menulis kitab
Bughyat al-Ayni fi Huruf al-Ma’ani (1922 dalam versi cetak batu) dan Raja
Haji Abdullah (Abu Muhammad Adnan), cucu RAH, yang menulis
morfologi bahasa Melayu dengan judul Pelajaran Bahasa Melayu: Pembuka
Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah (ditulis pada 1911 dan 1926
dalam versi cetak batu) dan buku sintaksis bahasa Melayu yang berjudul
Pelajaran Bahasa Melayu: Penolong bagi yang Penuntut akan Pengetahuan
yang Patut (ditulis pada 1911 dan 1926 dalam versi cetak baru) (lih.
Hamidy, 1985: 241-242, 250), serta Ibrahim Munsyi.68
Meski melakukan perlawanan, RAH bukanlah orang Melayu
yang menutup diri dalam pergaulan keilmuan dengan pihak penjajah.
Persahabatannya dengan Von de Wall, seorang asisten residen Belanda,
seperti yang terekam dalam surat-suratnya yang dihimpun oleh Putten
dan Al Azhar69 (1995; dalam edisi bahasa Indonesia 2007), menunjukkan
betapa dua peneliti bahasa Melayu melakukan kerja sama dalam
merumuskan dan menteorikan bahasa Melayu. Bahkan, Raja Haji
Sulaiman, anak RAH, juga menulis syair yang berjudul Syair Van
67 Putten, Op. Cit., hlm. 17. 68 Ibid. 69 Putten dan Al Azhar, 1995, dalam edisi bahasa Indonesia 2007.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
23
Ophuysen, yang berkaitan pertemuannya dengan Ophuijsen, ahli bahasa
yang berada di balik pembakuan pengajaran dan ejaan bahasa Melayu.70
Fakta ini sekaligus membantah pandangan Andaya dan
Matheson dalam Reid dan Marr (1983: 99) bahwa Belanda memandang
RAH sebagai bahaya terhadap kontrol administratif mereka di Riau.
Bahkan, Netcher dalam laporan pensiunnya mendeskripsikan RAH
sebagai cendekiawan yang menentang setiap perubahan atas adat
istiadat tradisional Melayu. RAH juga dianggap sebagai orang yang
bersikap antagonis terhadap kehadiran orang Belanda dan bukan kawan
bagi orang Eropa. Bila memperhatikan dengan seksama surat-surat RAH
kepada Von de Wall, tentu akan mudah dipahami bahwa pandangan
seperti itu tidak berdasar.
6. Nilai Penting BK Pada Abad ke-19
Buku BK-lah yang membedakan RAH dengan Abdullah Munsyi, yang
meskipun juga mengajarkan bahasa Melayu kepada orang putih di
Singapura, tetapi dia tidak menulis buku kaidah pemakaian bahasa
Melayu71. Konsep tata bahasa Arab yang diterapkannya ke dalam
bahasa Melayu, menurut Sugono dan Zaidan,72 memperlihatkan RAH
saat menulis BK hendak mendekatkan tradisi tulis dalam budaya
Melayu sebagai lanjutan dari tradisi tulis yang kuat dikembangkan
dalam agama yang dianutnya.
Kesan bahwa BK “memaksakan” konsep tata bahasa Arab saat
mendeskripsikan tata bahasa Melayu, memang terasa di sana-sini.
Apalagi dua bahasa ini memiliki karakter yang berbeda. Bahasa Arab
merupakan bahasa fleksi, sementara bahasa Melayu merupakan bahasa
aglutinasi. Namun, butuh penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan
bahwa BK bukan tata bahasa Melayu yang baik. Sebagai buku tata
bahasa Melayu pertama yang ditulis anak negeri yang hendak
mengambil posisi politik bahasa yang berbeda dengan posisi politik
bahasa Belanda, tentu tidak mudah menghindari tradisi tata bahasa
70 Collins, Op. Cit., hlm. 79. 71 Harahap (1992) menyebut perbedaan antara RAH dan Abdullah Munsyi
dikarenakan latar belakang pendidikan yang berbeda, kerja yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda. Abdullah berpendidikan Inggris, bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris
dan hidup di tengah-tengah masyarakat perdagangan di Singapura. Raja Ali Haji pula
berpendidikan Arab, pendakwah, dan hidup di lingkungan istana di Pulau Penyengat, Riau.
72 Junus, Op. Cit., hlm. 375.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
24
Arab yang dikuasai dan dikenal dengan baik oleh RAH. Dalam kaitan
ini, penilaian terhadap BK, harus ditempatkan pada apakah kaidah yang
ditetapkannya fungsional atau tidak. Apalagi kemudian diketahui BK
ternyata diajarkan di sekolah-sekolah Kerajaan Riau, Johor dan
Singapura,73 dikembangkan oleh Raja Ali Kelana dan Raja Haji
Abdullah, dan dipergunakan oleh para penulis yang tergabung dalam
Rusydiah Klab. Karenanya, tidaklah adil menilai BK dengan ukuran
zaman sekarang, sementara BK dibuat sesuai kepentingan zamannya.
D. ANALISIS PEMINJAMAN GRAMATIKAL BAHASA MELAYU
DARI BAHASA ARAB
Pada bagian ini akan disajikan beberapa peminjaman gramatikal bahasa
Melayu dari bahasa Arab. Analisis ini akan menggunakan BK (1850;
selanjutnya disingkat BK) dan surat-surat RAH kepada Von de Wall,
yang ditransliterasikan Putten dan Al-Azhar (2007) dalam buku Dalam
Berkekalan Persahabatan (selanjutnya disingkat DBP),74 sebagai data
pendukung sekaligus pembanding tata bahasa yang dipergunakan BK.
1. Teks Non Terjemahan
(1) Bermula inilah fihris kitab ini (BK, h. 1, b. 1)
Konstruksi kalimat nominal yang di awal dengan kata bermula
banyak ditemui pada buku-buku bahasa Melayu beraksara Jawi,
termasuk di BK. Meskipun, konstruksi yang dimulai dengan kata
bermula ini tidak ditemukan pada surat-surat RAH kepada Von de Wall.
Dengan kata lain, penggunaan kata bermula hanya untuk bahasa formal,
bukan dalam keseharian. Kata bermula sendiri merupakan terjemahan
dari partikel wa, yang dalam bahasa Arab mempunyai banyak fungsi,75
seperti di antaranya at}f (konjungsi), qasam (sumpah), dan isti’na>f (permulaan). Bila melihat artinya, maka penggunaan kata bermula
merupakan terjemahan dari wa yang berfungsi sebagai isti’na>f. Apalagi bila juga memperhatikan penggunaan kata ini yang selalu ditempatkan
73 Hamidy, Op. Cit., hlm. 45. 74 Beberapa transliterasi dari teks Arab pada DBP tidak terlalu akurat. Oleh
karena itu, beberapa contoh transliterasi dari teks Arab yang dipergunakan di sini telah
disesuaikan dengan kaidah morfologi dan sintaksis bahasa Arab. 75 Antoine Dahdah. A Dictionary of Arabic Grammar: in Charts and Tables. (Beirut:
Librairie du Liban, 1981), hlm. 302.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
25
di awal kalimat, sesuai fungsinya dalam bahasa Arab.76 Hal ini
diperkuat pula dengan pendapat Omar (1991: 104), yang memasukkan
kata bermula dalam kelompok kata wacana. Meski agak terasa aneh
dalam penggunaan bahasa Melayu yang umum saat itu, namun
penggunaan kata bermula lebih sesuai dengan makna partikel wa dalam
bahasa Arab daripada partikel wa diterjemahkan dengan dan, yang
banyak dilakukan oleh penulis-penulis buku-buku Islam abad ke-20,
seperti yang terlihat pada Al-Qur’an dan Terjemahannya (1971).
Selain itu, konstruksi inilah fihris kitab ini juga merupakan
pinjaman dari kontruksi kalimat dalam bahasa Arab, yang tampaknya
merupakan terjemahan dari ha>dha huwa fihris ha>dha al-kita>b. Partikel –lah pada inilah merupakan kopula yang menggantikan fungsi huwa dalam
bahasa Arab yang dalam konstruksi itu juga merupakan kopula. Kata
inilah sendiri digolongkan sebagai ism isha>rah (demonstrativa) dalam
bahasa Melayu, yang kaidahnya disinggung RAH pada BK, h. 26
sebagai berikut:
(2) Ism isha>rah, yakni nama yang tiada ditentukan akan dia, tetapi
diisyaratkan seperti ini dan itu dan seperti di sini dan di situ dan
di sana dan nun yakni di sana.
Ketahuilah olehmu, hai orang yang menuntut ilmu ini (BK, h.
22)
Contoh (2) juga memperlihatkan peminjaman tata bahasa Arab,
yang tampaknya merupakan terjemahan dari konstruksi sejenis dalam
bahasa Arab: i’lam, ya t}a>lib al-‘ilm. Selain itu, struktur kalimat tersebut
merupakan bagian pembuka wacana yang lazim dipergunakan pada
sebagian teks klasik berbahasa Arab.
(3) Adapun nama itu nama tiap-tiap sesuatu seperti nama barang
yang di atas seperti langit dan matahari dan bulan dan bintang
(BK, h. 26)
Kalimat contoh (3) dimulai dengan adapun yang merupakan
padanan dari amma, yang lazim ditemukan pada teks Arab dan
berfungsi sebagai pembuka wacana. Contoh (3) juga memperlihatkan
76 Ibid.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
26
penggunaan dan yang berulang-ulang dalam satu kalimat, yang
merupakan pinjaman tata bahasa Arab dari konjungsi wa. Contoh (3) ini
memperlihatkan penggunaan dan tanpa didahului teks Arabnya. Frasa
nama tiap-tiap sesuatu pun tampaknya merupakan terjemahan dari frasa
nominal (id}a >fah) dalam bahasa Arab: ism kull syai’. Kaidah id}a >fah disinggung RH pada BK, h. 27:
Ism id}a >fah artinya nama yang bersandar kepada sesuatu seperti
budak si Zaid.
2. Teks Terjemahan
(1) Al-h}amdu lilla>hi al-ladhi akhraja bi ‘iba>dihi min al-jahl wa al-z}ulam ... Artinya, segala puji bagi Allah ta’ala, Tuhan yang mengeluarkan
akan hambanya bodoh dan gelap (BK, 5, b. 2—3)
Struktur kalimat pada contoh (1) merupakan bagian pembuka,
yang lazim dipergunakan pada teks-teks klasik,77 termasuk pidato dan
khotbah, berbahasa Arab. Bila menggunakan metode yang ditawarkan
oleh Newmark,78 maka terjemahan RAH tersebut dapat dikelompokkan
pada metode penerjemahan setia (faithful translation), yang memang
lebih mengutamakan bahasa sumber (Bsu) daripada bahasa sasaran
(Bsa). Menurut hemat saya, terjemahan RAH tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai penerjemahan harfiah (literal translation), karena
sudah ada upaya untuk mereproduksi makna kontekstual teks sumber
(Tsu) dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Reproduksi
makna kontekstual terlihat pada pemunculan kata Tuhan pada
terjemahan nomina relatif (ism maus}u>l) al-ladhi yang kaidahnya dalam
penggunaan bahasa Melayu disinggung RAH pada BK, h. 27.
Sementara itu, pembatasan struktur gramatika bahasa Arab
terlihat pada terjemahan al-h}amdu dengan ‘segala puji’. Fungsi al- sebagai pemarkah takrif dalam bahasa Arab, juga ikut dimunculkan
dalam terjemahannya. Kaidah penggunaan ism ma’rifat juga disinggung
RAH pada BK, h. 26—27. Pembatasan struktur gramatikal Tsu juga
terlihat pada terjemahan bi pada bi ‘iba>dihi dengan akan. Padahal, tanpa
77 Informasi mengenai karakteristik dan teknik menerjemahkan teks Arab, lih.
Hidayatullah, Op. Cit., 57—58. 78 Peter Newmark, A Textbook of Translation (Newyork: Prentice Hall, 1988), hlm.
45-47.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
27
kata akan pun, terjemahan itu terasa lebih nyaman dalam ukuran bahasa
Indonesia kontemporer. Meskipun, fungsi akan pada masa lalu memang
ada yang menjadi pengantar objek. Ini pula yang ditemukan Omar79
pada bahasa Melayu abad ke-16 dalam kitab Aqa’id al-Nasafi. Penjelasan
tentang objek (maf’ul bihi) juga disinggung RAH pada BK, h. 41 sebagai
berikut.
Bermula maf’ul-nya, yakni yang diperbuat akan dia, seperti kata
kita, “Aku pukul akan dia”, atau “Telah memukul si Umar akan
si Zad”. Dan telah memukul itu fi’il-nya dan si Umar itu fa’il-nya.
Dan si Zaid, yang dipukul dengan dia itu maf’ul-nya.
Penggunaan akan sebagai pengantar objek juga dapat ditemui
pada DBP berikut:
Hubba akhaka ka hubbi nafsika, yakni ‘hendaklah engkau kasih
akan saudaramu itu seperti kasih akan dirimu’ (DBP, h58)
Kata akan pada terjemahan tersebut juga merupakan pengalihan
fungsi objek yang melekat pada kata akhaka. Terjemahan fungsi objek
dengan akan sekaligus memperlihatkan upaya RAH untuk menunjukkan
pengaruh bahasa Arab pada bahasa Melayu. Yang membedakan, fungsi
objek dalam bahasa Arab gramatikal, sementara dalam bahasa Melayu
leksikal.
(2) Fa ha>dhihi mukhtas}arah li man yahtaju ‘ala ma’rifat al-h}urufi wa khat}t } al-malayu wa rattabtuha ‘ala muqaddimah wa fus}u>lin wa kha>timatin. Artinya, inilah suatu kitab yang tersimpan bagi orang yang
berkehendak atas mengenal segala huruf Melayu dan suratannya
dan aku atur akan dia atas suatu mukaddimah dan beberapa
fasal dan satu khatimah (BK, h. 5)
Penjelasan pada bagian pengantar seperti pada contoh (2)
tersebut sangat lazim ditemukan pada buku-buku Arab klasik.
Terjemahan kalimat bahasa Arab pada contoh (2) tersebut
memperlihatkan pengaruh Tsu yang sangat kuat terhadap Tsa-nya.
79 Omar, Asmah. Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks Melayu
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), hlm. 60.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
28
Konstruksi li man yang diterjemahkan menjadi ‘bagi orang’ merupakan
kasus pinjaman gramatikal. Begitu pun pada konstruksi ‘ala ma’rifat al-
hurufi yang diterjemahkan menjadi ‘atas mengenal segala huruf’. Pada
konstruksi wa rattabtuha ‘ala muqaddimah wa fus}u>lin wa kha>timatin yang diterjemahkan menjadi ‘dan aku atur akan dia atas suatu mukaddimah
dan beberapa fasal dan satu khatimah’, pinjaman gramatikal ini
dilakukan dalam satu klausa penuh, karena RAH terlihat
menerjemahkan kata demi kata, yang oleh Newmark80 disebut sebagai
word-for-word translation. Selain itu, terjemahan wa yang pada contoh
tersebut selalu diterjemahkan dengan dan, juga menguatkan fenomena
pinjaman tata bahasa Melayu dari bahasa tata bahasa Arab. Padahal,
dalam bahasa Indonesia kontemporer, konjungsi wa bisa diterjemahkan
dengan (,) bila konjungsi wa tersebut lebih dari satu dalam kalimat dan
hanya wa yang terakhir saja dalam kalimat tersebut yang
diterjemahkan.81
(3) Muqaddimah fi fad}i >lah al-’ilm wa al-’aql. Artinya, ini suatu pendahuluan pada menyatakan kelebihan ilmu dan akal (BK, h.
5, b. 13—15)
Kalimat pada contoh (3) merupakan judul bab, yang lazim
dipergunakan pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Konstruksi ini
suatu pendahuluan pada menyatakan kelebihan ilmu dan akal merupakan
terjemahan dari muqaddimah fi fad}i >lah al-’ilm wa al-’aql. RAH
menerjemahkan konstruksi tersebut dengan memunculkan unsur-unsur
kalimat yang dilesapkan (struktur batin) dalam bahasa Arabnya, karena
konstruksi lengkapnya dalam bahasa Arab adalah [ha>dhihi] muqaddimah fi [bayan] fad}i>lah al-’ilm wa al-’aql. Kata ha>dhihi dan bayan memang tidak
terlihat dalam teks Arabnya, tetapi dalam terjemahannya, RAH
memunculkan keduanya dalam bentuk padanan bahasa Melayunya: ini
dan menyatakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa RAH
meminjam secara utuh konstruksi kalimat tersebut, termasuk unsur-
unsur kalimat yang dilesapkan. Pola terjemahan seperti ini juga bisa
ditemukan pada salah satu kalimat dari surat RAH kepada Von de Wall
berikut:
80 Newmark, Op. Cit., hlm. 45. 81 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-
Indonesia. (Tangerang: Dikara, 2009), hlm. 105.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
29
Al-rafiq al-salih yuwassi’ al-qalba al-thalih yakni ’tolan yang baik
itu meluaskan hati yang tiada baik’ (DBP, h. 49, 6—7)
Terjemahan yang pada tolan yang baik dan hati yang tiada baik
merupakan terjemahan dari unsur gramatikal dalam bahasa Arab. Kata
yang sendiri sebetulnya bisa dilesapkan, tetapi tampaknya RAH ingin
memunculkan kata itu untuk menerjemahan fungsi s}ifat (ajektif) yang melekat sebagai unsur gramatikal pada nomina al-salih dan al-talih.
Terkait terjemahan fungsi s}ifat ini, RAH juga telah menetapkan
kaidahnya pada BK pasal 28 (h. 45) sebagai berikut.
Bermula sifat itu yang menyempurnakan dan menyatakan satu
sifat dari pada beberapa sifatnya, seperti kata kita, “Lalu aku
dengan laki-laki yang murah.” Dan, yang murah itulah sifatnya.
(4) Kama qala al-nabiyyu s}alla Allah ‘alaihi wa sallama man yurid Allaha bihi khairan, yufaqqihhu fi al-din. Artinya, barang siapa yang
dikehendaki Allah ta’ala dengan dia kebajikan, maka diberi
paham ia pada ilmu al-din, yakni ilmu ugama (BK, h. 5)
Konstruksi kama qala al-nabiyyu s}alla Allah ‘alaihi wa sallama pada contoh (4) tidak diterjemahkan oleh RAH, padahal konstruksi itu jelas
klausa berbahasa Arab yang berarti ‘seperti yang disabdakan Nabi
Muhammad Saw’. Kasus seperti ini di luar kebiasaan RAH dalam BK
yang selalu memberi harakat dan arti untuk frasa atau klausa dari
bahasa Arab. Apakah konstruksi itu sudah diserap dan diketahui luas
oleh penutur bahasa Melayu saat itu? Butuh penelitian lebih lanjut
terkait hal ini. Selain itu, terjemahan man yang berfungsi sebagai adat al-
shart } (konjungtor syarat) dengan ‘barangsiapa’ juga menunjukkan
pengaruh tata bahasa Arab, yang tampaknya sengaja dibatasi oleh RAH
dari man yang sebagai ism maus}u>l (nomina relatif) dan man yang sebagai
ism istifha>m. Terkait terjemahan fungsi man sebagai perangkat
kondisional ini, RAH juga telah menetapkan kaidahnya pada BK (h. 27)
sebagai berikut.
Ketahuilah olehmu, hai orang yang menuntut, adapun nama itu
yang menjadi syarat, manakala ada syaratnya itu, maka
berkehendaklah kepada juz’an, yakni jawab balasnya.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
30
Selain itu, terjemahan jawab al-shart} (apodosis) pada klausa yufaqqihhu fi al-din, juga memperlihatkan pengaruh bahasa Arab yang
kuat, karena dihubungkan oleh konjungtor maka. Pada kasus-kasus
tertentu, kalimat kondisional dalam bahasa Arab memang dihubungkan
oleh konjungtor fa, yang biasanya dipadankan dengan ‘maka’ dalam
bahasa Melayu.82 Padahal pada contoh (4), konjungtor fa pada teks Arab-
nya tidak ada, karena memang dalam bahasa Arab struktur kalimat
contoh (4) tersebut tidak mengharuskan disertakannya fa sebagai
konjungtor apodosis. Hal lain yang juga memperlihatkan pengaruh tata
bahasa pada contoh (4) adalah konstruksi bihi khairan yang
diterjemahkan ‘dengan dia kebajikan’.
E. PENUTUP
Pengetahuan RAH terhadap tata bahasa Arab mendorongnya
menuliskan tata bahasa Melayu dalam model tata bahasa Arab. Ini
merupakan upaya yang sadar dari RAH untuk menunjukkan jati diri
RAH sebagai orang Melayu. Sebagai ahli bahasa pertama yang
meneorikan tata bahasa Melayu, sumbangan RAH terhadap
perkembangan bahasa Melayu tidak bisa dianggap sebelah mata. Dia
menjadi tokoh penting dalam sejarah bahasa Melayu yang berani
melawan arus yang dibuat oleh Belanda yang telah menetapkan tata
bahasa Melayu sesuai standar kaidah bahasa Eropa. RAH juga berbeda
dengan anak negeri terpelajar lainnya yang cenderung menghindari
mengikuti tata bahasa Belanda dan lebih memilih membuat tata bahasa
Arab yang dianggap lebih dekat dengan agamanya, seperti yang
dilakukan Daud al-Fathani, Muhammad Nawawi al-Jawi, dan Haji
Muhammad Ma’shum al-Samarani.
Konteks zaman yang melahirkan BK dan karya RAH yang lain
juga harus diperhatikan. Tradisi berpikir yang didominasi oleh buku-
buku berbahasa Arab, yang menjadi buah dari perkembangan agama
Islam, tentu memengaruhi RAH dan masyarakat pada zaman itu dalam
menulis, membaca, dan mengekspresikan gagasannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh tata bahasa Arab dalam
bahasa Melayu tak bisa dipungkiri merupakan efek dari islamisasi ilmu
pengetahuan, yang sering kali tidak bisa dipisahkan dari proses
82 Asmah Omar, Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks Melayu
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), hlm. 106.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
31
arabisasi. Selain itu, BK juga telah membuktikan bahwa pengaruh tata
bahasa Arab tidak hanya pada naskah keagamaan. Fakta ini berbeda
dengan pendapat Ronkel (1899: 498).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an dan Terjemahannya. Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd li
Thiba’at al Mushaf asy-Syarif, 1971.
Andaya, Barbara Watson dan Virginia Matheson. “Pemikiran Islam dan
Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Dari Raja Ali
Haji hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Ed. Anthony Reid
dan David Marr. Jakarta Pusat: Grafiti Press, 1983.
Baried, Siti Baroroh dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF, 1994.
Behrend, T. E. (peny.). 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia-EFEO.
Collins, James T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta:
YOI, 2005.
Collins, James T. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG dan
EFEO, 2009.
Dahdah, Antoine. A Dictionary of Arabic Grammar: in Charts and Tables.
Beirut: Librairie du Liban, 1981.
Dahdah, Antoine. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG dan
EFEO, 2009.
Hamidy, UU. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau. Pekanbaru: tp, 1985.
Hamidy, UU. “Hilang Jasa Kapak Oleh Jasa Ketam: Peranan Raja Ali
Haji dalam Perwujudan Bahasa Indonesia. Majalah Sastra
Horison. Tahun XXXI, no. 12, 1996.
Hamidy, UU. Naskah Kuno Daerah Riau. Pekanbaru: Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau, 1982.
Hamidy, UU. Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu.
Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1981.
Heer, Nicholas. 2009. A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works.
Seattle-Washington: tp.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia. Tangerang: Dikara, 2009.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
32
Hollander, JJ. De. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: Balai
Pustaka, 1984.
Hooykaas, C. Perintis Sastera. Groningen-Djakarta: Wolters, 1951.
Ikram, Achadiati. “Raja Ali Haji, Pahlawan Budaya”. Sejarah Perjuangan
Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Ed. dalam Junus, M.
Hasan. Pekanbaru: Unri Press, 2004.
Ikram, Achadiati. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Ikram, Achadiati. Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX.
Pekanbaru: Universitas Islam Riau Press, 1998.
Johns, A.H. “”Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu:
Sebuah Renungan”. Sadur: Sejarah Terjemahan d Indonesia dan
Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, EFEP, FJP,
Pusat Bahasa, Universitas Padjajaran, 2009.
Junus, M. Hasan. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa
Indonesia. Pekanbaru: Unri Press, 2004.
Junus, Umar. Sejarah dan Perkembangan ke Arah Bahasa Indonesia. Jakarta:
Bhratara, 1969.
Kamil, T.W. “Prakata”. dalam Hollander, JJ. De. Pedoman Bahasa dan
Sastra Melayu. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia, 1990.
Kridalaksana, Harimurti, dkk. Masa Lalu Bahasa Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
Kridalaksana, Harimurti. “Bustanulkatibin dan Kitab Pengetahuan
Bahasa-Sumbangan Raja Ali Haji dallam Ilmu Bahasa Melayu”
dalam Rintisan dalam Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan),
Jakarta: FS UI, 1984.
Kridalaksana, Harimurti. “Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak; Raja
Ali Haji dan Percetakan Litografi” dalam Risalah Kegiatan Hari
Raja Ali Haji, (1996): 1—20).
Kridalaksana, Harimurti. “Pandangan Raja Ali Haji tentang Kelas Kata
dalam Bahasa Melayu” dalam Beberapa Masalah Linguistik
Indonesia (Kumpulan Karangan). Jakarta: FS UI, 1978.
Kridalaksana, Harimurti. “Suatu Rintisan dalam Historiografi Linguistik
Indonesia” dalam Rintisan dalam Linguistik Indonesia (Kumpulan
Karangan), Jakarta: FS UI, 1984.
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 2001.
Kridalaksana, Harimurti. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori
Sintaksis. Jakarta: Atmajaya, 2002.
Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
33
Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi. Penulusuran Penyalinan Naskah-naskah
Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI, 1998.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: FS UI,
1994.
Newmark, Peter. A Textbook of Translation. Newyork: Prentice Hall, 1988.
Ni’mah, Fuad. Mulakhkhas} Qawa>’id al-Lughah al-Arabiyyah. Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, t.t.
Omar, Asmah. Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks
Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991.
Osman, Mohd. Taib. “Raja Ali Haji of Riau: a Figure of Tradition or the
Last of The Classical Pujangga” dalam Bunga Rampai Sejarah
Studi Bahasa Indonesia. Jakarta: FS UI, 1982.
Palawa, Alimuddin Hassan. “The Penyengat School: A Review of The
Intellectual Tradition in the Malay-Riau Kingdom”. Jurnal Studia
Islamika, vol. 10, no. 3, (2003): 95—123.
Parera, Jos Daniel. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi
Struktural. Jakarta: Erlangga, 1991.
Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia, 2006.
Putten, Jan van der dan Al Azhar. Dalam Berkekalan Persahabatan. Jakarta:
KPG, 2007.
Putten, Jan van der. “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim's
Strategies of Survival”. Journal of Southeast Asian Studies, 32
(3), (2001): 343—354.
Riddell, Peter G. “Literal Translation, Sacred Scipture, and Kitab Malay”.
Jurnal Studia Islamika, vol. 9, no. 1. (2002): 1—26.
Riddell, Peter G. Islam in The Malay-Indonesian World. London: C. Hurst
& Co, 2001.
Robson, S.O. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL, 1994.
Ronkel, Van. “Over Invloed der Arabische Syantaxis op de Maleische”
dalam Tidjschrift voor Ind. Taal-, Land- en Volkenkunde. Batavia
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel XLI. (1899):
498-528.
Rukmi, Maria Indra. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta Pada Abad XIX.
Jakarta: FSUI, 1997.
Ruskhan, Abdul Gaffar. Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Grasindo, 2007.
Saleh, Siti Hawa Haji dkk. Cendekiawan Kesusastraan Melayu Tradisional.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987.
Moch. Syarif Hidayatullah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012
34
Schendel, Herbert. Historical Linguistics. Oxford: Oxford University
Press, 2001.
Sedyawati, Edi dkk. Kedwiaksaraan dalam Pernaskahan Nusantara: Kajian
Tipologi. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sugono, Dendy dan A. Rozak Zaidan. 2004. “Raja Ali Haji: Munsyi dan
Pujangga”. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa
Indonesia. Ed. dalam Junus, M. Hasan. Pekanbaru: Unri Press,
2004.
Sutaarga, M. Amir. 1972. Katalog Koleksi Naskah Melayu Pusat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Nasional.
Suwarso, Suyati. “Struktur Gramatika Bahasa Melayu dalam Hikayat
Abu Samah” dalam Naskah dan Kita. Depok: FSUI, 1991.
Teeuw, A. A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
Nijhoff: the Hague, 1961.
Wijk, d Gerth van. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan, 1985.
Winstedt, Sir. Richard. A History of Classical Malay Literature. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1977.